BAB II PRAKTIK FEMALE GENITAL MUTILATION DAN UPAYA ELIMINASINYA MELALUI PROTOKOL MAPUTO
2.1.
Female Genital Mutilation sebagai Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan WHO (1997) mendeskripsikan Female Genital Mutilation (FGM) sebagai
sebuah prosedur yang melibatkan pemotongan sebagian maupun keseluruhan bagian dari alat kelamin perempuan atau segala bentuk pencederaan terhadap alat kelamin perempuan, dengan alasan budaya atau non-medis. Terdapat empat tipe FGM sesuai klasifikasi WHO (2003):
Tipe I FGM, yang dilakukan dengan memotong sebagian atau keseluruhan bagian dari klitoris pada alat kelamin perempuan. Prosedur tersebut dikenal juga dengan istilah clitoridectomy.
Tipe II FGM, ialah tipe pemotongan sebagian maupun keseluruhan bagian dari klitoris dan labia minora, bisa juga disertai dengan pemotongan labia majora.
Tipe III FGM, yang merupakan tipe FGM dimana alat kelamin perempuan akan ditutupi dan jahitan kulit luar sehingga hanya menyisakan jalur kencing dan pembuangan menstruasi.
Tipe IV FGM, merupakan klasifikasi praktik FGM selain ketiga tipe diatas seperti, namun tidak terbatas pada, penusukan (pricking), pembuatan
lubang
anting
21
(piercing),
pemotongan
(incising),
22
pengguntingan (scraping), dan pembakaran (cauterizing) pada bagian atau keseluruhan alat kelamin perempuan. Belum terdapat dokumen maupun benda sejarah yang menjelaskan asal mula maupun bagaimana praktik FGM ini dilakukan, namun beberapa data sejarah memperlihatkan eksistensi praktik FGM di zaman sejarah. Penulis geografi asal Yunani, Strabo, mendokumentasikan praktik FGM pada tahun 25 Sebelum Masehi (SM). Dalam catatan sejarahnya, Geografika, Strabo mengunjungi Mesir dalam misi georgrafis. Ketika mencapai daerah tersebut, Strabo melihat salah satu kebiasaan yang dilakukan ialah praktik sunat alat kelamin. Strabo mengamati bahwa praktik tersebut dilakukan secara rutin oleh masyarakat Mesir. Strabo menjelaskan bahwa kaum laki-laki akan disirkumsisi, sementara kaum perempuan akan dipotong (excise)5. Witstrand (1964) melacak beberapa referensi kuno mengenai FGM, dimulai dari dokumen sejarah yang dicatat oleh Agatharchides dari Cridus pada abad ke-2 sebelum Masehi. Pada dokumen tersebut, Agatharchides mencatat bahwa suku-suku yang hidup di tepi pantai barat dari Laut Merah memperlakukan kaum perempuannya sesuai dengan perlakuan kaum Mesir. Perlakuan yang dilakukan kepada kaum perempuan pada saat itu ialah “memotong seluruh bagian alat kelamin ketika mereka bayi dengan menggunakan pisau cukur” (dikutip dalam Mackie, 1996, hlm. 1003). Persebaran praktik FGM merupakan hal yang patut dibahas untuk melihat bagaimana praktik FGM terjadi di negara-negara Afrika. Persebaran praktik FGM
5
Strabo. Geografika. Bab 17, Bagian 2, Par. 5: One of the customs most zealously observed among the Aegyptians is this, that they rear every child that is born, and circumcise the males, and excise the females. Ditransliteralkan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris, diakses di http://penelope.uchicago.edu/Thayer/E/Roman/Texts/Strabo/17B*.html pada 14 Juni 2015, pukul 18:25 WITA
23
disinyalir bermula dari Mesir sesuai dengan catatan-catatan historis yang terdokumentasi. Bentuk ritual FGM yang dijalani merupakan segel penanda terhadap perempuan akan jatidiri mereka yang harus menjaga kesuciannya. Mackie (1996) menjelaskan bahwa persebaran praktik FGM di wilayah Tanduk Afrika hingga ke barat dimulai dari persebaran jalur perdagangan budak yang dimulai pada abad ke-7. Ritual tersebut dimulai di Mesir sebagai permulaan perdagangan budak. Rute yang ditempuh ialah menuju ke arah barat Benua Afrika. Mackie (1996) menjelaskan bahwa praktik FGM memiliki keterkaitan yang sangatlah kuat dengan perbudakan yang terjadi di benua Afrika pada zaman dahulu. Hal tersebut dikonfirmasi dengan catatan dari Joao dos Santos, dimana dos Santos menemukan bahwa sekelompok kaum perempuan Somalia, terutamanya kaum budak, memiliki sebuah kebiasaan untuk menjahit alat kelamin mereka. Kebiasaan tersebut dilakukan agar mereka tidak mampu melakukan hubungan seks dan akan membuat mereka lebih laku dijual sebagai budak. Selain itu, mereka melakukan jahit kelamin demi menjaga kesucian mereka sebagai seorang perempuan dan meningkatkan rasa percaya diri mereka sebagai seorang budak di depan pemiliknya. Dalam perdagangan budak, keperawanan tersebut merupakan nilai yang membuat harga budak menjadi semakin mahal. (dos Santos, 1962, dalam Mackie, 1996). William George Browne (1799) dalam bukunya Travels in Africa juga mencatat bahwa praktik sunat perempuan, terutamanya infibulasi, dilakukan untuk mencegah kehamilan diantara budakbudak perempuan kulit hitam (Browne, 1799, dalam Mackie, 1996). Para budak tidak diperkenankan untuk hamil karena mereka harus mempertanggungjawabkan diri mereka sebagai seorang budak yang wajib bekerja penuh.
24
Praktik FGM yang terjadi di Afrika selama ratusan tahun baru menjadi perhatian global setelah jurnalis Fran Hosken mendokumentasikan praktik-praktik tersebut dalam newsletter yang ia buat melalui Women’s International Network News. Laporan-laporan tersebut yang diberi judul The Hosken Report menjadi exposure yang besar mengenai eksistensi praktik FGM di benua Afrika. Dalam laporannya, Hosken (1981) menjelaskan bahwa praktik FGM menjadi sebuah ritual yang rutin dilakukan di suku-suku yang didominasi kaum laki-laki di wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah. Terma Female Genital Mutilation juga dicetuskan oleh Hosken sebagai pengganti terma Female Circumcision. Praktik FGM dilakukan di Benua Afrika merupakan praktik yang wajar dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan sebelum mereka menikah. Dengan melakukan praktik FGM, saraf-saraf yang terhubung dengan hasrat seksual perempuan akan dihilangkan, yang kemudian menekan hasrat seksual perempuan tersebut. (Hosken, 1993, dalam Reezaahan, 2003). WHO (2014) mencatat bahwa sekitar 125 juta perempuan telah menjalani praktik FGM, mayoritas dilakukan di benua Afrika dan daerah Timur Tengah6. Diperkirakan sekitar 30 juta perempuan di benua Afrika terancam menjalani praktik FGM dalam beberapa tahun mendatang. Mackie (2000) menjelaskan bahwa praktik FGM ini dilakukan pada berbagai fase kehidupan kaum perempuan di benua Afrika. Sebuah kelompok suku atau kelompok masyarakat mungkin akan melakukan praktik FGM pada masa bayi, sebelum pubertas, ketika pubertas, pada masa beranjak dewasa, ketika proses bertunangan, ketika kehamilan masuk bulan
6
Diakses di http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs241/en/
25
ketujuh, maupun setelah kelahiran dari anak pertama (Mackie, 2000, dalam ShellDuncan dan Hernlund, 2000). Lightfoot-Klein (1991) menjelaskan bahwa alasan perempuan Afrika melakukan praktik FGM sangatlah berdasarkan mitos-mitos yang mereka percayai secara turun temurun. Seringkali karena mitos tersebut dipegang sangat kuat, para perempuan tersebut tidak mempercayai fakta-fakta kesehatan maupun psikologis yang timbul paska pelaksanaan praktik FGM kepada mereka. Misalnya, terdapat anggapan bahwa klitoris perempuan merupakan bagian yang menjijikkan, membahayakan bayi yang akan lahir, ataupun membahayakan alat kelamin sang suami ketika mereka berhubungan badan. Lebih lanjut, praktik FGM sebagai rite of passage juga memberikan pemahaman bahwa praktik tersebut dilakukan sebagai bentuk akseptansi perempuan di masyarakat. Lightfoot-Klein (1991) juga menjelaskan bahwa praktik FGM yang dilakukan di masa modern seperti sekarang biasanya dijalankan oleh perempuan-perempuan yang sebelumnya juga telah melakukan praktik FGM. Di Somalia, praktik FGM disebut dengan istilah Gudniin. Sebagai salah satu wilayah penyebaran FGM, masyarakat di Somalia secara aktif menjalankan praktik tersebut. Somalia saat ini merupakan negara yang menduduki peringkat pertama dalam prevalensi praktik FGM di dunia. Pada tahun 2010, laporan UNICEF mencatat bahwa prevalensi praktik FGM mencapai level 98%. Bahkan, prevalensi praktik FGM pada golongan perempuan usia 35-39 tahun berada dalam level 99%. Lebih lanjut, UNICEF (2010) mengacu pada laporan MICS (2006) memperlihatkan bahwa hampir 80% perempuan Somalia melakukan praktik FGM Tipe III (disebut di Somalia sebagai ‘Gudniinka fircooniga ah’), sementara 15% lainnya melakukan
26
praktik FGM Tipe II. Data World Bank/UNFPA (2003) juga menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap praktik FGM dari beberapa kelompok masyarakat; baik berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi, maupun masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan, pinggiran, dan pedesaan. Di beberapa wilayah seperti Galbeed, Awdal, Bari, Nugal, prevalensi praktik FGM menunjukkan tingkat yang hampir setara terlepas dari apa tingkatan pendidikan yang sudah dienyam (World Bank/UNFPA, 2003). Secara umum, praktik FGM di Somalia dilakukan kepada perempuan yang berada dalam rentang usia 8 hingga 14 tahun. Praktik FGM tipe III menjadi praktik FGM yang paling sering dialami oleh perempuan di Somalia. Dengan intensitas praktik FGM tipe III yang sangat tinggi, seringkali banyak perempuan mengasosiasikan praktik FGM sebagai praktik infibulasi semata. Pemahaman tersebut biasanya mereka peroleh keluarga mereka (Kaphie, 2000, dalam World Bank/UNFPA, 2003). Bruchhaus (2013) dalam laporan FGM di Somaliland menjelaskan bahwa keputusan untuk menjalani praktik FGM berada di tangan keluarga terdekat. Peran ibu dan nenek di masyarakat Somalia sangatlah signifikan dalam menentukan praktik tersebut kepada anak-cucu perempuan mereka7. Terlebih lagi, dengan tekanan yang muncul terhadap perempuan ketika melakukan praktik FGM memaksa kaum perempuan menjalani praktik tersebut. Hal tersebut dilakukan sebagai usaha mereka untuk masuk dan menjadi bagian yang dapat diterima dan diakui dalam struktur masyarakat Somalia. Dokumentasi Hosken dan kenyataan brutal yang terjadi di masyarakat benua Afrika terhadap praktik FGM memunculkan gagasan bahwa perlunya
7
Bruchhaus, E. M (comp). (2013). Report on The Situation of FGM/C in Somaliland. Nafis Network
27
instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai eliminasi praktik-praktik yang menyakitkan perempuan, salah satunya FGM. Praktik tersebut merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan karena praktik FGM yang dilakukan di Afrika merupakan usaha untuk mengontrol tubuh perempuan. Perempuan yang seharusnya memiliki kemerdekaan atas tubuh mereka sendiri, harus terjebak dalam praktik yang secara struktur dan budaya merupakan upaya kekerasan terhadap diri mereka. Itulah mengapa kemudian, muncul Protokol Maputo di tahun 2003 sebagai instrumen hukum internasional di benua Afrika yang berisi tentang pemenuhan hak-hak perempuan, dimana salah satu fokusnya ialah eliminasi praktik-praktik yang menyakitkan bagi perempuan, termasuk praktik FGM. Sebelum masuk membahas mengenai pembentukan Protokol Maputo sebagai instrumen hukum benua Afrika sebagai pemenuhan hak-hak perempuan, perlu dijelaskan bagaimana pemenuhan hak-hak di Afrika dirumuskan. Selain itu, perlu juga dilihat bagaimana peran Uni Afrika yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan instrumen hukum di tingkat regional.
2.2.
Protokol Maputo dan Upaya Eliminasi Praktik FGM 2.2.1. Sejarah Protokol Maputo dan Peran Uni Afrika Pada tahun 1961, muncul sebuah gagasan untuk membuat sebuah draf
perundangan yang berisi tentang mekanisme perlindungan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) di benua Afrika. Congress of African Jurist ke-I yang diselenggarakan di Lagos, Nigeria, sepakat untuk mengadopsi deklarasi mengenai HAM yang kemudian disebut Law of Lagos. Law of Lagos dibentuk sebagai sebuah refleksi mengenai keberadaan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang telah
28
diformulasikan PBB pada tahun 1948, serta kebutuhan akan instrumen HAM di benua Afrika paska-kolonial. Law of Lagos berisi tentang panggilan kepada seluruh pemerintah berdaulat di benua Afrika untuk membuat dan mengadopsi sebuah konvensi baru mengenai penegakan HAM di Afrika, disertai juga dengan pembentukan sebuah komisi dan pengadilan HAM khusus. Walaupun kemudian deklarasi tersebut disetujui Kongres, tidak ada langkah lanjutan yang diambil. Hal tersebut terjadi dikarenakan oleh kurangnya komitmen dan keseriusan dari pemerintah negara-negara di benua Afrika untuk mempromosikan dan mengadopsi konsep HAM di negaranya masing-masing8. Dua tahun kemudian, Organization of African Unity (OAU) sebagai organisasi antar negara di benua Afrika terbentuk di Addis Ababa. Pada saat itu OAU belum memiliki sebuah cetak biru penegakan HAM dalam piagamnya, terlebih lagi penegakan hak-hak perempuan secara khusus. Piagam OAU yang menjadi dasar penegakan organisasi tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai kewajiban negara-negara anggotanya untuk menegakkan maupun mempromosikan perlindungan HAM terhadap rakyatnya. Piagam OAU hanya mensyaratkan negara-negara pihak untuk menggunakan acuan UDHR yang dibuat oleh PBB sebagai dasar komitmen HAM dan hubungan internasional mereka. Lebih lanjut, walaupun OAU mengambil langkah tegas dalam beberapa masalah hak sipil seperti dekolonisasi, diskriminasi ras, dan masalah pengungsi, OAU mengabaikan masalah HAM yang sangat serius di negara-negara pihaknya. Ini disebabkan oleh preferensi OAU dan negara-negara pengadopsi piagam OAU yang memilih untuk
8
History of the African Charter, diakses di http://www.achpr.org/instruments/achpr/history/ pada 13 Agustus 2015
29
fokus pada masalah pembangunan sosial-ekonomi, teritorial, kedaulatan negara, maupun prinsip non-interferensi daripada masalah HAM9. OAU baru menaruh perhatian terhadap penegakan HAM secara luas pada tahun 1979, ketika majelis pemerintah negara-negara anggota OAU membuat keputusan bersama dalam pertemuan di Monrovia, Liberia. Keputusan tersebut berisi mengenai permintaan negara-negara anggota OAU untuk membuat sebuah komite ahli sebagai usaha untuk membentuk instrumen HAM di benua Afrika.
“The Assembly reaffirms the need for better international cooperation, respect for fundamental human rights and peoples’ rights and in particular the right to development... organise as soon as possible, in an African capital, a restricted meeting of highly qualified experts to prepare a preliminary draft of an ‘African Charter on Human and Peoples’ Rights’ providing inter alia for the establishment of bodies to promote and protect human and peoples’ rights”
(AHG/Dec.115 (XVI) Rev.1 1979)10
Di tahun yang sama, 20 ahli-ahli hukum Afrika berkumpul di Dakar, Senegal untuk merumuskan draf awal African Charter of Human and Peoples’ Rights (selanjutnya disebut Piagam Banjul). Walaupun 10 hari kemudian para ahli mampu menghasilkan draf pertama dari Piagam Banjul, hal tersebut lantas tidak mempermudah jalan
penegakan HAM di
Afrika. Ketidaksetujuan dan
ketidaksukaan pemerintah di beberapa negara benua Afrika terhadap perlindungan HAM membuat penetapan Piagam Banjul sebagai instrumen regional menjadi terhambat. Periode tersebut merupakan periode yang sangat sulit dalam usaha penegakan dan pemenuhan HAM di Afrika. Namun, atas undangan Sekretaris Jenderal OAU dan inisiatif Presiden Gambia saat itu, Sir Dawda Jawara, draf
9
Loc. cit. Loc. cit
10
30
Piagam Banjul diadopsi di Gambia pada tanggal 28 Juni 1981. Piagam Banjul kemudian diratifikasi oleh seluruh anggota negara OAU pada tahun 1999. Mengenai penegakan dan pemenuhan hak-hak perempuan, OAU sendiri telah menaruh perhatian dalam hal partisipasi dan peran perempuan dalam pengambilan keputusan di OAU. OAU berusaha mengakomodir suara mereka di dalam lembaga tersebut dengan membuat unit-unit wanita baik di Sekretariat maupun organ-organ di dalam struktur OAU. Perhatian tersebut juga membuat OAU mengadopsi beberapa resolusi dan keputusan mengenai peran perempuan di dalam badan tersebut. Meskipun demikian, tidak adanya klausul khusus mengenai pemenuhan hak-hak perempuan dalam Piagam Banjul membuat OAU masih dipandang belum mengakomodir hak-hak perempuan Afrika oleh banyak NGO di Afrika (Murray, 2005). Posisi dan hak-hak perempuan dalam Piagam Banjul hanya tercantum pada pasal 2 mengenai klausul non-diskriminasi secara umum, dan pasal 18 ayat (3) yang mengharuskan negara pihak untuk mengeliminasi segala tindakan diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin perlindungan hak-hak perempuan. Ide mengenai pembentukan protokol khusus mengenai hak-hak perempuan di Afrika baru dicetuskan pada tahun 1995, dimana African Commission on Human and Peoples' Rights (ACHPR) bersama Women in Law and Development in Africa (WILDAF) mengadakan seminar bersama di kota Lome, Togo. WILDAF melihat bahwa perlindungan hak-hak perempuan pada Piagam Banjul masih belum cukup sebagai instrumen penegakan hak-hak perempuan di Afrika. WILDAF merasa bahwa perlu adanya pengakuan lebih luas terhadap hak-hak tersebut dalam bentuk protokol. Seminar di Lome menghasilkan kesimpulan mengenai bentuk produk hukum terhadap perlindungan perempuan di Afrika.
31
“Since the amendment to the Charter would be too difficult to realise, and the optional protocol would lack strength because it would not require states to adopt it...an additional protocol requiring state ratification was preferable”
(WILDAF) WILDAF juga memandang bahwa dengan eksistensi CEDAW sebagai konvensi yang mengeliminasi diskriminasi terhadap perempuan, benua Afrika juga perlu untuk maju dan melangkan ke arah eliminasi praktik-praktik yang menyakiti perempuan. Sidang OAU yang dihadiri oleh kepala negara dan pemerintahan di Afrika menyetujui rekomendasi untuk mengadopsi protokol baru mengenai perlindungan perempuan pada bulan Juli 1995 melalui resolusi OAU berkode AHG/Res240 (XXXI). Beberapa ahli dan pengamat ditunjuk untuk membuat dan mengajukan draf mengenai protokol tersebut. Pertemuan para ahli yang terdiri dari komisioner OAU dan panel-panel NGO akhirnya diselenggarakan untuk pertama kalinya pada bulan April 1997. Pertemuan tersebut menghasilkan draf awal protokol yang kemudian diberikan kepada ACHPR. Konferensi majelis ACHPR di Kigali, Rwanda pada tahun 1998 menjadi momentum awal perlindungan perempuan di Afrika karena majelis ACHPR akhirnya mengadopsi draf protokol setelah melalui beberapa perubahan. Draf protokol tersebut kemudian diperkenalkan dalam sidang tinggi African Union (AU)11 kedua di kota Maputo, Mozambique. Protokol yang
11
OAU digantikan dengan African Union (AU) menjadi organisasi negara-negara di benua Afrika. AU atau Uni Afrika merupakan organisasi uni benua ketiga di-dunia, setelah Uni Eropa (EU) dan Uni Amerika Selatan (UNASUR). AU diperkenalkan dan diresmikan pada tanggal 9 Juli 2002 di Durban, Afrika Selatan oleh Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki. Hingga saat ini seluruh negara di benua Afrika menjadi anggota AU, kecuali Maroko.
32
berjudul The Protocol to the African Charter on Human and Peoples’ Rights on the Rights of Women in Africa tersebut kemudian dikenal sebagai Protokol Maputo12. Protokol Maputo diadopsi oleh anggota sidang AU dan disahkan pada tanggal 11 Juli 200313. Adapun beberapa pasal penting dalam protokol yang mengangkat masalah praktik FGM dan usaha eliminasi praktik tersebut. Pada pasal 2 ayat 1b, Protokol Maputo secara jelas mengatur pentingnya negara pihak untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, dalam bentuk perundangan yang melarang dan mengeliminasi praktik yang membahayakan bagi wanita dalam hal ini FGM: enact and effectively implement appropriate legislative or regulatory measures, including those prohibiting and curbing all forms of discrimination particularly those harmful practices which endanger the health and general well-being of women; (Protokol Maputo, pasal 2, ayat 1b). Sementara itu, pasal khusus mengenai eliminasi praktik-praktik berbahaya terhadap perempuan terdapat pada pasal 5 Protokol Maputo. Pasal tersebut berisi tentang pelarangan dan penghujatan terhadap segala praktik berbahaya terhadap perempuan, termasuk diantaranya ialah praktik FGM
States Parties shall prohibit and condemn all forms of harmful practices which negatively affect the human rights of women and which are contrary to recognised international standards. States Parties shall take all necessary legislative and other measures to eliminate such practices, including:
Disebut juga Protocol to the African Charter on Human and People’s Rights on the Rights of Women in Africa 13 Berlaku mulai 25 November 2005 12
33
a) creation of public awareness in all sectors of society regarding harmful practices through information, formal and informal education and outreach programmes; b) prohibition, through legislative measures backed by sanctions, of all forms of female genital mutilation, scarification, medicalisation and para-medicalisation of female genital mutilation and all other practices in order to eradicate them; c) provision of necessary support to victims of harmful practices through basic services such as health services, legal and judicial support, emotional and psychological counselling as well as vocational training to make them self-supporting; d) protection of women who are at risk of being subjected to harmful practices or all other forms of violence, abuse and intolerance. (Protokol Maputo, pasal 5). Pasal-pasal tersebut secara jelas menggambarkan komitmen AU sebagai organisasi regional benua Afrika untuk menghapuskan segala tindakan diskriminasi dan praktik-praktik berbahaya yang ditujukan kepada kaum perempuan. Protokol Maputo merupakan produk hukum internasional yang sudah sewajarnya menjadi panduan dan arahan negara-negara di benua Afrika untuk memenuhi hak-hak perempuan, lebih lanjut mengeliminasi praktik FGM sesuai pasal-pasal terkait.
2.2.2. Upaya Implementasi Protokol Maputo di Afrika Hingga tahun ini, Protokol Maputo ditandatangani oleh 46 negara di benua Afrika. 36 negara diantaranya telah meratifikasi protokol ini. Protokol Maputo menjadi pedoman yang digunakan negara-negara di Afrika untuk membuat kebijakan terkait dengan usaha eliminasi praktik FGM di negara mereka. Implementasi Protokol Maputo tidak terbatas pada produk perundangan semata,
34
namun juga dalam bentuk advokasi terhadap para penegak hukum yang nantinya diharapkan mampu menegakkan prinsip-prinsip Protokol Maputo di Masyarakat (SOAWR, 2013). Salah satu negara yang sukses mengimplementasikan Protokol Maputo ialah Kenya. Kenya menandatangani Protokol Maputo pada bulan Desember 2003. Setelah penandatanganan Protokol Maputo, pemerintah Kenya memperlihatkan upaya implementasi Protokol Maputo untuk eliminasi praktik FGM dengan membuat National Policy for the Abandonment of FGM yang dirumuskan secara detil oleh Kementerian Gender, Anak-anak, dan Pembangunan Sosial serta didukung oleh masyarakat madani di Kenya. National Policy tersebut kemudian disahkan pada tahun 2010 oleh kabinet Kenya. Pengesahan tersebut berdampingan dengan momentum ratifikasi Protokol Maputo oleh pemerintah Kenya pada bulan Oktober 2010. Pemerintah Kenya pada tahun 2011 mengesahkan peraturan perundangan khusus dalam usaha pelarangan praktik FGM. Prohibition of Female Genital Mutilation Act 2011 (dikenal dengan FGM Act) disahkan pada tanggal 4 Oktober 2011 oleh Parlemen Kenya. FGM Act menjadi legislasi yang digunakan Pemerintah Kenya untuk mengambil berbagai langkah dalam kaitan untuk menghapus praktik FGM di negara tersebut (UNFPA, 2014). Negara lain yang juga berhasil mengimplementasikan Protokol Maputo dalam upaya eliminasi praktik FGM ialah Ethiopia. Ethiopia menjadi negara penandatangan Protokol Maputo pada 1 Juni 2004. Semenjak itu, Ethiopia telah mampu menunjukkan upaya implementasi Protokol Maputo mereka melaui kebijakan-kebijakan pemerintah dan usaha dari organisasi-organisasi komunitas. Pemerintah Ethiopia telah berkomitmen untuk membuat produk perundangan yang
35
solid untuk melindungi perempuan dari praktik FGM. Salah satu kebijakan yang diambil ialah dengan membentuk Women’s Affairs Office pada tahun 2005. Women’s Affairs Office menjadi uluran tangan pemerintah untuk urusan perlindungan perempuan. Target mengenai penghapusan praktik FGM juga sudah tertuang dalam rencana strategis lima tahun yang dibuat pemerintah Ethiopia (28 Too Many, 2013). Produk perundangan yang solid sebagai upaya implementasi Protokol Maputo juga berhasil ditelurkan. Salah satunya ialah UU The Criminal Code 2005, pada pasal 568 dan 569. Pada pasal tersebut, klausul mengenai pelarangan tindakan praktik FGM tercantum secara jelas. Sanksi yang diberikan kepada pelakupun juga tergolong berat, berkisar antara 3 bulan hingga 5 tahun14. Negara lain yang juga memperlihatkan kesuksesannya dalam implementasi Protokol Maputo ialah Benin. Upaya implementasi Protokol Maputo yang didukung dengan produk perundangan kriminalisasi praktik FGM di negara tersebut telah mampu memberikan kontribusi dalam menurunnya tingkat prevalensi praktik FGM di negara tersebut (No Peace without Justice, 2015). Keberhasilan Upaya Implementasi Protokol Maputo juga diperlihatkan oleh Togo. Togo yang sebelumnya sudah berkomitmen untuk mengeliminasi praktik FGM melalui perundangan nasionalnya, semakin meningkatkan otoritasnya untuk mengeliminasi praktik FGM di negara tersebut (DW, 2013). Dapat dilihat bahwa Togo menjadi salah satu negara di Afrika yang berhasil menghentikan praktik FGM dengan berhasilnya implementasi Protokol Maputo di negara tersebut.
14
Pasal 568 mengatur mengenai larangan terhadap praktik FGM tipe I dan II, pelanggar akan dihukum dari 3 bulan hingga 3 tahun disertai denda sekitar 500 – 10.000 Birr (sekitar US$ 27 – 528). Pasal 569 mengatur larangan praktik FGM tipe III. Para pelanggar akan dihukum dari 3 hingga 5 tahun, apabila korban mengalami cedera berat pelaku akan dihukum dari 5 hingga 10 tahun.
36
Negara-negara seperti Pantai Gading dan Senegal juga berhasil dalam upayanya untuk mengimplementasikan Protokol Maputo di Negara mereka. Pantai Gading telah mampu membuat mandat nasional mengenai pelarangan praktik FGM dan mempromosikan hak-hak perempuan disana. Pemerintah juga mengirim pengacara-pengacara handal di Pantai Gading untuk ikut serta dalam pelatihan Protokol Maputo (SOAWR, 2013). Senegal juga telah membuat perundangan yang melarang tindakan praktik FGM, dan sekitar 5000 komunitas masyarakat sudah melarang praktik tersebut terhadap anggotanya (DW, 2013). Upaya implementasi Protokol Maputo menjadi produk perundangundangan domestik juga mampu ditunjukkan oleh negara-negara seperti Uganda dan Guinea-Bissau. Di Uganda, Presiden Museveni berhasil meloloskan undangundang nasional mengenai pelarangan praktik FGM di negaranya. Presiden Museveni juga meloloskan undang-undang yang mengatur sanksi bagi para pelakupelaku praktik FGM di Uganda. Presiden Museveni juga memberikan komitmen anggaran sejumlah US$100.000 sebagai dana nasional untuk penanggulangan dan eliminasi praktik FGM. Sementara itu, kisah sukses di Guinea-Bissau juga memperlihatkan perkembangan yang menjanjikan. Parlemen Guinea-Bissau meloloskan perundang-undangan mengenai pelarangan praktik FGM di tahun 2011. Perundang-undangan tersebut mengatur mengenai upaya eliminasi praktik FGM, sekaligus pengaturan sanksi penjara bagi para pelaku praktik FGM. Para pelaku praktik FGM akan dihukum hingga 5 tahun penjara sesuai undang-undang yang diloloskan tersebut. Contoh beberapa keberhasilan dalam upaya implementasi Protokol Maputo di negara-negara Afrika dalam usaha eliminasi praktik FGM dapat menjadi
37
gambaran bahwa Protokol Maputo dapat mengubah praktik yang terjadi di masyarakat. Protokol Maputo dapat berfungsi sebagai tonggak dasar untuk pemenuhan hak-hak perempuan, yang mana salah satunya ialah mengeliminasi praktik-praktik yang menyakiti perempuan seperi praktik FGM. Best Practices yang muncul dari negara-negara penandatangan Protokol Maputo mampu memberikan harapan bagi perempuan untuk menghindari praktik FGM yang merupakan sebuah bentuk kekerasan terhadap mereka.
2.2.3. Protokol Maputo dan Somalia Somalia merupakan negara dengan tingkat prevalensi praktik FGM tertinggi di benua Afrika. Pemerintah Somalia menunjukkan komitmennya terhadap Protokol Maputo dengan negara penandatangan pada 23 Juni 2006. Pada pembentukan Protokol Maputo di majelis AU, pemerintah Somalia juga ikut merumuskan Protokol ini sebagai anggota dari AU. Banyak wacana yang disebarkan mengenai bahaya praktik FGM di Masyarakat sebagai bentuk penyeragaman diskursus dan memunculkan praktik FGM sebagai isu yang perlu diangkat. Hal tersebut dilakukan dalam kaitannya sebagai upaya implementasi Protokol Maputo di Somalia. Salah satu bentuk upaya penyebaran diskursus telah dilakukan oleh pemerintah. Mantan Menteri Urusan Wanita Somalia, Maryan Qasim, menjelaskan bahwa ketika dirinya masih menjabat di majelis menteri berbagai langkah dilakukan untuk menanggulangi dan menghapuskan praktik FGM dilakukan sebagai upaya implementasi Protokol Maputo di negaranya. Langkah-langkah yang dilakukan melakukan siaran radio untuk menyebarkan diskursus mengenai pentingnya eliminasi praktik FGM di
38
masyarakat. Selain itu, sosialiasi mengenai bahaya praktik FGM juga telah dilakukan kepada masyarakat baik laki-laki maupun perempuan (Qasim, 2011). Di tahun 2014, Menteri Kesehatan Somalia, Ahmed Adnam Ahmed mengatakan di depan konferensi kesehatan di London bahwa eliminasi praktik FGM merupakan agenda prioritas yang saat ini ingin dicapai oleh pemerintah (n.n., 2014). Salah satu wacana eliminasi praktik FGM di Somalia dicetuskan oleh Menteri Urusan Perempuan Somalia, Sahra Mohammed Ali Samatar. Menteri Samatar mengatakan bahwa praktik FGM merupakan praktik yang harus dibasmi secara tuntas. Menteri Samatar juga menambahkan bahwa sangat diperlukan perundangan yang mengatur mengenai sanksi tegas terhadap para pelaku praktik FGM di negaranya. Menteri Samatar juga mengakui bahwa memang sudah saatnya untuk mengakhiri praktik FGM di Somalia.
“Time has come for us to eradicate this bad practice and protect the rights of girls and women in our country (Somalia)” - Sahra Mohammed Ali Samatar Menteri Urusan Perempuan Somalia (Topping, A.. Somali minister hints at move to ban FGM. 2015)
Kendati para pejabat pemerintah menunjukkan pentingnya untuk melakukan usaha eliminasi praktik FGM di Somalia, hal tersebut menjadi mubazir ketika hanya berhenti menjadi diskursus publik semata. Upaya pemerintah Somalia dalam implementasi Protokol Maputo untuk mengeliminasi praktik FGM di negara tersebut gagal dilakukan. Hal tersebut dibuktikan dengan fakta bahwa hingga tahun ini, tidak ada satupun produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh pemerintah Somalia (No Peace without Justice, 2015). Gagalnya pemerintah Somalia menjadi pertanyaan yang penting untuk dijawab, mengingat negara-negara lain di Afrika
39
yang juga ikut menandatangani Protokol Maputo telah memperlihatkan perkembangan yang menjanjikan dalam upaya eliminasi praktik FGM di negara mereka masing-masing. Pemerintah yang telah berusaha untuk mengangkat eliminasi praktik FGM sebagai isu nasional tidak berhasil membuat perdebatan maupun produk perundangan. Hal tersebut merupakan bentuk kegagalan pemerintah Somalia dalam upaya implementasi Protokol Maputo. Kegagalan negara dalam upaya implementasi Protokol Maputo di Somalia menjadi bahasan penulis di bab selanjutnya. Dengan menggunakan perspektif Feminis Radikal, penulis akan mengeksplorasi mengapa negara yang menjadi pihak yang berkomitmen terhadap Protokol Maputo sebagai upaya untuk mengeliminasi praktik FGM gagal dalam mengimplementasikan Protokol tersebut di Somalia.