BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Advokasi
2.1.1.
Sebuah Definisi
Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata.
Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.
Universitas Sumatera Utara
Istilah advokasi merujuk kepada dua pengertian, yaitu, pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang advokat, dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud. Pengertian pertama berkaitan dengan pekerjaan seorang advokat dalam membela seorang kliennya dalam proses peradilan untuk mendapatkan keadilan. Pengertian advokasi yang pertama ini lebih bersifat khusus sedangkan pengertian kedua lebih bersifat umum karena berhubungan dengan pembelaan secara umum, memperjuangkan tujuan atau maksud tertentu.
Dalam konteks advokasi untuk memengaruhi kebijakan publik, pengertian advokasi yang kedua mungkin yang lebih tepat karena obyek yang di advokasi adalah sebuah kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau kepentingan anggota masyarakat.
Berbicara advokasi, sebenarnya tidak ada definisi yang baku. Pengertian advokasi selalu berubah-ubah sepanjang waktu tergantung pada keadaan, kekuasaan, dan politik pada suatu kawasan tertentu. Advokasi sendiri dari segi bahasa adalah pembelaan. Setidaknya ada beberapa pengertian dan penjelasan terkait dengan definisi advokasi, yaitu:
1. Usaha-usaha terorganisir untuk membawa perubahan-perubahan secara sistematis dalam menyikapi suatu kebijakan, regulasi, atau pelaksanaannya (Meuthia Ganier). 8 2. Advokasi adalah membangun organisasi-organisasi demokratis yang kuat untuk membuat para penguasa bertanggung jawab menyangkut peningkatan keterampilan serta pengertian rakyat tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja. 9
8
Beliau merupakan Direktur Lembaga Dakwah dan Pengabdian Masyarakat Yayasan KODAMA Yogyakarta, Direktur Jogja Corruption Watch (JCW), dan Sekretaris LAZIS PWNU DIY. 9 Artikel ini merupakah hasil olah dari Power Point yang disampaikan oleh pemateri (Yusuf Effendi) pada sesi materi Advokasi dan Manajemen Aksi dalam PKD PMII Komisariat Gadjah Mada di PP Sunan Pandan Aran, 18-20 April 2008.
Universitas Sumatera Utara
3. Upaya terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata (Institut Advokasi Washington DC). 4. Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi). 10 5. Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). 11 6. Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. 12 7. Menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. 13
10 11 12 13
http://bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B16&sub=B1601&prod=B160101&t=3&ty=2 http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan.
2.1.2 Advokasi: Alasan, Tujuan, dan Sasaran 14
Bagi sebagian orang yang telah berkecimpung dalam dunia advokasi, tentu mereka tidak akan menanyakan kembali mengapa mereka melakukan hal itu. Namun, bagi sebagian lainnya yang belum begitu memahami, atau bahkan belum pernah mengenal, seluk-beluk advokasi, jawaban atas pertanyaan “Mengapa beradvokasi?” menjadi cukup relevan dan urgen untuk dijawab. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang harus, dan diharuskan, untuk melakukan kerja-kerja advokasi. Secara umum alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
1. Kita selalu dihadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan 2. Perusakan dan kekejaman kebijakan selalu menghiasi kehidupan kita 3. Keserakahan, kebodohan, dan kemunafikan semakin tumbuh subur pada lingkungan kita 4. Yang kaya semakin kaya dan yang melarat semakin sekarat
Dari beberapa poin di atas ini kemudian melahirkan kesadaran untuk melakukan perubahan, perlawanan, dan pembelaan atas apa yang dirasakan olehnya. Salah satu bentuk perlawanan dan pembelaan yang “elegan” adalah advokasi.
14
Artikel ini disampaikan oleh pemateri (Elbiando Lumban Gaol) pada sesi diskusi tematis gemaprodem dalam materi pengantar advokasi di Sekretariat gemaprodem ,Jamin ginting gg ganefo Padang Bulan-Medan 14 agustus 2006.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan dari kerja-kerja advokasi adalah untuk mendorong terwujudnya perubahan atas sebuah kondisi yang tidak atau belum ideal sesuai dengan yang diharapkan. Secara lebih spesifik, dalam praksisnya kerja advokasi banyak diarahkan pada sasaran tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa. Mengapa kebijakan publik? Kebijakan publik merupakan beberapa regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta diawasi agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya. Hal ini dikarenakan pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara luas, sementara kekuasaannya cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan peranan dalam proses kebijakan. Siapa Pelaku Advokasi? 15
Advokasi dilakukan oleh banyak orang, kelompok, atau organisasi yang dapat diklasfikan sebagai berikut:
1. Mahasiswa (individu) atau organisasi/komunitas kemahasiswaan (GEMAPRODEM , HMI, GMKI , FORMADAS, SMI , FMN, dan lain-lain). 2. Organisasi masyarakat dan organisasi politik (SRMI , FNPBI ,STN , JAKER , LMND PRD , SPI dan lain sebagainya) 3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau disebut juga organisasi non-pemerintah 4. Komunitas masyarakat petani, nelayan, buruh , KMK dan lain-lain 5. Organisasi-organisasi masyarakat atau kelompok yang mewakili interest para anggotanya, termasuk organisasi akar rumput (Serikat Tolong Menolong atau perwiritan) 15
ibid
Universitas Sumatera Utara
6. Organisasi masyarakat keagamaan (NU, Muhammadiyah, MUI, PHDI, PWI, PGI, Walubi, dan lain-lain) 7. Asosiasi-asosiasi bisnis 8. Media 9. Komunitas-komunitas basis (termasuk klan dan asosiasi RT, Dukuh, Lurah, dan lainlain). Contoh: FBR, Pandu, Apdesi, dan Polosoro 10. Persatuan buruh dan kelompok-kelompok lain yang peduli akan perubahan menuju kebaikan 2.1.3 Kerja-kerja Advokasi: Tantangan dan Strategi 16
Advokasi selamanya menyangkut perubahan yang mengubah beberapa kebijakan, regulasi, dan cara badan-badan perwakilan melakukan kebijakan. Dalam melakukan perubahan kebijakan pun tidak semudah yang kita bayangkan; ada beberapa lapisan yang harus kita lewati untuk melakukan perubahan tersebut.
Lapisan pertama mencakup permintaan, tuntutan, atau desakan perubahan dalam praktik kelembagaan dan program-programnya. Contoh, sekelompok anak jalanan dan “gepeng” menolak Raperda yang telah dirancang kepada anggota dewan dan pejabat pemerintahan. Lapisan kedua, mengembangkan kemampuan individu para warga, ormas, dan LSM. Dengan penolakan dan penentangan adanya Raperda, anggota komunitas belajar bagaimana mengkomunikasikan pesan mereka pada segmentasi yang lebih luas untuk memperkuat basis dukungan kelembagaan mereka. Lapisan ketiga, menata kembali masyarakat. Kita mengubah pola pikir dan memberdayakan masyarakat marjinal (gepeng dan anjal) untuk berinisiatif 16
ibid
Universitas Sumatera Utara
melakukan perjuangan hak-haknya secara mandiri. Advokasi dikatakan berhasil apabila kita mampu membuat komunitas kita lebih berdaya dan mampu meneriakkan aspirasinya sendiri.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus kita lakukan untuk memetakan dan mengawal jalannya sebuah kebijakan sebelum disahkan menjadi hukum formal, yaitu:
1. Mengerti dan memahami isi dari kebijakan beserta konteksnya, yaitu dengan memeriksa kebijakan apa saja tujuan dari lahirnya kebijakan tersebut 2. Pelajari beberapa konsekuensi dari kebijakan tersebut. Siapa saja yang akan mendapat manfaat dari kebijakan tersebut 3. Siapa yang akan dipengaruhi baik itu sifatnya merugikan ataupun menguntungkan 4. Siapa aktor-aktor utama, siapa yang mendorong dan apa kepentingan serta posisi mereka 5. Tentukan jaringan formal maupun informal melalui mana kebijakan sedang diproses. Jaringan formal bisa termasuk institusi-institusi seperti komite legislatif dan forum public hearing. Jaringan informal melalui komunikasi interpersonal dari individu-individu yang terlibat dalam proses pembentukan kebijakan 6. Mencari tahu apa motivasi para aktor utama dan juga jaringan yang ada dalam mendukung kebijakan yang telah dibuat
Perlu dipahami bahwa advokasi tidak terjadi seketika. Advokasi butuh perencanaan yang matang. Agar advokasi yang dilakukan dapat terwujud secara maksimal, maka kita perlu menggunakan beberapa strategi. Berikut beberapa strategi dalam melakukan advokasi:
1. Membangun jaringan di antara organisasi-organisasi akar rumput (grassroots), seperti federasi, perserikatan, dan organisasi pengayom lainnya
Universitas Sumatera Utara
2. Mempererat kokmunikasi dan kerjasama dengan para pejabat dan beberapa partai politik yang berorientasi reformasi pada pemerintahan 3. Melakukan lobi-lobi antar instansi, pejabat, organisasi kemahasiswaan, organisasi kemasyarakatan (NU dan Muhammadiyah) 4. Melakukan kampanye dan kerja-kerja media sebagai ajang publikasi 5. Melewati aksi-akasi peradilan (litigasi, class action, dan lain-lain) 6. Menerjunkan massa untuk melakukan demonstrasi 7. Advokasi kebijakan publik merupakan upaya pembelaan (pengawalan) secara terencana terhadap rencana sikap, rencana tindakan atau rencana keputusan, rencana program atau rencana peraturan yang dirancang pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan agar sesuai dengan kepentingan masyarakat. Nilai-nilai utama yang terdapat dalam masyarakat yang menjadi kepentingan seluruh anggota masyarakat haruslah diprioritaskan. 8. Keberhasilan advokasi kebijakan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik sangat tergantung kepada kualitas aktor atau para aktor yang memainkan peran dalam advokasi kebijakan tersebut yang meliputi kemampuan intelektual, kemampuan mengkomunikasikan ide dan pemikiran, kemampuan untuk menjalin relasi politik dan pengorganisasian kekuatan politik serta kemampuan membangun opini publik.
Kendala-kendala yang dihadapi17
Upaya masyarakat atau kelompok masyarakat untuk memainkan peran advokasi dalam mempengaruhi kebijakan publik akan menghadapi empat kendala pokok.
17
http://birokrasi.kompasiana.com/2011/01/29/optimalisasi-peran-advokasi-dalam-mempengaruhi-kebijakan-publik/
Universitas Sumatera Utara
Pertama, ada konflik nilai dalam pembuatan kebijakan publik. Konflik nilai bisa timbul antara etika dan estetika yang dapat dilihat dalam RUU anti pornografi dan pornoaksi. Para pendukung etika (tokoh agama dan pendidikan) menginginkan pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno, sebaiknya para pendukung nilai-nilai estetika (seniman, musikus, sastrawan, dan pekerja seni) menilai pembatasan yang ketat terhadap publikasi dan prilaku porno bertentangan dengan hak asasi manusia. Mereka menganggap bahwa pelarangan pornografi dapat membelenggu kebebasan berekspresi mereka untuk membuat karya-karya seni yang merupakan sumber mata pencaharian mereka.
Kedua, konflik antara etika dan ekonomi dapat tergambar dari kebijakan dibidang perjudian dan pelacuran (prostitusi). Larangan perjudian dan pelacuran dalam kacamata hukum pidana mungkin dianggap sebagai hal yang wajar, tapi perjudian dan pelacuran dengan beban pajak yang cukup tinggi dapat menjadi sumber bagi pendapatan daerah.
Ketiga, kondisi masyarakat sipil yang tidak terintegrasi secara baik. Sebenarnya kekuatan masyarakat sipil cukup memadai, baik dari kalangan komunitas perguruan tinggi, kelompok profesi dan lembaga swadaya masyarakat, namun karena terlalu banyak isu-isu yang diusung menyebabkan fokus gerakan masyarakat sipil menjadi terpecah-pecah. Bahkan adakalanya terjadi konflik yang tajam di antara kekuatan masyarakat sipil.
Akhirnya, kondisi demokrasi dalam kehidupan ketatatanegaraan kita yang belum mapan. Meskipun reformasi politik telah berlangsung sejak 1998, tapi peran partai dan aktor politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat masih jauh dari harapan masyarakat. Partai dan aktor politik terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sehingga memunculkan apatisme politik dan ketidakpercayaan terhadap partai politik.
Universitas Sumatera Utara
Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini 18 tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.
Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.
2.2 Petani
2.2.1 Petani : Entitas Inklusif
18
http://penghunilangit.blogspot.com/2005/08/strategi-advokasi.html
Universitas Sumatera Utara
Dalam wacana akademis, terutama postmodernisme yang berperspektif non kelas, petani di dunia ketiga (term ‘dunia ketiga’ selalu asosiatif miskin) sering dipandang semata sebagai subyek kultural bagian dari identitas gender, etnis, regional atau nasional. Serentak dengan itu mereka menjadi bagian dari angkatan kerja dalam rezim industri global.
Terminologi petani selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam pemahaman awam (Noer Fauzi, 2003), petani adalah orang atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah, mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil dari usahanya. Pemahaman itu, tentu saja, tidak cukup memadai bila diletakkan dalam konteks sejarah dan ekonomi politik petani. Karena itu diperlukan refleksi di atas empat hal berikut.
Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi, terutama cara produksi tertentu. Petani bukanlah satu golongan yang homogen. Petani hidup dalam suatu konteks ekonomi dan politik agraria tertentu. Konteks itu mengkondisikan nasib petani. Nasib petani dalam konteks feodalisme, berbeda dengan nasib petani dalam bangunan kapitalisme kolonial, dan berbeda pula dengan nasib petani dalam kapitalisme pascakolonial.
Kedua, dalam cara produksi, petani selalu berhubungan dengan golongan lain. Posisi petani selalu menggantungkan nasibnya terhadap golongan lain dalam masyarakat. Sulit sekali menemukan petani yang semata-mata bergantung pada kondisi internalnya saja, kecuali pada kantung-kantung masyarakat suku asli terisolasi. Dalam rezim feodalisme, nasib petani penggarap tanah-tanah, bergantung pada mekanisme bagi hasil dan pajak yang dibebankan para penguasa tanah (raja dan aparatnya). Dalam kapitalisme kolonial, nasib petani ditentukan oleh program-program agraria penguasa kolonial. Dalam rezim Orde Lama, nasib petani ditentukan
Universitas Sumatera Utara
oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang bertarung pada tingkat nasional. Sedangkan pada Orde Baru, nasib petani ditentukan oleh modal dan kekuasaan negara.
Ketiga, ekonomi dan politik bukanlah bangunan yang terpisah, meski keduanya bisa dibedakan. Ekonomi adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat dari esktasi surplus dalam produksi, distribusi dan konsumsi; sedangkan politik adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat-akibat dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Pertemuan ekonomi dan politik sangat jelas. Feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme adalah fenomena ekonomi sekaligus politik.
Keempat, petani selalu memberikan reaksi terhadap perlakuan (intervensi) yang datang dari konteks luarnya. Para penguasa memiliki bias untuk selalu memobilisasi petani agar bisa terintegrasi dengan program-program agraria yang dipraktekkannya. Sering dianggap, petani sulit berintegrasi dengan usaha-usaha inovatif. Tingkat penolakan ini bisa berwujud menjadi gerakan, bila bertemu dengan kondisi-kondisi pelengkapnya. Bentuk gerakan petani bukan hanya bersifat pemberontakan yang terbuka. Banyak gerakan/pergerakan petani yang tertutup atau tersembunyi dan diam-diam (sehingga sulit/tidak terdokumentasi) sebagaimana dikemukakan James Scott.
Maka, petani bukanlah entitas eksklusif. Petani adalah entitas inklusif yang senantiasa hidup dalam dan bahkan melalui aneka rupa dinamika interaksi dengan komunitas lain yang bukan petani 19.
Petani juga memiliki kultur khas sendiri yang dari waktu ke waktu mengalami proses adaptasi dan resistensi dengan dinamika kultur ekologi sosial dari entitas sosial di mana dan dari 19
Noer Fauzi, 2003.radikalisasi perlawanan petani era orba
Universitas Sumatera Utara
mana petani berinteraksi. Dengan demikian petani bekerja dengan cara produksi tertentu (kultur bertani/kultur agraris), hidup dalam lingkup konteks ekonomi politik tertentu (dinamika cara pandang) yang pada gilirannya perspektif maupun konteks sosial yang menyertai petani akan ikut mengubah petani sebagai sebuah entitas yang berdinamika secara khas.
2.2.2 Resistensi Petani 20
Perspektif Scottian (penganut James Scott), resistensi petani selalu di dalam semangat moral ekonomi subsisten yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Ciri utamanya, masyarakat bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Maka etika yang dihayati dan dikembangkan masyarakat petani subsisten yaitu safety first ethics dengan mekanisme risk avoidance strategy. Para petani akan berusaha menghindari risiko dan karena itu resistensi pun sedemikian rupa diupayakan untuk tidak mengorbankan moralitas subsisten. Berbeda cara melihat dari kelompok Marxian (penganut Karl Marx). 21 Mereka menilai petani tidak mungkin diajak melakukan resistensi yang lebih keras karena mereka takut kehilangan tanah. Petani bukanlah elemen revolusioner, sebab meski mereka sangat miskin, tetapi toh mereka masih memiliki akses dan kontrol atas tanah sepotong tempat tinggal mereka. Buruh lebih sanggup melakukan revolusi, terutama terhadap ekspansi kapitalisme yang angkuh dan serakah.
20 21
Pius Rengka / Pos Kupang.com / 22 September 2010 www.indomarxist.com
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan penganut kapitalisme 22 memandang resistensi petani sebagai salah satu ancaman dari elemen faktor produksi. Sebab, petani adalah mesin produksi dalam skema akumulasi modal, sekaligus konsumen yang membeli barang-barang kebutuhan dasar yang diproduksi mesin industri kapital. Tanah petani adalah faktor produksi yang bernilai tinggi. Ceritera tentang tanah sebagai faktor produksi itu dimulai dari kisah land rent. Adam Smith dan David Ricardo, dari madzab klasik, memiliki relevansi historik dengan semangat kapitalisme. Tanah selalu dikaitkan dengan tekanan jumlah penduduk. David Ricardo (1921) mengaitkan proses produksi dengan
jumlah penduduk yang kian bertambah. Permintaan terhadap
sumberdaya produksi meningkat sedemikian rupa, agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Untuk itu, semakin banyak tanah diperlukan. Tekanan jumlah itu terus berlangsung, hingga akhirnya kebutuhan hidup minimal itulah yang secara umum menentukan tingkat upah bagi semua tenaga kerja 23.
Sudah sejak Orde Baru, ekonomi politik di sini diorientasikan untuk mengabdi pada pemilik modal. Akibatnya jelas. Petani tertindas dan tersingkirkan. Rezim penguasa tetap tak selalu siuman, bukan karena mereka bodoh dalam pengertian tak bersekolah atau berpendidikan, melainkan karena mereka telah terkena candu kapitalisme yang akut sehingga mereka tampak bebal. Sehingga pikiran lain (the other alternative solution) tidak dimengerti karena mereka sudah membusuk dalam nikmatnya pragmatisme uang 24. 2.2.3 Semangat Pembaruan Agraria 25
22
ibid Teori ekonomi leninis 24 Sumber: http://222.124.164.132/article.php?sid=94912 25 http://frisztado.wordpress.com/2010/10/19/problema-agraria-dan-nasib-petani-pius-rengka-pos-kupang-com-22september%C2%A02010/ 23
Universitas Sumatera Utara
Semangat rezim pembaruan agraria jelas. Yaitu menolong dan merehabilitasi nasib petani tertindas. Tetapi dalam skema itu mereka harus bersentuhan dengan sejumlah regulasi yang diproduksi oleh mesin kekuasaan yang terdikte pragmatisme pasar modal kapitalis. Regulasi diproduksi oleh intelektual tukang atau dalam bahasa Gramsci cendekiawan organik yang berorientasi membela elit. Rezim pembaruan agraria juga berjumpa dengan sejumlah kepentingan ekonomi politik di level nasional dan internasional.
Tesis pokok pembaruan agraria (agraria reform), tanpa ada pembaruan agraria tidak akan ada demokrasi di desa. Dipercaya, demokrasi ekonomi akan memproduksi demokrasi politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian. Agraria reform lalu dengan sendirinya menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masyarakat. Berkembangnya diferensiasi memproduksi berbagai profesi dan pekerjaan, yang selanjutnya menciptakan asosiasi dan kelembagaan baru. Jika asosiasi dan kelembagaan baru ini lahir dan menguat, ia akan dengan sendirinya menciptakan aspirasi dan penyaluran politik. Politik adalah cerminan dari diferensiasi kelas-kelas sosial dan pengelompokan masyarakat pluralis. Pada akhirnya akan tumbuh tatanan masyarakat sipil sebagai ganti dari masyarakat politik.
Tesis penganut agraria reform disambut sorak gembira kalangan masyarakat sipil dunia (world civil society). Tetapi ada soal, karena pada saat bersamaan hampir semua negara miskin terbimbing visi IMF. Juga negara-negara periferal itu ikut menandatangani GATT (General Agreement on Trade and Tarift), WTO (World Trade Organization). Apalagi sejumlah blok ekonomi regional seperti APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation) maupun yang lebih kecil seperti BIMEAGA (Brunay, Indonesia, Malaysia and Philipines – East Asia Economic Growth
Universitas Sumatera Utara
Area) mau tak mau, suka tak suka bertemu dengan kepentingan petani karena kebijakan nasional akan terkait dengan masalah tanah. Maka tanah dan petani lagi-lagi jadi soal.
Bagaimana pandangan kelompok Posmo?
26
Sikap utama para Posmo adalah rasional
kritis tanpa ada keharusan mengabdi pada satu definisi tunggal, apalagi hegemoni struktural. Bagi mereka, tudingan sepihak atau dominasi tunggal adalah penghinaan terhadap kreativitas manusia. Bagi mereka, semua pikiran kaum positivistik harus digugat, dibongkar sekaligus diperbaiki demi kepentingan manusia. Sebab positivistik view adalah instrumen akademik oligarkhis yang dilegitimasi teori. Tidak boleh ada rezim teori yang mengklaim diri paling benar, paling waras. Untuk petani, mereka berkotbah begini. Petani adalah komunitas dunia yang berada di medan tugas tertentu yang bebas memperjuangkan kepentingannya sendiri secara kritis seturut perspektif dan konteksnya sendiri. Tetapi, meski kotbah kaum Posmo demikian itu, toh petani Indonesia tetap saja miskin, terpinggirkan, tertindas dan tetap saja menjadi obyek mobilisasi politik. Lalu bagaimana?
Faktanya, petani pragmatis, mata duitan. Tambang dalam tanahnya ditukar dengan problem masa depan (Dr. Oloan Sitorus 27). Pemerintah setempat kurang menguasai konteks, sementara arus pengaruh oligarki global kian deras. Para politisi lokal sibuk menangkap dangkal permukaan soal, sambil siap-siap diri re-election. Tanda tangan izin tambang bak pasar bebas mendapat untung. Sebagian dipakai untuk mobilisasi dukungan politik, lainnya melayani kepentingan daging sendiri. Penegak hukum, sama saja. Seolah-olah menegakkan hukum, tetapi apa hasil? Pejabat, rutin upacara tanam batu atau disebut peletakan batu pertama bukan tanda adanya development pertama, tetapi tanda envelopment pertama untuk selanjutnya diteruskan 26
sumber : home.unpar.ac.id/~hasan/doc Dr. Oloan Sitorus, SH M.S Rachmat Riyadi, SSi, M.Si adalah staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta. 27
Universitas Sumatera Utara
dengan rangkaian envelop. Sementara istri pejabat, wah lebih gawat lagi. Perilakunya seperti dialah pejabat itu. Andalannya rebonding dan seterika rambut. Namun, sekali lagi. Petani selalu kalah bahkan kalah berkali-kali. Saat kebijakan import beras, petani secara eksistensial dibunuh, karena impor beras itu terkait langsung dengan pelecehan terhadap tanah para petani yang memproduksi padi dan beras. Mungkin, sekali waktu entah kapan dan di mana, mereka perlu meneguk segelas anggur (wine) entah apa pula rupa warnanya (Rachmat Riyadi, SSi, M.Si).28
Dari pengalaman perjuangan kita beberapa waktu terakhir, di tengah kondisi bahwa secara umum gerakan tani belum berdaya sebagai satu kekuatan yang diperhitungkan dalam mendesakkan kepentingannya kepada Negara, tercapai kemajuan-kemajuan; terutama, pertama, dalam segi-segi meningkatnya kesadaran bagaimana kekuatan tani dapat mengambil peran yang lebih besar dalam persoalan ketatanegaraan. Artinya, gerakan tani bukan hanya menjadi gerakan ekonomis yang sekedar bereaksi atas berbagai kebijakan politik pertanian yang dianggap tidak menguntungkan, tapi juga bagaimana memastikan posisi Negara dapat sepenuhnya mengabdi pada kepentingan mayoritas rakyat tertindas, terutama kaum tani. Proses ini sering diistilahkan dengan perubahan dari gerakan sosial menuju gerakan politik. Salah satu contohnya adalah keterlibatan kaum tani dalam praktek politik praktis, seperti dalam Pemilu, Pilkada hingga Pilkades dan Pilkadus. Kedua, Adanya keinginan melakukan persatuan, dari tingkat terendah hingga nasional. Kendati proses konsolidasi tersebut belum mampu memberikan andil yang cukup untuk membesarkan dan meluaskan struktur organisasi secara merata di tiap territorial. 29
28
Ibid
29
Arsip PP STN 2011
Universitas Sumatera Utara
2.3 Jenis – Jenis Hak Atas Tanah30
Hukum Agraria Nasional membagi hak – hak atas tanah ke dalam dua bentuk:
a . Hak primer, hak yang bersumber langsung pada hak Bangsa Indonesia, dapat dimiliki seorang/badan hukum (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai).
b. Hak sekunder, hak yang tidak bersumber langsung dari Hak Bangsa Indonesia, sifat dan penikmatannya sementara (Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Menyewa atas Pertanian). Kemudian Pasal 16 UUPA hak atas tanah terbagi atas 731, yaitu:
2.3.1 Hak Milik
Hak milik adalah hak turun temurun (ada selama pemilik hidup dan jika meninggal dunia, dapat dialihkan kepada ahli waris), terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Ada 3 hal dasar lahirnya hak milik atas tanah, yaitu: 1) Menurut hukum adat; 2) Karena ketentuan UU; 3) Karena penetapan Pemerintah (pasal 22 UUPA). Hapus atau hilangnya hak milik atas tanah, adalah jika: 1) Menjadi tanah negara dapat terjadi karena: a. pencabutan hak, b. dilepaskan dengan sukarela, c. dicabut untuk kepentingan umum, d. tanah ditelantarkan, e. dialihkan kepada warga negara asing; (2) Tanahnya musnah.
2.3.2 Hak Guna Usaha (HGU)
30 31
Sumber : UU Pokok Agraria (UU PA) ibid
Universitas Sumatera Utara
Hak guna usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian, perusahaan perikanan, perusahaan peternakan dan perusahaan perkebunan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. HGU diatur lebih dan dijabarkan lanjut di pasal 28(1), (2), (3) UUPA. Pemegang HGU adalah orang perorangan warga negara Indonesia tunggal atau badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia (Pasal 30 UUPA). HGU dapat beralih menurut Pasal 28(3) UUPA, yang kemudian dipertegas oleh PP No. 40/1996, khususnya Pasal 16(2), karena:1. jual beli; 2. tukar menukar; 3. penyertaan dalam modal; 4. hibah; 5. pewarisan. Hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996 terjadi karena 7 sebab, yaitu: 1) Berakhirnya jangka waktu; 2) Tidak terpenuhi syarat pemegangnya; 3) Pencabutan hak; 4) Penyerahan suka rela; 5) Ditelantarkan; 6) Kemusnahan tanahnya; 7) Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak yang memenuhi syarat.
2.3.3 Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35 (1,2) UUPA). Subyek hukum yang dapat mempunyai HGB adalah: 1) Warga Negara Indonesia dan; 2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36(1) UUPA). Tanah HGB mempunyai sifat dan ciri-ciri yaitu wajib didaftarkan, dapat beralih, dapat dialihkan, jangka waktunya terbatas, dapat dilepaskan oleh pemilik HGB sehingga menjadi tanah negara dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam Keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang (Pasal 41(1) UUPA). Sifat dan ciri-ciri Tanah Hak Pakai yaitu wajib
didaftarkan,
dapat
dialihkan,
dapat
diberikan
dengan
cuma-cuma
dengan
pembayaran/pemberian jasa berupa apapun, dapat dilepaskan dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.
2.3.5 Hak Sewa
Hak sewa adalah merupakan hak pakai yang memiliki ciri-ciri khusus (Penjelasan UUPA Pasal 10(1)). Sifat dan ciri-ciri Tanah dengan Hak Sewa yaitu tidak perlu didaftarkan, cukup dengan perjanjian yang dituangkan di atas akta bawah tangan atau akta otentik, bersifat pribadi (tidak dapat dialihkan tanpa izin pemiliknya, dapat diperjanjikan, tidak terputus bila Hak Milik dialihkan, dapat dilepaskan dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.
2.3.6 Hak Membuka Hutan
Membuka hutan dapat diartikan sama dengan mengelola hutan dalam arti luas, karena maksud dari pengelolaan hutan menurut Pasal 21 Huruf (b) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan berkenaan dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Hutan yang tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
dimanfaatkan secara simultan oleh masyarakat adalah hutan kawasan, seperti hutan lindung, suaka, dan hutan konservasi.
2.3.7 Hak Memungut Hasil Hutan
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67 UU Kehutanan) . Selain itu, masyarakat juga berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 68(2) huruf (a) UU Kehutanan).
2.3.8 Hak-hak lain
UUPA memberikan banyak varian tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: Hak Gadai (pasal 7 UU No. 56 Prp/1960) , Hak Bagi Hasil atas Tanah (PP No. 8/1953), Hak Sewa Tanah Pertanian (berdasarkan musyawarah mufakat antara pengelola dan pemilik tanah), Hak Menumpang (Hukum Adat dan Pasal 53 UUPA) dan Hak Pengelolaan (Penjelasan Umum bagian A II (2) UUPA dan PP No. 40/1996.
2.4 Masalah Kepemilikan Kolektif Hak Atas Tanah
Hak milik atas tanah secara kolektif tidak diatur dalam undang-undang karena pasal 10 UUPA menjelaskan, subyek hukum yang memiliki hak atas tanah adalah individu dan badan hukum. Tanah ulayat adat (suku) hingga kini masih mendekati apa yang disebut dengan kepemilikan hak atas tanah kolektif, namun sepanjang pengambilan hasil serta pengelolaannya,
Universitas Sumatera Utara
hal terlihat khusus tanah adat (suku) jumlahnya tidak pernah berkurang. Karena hal ini tidak dapat dimungkinkan adanya hak individu atas tanah di wilayah tanah adat (suku).
Hak Ulayat
Hak Ulayat merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan Pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat masing-masing.
Pemerintah mengeluarkan PMNA/KABPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat .
Didalamnya terkandung kriteria penentu keberadaan Hak Ulayat yang terdiri dari 3 unsur yaitu:
a. adanya masyarakat hukum adat tertentu.
b. adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat itu.
c. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu. Pengakuan terhadap
Universitas Sumatera Utara
hak tersebut memberikan penghormatan kepada hak orang lain dan upaya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat 32. 2.5 Pengakuan adat oleh Hukum Formal 33
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1.
Hukum Adat mengenai tata Negara.
2.
Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).
3.
Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).
Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di
32 33
ibid Pengantar Hukum Adat Indonesia Edisi II, TARSITO, Bandung.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali. Wilayah hukum adat di Indonesia 34
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen). Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 22 lingkungan adat berikut:
1.Aceh; 2. Gayo dan Batak; 3.Nias dan sekitarnya; 4. Minangkabau; 5.Mentawai; 6.Sumatra Selatan; 7.EngganoMelayu; 8.Bangka dan Belitung; 9.Kalimantan (Dayak); 10.Sangihe-Talaud; 11.Gorontalo; 12.Toraja; 13.Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar); 14.Maluku Utara; 15.Maluku Ambon; 16.Maluku Tenggaral; 17.Papua; 18.Nusa Tenggara dan Timor; 19.Bali dan Lombok; 20.Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran); 21.Jawa Mataraman; 22.Jawa Barat (Sunda).
Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
34
Sumber : Hukum adat – Wikipedia bahasa indonesia , ensiklopedia bebas.
Universitas Sumatera Utara
1.
Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
2.
Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
3.
Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupakan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. 35
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 36. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
35 36
Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press. Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi 37:
1.
Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
2.
Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
3.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat 38. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya 39.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya 40. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah 41.
2.6 Pekerjaan Sosial
37
Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung. Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993 39 Moh. Koesnoe, 1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press. 40 Tim Dosen UI, Buku A Pengantar hukum Indonesia 41 Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993 38
Universitas Sumatera Utara
2.6.1. Pengertian 42
Social work is the professional activity of helping individuals , groups , or communities to enchance or restore their capacity for social functioning and to create societal conditions favorable to their goals.43
Atau dalam pengertian lain disebutkan “…an art , a science , a profession that helps people to solve personal , group (especially family) , and community problems and to attain satisfying personal , group, and community relationships through social work practice…”. 44
Pengertian tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa pekerjaan sosial adalah aktivitas professional , yang ditujukan untuk menolong orang , baik sebagai individu , kelompok , organisasi maupun masyarakat , dalam kerangka meningkatkan atau memperbaiki kemampuan berfungsi sosial mereka dan menciptakan kondisi / lingkungan sosial yang memungkinkan orang tersebut mencapai tujuannya.
2.6.2. Karakteristik
1. Konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial adalah menolong orang agar mereka mampu menolong dirinya sendiri (To help people to help themselves).
2. Pekerjaan sosial menggunakan pendekatan dualistik , yakni bahwa intervensinya diarahkan kepada orang dan juga lingkungannya. Inilah yang membedakan antara pekerjaan sosial dengan sosiolog , psikolog , konselor dan psikiater. 45
42
Lihat lebih lengkap di Dasar-dasar Pekerjaan Sosial ,hal 43-45. Zastrow ; 1999 hal 5. 44 Skidmore and Thackeray , 1988 hal 8 43
Universitas Sumatera Utara
3. Praktek pekerjaan sosial mengarah pada tiga tingkatan intervensi , yakni :
a. Mikro , yaitu diarahkan untuk menangani permasalahan yang dialami individu dan keluarga.
b. Meso , diarahkan untuk kelompok.
c. Makro , diarahkan untuk organisasi dan masyarakat untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan.
4. Ilmu pekerjaan sosial merupakan eclectic sciences , ilmu yang dalam proses pembentukannya mengadaptasi bagian-bagian dan konsep dari disiplin ilmu lainnya.
Untuk lebih memperdalam pemahaman soal pekerjaan sosial memang tidak cukup hanya pengertian dan karakteristik pekerjaan sosial , masih perlu bicara soal tujuan dan fungsi pekerjaan sosial. Berikut akan langsung dibahas secara garis besar mengenai advokasi dalam perspektif pekerjaan sosial.
2.6.3. Advokasi Petani dalam Pekerjaan Sosial
Seperti telah dikemukakan diatas , advokasi secara pengertian berada dalam dua faksi besar. Advokasi ‘pembelaan’ seperti yang dikerjakan oleh penegak hukum dan advokasi yang tidak hanya membela tapi juga memajukan , mengemukakan , menciptakan dan merubah 46 Sementara itu , bila merujuk pada pengalaman masa lalu (baca: orde baru) , kegiatan advokasi
45 46
Untuk lebih jelasnya baca Dasar-dasar Pekerjaan Sosial ,hal 35-41. Merubah Kebijakan Publik, Roem Toamtipasang, Mansour Fakih, Toto Raharjo, Pustaka Pelajar, 2001.
Universitas Sumatera Utara
cenderung dikonotasikan sebagai upaya ekstrem dari kalangan tertentu khususnya aktivis Ornop maupun Ormas dalam melakukan pendampingan dan pembelaan terhadap kasus – kasus rakyat 47.
Sejalan perkembangan waktu , pandangan dan pengertian tentang advokasi mulai mengalami pergeseran paradigma. Salah satunya adalah pandangan yang melihat advokasi untuk keadilan sosial 48. Dalam paradigma ini , suatu kegiatan advokasi tidak lagi menempatkan organisasi atau kelompok sebagai ‘pahlawan’ atau ‘bintang’ melaikan suatu proses yang menghubungkan antara berbagai pihak dalam masyarakat melalui terbentuknya berbagai aliansi strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan sosial.
Dalam konteks penanganan masalah atau kasus kegiatan advokasi biasanya dapat dibedakan dalam 2 hal. Pertama , advokasi yang bersifat litigasi dan kedua , advokasi yang bersifat nonlitigasi. Advokasi bersifat litigasi sepenuhnya diartikan sebagai upaya penanganan kasus dengan menempuh jalur hukum dan pengadilan. Sementara advokasi secara nonlitigasi erkaitan erat dengan upaya penanganan kasus melalui jalur lobby dan aksi yang bersifat membangun opini publik , baik yang dilakukan dengan cara aksi demonstrasi , delegasi , unjuk rasa , hingga kampanye baik secara lisan maupun tulisan. Idealnya kedua pendekatan ini dapat saling kuat menguatkan dalam konteks penanganan kasus. Namun , faktanya adalah bahwa kedua kegiatan ini tak selalu seiring sejalan. Karena tak jarang penanganana kasus melalui jalur litigasi kurang mampu mengangkat akar permasalahan yang ada dan terhenti sampai persoalan pidana semata , sementara perdata tidak terangkat ke permukaan.
47 48
idem Buku Pintar Pekerja Sosial jilid 2 , Albert R. Roberts dan Gilbert.cetakan 1.2009.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa tahapan penting yang perlu diketahui berkaitan dengan proses advokasi yang akan dilakukan 49. Antara lain :
1. Memahami sistem kebijakan publik. 2. Membentuk lingkar inti. 3. Memilih issu strategis. 4. Merancang sasaran dan strategi. 5. Mengolah data dan informasi. 6. Menggalang sekutu dan pendukung. 7. Mengajukan rancangan tanding. 8. Mempengaruhi pembuat kebijakan. 9. Membentuk pendapat umum. 10. Membangun basis gerakan. 11. Memantau dan menilai program. 12. Evaluasi.
Dalam konteks advokasi kasus tanah yang dialami oleh petani , strategi advokasi yang dapat dilakukan adalah :
a. Membangun konsolidasi dan memperluas aksi perlawanan. b. Membangun aliansi dengan sektor lainnya untuk mendapatkan dukungan moril maupun materil. c. Membentuk pendapat umum dalam rangka pembangunan kesadaran dan empati publik tentang persoalan yang dihadapi oleh petani. 49
Makalah DPW SPI SUMUT dengan judul Sebuah Pendekatan dalam Penanganan Kasus Tanah. Dipresentasikan dalam Sekolah HAM di Aula Fisip USU tertanggal 17-18 Mater 2011.
Universitas Sumatera Utara
d. Melakukan kampanye dan opini publik di berbagai level. e. Melakukan upaya litigasi dan nonlitigasi. f. Membangun opini publik tentang pelanggaran HAM oleh staf aparatus dan pihka perkebunan terhadap petani.
Keseluruhan prosedur
diatas hanya mungkin dapat dilakukan jika sudah terbangun
komitmen dan kesadaran kritis pada komunitas yang ada serta rasa saling percaya dan solidaritas antara sesama petani maupun stakeholder yang tergabung untuk secara bersama sama memperjuangkan nasib petani.
2.7. Kerangka Pemikiran
Perkembangan jaman yang tidak terbendung memaksa perluasan lingkup advokasi dari yang selama ini terlokalisir dalam kajian hukum hari ini mulai merambah hingga ranah pekerjaan sosial. Advokasi yang dahulu terkekang dalam pengertian pembelaan hukum , kini sampai pada upaya perebutan keadilan sosial. Petani yang dalam kasus ini didudukkan sebagai objek (pihak yang seperti biasanya tidak memiliki akses kepada sistem sumber) bersama SMAPUR (Kelompok mahasiswa dan pemuda yang konsen pada advokasi petani) memperjuangkan hakhak normatifnya atas penguasaan lahan baik melalui skema advokasi secara litigasi (peradilan) maupun nonlitigasi ternyata mampu mengangkat permasalahan sengketa lahan yang telah berumur puluhan tahun. Satu hal yang selama ini terlihat begitu sulit dilakukan oleh advokatoradvokator berlisensi resmi.
Universitas Sumatera Utara
Menarik untuk diteliti apa sebenarnya yang membedakan pola advokasi oleh SMAPUR ini dengan pola advokasi lainnya yang kemudian penulis rasa akan sangat penting jika pekerja – pekerja sosial nantinya mampu mempelajarinya untuk kemudian menjadi bahan referensi tambahan dalam metode pekerjaan sosial terkhusus advokasi dan community organization.
Gambar 2.1
Bagan Kerangka Pemikiran SENGKETA LAHAN
SMAPUR
Universitas Sumatera Utara
ADVOKASI PETANI 1. INVESTIGASI KASUS. 2. PENGKONSOLIDASIAN KEKUATAN. 3. PEMETAAN KAWAN DAN LAWAN. 4. PERUMUSAN ISSU , SASARAN DAN STRATEGI.
LITIGASI
NONLITIGASI
1. Mediasi dengan difasilitasi BPN. 2. Advokasi petani oleh SMAPUR.
2.8.
Definisi Konsep dan Definisi Operasional
2.8.1. Definisi Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting dan merupakan defenisi yang dipakai oleh para peneliti yang memnggambar abstrak suatu fenomena sosial ataupun fenomena alami (Singarimbun, 1989 : 17)
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui advokasi petani Persil IV Dusun Tungkusan , Deli Serdang , dalam upaya pembebasan lahan sengketa oleh SMAPUR sebagai bagian dari Pekerjaan Sosial. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini maka dirumuskan dan didefenisikan istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu persamaan persepsi dan tidak muncul salah pengertian pemakaian istilah yang dapat mengatur tujuan penelitian. Yang menjadi konsep penelitian ini adalah: 1.
Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi).
2.
Petani adalah orang atau keluarga yang memiliki dan/atau menggarap tanah, mengusahakan produksi barang pertanian dari tanahnya dan memperoleh hasil dari usahanya. Pemahaman itu, tentu saja, tidak cukup memadai bila diletakkan dalam konteks sejarah dan ekonomi politik petani. Karena itu diperlukan refleksi di atas empat hal berikut. Pertama, petani bekerja pada suatu cara berekonomi, terutama cara produksi tertentu.
Kedua, dalam cara produksi, petani selalu
berhubungan dengan golongan lain. Ketiga, ekonomi dan politik bukanlah bangunan yang terpisah, meski keduanya bisa dibedakan. Ekonomi adalah unsurunsur, proses-proses dan akibat dari esktasi surplus dalam produksi, distribusi dan konsumsi; sedangkan politik adalah unsur-unsur, proses-proses dan akibat-akibat dari penggunaan kekuasaan untuk pengaturan hidup manusia. Keempat, petani
Universitas Sumatera Utara
selalu memberikan reaksi terhadap perlakuan (intervensi) yang datang dari konteks luarnya. 3.
SMAPUR adalah suatu bentuk persatuan mahasiswa dan pemuda yang sengaja dibentuk untuk kepentingan advokasi petani persil IV dusun Tungkusan , Deli Serdang.
4.
Pekerjaan sosial adalah aktivitas professional , yang ditujukan untuk menolong orang , baik sebagai individu , kelompok , organisasi maupun masyarakat , dalam kerangka meningkatkan atau memperbaiki kemampuan berfungsi sosial mereka dan menciptakan kondisi / lingkungan sosial yang memungkinkan orang tersebut mencapai tujuannya.
2.8.2. Definisi Operasional Defenisi operasional adalah informasi ilmiah yang membantu peneliti dengan menggunakan suatu variabel atau dengan kata lain defenisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variabel (Singarimbun, 1989 : 46). Untuk memberikan kemudahan dalam memahami variabel dalam penelitian ini, maka diukur melalui indikator-indikator sebagai berikut: INDIKATOR ADVOKASI : 1. Siapa yang diadvokasi. 2. Berapa jumlah yang diadvokasi 3. Dimana advokasi dilakukan. 4. Bagaimana teknik advokasi yang dipakai. 5. Sejauh mana advokasi mampu mendorong perubahan yang diinginkan.
Universitas Sumatera Utara
INDIKATOR PETANI : 1. Kategori petani yang dapat diadvokasi. 2. Apa yang menjadi ketertarikan petani untuk diadvokasi. 3. Bagaimana sikap petani terhadap advokasi. INDIKATOR SMAPUR: 1. Apa itu SMAPUR. 2. Siapa yang terlibat dalam SMAPUR. 3. Bagaimana SMAPUR berkerja (mengadvokasi).
INDIKATOR PEKERJAAN SOSIAL : 1. Pelajaran pelajaran berharga dari pola advokasi SMAPUR yang dapat diadopsi oleh
pekerja sosial dalam studi advokasi pembebasan lahan sengketa
Universitas Sumatera Utara