BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masa Post Partum Masa post partum atau masa nifas sering dikenal juga dengan puerperium berasal dari kata puer yang berarti seorang anak dan parere yang berarti kembali ke semula yaitu masa enam minggu setelah persalinan ketika organ reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil (Puspita, 2013). Pada masa ini, seorang ibu akan mengalami adaptasi dari perubahan fisiologis dan psikologis.
2.1.1
Adaptasi Fisiologis Masa Post Partum Beberapa perubahan sistem organ yang terjadi pada ibu post
partum diantaranya pada sistem reproduksi, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal,
tanda-tanda
vital,
sistem
endokrin,
dan
sistem
perkemihan. Selain perubahan pada beberapa sistem organ, ibu post partum akan mengalami nyeri pasca partum yang diakibatkan dari kontraksi uterus.
2.1.2
Adaptasi Psikologis Masa Post Partum Masa adaptasi psikologis post partum merupakan masa dimana
terjadi perubahan peran menjadi orang tua yang dialami oleh ibu. Masa ini
8
9
dikatakan berhasil dilewati oleh ibu jika ibu mampu dalam menerima dan merawat bayinya sesuai waktu yang telah ditetapkan. Menurut Rubin (1977) ada tiga fase yang terjadi pada ibu post partum yang disebut “Rubin Maternal Phases” yaitu : 1) Fase taking in, merupakan fase ketergantungan yang berlangsung pada hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada fase ini, fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri dan cenderung lebih banyak menceritakan pengalaman yang dirasakan ketika melewati proses persalinan. Hal ini menyebabkan ibu cenderung menjadi pasif dan sangat tergantung pada lingkungannya. Dukungan suami dan keluarga untuk menjadi pendengar aktif serta menyediakan waktu yang cukup bagi ibu sangat diperlukan oleh ibu pada fase ini. Gangguan psikologis yang mungkin dirasakan ibu pada fase ini adalah sebagai berikut:
Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan tentang bayinya, seperti : jenis kelamin tertentu, warna kulit, dan sebagainya.
Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan fisik yang dialami ibu misalnya rasa mulas akibat dari kontraksi rahim, payudara bengkak, nyeri pada luka jahitan, dan sebagainya.
Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.
Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayinya dan cenderung melihat saja tanpa membantu. Ibu akan
10
merasa tidak nyaman karena sebenarnya hal tersebut bukan hanya tanggung jawab ibu saja, tetapi tanggung jawab bersama. 2) Fase taking hold, merupakan fase yang berlangsung 3-10 hari setelah melahirkan.
Pada
fase
ini,
ibu
merasa
khawatir
akan
ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi sehingga ibu cenderung sensitif, mudah tersinggung, dan cepat marah. Dukungan yang diberikan suami dan keluarga dapat membantu ibu menjadi lebih tenang sehingga ketika petugas kesehatan memberikan penyuluhan mengenai cara perawatan bayi dapat diterima dengan baik oleh ibu. 3) Fase letting go, merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya secara mandiri, serta kepercayaan dirinya sudah meningkat. Pada fase ini, ibu masih memerlukan dukungan dari suami dan keluarga dalam hal perawatan bayi dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga agar ibu merasa tidak terbebani dan dapat berisitirahat dengan baik.
2.2 Depresi Post Partum
2.2.1
Pengertian
Depresi post partum merupakan proses ketidaksiapan seorang wanita untuk menjalani peran sebagai ibu sehingga wanita tersebut tidak dapat melewati Rubin Maternal Phases dengan baik dan sempurna. Pada
11
masa ini ibu mengalami perasaan sedih yang diakibatkan karena berbagai peristiwa kehidupan yang bersifat stressor, seperti masalah keuangan, perkawinan, pekerjaan, maupun dalam hal perawatan bayi. Perbedaan depresi post partum dengan postpartum blues terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala yang timbul (Ambarwati, 2009). Depresi postpartum dialami seorang ibu paling lambat 8 minggu setelah melahirkan, dan dalam kasus yang lebih parah, bisa berlanjut selama setahun. Menurut Soejono,dkk (2007), penggolongan depresi dibagi menjadi berikut: Gejala Utama
Perasaan depresif
Hilangnya minat dan semangat
Mudah lelah dan tenaga hilang
Gejala Lain
Konsentrasi dan perhatian menurun
Harga diri dan kepercayaan diri menurun
Perasaan bersalah dan tidak berguna
Pesimis terhadap masa depan
Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
Gangguan tidur
12
Gangguan nafsu makan
Menurunnya libido Tingkat
Gejala
Depresi
utama
Gejala lain
Ringan
2
2
Sedang
2
3-4
Fungsi
Keterangan
Baik Terganggu
_ Nampak distress
Berat
3
>4
Sangat
Sangat distress
Terganggu Tabel 1. Pembagian tingkat depresi menurut Soejono dkk (2007)
2.2.2
Tanda dan Gejala
Ciri khas wanita yang mengalami depresi post partum bervariasi dari hari ke hari, bahkan terkadang ibu tidak menyadari bahwa dirinya telah mengalami gangguan depresi post partum. Gejala depresi post partum memiliki karakteristik yang spesifik dibandingkan dengan depresi pada umumnya, antara lain (Marmi,2011): a. Ibu dapat mengalami mimpi buruk yang biasa terjadi pada waktu tidur REM (Rapid Eye Movement), sehingga menyebabkan ibu terbangun tengah malam dan cenderung mengalami insomnia. b. Munculnya rasa phobia, yaitu ketakutan yang irasional terhadap suatu benda atau keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien walaupun hal tersebut diketahui bahwa hal tersebut irasional. Salah satu phobia yang dapat dialami ibu post partum
13
yaitu ketakutan dengan peralatan operasi dan jarum akibat ibu mengalami operasi bedah Caesar ketika bersalin. c. Munculnya rasa kecemasan, ketegangan, rasa tidak aman, dan kekhawatiran yang dirasakan karena mengalami hal yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui. d. Ibu cenderung lebih sensitif, yang diakibatkan karena perubahan peran menjadi orang tua, kurangnya pengalaman, kurang rasa percaya diri dalam perawatan bayi, dan merasa tidak bahagia dan puas menjadi seorang ibu. e. Ibu mengalami perubahan mood, diantaranya munculnya gejala kurang nafsu makan, sedih, murung, gangguan tidur, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, menyalahkan diri sendiri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mencintai bayi, ingin menyakiti bayi, serta tidak mau berhubungan dengan orang lain.
2.2.3
Penyebab Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya depresi post
partum antara lain (Marmi,2011): a. Faktor konstitusional, yaitu berkaitan dengan status paritas riwayat obstetri pasien, diantaranya riwayat hamil sampai bersalin serta adanya komplikasi pada saat kehamilan dan persalinan sebelumnya.
14
Biasanya wanita primipara lebih sering mengalami gejala depresi post partum diakibatkan karena bingung akan perannya sebagai ibu. b. Faktor fisik, yaitu karena adanya perubahan fisik setelah melahirkan diantaranya perubahan hormone secara drastis pada periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. c. Faktor psikologis, yaitu masa peralihan yang cepat dari wanita menjadi seorang ibu dimana tergantung dari proses penyesuaian psikologis ibu dalam menerima perannya yang baru ketika merawat bayi. d. Faktor sosial, diantaranya pemukiman yang tidak memadai serta kurangnya dukungan dari masyarakat dalam perkawinan ibu. Menurut Kruckman dalam Yanita dan Zamralita (2001) penyebab depresi pasca partum diantaranya: a. Faktor biologis, dimana akibat dari ketidakseimbangan hormon estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas atau adanya perubahan hormon yang terlalu cepat atau terlalu lambat. b. Karakteristik ibu, yang meliputi: 1) Faktor umur, dimana umur ideal seorang wanita untuk melahirkan yaitu antara 20-30 tahun, karena rentang umur tersebut optimal bagi ibu dalam perawatan bayi. Hal ini berkaitan dengan kesiapan mental untuk menjadi ibu.
15
2) Faktor pengalaman, dimana depresi post partum banyak dialami oleh ibu primipara, karena peran sebagai ibu dan cara perawatan bayi merupakan hal baru yang dialami ibu sehingga dapat menimbulkan stress. 3) Faktor pendidikan, dimana ibu yang berpendidikan tinggi memiliki tuntutan untuk bekerja atau melakukan aktivitas diluar rumah serta melakukan peran sebagai ibu rumah tangga dan orang tua sehingga menimbulkan tekanan sosial dan konflik peran pada ibu. 4) Faktor selama proses persalinan, dimana semakin banyak trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan serta intervensi medis yang dilakukan pada ibu, maka semakin besar trauma psikis yang muncul pada ibu. 5) Faktor dukungan sosial, dimana dukungan dari kerabat pada saat kehamilan, persalinan, dan pascasalin dapat menyebabkan beban yang dirasakan ibu lebih berkurang.
2.2.4
Penatalaksanaan Depresi Post Partum
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah depresi post partum (Herawati, 2009), diantaranya :
Screening Test, di luar negeri seperti Belanda digunakan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) yang merupakan kuisioner dengan validitas teruji yang mampu mengukur intensitas
16
perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan. Pertanyaan-pertanyaan
yang
berhubungan
dengan
labilitas
perasaan, kecemasan, perasaan bersalah, serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada postpartum blues.
Dukungan psikologis dari suami dan keluarga.
Istirahat yang cukup untuk mencegah dan mengurangi perubahan perasaan.
Dukungan dari tenaga kesehatan seperti dokter obstetri, perawat, atau bidan sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai atau adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul pada masa-masa tersebut beserta penanganannya.
Diperlukan dukungan psikolog atau konselor jika keadaan ibu tampak sangat mengganggu. Dukungan bisa diberikan melalui keprihatinan dan perhatian pada ibu. Selain itu ibu dapat mencari psikiater, psikolog, maupun ahli kesehatan mental lainnya untuk melakukan konseling agar dapat menemukan cara dalam menanggulangi dan memecahkan masalah serta menetapkan tujuan realistis. Teori ini sudah didukung dengan beberapa penelitian yang telah
dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti penelitian yang dilakukan oleh Soep (2009) dengan judul “Pengaruh Intervensi Psikoedukasi Dalam Mengatasi Depresi Post Partum di RSU Dr.
17
Pirngadi Medan” diperoleh hasil pemberian psikoedukasi kepada ibu yang mengalami depresi post partum dapat menurunkan tingkat depresi post partum menjadi tidak depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Esther (2010) dengan judul “Efektivitas Intervensi Edukasi Pada Depresi Post Partum” diperoleh hasil pemberian intervensi edukasi efektif dalam menurunkan jumlah ibu yang mengalami depresi post partum. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Urbayatun (2010) dengan judul “Dukungan Sosial Dan Kecenderungan Depresi Post Partum Pada Ibu Primipara Di Daerah Gempa Bantul” menyatakan bahwa dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan depresi post partum pada ibu primipara yang berada di daerah gempa Bantul, Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Fatimah (2009) dengan judul “Hubungan Dukungan Suami Dengan Kejadian Post Partum Blues Pada Ibu Primipara Di Ruang Bougenville RSUD Tugurejo Semarang” menyatakan bahwa adanya hubungan antara dukungan suami dengan kejadian post partum blues pada ibu primipara.
2.3 Konseling Definisi konseling didefinisikan menjadi dua kelompok, yaitu konseling konvensional dan konseling modern. Konseling konvensional merupakan pelayanan professional (professional service) yang diberikan oleh konselor
18
kepada konseli secara tatap muka, agar konseli dapat mengembangkan perilakunya ke arah lebih maju (progressive). Dalam hal ini konseli adalah sebagai individu yang mengalami masalah, dan setelah memperoleh pelayanan konseling ia diharapkan dapat memahami masalahnya dan memecahkan masalahnya secara bertahap. Sedangkan konseling modern merupakan hasil perkembangan konseling dalam abad tekhnologi, sehingga proses konseling dipengaruhi oleh kemajuan tekhnologi
khususnya
tekhnologi informatika. Konseling adalah profesi bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli atau kelompok konseli, dimana konselor dapat menggunakan tekhnologi sebagai media, untuk memfasilitasi proses perkembangan konseli atau kelompok konseli sesuai dengan kekuatan, kemampuan potensial dan aktual serta peluang-peluang yang dimiliki dan membantu
mereka
dalam
mengatasi
segala
permasalahan
dalam
perkembangan dirinya. Pada jenis konseling ini, proses konseling dapat dilakukan tidak hanya lewat tatap muka, tetapi juga dapat lewat internet sehingga konseling dapat diberikan secara berjauhan tanpa membatasi lokasi dan waktu. Pelaksanaan konseling dibagi menjadi beberapa tahapan, diantaranya : 1. Tahap Pembinaan Hubungan Pembinaan hubungan dalam konseling ini digunakan untuk membangun hubungan terapeutik yang kondusif yang disebut rapport. Rapport merupakan suatu istilah klinis yang digunakan untuk menunjuk pada suatu iklim psikologis yang muncul dari kontak
19
interpersonal antara konselor dan konseli yang mendorong sikap percaya dan terbuka pada diri konseli. Pada saat pembinaan hubungan, sering kali konselor perlu memberikan gambaran yang tepat tentang konseling (structuring). Structuring merupakan kerangka kerja yang digunakan
konselor
dengan
konselinya.
Kerangka
kerja
ini
diberitahukan kepada konseli dengan jalan memberikan penjelasan secara singkat tentang 4 aspek konseling yaitu (Nursalim,2013) : a) Tanggung Jawab Konselor memberikan informasi kepada konseli tentang tanggung jawab dalam proses konseling. Konselor dapat menyatakan sebagai berikut, “Tugas saya sebagai konselor adalah mendengarkan dan mencoba mengerti bagaimana pikiran dan perasaan Anda tentang sesuatu hal. Saya tidak akan membuatkan sesuatu keputusan untuk Anda, tetapi Anda sendiri yang akan membuat keputusan.” b) Tujuan Tujuan dari proses konseling perlu disampaikan kepada konseli, misalnya : “Tujuan konseling ialah membantu Anda mengatasi problem Anda.” c) Fokus Agar konseling efektif, konseli harus mengerti bahwa proses konseling berpusat pada masalah konseli yang akan diubah, yang diwujudkan dalam bentuk tujuan atau target yang akan dicapai. Contoh bagaimana konselor menyatakan fokus dalam konseling
20
adalah sebagai berikut, “Dalam konseling ini kita akan memusatkan pada terbentuknya suatu tujuan khusus atau target tertentu yang akan dicapai.” d) Keterbatasan Konselor dapat menjelaskan keterbatasan dalam hubungan konseling seperti, “Dalam proses konseling memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya keterbatasan kewenangan, saya akan membantu seseorang yang bermasalah sesuai kewenangan saya. Bila di luar kewenangan saya maka seseorang itu akan saya referral kepada pihak yang berwenang. Kedua, hubungan konseling ini harus didasari kesukarelaan. Ketiga, kita memilikik keterbatasan berkaitan dengan jumlah pertemuan dan lamanya pertemuan. Dan keempat adalah kerahasiaan maksudnya segala informasi yang anda berikan kepada saya, akan saya jamin kerahasiaannya. Saya tidak akan memberitahukan kepada siapa pun tanpa seijin anda.” 2.
Tahap Assesmen Masalah Tahap Assesmen dalam proses konseling merupakan suatu proses mengumpulkan dan mengolah informasi dengan menggunakan berbagai prosedur dan alat sebagai dasar untuk mengembangkan program bantuan/konseling. Tugas konselor selama proses asesmen adalah mengetahui informasi apa yang dibutuhkan dan bagaimana memperolehnya, menempatkan informasi itu secara bersama-sama sehingga menjadi kesatuan yang bermakna, dan menggunakannya
21
untuk mengembangkan hipotesis tentang rancangan program intervensinya. Selama fase ini, konseli mengomunikasikan problem yang sedang dihadapi kepada konselor, sementara itu konselor akan terus menampilkan perilaku pendampingan dengan menggunakan keterampilan
dasar
konseling
diantaranya
adalah
parafrasa,
klarifikasi, refleksi perasaan, probe, dan sebagainya. Menurut Gibson (2008), ada 3 kegiatan yang dilakukan konselor pada tahap ini yaitu membatasi masalah, mengeksplorasi masalah dan mengintegrasikan informasi. 3. Tahap Penetapan Tujuan Penetapan tujuan konseling penting dilakukan karena tujuan ini akan memberi arah pada proses konseling serta sebagai dasar penentuan strategi dan intervensi konseling selanjutnya. Penekanannnya adalah pada masalah yang telah diketahui dan spesifikasi tingkah laku yang diinginkan sebagai hasil konseling. Tujuan konseling yang baik menurut Gibson (2008) mengikuti akronim SMART Goals, yang dapat diuraikan sebagai berikut: S-Specific
= Langkah-langkahnya jelas dan teridentifikasi
M-Motivating
= Memotivasi diri dengan menyatakan “saya akan”
A-Achievable
= Konseli dapat meraih keberhasilan
R-Realistic
= Memiliki jangka waktu yang realistis
T-Trackable
= Perubahan dapat diukur dan kemajuan dapat dipantau
22
Dalam menentukan tujuan ada 8 langkah yaitu : 1) Menentukan tingkah laku yang tampak dan tidak tampak berkaitan dengna tujuan yang akan dicapai. 2) Menentukan kondisi perubahan yang diinginkan. 3) Menetapkan tingkat dari tingkah laku atau luasnya atau jumlahnya tingkah laku. 4) Menentukan tujuan-tujuan antara atau langkah-langkah tindakan jangka pendek. 5) Membuat
urutan
langkah-langkah
tindakan
berdasarkan
kepentingan yang mendesak berdasarkan tingkat kesulitan. 6) Mengidentifikasikan sumber-sumber yang diperlukan. 7) Mengidentifikasi hambatan-hambatan. 8) Meninjau kembali tujuan. 4. Tahap Seleksi Strategi Strategi merupakan rencana aksi untuk mencapai tujuan konseli. Penggunaan strategi dapat mempercepat perubahan emosional, kognitif, dan perilaku konseli.
Suatu strategi harus fleksibel,
memadai, dan pragmatis. Menurut Gibson (2008) menyatakan ada 4 langkah dalam seleksi strategi yaitu mendefinisikan problem, mengidentifikasi dan mendata semua strategi yang memungkinkan, mengeksplorasi
konsekuensi
strategi
yang
diusulkan
serta
memprioritaskan strategi yang paling tepat dan disepakati. Dalam pemilihan strategi, hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah yang
23
sedang dialami oleh konseli, pemahaman konselor terhadap teori konseling, tingkat pengalaman konselor dan kompetensi, serta pengetahuan khusus konselor terhadap intervensi. 5. Tahap Implementasi Strategi Dalam tahap ini, konseli bertanggung jawab mengaplikasikan strategi yang sudah disepakati, sementara konselor bertanggung jawab menguatkan tindakan konseli yang terlibat aktif mengaplikasikan strategi. Bila suatu strategi sudah dipilih sebagai solusi pemecahan masalah, maka ada 4 tugas yang harus dilakukan konselor yaitu menjelaskan rasional strategi yang berisi tujuan dan deskripsi singkat suatu strategi, memberi contoh penggunaan atau mendemonstrasikan strategi baik secara langsung maupun secara simbolis, selanjutnya adalah melatih menggunakan strategi dan pemberian umpan balik, serta member pekerjaan rumah kepada konseli. 6. Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut Penilaian terhadap proses konseling dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa cara diantaranya adalah : 1) Laporan dari konseli sendiri, baik secara lisan maupun tulisan 2) Observasi konselor terhadap konseli 3) Laporan dari pihak lain yang mengetahui dan bertanggung jawab terhadap konseli 7. Tahap Terminasi (Penghentian Konseling)
24
Beberapa konseli terutama mereka yang telah mengembangkan hubungan yang sangat erat, akan menunjukkan suatu keinginan untuk melanjutkan kontrak konseling ketika konselor mengakhiri proses konseling. Konselor hendaknya secara obyektif meneliti dan menyadari
dorongan-dorongannya
sendiri.
Penghentian
proses
konseling hendaknya dilakukan setelah tujuan konseling tercapai. Salah satu tugas konselor dalam mengakhiri proses konseling ini mendorong konseli untuk melakukan transfer of learning. Dalam transfer of learning konseli didorong untuk menerapkan tingkah laku yang ia pelajari dalam konseling ke situasi masalah kehidupan yang lain. Transfer of learning dari situasi konseling ke situasi kehidupan konseli sehari-hari inilah yang merupakan tujuan konseling yang sesungguhnya. Pelaksanaan konseling dapat dilakukan di tempat yang bersifat pribadi, nyaman, tenang, tidak berisik oleh suara lain, dan tidak diinterupsi oleh hal apapun. Konseling tidak hanya bisa dilakukan antar individu, tapi juga bisa dengan pasangan suami istri ataupun dengan keluarga agar penyelesaian masalah dapat berlangsung dengan baik. Dari beberapa penelitian menyebutkan konseling cukup efektif dalam menangani masalah psikologis yang dialami oleh ibu hamil dan sesudah melahirkan. Penelitian yang dilakukan oleh Slamet (2008) dengan judul “Pengaruh Konseling Terhadap Tingkat Kecemasan
25
Pasien Seksio Sesarea” menyatakan bahwa pemberian konseling berpengaruh signifikan dalam penurunan tingkat kecemasan pada ibu sebelum dan sesudah mengalami operasi section caesarea dengan memberikan informasi objektif yang dilakukan secara sistematis agar pasien mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi, serta dapat menentukan jalan keluar dari masalahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Budihastuti, Hakimi, Sunartini, dan Sri Kadarsih (2012) dengan judul “Konseling Dan Mekanisme Koping Ibu Bersalin” menyatakan bahwa pemberian konseling dalam mempersiapkan ibu ketika akan mengalami persalinan penting untuk diberikan agar ibu mampu mengatur diri dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya, dapat membangun mekanisme koping yang positif serta merasa aman selama persalinan terutama pada ibu primipara.
2.4 Skala Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) yang dimodifikasi Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) merupakan skala ukur yang berisi 10 pertanyaan untuk mengindikasikan seorang ibu memiliki gejala yang mengarah ke depresi dan kecemasan selama kehamilan dan setelah melahirkan bayinya. Penggunaan skala ukur EPDS sendiri telah dimodifikasi oleh beberapa peneliti, salah satunya kuisioner EPDS yang telah dimodifikasi oleh Soep (2009). Kuisioner EPDS yang
26
telah dimodifikasi ini berisi 32 pertanyaan dengan dibagi menjadi dua tipe pertanyaan yaitu favourable dan unfavourable. Pada jenis pertanyaan favourable tidak pernah diberi skor 0, tidak begitu sering diberikan skor 1, kadang – kadang diberikan skor 2, sering diberikan skor 3. Jumlah item pertanyaan favourable berisi 16 item pertanyaan dimana apabila skor responden ≥ 13 maka termasuk kategori depresi, sedangkan jika skor responden < 13 maka termasuk kategori tidak depresi.
Untuk jenis
pertanyaan unfavourable, tipe jawaban tidak pernah diberi skor 3, tidak begitu sering diberikan skor 2, kadang – kadang diberikan skor 1, sering diberikan skor 0 dengan penilaian jika skor responden ≥ 13 maka termasuk dalam kategori depresi post partum, jika skor responden < 13 maka termasuk dalam kategori tidak depresi post partum. Jumlah pertanyaan untuk jenis unfavourable berisi 16 pertanyaan. Daftar pertanyaan dari kuisioner ini menilai dari empat aspek kondisi psikologis, yaitu labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah, dan keinginan bunuh diri. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lutfatul dan Hartati (2006) dengan judul “Efektifitas Skala Edinburgh dan Skala Beck Dalam Mendeteksi Resiko Depresi Post Partum Di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto” menyatakan bahwa skala Edinburgh dan skala Beck sama-sama efektif dalam mendeteksi depresi post partum yang dialami oleh ibu.