BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Landasan Teori
2.1.1. Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran Berbasis Kinerja adalah sistem penganggaran yang berorientasi pada ‘output’ organisasi dan berkaitan sangat erat terhadap Visi, Misi dan Rencana Strategis organisasi. Anggaran Berbasis Kinerja mengalokasikan sumberdaya pada program bukan pada unit organisasi semata dan memakai ‘output measurement’ sebagai indikator kinerja organisasi (Bastian, 2006). Anggaran Berbasis Kinerja pada pemerintah daerah pertama sekali digulirkan dengan terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 yang berisi panduan untuk membuat anggaran kinerja, pelaksanaan anggaran sampai dengan pelaporan pelaksanaan anggaran. Regulasi ini kemudian disempurnakan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan terakhir dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 sebagai penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, maka penyusunan APBD dilakukan dengan mengintegrasikan program dan kegiatan masing-masing satuan kerja di lingkungan pemerintah daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan di dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian tercipta sinergi
Universitas Sumatera Utara
dan rasionalitas yang tinggi dengan mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas. Hal tersebut juga untuk menghindari duplikasi rencana kerja serta bertujuan untuk meminimalisasi kesenjangan antara target dengan hasil yang dicapai berdasarkan tolok ukur kinerja yang telah ditetapkan. Penganggaran berbasis kinerja ini berfokus pada efisiensi penyelenggaraan suatu aktivitas atau kegiatan. Efisiensi itu sendiri adalah perbandingan antara output dengan input. Suatu aktivitas dikatakan efisien, apabila output yang dihasilkan lebih besar dengan input yang sama, atau output yang dihasilkan adalah sama dengan input yang lebih sedikit. Anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja, seperti yang terjadi pada sistem anggaran tradisional, tetapi juga didasarkan pada tujuan/rencana tertentu yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang cukup dan terukur juga penggunaan biaya tersebut harus efisien dan efektif. Berbeda dengan penganggaran dengan pendekatan tradisional, penganggaran dengan pendekatan kinerja ini disusun dengan orientasi output. Jadi, apabila kita menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja, maka mindset kita harus fokus pada "apa yang ingin dicapai". Kalau fokus ke "output", berarti pemikiran tentang "tujuan" kegiatan harus sudah tercakup di setiap langkah ketika menyusun anggaran. Sistem ini menitikberatkan pada segi penatalaksanaan sehingga selain efisiensi penggunaan dana juga hasil kerjanya diperiksa. Jadi, tolok ukur keberhasilan sistem anggaran ini adalah performance atau prestasi dari tujuan atau hasil anggaran dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan dana secara efisien. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Penyusunan APBD berbasis kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya, pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap kepentingan masyarakat (Mardiasmo, 2006). Indikator kinerja yang ditetapkan dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja meliputi masukan (input), keluaran (output) dan (outcome). Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini merupakan tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber-sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumber daya, suatu organisasi dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategik yang telah ditetapkan. Keluaran (output) adalah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang
Universitas Sumatera Utara
dapat berupa fisik dan/atau non fisik. Dengan membandingkan indikator keluaran organisasi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator keluaran hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Oleh karenanya indikator keluaran harus sesuai dengan lingkup dan sifat kegiatan instansi. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator hasil adalah sesuatu manfaat yang diharapkan diperoleh dari keluaran. Tolok ukur ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan. Pada umumnya para pembuat kebijakan paling tertarik pada tolok ukur hasil dibandingkan dengan tolok ukur lainnya. Namun untuk mengukur indikator hasil, informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karenanya setiap organisasi perlu mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur hasil dari keluaran suatu kegiatan. 2.1.2. Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah Sistem informasi merupakan seperangkat komponen yang saling berhubungan yang berfungsi mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan mendistribusikan informasi untuk mendukung pembuatan keputusan dan pengawasan dalam organisasi baik dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer (Laudon dan Laudon, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Sistem informasi pengelolaan keuangan daerah merupakan suatu sistem yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk memperoleh informasi tentang pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Sistem informasi pengelolaan keuangan daerah diperlukan oleh pemerintah daerah sebagai salah satu alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang ada pada pemerintahan daerah. Dari sistem informasi pengelolaan keuangan daerah, pimpinan SKPD dapat memonitor sudah sejauhmana suatu program atau kegiatan telah terlaksana, sudah seberapa besar penyerapan dana atas program atau kegiatan yang telah dilakukan sehingga dapat dinilai apakah program atau kegiatan yang dilakukan sudah ekonomis, efisien dan efektif. Hasil akhir dari sistem informasi pengelolaan keuangan daerah dapat berupa formulir-formulir yang dibutuhkan para pengelola keuangan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) antara lain laporan berkala maupun laporan tahunan. Banyak peneliti Winfield (1978), Chang and Mos (1985), Boyne and Law (1991) telah mengemukakan pentingnya laporan tahunan sebagai alat memperkuat akuntabilitas. Marston and Shrives (1991) menyimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan dokumen yang paling komprehensif yang tersedia bagi publik dan sebagai alat pengungkap utama. Parker (1982) menekankan pentingnya laporan
Universitas Sumatera Utara
tahunan sebagai media komunikasi masa meski laporan tahunan bukanlah satusatunya sumber informasi tentang kinerja organisasi, namun masih dipandang sebagai sumber penting karena luas cakupan dan ketersediaannya. Informasi yang dikomunikasikan kepada stakeholder melalui laporan tahunan adalah fokus dari riset yang merupakan seperangkat alat dalam kerangka kerja akuntabilitas publik (Coy et al, 2002; Hooks et al, 2002). Zimmerman ( 1997) menyatakan bahwa fungsi Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan dalam organisasi adalah: (a) memfasilitasi pembuatan keputusan (manajemen keputusan), dan (b) mengontrol perilaku. 2.1.3. Kinerja SKPD Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang akan atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas yang terukur (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1). Kinerja mengacu pada suatu hasil yang dicapai atas kerja atau kegiatan yang telah dilakukan. Dalam konteks pemerintahan, kinerja akan dinilai sebagai suatu prestasi
manakala
dalam
melaksanakan
suatu
kegiatan
dilakukan
dengan
mendasarkan pada peraturan yang berlaku, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika (Yusriati, 2008). Dengan demikian, ukuran kinerja dalam anggaran memberikan dorongan kepada para pelaksana anggaran untuk dapat mencapai hasil yang maksimal sesuai ukuran kinerja yang ditetapkan. Kegagalan dalam pencapaian kinerja menjadi satu ukuran untuk melakukan perbaikan pada masa yang akan datang. Sementara
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan atas kinerja membutuhkan suatu penghargaan untuk dapat meningkatkan produktivitas serta untuk mendapatkan dukungan publik terhadap pemerintah. Definisi yang dirumuskan oleh beberapa peneliti mengenai pengukuran kinerja cukup beragam, namun tetap bermuara pada satu kesepakatan bahwa dengan mengukur kinerja maka proses pertanggungjawaban pengelola atas segala kegiatannya kepada stakeholders dapat lebih obyektif. Hatry (1999) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai pengukuran hasil dan efisiensi jasa atau program berdasarkan basis regular (tetap, teratur). Dalam konteks pengukuran kinerja untuk instansi pemerintah, Whittaker (1995) mendefinisikan sebagai suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan (program) sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Sejalan dengan itu, Smith (1996) menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja dapat membantu pengelola dalam memonitor implementasi strategi organisasi dengan cara membandingkan antara hasil (output) aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Dengan kata lain, pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Flynn (1997) manfaat pengukuran dan manajemen kinerja terutama adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan untuk menyediakan jasa publik secara lebih baik. Pengertian akuntabilitas lebih luas dari proses untuk menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bagaimana penggunaan dana publik. Konsep akuntabilitas mencakup juga proses untuk menunjukkan apakah dana publik telah digunakan secara efisien dan efektif. Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hakhak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya. Wayne C. Parker (1996) menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan, yaitu: (1) Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan, (2) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal,
(3)
Pengukuran
kinerja
meningkatkan
akuntabilitas
publik,
(4) Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan, dan (5) Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif. Fokus pengukuran kinerja pada awalnya adalah pada pengukuran tingkat efisiensi. Hal tersebut berhubungan erat dengan obyek pembahasan pada awalnya yaitu pengukuran kinerja kegiatan usaha swasta. Ketika kesadaran para pegambil kebijakan muncul bahwa kegiatan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya juga dapat diukur efisiensi dan efektivitasnya, maka pembahasan yang intensif mengenai pengukuran kinerja pemerintah dimulai. Meskipun demikian,
Universitas Sumatera Utara
masalah muncul ketika disadari bahwa untuk pelayanan publik banyak sekali hal-hal yang bersifat kualitatif. Mengukur kinerja kegiatan suatu organisasi dapat mencerminkan baik tidaknya pengelolaan organisasi yang bersangkutan. Pengelola suatu organisasi perlu mengetahui apakah kegiatan pelayanan yang mereka berikan sudah memenuhi prinsip-prinsip
ekonomis,
efisien
dan
efektif.
Hal
ini
merupakan
wujud
pertanggungjawaban pengelola kepada para stakeholders. Pengelola bertanggung jawab tidak hanya sebatas pelayanan fisik, melainkan lebih dari itu, yaitu pada pengelolaan usaha yang baik. Selanjutnya, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa kinerja mencerminkan ekonomis, efisiensi dan efektifnya suatu pelayanan publik. Pengertian ekonomis adalah perbandingan input dengan output value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomis terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output). Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya. Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna). Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai. Kegiatan
Universitas Sumatera Utara
operasional dapat dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan.
2.2.
Tinjauan Peneliti Terdahulu Dalam melakukan proses pengelolaan keuangan daerah, masing-masing
SKPD sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 merupakan pengguna anggaran dan melakukan tugas antara lain dari proses perencanaan anggaran, penyusunan anggaran, pelaksanaan dan penatausahaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, serta pertanggungjawaban. Peran dan fungsi SKPD menjadi sangat penting karena sebagai pengguna anggaran tiap SKPD melakukan hampir seluruh siklus pengelolaan keuangan daerah selain pengawasan dan pemeriksaan. Terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang menetapkan bahwa APBD harus disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja membuat SKPD sebagai unit pengguna anggaran dituntut untuk dapat mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang benar-benar baik, artinya sesuai dengan kebutuhan, ekonomis, efisien, dan efektif. Penelitian tentang pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja SKPD masih sangat sedikit dilakukan. Mahfatik (1997) melakukan penelitian dengan judul “Pengukuran Kinerja Pemda, Studi Kasus pada Kabupaten Sleman”, dengan variabel independen ‘Pengeluaran Pemerintah’ dan variabel dependen ‘Kinerja SKPD’ menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah pada setiap kategori infrastruktur cenderung lebih besar dari kebutuhannya dan kinerja yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
oleh pengeluaran Pemerintah Kabupaten Sleman untuk infrastruktur masih memberikan kelemahan dan ancaman pada tugas pokok dan fungsi unit kerja yang menangani. Priyono (2003) telah melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Model Pengukuran Kinerja SKPD Kabupaten Purworejo”, menyimpulkan model pengukuran kinerja mudah dilaksanakan, namun memerlukan SDM yang memadai dan harus didukung dengan dana yang memadai. Tuasikal (2007) melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pemahaman Sistem Akuntansi dan Pengelolaan Keuangan Daerah terhadap Kinerja SKPD. (Studi pada Kab. Maluku Tengah di Provinsi Maluku)”, dengan variabel independen ‘Pemahaman Sistem Akuntansi keuangan daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah’ dan variabel dependen ‘Kinerja SKPD’ menyimpulkan secara simultan pemahaman mengenai sistem akuntansi dan pengelolaan keuangan berpengaruh terhadap kinerja satuan kerja perangkat daerah. Yusriati (2008), meneliti “Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja terhadap Kinerja SKPD di Pemkab. Mandailing Natal”, dengan variabel independen ‘Anggaran Berbasis Kinerja’ dan variabel dependen ‘Kinerja SKPD’ menyimpulkan ada pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja SKPD, disisi lain penerapan anggaran berbasis kinerja di SKPD yang ada di Pemkab. Mandailing Natal masih relatif rendah. Julianto (2009), meneliti “Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja terhadap Kinerja SKPD di Pemko Tebing Tinggi”, dengan variabel independen
Universitas Sumatera Utara
‘Anggaran Berbasis Kinerja’ dan variabel dependen ‘Kinerja SKPD’ menyimpulkan ada pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja SKPD di Pemko Tebing Tinggi. Arif Yulianto dan Asrori (2009), meneliti “Model Pengembangan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah Berbasis Partisipasi Pengguna untuk Meningkatkan Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah pada Kabupaten Demak”, dengan variabel independen “Sistem Informasi Akutansi Pemerintahan Daerah” dan variabel dependen “Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah” menyimpulkan bahwa Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah meningkatkan Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah. Masih sedikitnya penelitian yang dilakukan tentang pengaruh anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja SKPD memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan satu variabel independen baru berupa ‘Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD)’. Tinjauan atas penelitian terdahulu berupa nama peneliti, tahun penelitian, variabel yang digunakan serta hasil penelitiannya dapat dilihat seperti pada Tabel 2.1 berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Hasil Penelitian Sebelumnya No.
Peneliti (Tahun)
Judul
Variabel
Hasil Penelitian
1.
Mahfatik (1997)
Pengukuran Kinerja Pemda, Studi Kasus pada Kabupaten Sleman.
Pengeluaran Pemerintah dan Kinerja SKPD
Pengeluaran pemerintah pada setiap kategori infrastruktur cenderung lebih besar dari kebutuhannya dan kinerja yang dihasilkan oleh pengeluaran Pemerintah Kabupaten Sleman untuk infrastruktur masih memberikan kelemahan dan ancaman pada tugas pokok dan fungsi unit kerja yang menangani.
2.
Priyono (2003)
Implementasi Model Pengukuran Kinerja SKPD Kabupaten Purworejo.
Kinerja SKPD
Mudah dilaksanakan, namun memerlukan SDM yang memadai dah harus didukung dengan dana yang memadai.
3.
Tuasikal (2007)
Pengaruh Pemahaman Sistem Akuntansi dan Pengelolaan Keuangan Daerah terhadap Kinerja SKPD (Studi pada Kab. Maluku Tengah di Provinsi Maluku).
Pemahaman Sistem Akuntansi keuangan daerah, Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kinerja SKPD
Secara simultan pemahaman mengenai sistem akuntansi dan pengelolaan keuangan daerah berpengaruh terhadap kinerja satuan kerja perangkat daerah.
4.
Yusriati (2008)
Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Kinerja SKPD di Pemkab. Mandailing Natal.
Anggaran Berbasis Kinerja dan Kinerja SKPD
Ada pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja SKPD, disisi lain penerapan anggaran berbasis kinerja di SKPD yang ada di Pemkab, Mandailing Natal masih relatif rendah.
5.
Julianto (2009)
Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja terhadap Kinerja SKPD di Pemko Tebing Tinggi.
Anggaran Berbasis Kinerja dan Kinerja SKPD
Ada pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja terhadap kinerja SKPD di Pemko Tebing Tinggi.
6.
Arif Yulianto dan Asrori (2009)
Model Pengembangan Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah Berbasis Partisipasi Pengguna untuk Meningkatkan Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah pada Kabupaten Demak.
Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah dan Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah
Sistem Akuntansi Pemerintahan Daerah meningkatkan Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah.
Universitas Sumatera Utara