BAB II PENGATURAN PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA DALAM KERANGKA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Peraturan Yang Mengatur Tentang Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika di Indonesia Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang mengatur tentang produk pangan sudah merupakan kewajiban pemerintah. Salah satu produk hukum tentang pangan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau perdagangan pangan. Sebagai landasan hukum di bidang pangan, Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan menjadi acuan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan, baik yang sudah ada maupun yang akan dibentuk. Sebelum dilakukan pengkajian dan pembahasan tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika, maka sebaiknya diperlukan suatu inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan produk pangan, khususnya tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dilakukan, maka didapatkan beberapa pengaturan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yaitu sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;
5.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan;
6.
Keputusan
Kepala
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Nomor
HK.00.05.23.51.02961 tentang Pendaftaran Produk Pangan Impor Terbatas, tanggal 28 September 2001; 7.
Keputusan
Kepala
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Nomor
HK.00.05.23.0131 tentang Pencantuman Asal Bahan Tertentu, kandungan Alkohol, dan Batas Kadaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan, tanggal 13 Januari 2003; 8.
Keputusan
Kepala
Badan
Pengawas
Obat
dan
Makanan
Nomor
HK.00.05.5.1641 tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (IRT). Dari inventarisasi peraturan perundang-undangan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa pengaturan tentang produk pangan sudah cukup banyak. Meskipun demikian, ternyata hanya ada beberapa peraturan saja yang khusus mengatur tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika yaitu: 1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
Universitas Sumatera Utara
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan;
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika;
7.
SKB Empat Menteri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih jelas lagi, maka dibawah ini
akan dijelaskan beberapa peraturan tersebut diatas. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengatur antara lain: persyaratan teknis tentang pangan, yang meliputi ketentuan keamanan pangan, ketentuan mutu dan gizi pangan, serta ketentuan label dan iklan pangan, sebagai suatu sistem standarisasi pangan yang bersifat menyeluruh; tanggung jawab setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengangkut, dan atau mengedarkan pangan, serta sanksi hukum yang sesuai agar mendorong pemenuhan atas ketentuan-ketentuan yang ditetapkan; peranan pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan tingkat kecukupan pangan di dalam negeri dan penganekaragaman pangan yang dikonsumsi secara tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan harus memenuhi ketentuan tentang sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, residu cemaran, dan kemasan pangan. Hal lain yang patut
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan oleh setiap orang yang memproduksi pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang memiliki kemungkinan timbulnya risiko yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, seperti rekayasa genetika atau iridiasi, harus dilakukan berdasarkan
persyaratan
tertentu.
Pengaturan
mengenai
pangan
yang
mengandung hasil rekayasa genetika tersebut diatur dalam Pasal 13 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang menyatakan bahwa : 37 Ayat (1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. Ayat (2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Bunyi pasal diatas sangat jelas menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk memberikan antisipasi dampak penggunaan bahan rekayasa genetika di bidang pangan terhadap keselamatan manusia, etika, moral, dan keyakinan masyarakat. Akan tetapi ketiadaan penjabaran lebih lanjut mengenai pasal ini dalam waktu dekat kurang memberikan antisipasi yang maksimal. Selain itu menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup masalah ekonomi dan ilmu pengetahuan, dalam hal ini teknologi rekayasa genetika, saling tergantung dengan masalah lingkungan hidup manusia. Kebergantungan setempat semakin meningkat akibat teknologi modern yang digunakan dalam pertanian dan pabrik-pabrik. Sayangnya sejalan 37
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 13.
Universitas Sumatera Utara
dengan kemajuan teknologi lahan pun menjadi semakin sempit, hak-hak tradisional terhadap hutan dan sumber daya lainnya menjadi luntur, dan tanggun jawab dalam pengambilan keputusan semakin dijauhkan dari kepentingan masyarakat. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini mencoba menyelaraskan kepentingan bisnis dengan tidak mengabaikan lingkungan hidup manusia. ”Penegakan kepentingan bersama tidak berarti menghalangi pertumbuhan dan perluasan, meskipun mungkin itu membatasi penerimaan dan difusi inovasi-inovasi teknis.” 38 Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan: 39 “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.” Kemudian dalam penjelasan ayat (3) disebutkan: “…Bagi usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib dilaksanakan… harus dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin… Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup dan kewajiban yang berkaitan dengan pembuangan limbah…” Dari penjelasan tersebut tersirat bahwa instrument AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) belum sepenuhnya sejalan dengan amanat prinsip pencegahan dini, karena di sini sudah tidak ada lagi ketidakpastian dengan probabilitas risiko. Jadi meskipun berada pada “the earliest stage of planning” AMDAL baru bersifat “preventive”, belum “precautions”. Terlebih lagi dalam 38
WCED, Our Common Future, terjemahan. Bambang Sumantri, (Jakarta: Gramedia, 1988), Hal.65. 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan izin hanya diperlukan sebagai instrumen ekonomi dari yang seharusnya sebagai instrumen pengawasan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), pengaturan tentang peredaran produk hasil teknologi rekayasa genetika ini juga telah diatur. Dalam Bab IV Pasal 8 tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan / atau memperdagangkan barang dan / atau jasa yang: 40 1.
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan / atau jasa tersebut;
5.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan / atau jasa tersebut;
40
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 angka 1
Universitas Sumatera Utara
6.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan / atau jasa tersebut;
7.
Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan / pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8.
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
9.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang / dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan / atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sanksi atas pelanggaran ketentuan tentang produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Pasal 8 angka 1, 9, 10 tersebut di atas telah diatur sebagai sanksi pidana. Ancaman pidana tersebut ada dalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan: 41 “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”
41
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
Disamping peraturan tersebut diatas pangan hasil teknologi rekayasa genetika diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang menyatakan bahwa: 42 (1) Pada label untuk pangan hasil rekayasa genetika wajib dicantumkan tulisan PANGAN REKAYASA GENETIKA. (2) Dalam hal pangan hasil rekayasa genetika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bahan yang digunakan dalam suatu produk pangan, pada Label cukup dicantumkan keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan pangan hasil rekayasa genetika tersebut saja. (3) Selain pencantuman tulisan sebagaimana dimaksud ayat (1), pada Label dapat dicantumkan logo khusus pangan hasil rekayasa genetika. Adapun huruf dan tulisan atau peringatan yang harus dicantumkan dalam pelabelan adalah sekurang-kurangnya sama dengan huruf pada bahan yang bersangkutan. Contoh: Komposisi: Kedelai (rekayasa genetika), gula kelapa, air, garam, pengawet Na Benzoat.
atau
Komposisi: Kedelai*, gula kelapa, air, garam. Pengawet Na Benzoat. *bahan rekayasa genetika
Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat dilihat sikap pemerintah Indonesia yang menghendaki adanya mandatory labeling terhadap produk pangan rekayasa genetika. Akan tetapi aturan ini juga tidak memberikan keterangan lebih lanjut 42
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 35.
Universitas Sumatera Utara
mengenai pelabelan itu sendiri, seperti misalnya mengenai ambang batas yang dapat ditoleransi, ataupun kriteria rekayasa genetika apakah menggunakan product based atau process based. Lebih lanjut, ketiadaan sarana penunjang pelabelan yang dibenarkan oleh aturan perdagangan internasional sehingga tidak masuk dalam kategori proteksionisme turut menyumbang lemahnya aturan ini. Dengan demikian peraturan tersebut diatas diharapkan memberikan suasana yang kondusif bagi terciptanya komunikasi dan sinergi antara kemajuan bioteknologi dengan berbagai pengetahuan. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, dalam hal: 43 1.
Melindungi kesehatan publik.
2.
Menjaga jangan sampai terjadi kecurangan terhadap konsumen. Dalam kegiatan perdagangan pangan, masyarakat yang mengkonsumsi perlu
diberikan sarana yang memadai agar memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan ketentuan mengenai label dan iklan tentang pangan. Dengan demikian, masyarakat yang mengkonsumsi pangan dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat sehingga tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Selanjutnya pada Bagian Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan ini berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pangan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kesehatan.
43
Tesis Kemal Hetami, Op.cit., Hal. 115.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 14 disebutkan bahwa: 44 Ayat (1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan tersebut sebelum diedarkan. Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a.
informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk rekayasa genetika dan deskripsi inang serta penggunaanya sebagai pangan;
b.
deskripsi organisme donor;
c.
deskripsi modifikasi genetika;
d.
karakterisasi modifikasi genetika; dan
e.
informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansial, perubahan nilai gizi, alergenitas dan toksisitas. Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi yang menangani keamanan pangan produk rekayasa genetika, yang kemudian memberikan rekomendasi kepada Kepala Badan yang dijadikan pertimbangan untuk menetapkan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain hasil proses rekayasa genetika yang dinyatakan aman sebagai pangan. Pangan hasil rekayasa genetika juga diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura No. 998.1/Kpts/ 44
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi
Pangan
Universitas Sumatera Utara
OT.210/9/99;
790.a/Kpts-IX/1999;
1145A/MENKES/SKB/IX/1999;
015
A/Meneg.PHOR/09/1999 tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. SKB ini ditandatangani oleh Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura pada tanggal 29 September 1999. SKB ini mengatur tentang jenis-jenis dan penggunaan produk pertanian hasil rekayasa genetika (PPHRG) yang terdiri dari hewan transgenik, bahan asal hewan transgenik dan hasil olahannya, ikan transgenik, bahan asal ikan transgenik dan hasil olahannya, tanaman transgenik, bagian-bagian dari hasil olahannya serta jasad renik; syarat keamanan hayati dan keamanan pangan PPHRG; tata cara pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan PPHRG; hak dan kewajiban propenen; dan pemantauan, pengawasan dan pelaporan. 45 Keputusan bersama ini dimaksudkan untuk mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan keamanan pangan pemanfaatan produk pertanian hasil rekayasa genetic, dengan tujuan untuk menjamin keamanan hayati dan keamanan pangan bagi kesehatan manusia, keanekaragaman hayati dan lingkungan yang berkaitan dengan pemanfaatan produk pertanian hasil rekayasa genetika. Akan tetapi SKB ini mengandung kelemahan, diantaranya adalah law enforcement yang rendah karena tidak mempunyai hirarki dalam tata urutan perundang-undangan. Dari keseluruhan peraturan-peraturan tersebut diatas, ada satu peraturan yang khusus secara teknis mengatur tentang pangan hasil teknologi rekayasa genetika yaitu yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 45
Surat Keputusan Bersama Empat Menteri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Hasil Rekayasa Genetika tanggal 29 September 1999.
Universitas Sumatera Utara
tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan Pemerintah ini terdiri dari sepuluh Bab, dengan 37 Pasal, yang secara garis besar mengatur tentang ketentuan umum, jenis dan persyaratan PRG, penelitian dan pengembangan PRG, pemasukan PRG dari luar negeri, pengkajian, pelepasan dan peredaran, serta pemanfaatan PRG, pengawasan dan pengendalian PRG, kelembagaan, pembiayaan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Dari 37 pasal tersebut terdapat beberapa Pasal yang berkaitan dengan produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 13, Pasal 23. Peraturan Pemerintah ini diperlukan oleh karena peraturan perundangundangan yang telah ada belum cukup untuk mengatur segala sesuatu tentang PRG sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi, maka diperlukan pengaturan yang sistematis dan efektif. Peraturan pemerintah ini dijadikan dasar hukum dalam mewujudkan keamanan hayati, keamanan pangan, dan/atau pakan PRG bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip kesehatan serta pengelolaan sumberdaya hayati, perlindungan konsumen dan kepastian berusaha dengan mempertimbangkan agama, etika, social, budaya, dan estetika. Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika disebutkan: ”Pengaturan yang diterapkan dalam Peraturan Pemerintah ini menggunakan pendekatan kehati-hatian dalam rangka mewujudkan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau pakan dengan didasarkan pada metode ilmiah yang sahih serta mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya, dan estetika.”.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 5 mengatur tentang Jenis PRG, yaitu meliputi: 46 a.
hewan PRG, bahan asal hewan PRG, dan hasil olahannya;
b.
ikan PRG, bahan asal ikan PRG, dan hasil olahannya;
c.
tanaman PRG, bahan asal tanaman PRG, dan hasil olahannya; dan
d.
jasad renik PRG, bahan asal jasad renik PRG, dan hasil olahannya. Sedangkan dalam Pasal 6 mengatur tentang Persyaratan PRG, yaitu
meliputi: 1.
PRG baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang akan dikaji atau diuji untuk dilepas dan/atau diedarkan di Indonesia harus disertai informasi dasar sebagai petunjuk bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan.
2.
Informasi dasar sebagai petunjuk pemenuhan persyaratan keamanan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi antara lain:
a.
deskripsi dan tujuan penggunaan;
b.
perubahan genetik dan fenotip yang diharapkan harus terdeteksi;
c.
identitas jelas mengenai taksonomi, fisiologi: dan reproduksi PRG;
d.
organisme yang digunakan sebagai sumber gen harus dinyatakan secara jelas dan lengkap;
e.
metode rekayasa genetika yang digunakan mengikuti prosedur baku yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya;
f.
karakterisasi molekuler PRG harus terinci jelas; 46
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.
Universitas Sumatera Utara
g.
ekspresi gen yang ditransformasikan ke PRG harus stabil;
h.
cara pemusnahan yang digunakan bila tetjadi penyimpangan.
3.
Informasi dasar sebagai petunjuk pemenuhan persyaratan keamanan pangan dan keamanan pakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi antara lain:
a.
metode rekayasa genetik yang digunakan mengikuti prosedur baku yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya;
b.
kandungan gizi PRG secara substansial harus sepadan dengan yang non PRG;
c.
kandungan senyawa beracun, antigizi, dan penyebab alergi dalam PRG secara substansial harus sepadan dengan yang non-PRG;
d.
kandungan karbohidrat, protein, abu, lemak, serat, asam amino, asam lemak, mineral, dan vitamin dalam PRG secara substansial harus sepadan dengan yang non-PRG;
e.
protein yang disandi gen yang dipindahkan tidak bersifat alergen;
f.
cara pemusnahan yang digunakan bila terjadi penyimpangan. Selanjutnya pada Pasal 13, mengingat PRG juga banyak bersumber dari luar
negeri, maka diatur mengenai Pemasukan PRG dari Luar Negeri yaitu: 47 1.
Setiap orang yang akan memasukkan PRG sejenis dari luar negeri untuk pertama kali, wajib mengajukan permohonan kepada Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang.
47
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika.
Universitas Sumatera Utara
2.
Permohonan untuk memasukkan PRG wajib dilengkapi dengan dokumen yang menerangkan bahwa persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 telah dipenuhi.
3.
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemasukan PRG dari luar negeri wajib dilengkapi pula dengan:
a.
surat
keterangan
yang
menyatakan
bahwa
PRG
tersebut
telah
diperdagangkan secara bebas (certificate of free trade) di negara asalnya; dan b. dokumentasi pengkajian dan pengelolaan risiko dari institusi yang berwenang dimana pengkajian risiko pernah dilakukan. 4.
Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang:
a.
memeriksa kelengkapan dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3);
b.
memberitahukan kepada pemohon mengenai kelengkapan dokumen dan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pemasukan PRG selambatlambatnya dalam 15 (lima belas) hari sejak permohonan diterima.
5.
Dalam hal dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah lengkap, Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang meminta rekomendasi keamanan lingkungan kepada Menteri.
Universitas Sumatera Utara
6.
Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang wajib mendasarkan keputusannya pada rekomendasi keamanan hayati yang diberikan oleh Menteri atau Ketua KKH.
7.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemasukan PRG dari luar negeri diatur lebih lanjut oleh Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang. Selain hal tersebut diatas, dalam hal pelepasan dan peredaran produk pangan
hasil teknologi rekayasa genetika juga telah diatur bahwa: 48 “Terhadap PRG yang telah memperoleh rekomendasi keamanan hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) dan Pasal 17 ayat (2), Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang memberikan izin pelepasan dan/atau peredaran sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.” Pada penjelasan Pasal 3 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendekatan kehati-hatian adalah suatu pendekatan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pencegahan atas adanya kemungkinan terjadinya dampak merugikan pada lingkungan dan kesehatan manusia yang signifikan, bahkan sebelum bukti-bukti ilmiah konklusif mengenai dampak tersebut muncul. Peraturan
Pemerintah
ini
menetapkan
bahwa
pendekatan
kehati-hatian
diimplementasikan dalam ketentuan bahwa sebelum suatu PRG dapat dimanfaatkan perlu dilakukan terlebih dahulu pengkajian dan pengelolaan risiko keamanan lingkungan, pangan dan/atau pakan dengan metode ilmiah yang sahih dan pertimbangan factor social, ekonomi, dan etika, untuk menjamin bahwa risiko pemanfaatan PRG terhadap lingkungan dan kesehatan manusia dapat diterima 48
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika, Pasal 23.
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan persyaratan peraturan yang ada. Pertimbangan dari kaidah agama, etika, sosial budaya dan etika, antara lain adalah gen yang ditransformasikan ke PRG harus berasal dari organisme yang tidak bertentangan dengan kaidah agama tertentu, bentuk atau fenotipe hewan PRG harus sepadan dengan tetuanya dan sesuai dengan estetika yang berlaku. Peraturan Pemerintah ini telah memberikan aturan yang lebih spesifik mengenai pemanfaatan produk rekayasa genetika, akan tetapi sama dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 ini belum mampu menyediakan acuan yang jelas mengenai hal kapan tindakan pencegahan dini dilakukan pada situasi konkrit. Akibatnya, prinsip pencegahan dini menjadi samar-samar (sekedar konsep) dan sulit untuk diterapkan ke dalam kebijakan. Untuk itu, langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mendukung prinsip pencegahan dini harus dilihat dari berbagai aspek, diantaranya: (1) aspek legalitas; (2) aspek pengembangan kelembagaan; (3) aspek pengembangan fasilitas sarana dan peralatan; (4) aspek penelitian dan pengembangan; (5) aspek pencerahan masyarakat (public awareness) tentang PBHRG; dan (6) peranan kelembagaan. 49 Aspek Legalitas a. 1.
Mengefektifkan penerapan peraturan-peraturan yang telah ada, yaitu: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan khususnya pasal 13, ayat (1) dan ayat (2).
49
Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Transgenik, Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta, Oktober 2001.
Universitas Sumatera Utara
2.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 35 tentang label pangan hasil rekayasa genetika dalam upaya memberikan informasi tentang bahan pangan yang akan dibeli oleh konsumen. Pelabelan dikenakan pada produk bahan pangan dan produk makanan olahan. Untuk itu, perlu diterbitkan peraturan pelaksanaan pada tingkat Menteri, dalam pengaturan pelabelan bagi bahan pangan transgenic yang diperdagangkan dan diimpor.
3.
PP No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.
2.
Penyiapan berbagai perangkat hukum dalam bentuk Rancangan UndangUndang yang merupakan sinkronisasi dari peraturan perundangan yang terkait sehingga menjangkau semua aspek antara lain, lingkungan hidup, kesehatan, keamanan bagi pahan pangan makanan olahan dan bahan pakan ternak, serta perdagangan impor/ekspor bahan baku.
Aspek Pengembangan Kelembagaan Mengembangkan kelembagaan yang kuat guna menangani permasalahan yang muncul dari pengembangan dan pemanfaatan PBHRG, yaitu: a.
Komisi Nasional Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan sebagai lembaga yang bersifat independen yang keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur keahlian dan mempunyai kewenangan dan otoritas tinggi dalam pengaturan pengembangan dan pemanfaatan PBHRG.
Universitas Sumatera Utara
b.
Memperkuat tugas dan fungsi Komisi Nasional Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan sebagai lembaga koordinasi lintas sektoral dengan cara meningkatkan keterlibatan dan keterwakilan keanggotaan dalam komisi.
Aspek pengembangan fasilitas sarana dan peralatan a.
Sepanjang sudah tersedia fasilitas sarana peralatan yang keberadaannya pada berbagai instansi/institusi perlu dilakukan peningkatan pemanfaatan fasilitas laboratorium penguji lintas sektor maupun lintas sub sektor terutama untuk komoditi impor dalam bentuk curah.
b.
Dukungan pengadaan fasilitas uji laboratorium bagi yang benar-benar diperlukan dan belum tersedia keberadaannya.
Aspek penelitian dan pengembangan a.
Penelitian dan pengembangan dalam pemanfaatan PBHRG perlu dipacu dengan memahami koridor yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 pasal 13 ayat (2) dirahkan agar dampak negative dapat diminimalkan.
b.
Merumuskan kembali kebijaksanaan pengembangan dan pemanfaatan PBHRG, antara lain:
1.
Galur tanaman transgenik dari luar negeri yang belum dilepas oleh negara penemu tidak boleh diuji coba atau uji multi lokasi dalam skala komersial.
2.
Bibit benih transgenik tidak boleh diperdagangkan sebelum dilakukan pengujian melalui Fasilitas uji Terbatas (FUT) dan Fasilitas Uji Lapang
Universitas Sumatera Utara
Terbatas (FULT) serta uji multi lokasi terlebih dahulu, dengan melihat Risk Assessment dan Risk Management dengan mengacu kepada ketentuan yang diatur Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan.
Aspek pencerahan masyarakat (public awareness) Tentang PBHRG yaitu: a.
Sosialisasi secara nasional dalam rangka pencerahan masyarakat (public awareness) tentang berbagai aspek, manfaat dan dampak PBHRG, melalui kampanye, media massa, publikasi dan pertemuan.
b.
Memasukkan materi PBHRG pada kurikulum pendidikan formal.
Peranan kelembagaan Untuk menjabarkan dan mengoperasionalkan posisi pemerintah ini, diperlukan tindak lanjut dari berbagai institusi terkait. Pengelolaam mutu dan keamanan pangan di setiap rantai pangan pada umumnya ditangani oleh satu instansi atau lebih yang dilakukan oleh berbagai tingkat (Badan, Direktorat Jenderal, Direktorat, bahkan sampai dengan Sub Direktorat). Berdasarkan Tupoksi, semua instansi terkait dalam system pangan mengembangkan sistem pengelolaan mutu dan keamanan pangan yang mencakup tiga fungsi sekaligus, yaitu penyusunan standar, pengendalian, dan penjaminan mutu. Namun demikian, belum ada Total Food Quality Control yang disepakati oleh seluruh stake holder mutu dan keamanan pangan, sehingga pengamatan perkembangan pemanfaatan
Universitas Sumatera Utara
PBHRG belum ada consensus yang jelas sementara produk olahan maupun bahan yang berasal dari PBHRG terus masuk ke negara kita. 50 Di luar peraturan-peraturan tersebut di atas memang masih ada lagi yang mengatur tentang peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Namun demikian secara teknis memang dapat dikatakan bahwa peraturan tersebut mengatur secara lebih teknis dan lebih rinci. Peraturan-peraturan tersebut diatas dalam prakteknya memang dapat saling mendukung satu sama lain, dan tidak saling bertentangan. Artinya bahwa dalam memberikan aspek hukum dalam perlindungan konsumen, terdapat suatu harmonisasi peraturan perundangundangan, baik yang bersifat horizontal maupun bersifat vertikal.
B. Pihak Yang Bertanggungjawab Terhadap Peredaran Produk Pangan Hasil Teknologi Rekayasa Genetika Ketatnya persaingan dalam dunia perdagangan dan makin tingginya tingkat kesadaran konsumen akan hak-hak yang dimilikinya telah memaksa pelaku bisnis mengubah strateginya. Strategi bisnis yang berorientasi melulu pada produk dan tidak mengindahkan kepentingan konsumen kini telah digantikan oleh strategi bisnis yang berorientasi pada kepuasan konsumen, sehingga memutar balik kedudukan antara produsen dan konsumen. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menulis: “Strategi bisnis yang demikian, mengubah posisi konsumen yang hanya
50
Posisi Pemerintah Mengenai Pengembangan dan Pemanfaatan Pangan Transgenik, Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta, Oktober 2001.
Universitas Sumatera Utara
sekedar objek dalam pemasaran produk dari produsen menjadi subjek yang harus diperhitungkan kepentingannya.” 51 Pasar global tidak lagi semata-mata menjalankan hati-hati pembeli (caveat emptor), tetapi juga hati-hati penjual (caveat venditor), karena pihak konsumen dan publik pada umumnya sudah memiliki ekspektasi etis yang tinggi dan berani serta sanggup menyuarakannya dalam iklim social yang lebih demokratis. Kebijakan pemasaran pada masa sekarang yang didasarkan harus sesuai dengan tuntutan konsumen, menuntut produsen lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan produksi. 52 Komersialisasi teknologi rekayasa genetika memunculkan berbagai macam permasalahan yang berhubungan dengan tanggung jawab pelaku usaha. Pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk menguasai pengetahuan yang cukup berkaitan dengan produk yang dihasilkannya (pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika) sehingga produk tersebut dan juga penggunaannya tidak mengakibatkan bahaya atau membahayakan terhadap kesehatan manusia, bintang, dan lingkungan. Oleh karena tanggung jawab pelaku usaha meliputi semua kerugian yang dialami konsumen (Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen) dan beban pembuktian terletak pada pelaku usaha maka, ketika data dan pengetahuan pelaku usaha tidak mencukupi produk rekayasa genetika tersebut seyogiyanya ditarik dari peredaran. Untuk mengedarkan pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika terlebih dahulu produsen harus melakukan risk assessment yaitu dengan terlebih dahulu memeriksakan keamanan 51 52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., Hal. 145. Alois A. Nugroho, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, (Jakarta: Grasindo, 2001), Hal.
15.
Universitas Sumatera Utara
pangan bagi kesehatan manusia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif: 53 1.
Peringatan tertulis.
2.
Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau pemerintah untuk menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat risiko tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan manusia.
3.
Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.
4.
Penghentian produksi untuk sementara waktu.
5.
Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan atau pencabutan izin produksi atau izin usaha. Selain itu produsen yang memproduksi pangan untuk diedarkan dan atau
orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha tersebut wajib mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan. Selain ketentuan di atas dalam hal produsen dapat
53
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Universitas Sumatera Utara
membuktikan bahwa kerugian konsumen bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka produsen tidak wajib mengganti kerugian (Pasal 41). Selain itu pada aturan pidana produsen dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah) (Pasal 58). 54 Permasalahannya adalah produk-produk yang menggunakan teknologi rekayasa genetika, khususnya produk pangan, dampak negatif atau kerugian tidak langsung dirasakan pada seketika itu juga setelah seseorang mengkonsumsi produk tersebut. Dampak negatif yang dirasakan oleh konsumen akan berlangsung berpuluh-puluh tahun setelah mengkonsumsi yang mengakibatkan sering kali gagal diidentifikasi sebagai suatu dampak dari mengkonsumsi produk rekayasa genetika. Artinya di sini, batas jangka waktu penuntutan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu 4 (empat) tahun sejak barang dibeli, dalam kasus ini menjadi daluwarsa. 55 Tanggung jawab pelaku usaha terhadap pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika terbatas hanya sampai pada apa yang dapat diketahui pada masa sekarang (state of the art). Untuk itu sangat penting bagi produsen untuk selalu mengembangkan penelitian dan mengikuti peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah karena dengan demikian produsen dapat dibebaskan dari tanggung jawab. Tata hukum nasional Indonesia menyediakan sarana penyelesaian gugatan atas kerugian yang dialami konsumen atas penggunaan suatu produk, yaitu 54
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsuemen. 55
Universitas Sumatera Utara
tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum. 56 3.
Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi Tuntutan berdasarkan wanprestasi menurut Pasal 1243 KUHPerdata dapat dilakukan hanya apabila antara pihak penggugat dan tergugat sebelumnya telah terikat suatu perjanjian. Dengan demikian tuntutan ganti rugi konsumen terhadap produsen yang merugikan dirinya secara logis tidak mungkin dilakukan berdasarkan alasan wanprestasi. Hal ini disebabkan tidak adanya hubungan kontraktual antara produsen dan konsumen. Aliran barang yang melewati mata rantai yang panjang dari produsen- distributorgrosir-dst sampai dengan konsumen menunjukkan memang tidak ada hubungan kontraktual antara produsen dan konsumen.
4.
Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menanggung kerugian tersebut”. Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan gugatan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah (a) ada perbuatan melawan hukum; (b) ada kerugian; (c) ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian; (d) ada kesalahan. Artinya tidak diperlukan adanya hubungan kontraktual antara penggugat dan tergugat,
56
namun
gugatan
berdasarkan
perbuatan
melawan
hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
meletakkan beban pembuktian pada penggugat/konsumen yang mana sangat sulit dipenuhi, baik karena posisi konsumen ang lemah secara financial, maupun karena minimnya pengetahuan konsumen tentang proses produksi dan penyebab cacatnya hasil produksi yang merugikan dirinya. Setelah lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan produsen dibebankan kepada produsen. Praktek perdagangan modern proses distribusi dan iklannya ditujukan langsung pada masyarakat (konsumen) melalui media massa serta pemasangan etiket sehingga tidak perlu adanya hubungan kontraktual sebagai tanda terikatnya orang secara hukum. Prinsip tanggung gugat yang dianut dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembuktian terbalik. Konsumen hanya membuktikan adanya kerugian yang dialami akibat mengkonsumsi produk yang berasal dari produsen, sementara produsen harus membuktikan ada tidaknya kesalahan yang menyebabkan kerugian konsumen. 57 Keamanan pangan adalah sesuatu yang abstrak. Seringkali kita baru menyadari adanya masalah setelah jatuh korban. Posisi masyarakat sebagai konsumen relatif lemah karena unsur ketidaktahuan. Oleh karena itu masyarakat mengandalkan diri pada pemerintah dan produsen. Kejujuran produsen merupakan hal yang mutlak untuk menghasilkan pangan yang aman dengan menyampaikan informasi melalui label pangan yang dihasilkan. Sementara pemerintah berkewajiban mengawasi pangan yang beredar dan melakukan tindakan hukum yang dianggap perlu bagi pelanggarnya. Tidak sedikit produsen yang enggan
57
Tesis Kemal Hetami, Ibid., Hal. 214
Universitas Sumatera Utara
membeli produknya yang mengandung bahan rekayasa genetika karena selain mahalnya biaya penelitian, juga adanya ketakutan produsen bahwa masyarakat akan menganggap produk tersebut tidak aman. 58 Ketiadaan label pada produk merupakan suatu kecacatan (defected product) yang mana masuk dalam kategori cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Kecacatan suatu produk dapat didasarkan pada beberapa standar konseptual, yaitu: 59 1.
Harapan konsumen bahwa produk yang layak untuk dijual paling tidak harus sesuai dengan tujuan biasa dimana barang itu digunakan. Dugaan pengetahuan penjual.
2.
Dugaan pengetahuan penjual terhadap adanya cacat produk tersebut dan penjual tidak selayaknya menjual jika ia tahu produk tersebut akan menimbulkan risiko atau risikonya lebih besar daripada harapan wajar konsumen.
2.
Keseimbangan antara risiko dan manfaat dalam arti apakah biaya untuk membuat produk lebih aman, lebih besar atau lebih kecil daripada risiko/bahaya produk itu dalam kondisinya sekarang.
3.
State of art. Produk yang cacat adalah produk yang dengan pertimbangan pengetahuan dan teknologi yang tersedia serta biaya produksi, produk tersebut tidak memenuhi harapan yang wajar dari konsumen. Ada tidaknya kecacatan produk akan menjadi penting dalam menentukan
ada tidaknya kesalahan produsen yang menyebabkan kerugian bagi konsumen. 58 59
Ibid., Ibid., Hal. 214-215.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu langkah terbaik yang seharusnya dilakukan produsen adalah menaati peraturan undang-undang untuk melabeli produknya bila memang mengandung bahan rekayasa genetika. Dengan demikian apabila telah dilabel masyarakat tetap mengkonsumsi produk tersebut dia dianggap menerima risiko dan dengan demikian membebaskan produsen dari tanggung jawab. Mengenai pelabelan produk rekayasa genetika produsen harus mengedepankan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) oleh karena pengetahuan keilmuan dan teknologi yang tersedia pada saat produk dipasarkan belum bisa membuktikan bahwa pangan yang mengandung bahan rekayasa genetika adalah aman. Selain produsen, terdapat beberapa institusi yang ikut bertanggung jawab terhadap peredaran produk hasil teknologi rekayasa genetika. Berikut tabel peranan kelembagaan dan koordinasi penanganan produk hasil teknologi rekayasa genetika.
Universitas Sumatera Utara
Matrik Peranan Kelembagaan dan Koordinasi Penanganan Produk Biologi Hasil Rekayasa Genetika NO
INSTITUSI
JENIS TUGAS/KEGIATAN
KET
1
2
3
4
1
Umum/ Departemen teknis
2
Departemen Pertanian
3. Mengatur jenis-jenis PBHRG atas komoditas yang bersangkutan. 4. Mengatur syarat-syarat keamanan hayati dan keamanan pangan atas komoditas yang bersangkutan. 5. Mengatur pemanfaatan PBHRG atas komoditas yang bersangkutan. 6. Mengatur tata cara penelitian dan pengembangan PBHRG atas komoditas yang bersangkutan. 7. Memberikan persetujuan/penolakan permohonan atau peredaran PBHRG atas komoditas yang bersangkutan. 8. Memberikan persetujuan/penolakan terhadap permohonan pemasukan PBHRG atas komoditas yang bersangkutan. 9. Pengaturan tata cara pemasukan PBHRG dari luar negeri atas komoditas yang bersangkutan. 10. Pengaturan label PBHRG atas komoditas yang bersangkutan. 11. Persyaratan laboratorium dan fasilitas uji terbatas atas komoditas yang bersangkutan. 1. Bersama menteri terkait menerbitkan Surat Keputusan Bersama tentang PBHRG. 2. Pembinaan kepada pelaku agribisnis tentang dampak positif/negatif PBHRG. 3. Menerbitkan Keputusan Menteri tentang Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian dan Pelepasan Varietas. 4. Perkarantinaan hewan, ikan, tumbuhan menyelenggarakan perkarantinaan terhadap hama, penyakit hewan/ikan dan organisme pengganggu tumbuhan di tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran komoditi. 5. Institusi karantina pertanian sebagai pelaksana, menerapkan persyaratan pemasukan barang GMO sesuai ketentuan. 6. Notification Agent atas Rancangan Peraturan Perundangan tentang PBHRG kepada lembaga internasional (oleh Pusat Standarisasi dan
Universitas Sumatera Utara
3 4
Departemen Kesehatan Meneg Lingkungan Hidup
5
Departemen Kelautan dan Perikanan
6
Departemen Perindustrian dan Perdagangan
7
Litbang: (BPPT, LIPI, Batan, Perguruan Tinggi Badan Litbang
8
Badan POM
9
Komisi Nasional Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan
Akreditasi sebagai lembaga yang berwenang untuk ini) 7. Standarisasi pangan transgenik. Melakukan pengawasan pengaruh PBHRG terhadap status gizi masyarakat. 1. Menetapkan criteria produk yang ramah lingkungan. 2. Bersama dengan Menteri terkait membuat Surat Keputusan Bersama tentang PBHRG. 1. Pembinaan kepada pelaku usaha agribisnis tentang dampak positif/negatif PBHRG. 2. Menerbitkan Keputusan Menteri tentang keamanan hayati dan keamanan produk bioteknologi perikanan. 3. Sosialisasi Hasil Industri PBHRG 1. Bersama dengan Menteri terkait menetapkan Surat Keputusan Bersama tentang PBHRG. 2. Memberikan izin untuk memproduksi dan memperdagangkan PBHRG. 3. Sosialisasi Hasil Industri PBHRG. 1. Pemanfaatan teknologi tinggi dalam kegiatan rekayasa genetika untuk menghasilkan produk transgenik. 2. Melakukan pengujian yang intensif dalam perkembangan teknologi rekayasa genetika maupun terhadap produk transgenic dalam skala FUT dan Multi Lokasi. 3. Mempublikasikan dan mensosialisasikan hasil; temuan mengenai pengujian terhadap teknologi rekayasa genetika dan produk transgenik. 4. Mengadakan pengujian DNA untuk mengetahui produk transgenik atau tidak. 1. Menginventarisasi kasus keracunan akibat BTM (Pemanis, Pengawet, Pewarna) pada produk transgenik. 2. Melakukan penilaian keamanan produk PBHRG yang memenuhi/tidak memenuhi syarat pemberian izin pendaftaran pemanfaatan produk. 3. Memberikan rekomendasi keamanan pangan PBHRG. 1. Memberikan saran kepada menteri tentang pemberian persetujuan atau penolakan permohonan pelepasan atau peredaran PBHRG. 2. Merumuskan bahan kebijaksanaan dan prosedur pengkajian Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (KHKP).
Universitas Sumatera Utara
(KNKHKP)
10
3. Memberikan rekomendasi aman atau tidaknya PBHRG. 4. Mengadakan kerjasama dan konsultasi dengan lembaga-lembaga luar negeri tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan 5. Melakukan kajian dan evaluasi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan akibat pemanfaatan PBHRG, termasuk mengevaluasi hasil kajian Tim Teknis Hayati Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan. Tim Teknis 1. Membantu KN-KHKP dalam memberikan saran Keamanan dan pertimbangan kepada Menteri. Hayati dan 2. Memeriksa dan mengevaluasi semua permohonan Keamanan pemanfaatan PBHRG. Pangan 3. Melakukan pengujian lanjutan di laboratorium, (TTKHKP) rumah kaca, dan lapangan terbatas. 4. Memberikan saran dan pertimbangan teknis tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan atas pengujian dan pemanfaatan PBHRG. 5. Melakukan pemantauan Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan terhadap lingkungan hidup dan/atau kesehatan manusia dalam pemanfaatan PBHRG.
C. Hak-Hak Konsumen Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Konsumen seringkali menghadapi ketidakseimbangan kedudukan dengan produsen terutama disebabkan oleh kemampuan ekonomi, tingkat pendidkan dan posisi tawar yang lebih rendah. Ketidakpuasan konsumen tidak ditanggapi secara serius oleh produsen, atau kalaupun ditangani hanya memberikan kelegaan yang
Universitas Sumatera Utara
bersifat sementara. Hal ini mengakibatkan timbulnya perasaan tak berdaya, terasing, dan terisolasi yang disebut oleh Anderson dan Cunningham dengan alienasi. Alienasi menimbulkan respons defensif dalam bentuk boikot, tekanan untuk legislasi, dan seterusnya yang menjadi pemicu lahirnya gerakan konsumerisme pada tahun 1960-an sampai 1970-an. Konsumerisme merupakan gerakan yang memperjuangkan ditegakkannya hak-hak konsumen, yang meliputi kebijakan dan aktifitas yang dirancang untuk melindungi kepentingan dan hak konsumen ketika mereka terlibat di dalam suatu hubungan tukar-menukar dengan organisasi jenis apapun. 60 Hak-hak
dasar
konsumen
yang
terdapat
dalam
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 4 tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F.Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962, melalui “A special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right). Deklarasi tersebut menghasilkan empat hak dasar konsumen yaitu: 61 1.
Hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan (the right of safety) Produsen bertanggung jawab menjamin kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Engels menyebutkan doktrin keterdugaan (foreseeability) yang berpendapat bahwa pabrik harus mampu mengantisipasi dan menanggulangi risiko yang melekat di 60
James.F.Engel dan Roger D.Blackwell, Perilaku Konsumen, Jilid 2, (Jakarta: Binarpa Aksara, 1994), Hal. 459. 61 Shidarta, Op.cit., Hal. 16-27.
Universitas Sumatera Utara
dalam pemakaian produk dan mencari tahu cara-cara untuk menghindarinya. 62 Disamping itu produsen harus mempunyai kebijakan yang tepat untuk menjamin bahwa barang yang diproduksinya adalah aman bila digunakan secara normal. Oleh karena itu produsen yang bertanggung jawab membawa barang ke pasar, khususnya kepada pemasok, eksportir, importir, pengecer, dan sejenisnya harus menjamin bahwa ketika barang berada dalam penanganannya tidak menjadi berbahaya diakibatkan oleh handling atau penyimpanan yang tidak tepat. Konsumen harus diberikan instruksi yang jelas mengenai cara penggunaan barang dan diberi informasi mengenai risiko-risiko yang mungkin muncul dalam menggunakan barang tersebut. Informasi keamanan yang vital harus disampaikan kepada konsumen dengan mencantumkan simbol-simbol yang dimengerti secara internasional apabila memungkinkan. Selanjutnya produsen juga harus waspada terhadap bahaya yang tak terduga setelah produk masuk ke pasar dan harus memperingatkan pihak-pihak yang berwenang dan masyarakat dengan segera. Produsen harus menarik kembali, mengganti, atau memodifikasi produknya apabila produk tersebut diketahui cacat berat dan/atau menyebabkan bahaya yang substansial dan akut meskipun produk tersebut digunakan dengan benar. Artinya, produk makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia. Di AS, hak ini merupakan hak tertua yang tidak kontroversial karena didukung oleh masyarakat ekonomi.
62
James F. Engel, Op.cit., Hal.465-466
Universitas Sumatera Utara
2.
Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed) Setiap konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan
komprehensif tentang suatu produk barang/jasa yang dibeli (dikonsumsi). Konsumen berhak mengetahui hal-hal tentang barang atau jasa sebelum memutuskan untuk menggunakannya terutama sekali karena konsumen harus menyediakan dana untuk itu. Bagi konsumen, informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan pokok sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor, atau apa pun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. 63 Informasi suatu produk baik barang maupun jasa di atas dapat diperoleh dari: 64 1.
Pemerintah melalui penjelasan, siaran, keterangan, maupun legislasi. Apabila dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan informasi merupakan suatu keharusan, antara lain dalam bentuk label dan standardisasi.
2.
Konsumen atau organisasi konsumen melalui pembicaraan dari mulut ke mulut, media massa, ataupun hasil-hasil penelitian.
3.
Kalangan usaha melalui iklan, label, selebaran, brosur, pamphlet, katalog, dan lain-lain. Hal yang penting dalam pemberian informasi kepada konsumen adalah
bahwa informasi tersebut harus adekuat dan jujur. 65 Keadekuatan informasi dapat dijabarkan sebagai berikut: 63 64
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diadit Media, 2002), Hal.55. Ibid., Hal. 56-57.
Universitas Sumatera Utara
1.
Informatif. Suatu informasi dikatakan informatif apabila informasi tersebut mampu menyediakan informasi yang berguna bagi konsumen. Sebagai contoh, iklan atau label yang menggunakan bahasa Inggris dianggap tidak informatif apabila diterapkan pada produk yang dipasarkan di Indonesia dengan sasaran masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
2.
Cukup. Artinya, suatu informasi mampu memberikan keterangan yang memadai ketika konsumen memutuskan untuk membeli atau tidak. Cukup tidaknya suatu informasi sangat berbeda bagi masing-masing konsumen, dan untuk mengetahuinya harus dilakukan penelitian, dan kalau perlu pendidikan konsumen. “Oleh karena itu, adalah mustahil untuk memberikan jawaban sederhana terhadap pertanyaan berapa banyakkah yang dikatakan cukup. Ini hanya dapat dipecahkan berdasarkan penelitian yang memverifikasi pemerolehan dan pemakaian informasi yang actual. Seandainya ada kekurangan yang mengakibatkan keputusan pembelian yang tidak bijaksana, maka tindakan dapat diambil dalam bentuk promosi yang diubah atau upaya pendidikan konsumen.” 66
3.
Tidak kelebihan beban, yaitu bahwa pemberian informasi tidak terlalu banyak yang justru malah merusak pengambilan keputusan. “Ada batas-batas yang jelas pada pemrosesan informasi. Banyak pendukung konsumen berniat baik keliru mengasumsikan bahwa “lebih banyak lebih baik” dan akhirnya malah menghambat dan bukannya membantu konsumen.” 67 Selain adekuat, suatu informasi juga harus jujur. Kejujuran informasi
meliputi: 1.
Tidak menipu (false statement); 65
Ibid., Hal. 468. Ibid., Hal. 470. 67 Ibid. 66
Universitas Sumatera Utara
2.
Tidak menyesatkan (mislead);
3.
Proporsional. Yang pertama, suatu informasi tidak boleh menipu. Termasuk kategori
menipu diantaranya: tidak menyatakan yang sebenarnya, menutupi kondisi yang sesungguhnya, dan manipulasi. Kedua, informasi yang menyesatkan adalah klaim yang menyatakan sesuatu yang sebenarnya memang tidak ada. Contohnya, kalimat “Tidak mengandung kolesterol” pada kemasan minyak goreng merek tertentu. 68 Klaim ini menyesatkan karena mengesankan bahwa minyak goring selain merek tersebut mengandung kolesterol. Ketiga, informasi harus diberikan secara sama bagi semua konsumen. Kemampuan dan kesempatan konsumen dalam mengakses informasi tidak sama. Ketidakmampuan ini bisa dimanfaatkan demi keuntungan pelaku usaha, oleh karena itu informasi harus diberikan secara proporsional. “Apa yang dimaksud dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.” 69 Informasi yang adekuat dan jujur ini sangat penting untuk kemudian konsumen dapat menentukan pilihan yang bijaksana.
68 69
Kompas, 20 Juli 2004, Hal. 34. Shidarta, Op.cit., Hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
3. Hak untuk memilih (the right to choose) Setiap konsumen berhak memilih produk barang/jasa dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak-haknya. Ia harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barang/jasa yang akan dikonsumsi. Menurut Customers International anggapan dasar dalam era pasar bebas bahwa arus informasi yang sempurna akan memberikan kemungkinan pada pembeli dan penjual untuk memilih barang dan jasa secara rasional, serta adanya kemudahan keluar masuk barang ke dalam pasar tanpa halangan tidaklah selalu menjadi kenyataan. 70 Situasi pasar, kebijakan subsidi, paten, dan praktek dumping juga sangat mempengaruhi kebebasan konsumen untuk memilih. “Hak memilih yang dimiliki konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi.” 71
4.
Hak untuk didengar (the right to be heard) Konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan. Hak untuk didengar ini merupakan hak dari
70
Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), Hal. 64. 71
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), Hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
konsumen untuk tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. 72 Ganti rugi dapat dicapai dengan tiga cara, yaitu pencegahan, restitusi, dan hukuman. 73 Pertama, pencegahan. Idealnya, suara konsumen perlu didengar sebelum masalah berkembang dan ganti rugi menjadi perlu. Hal ini dapat dilakukan oleh para pelaku usaha dengan menerapkan tata etika perusahaan, menjaga mutu produk, dan garansi. Kedua, mengenai restitusi. Konsumen berhak untuk mengharapkan jawaban dari pabrik atau pengecer ketika keluhan diajukan, sehingga isu restitusi tidak perlu mencapai titik di mana otoritas legal melangkah masuk. Tindakan ini paling tidak mempertahankan loyalitas konsumen, dan sejarah membuktikan bahwa keuntungan dalam loyalitas konsumen jauh melebihi biaya. Akan tetapi, menurut Claes Fornell dan Robert A. Westbrook, pelajaran jenis ini tampaknya tidak tertanam sebagaimana seharusnya, seandainya tingkat keluhan merupakan indikasi. 74 Ketiga, hukuman. Apabila tidak ada tindakan lain yang berhasil, tindakan yang lebih ekstrem dalam bentuk denda atau kurungan, kehilangan laba, dan gugatan hukum dapat dilakukan. Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,
72
Ibid., Hal. 43. James F. Engel, Op.cit., Hal. 478-481 74 Claes Fornell dan Robert A. Westbrook, “The Vicious Cycle of Consumer Complaints”, Journal of Marketing 48 (Summer1984), Hal. 68-78. 73
Universitas Sumatera Utara
seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya memutuskan untuk menambahkan satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai pancahak konsumen. Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dimasukkan dalam UUPK ini karena UUPK secara khusus mengecualikan hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan di bidang pengelolaan lingkungan. Tidak jelas mengapa hanya kedua bidang hukum ini saja yang dikecualikan secara khusus, mengingat sebagai undangundang paying (umbrella act), UUPK seharusnya dapat mengatur hak-hak konsumen itu secara lebih komprehensif. Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut. 75 Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Konsumen
(Guideliness
for
Consumer
Protection)
juga
merumuskan beberapa aspek penting yang merupakan bagian penting dalam perlindungan konsumen yang perlu diperhatikan yaitu: 76
75
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal. 31. 76 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2003), Hal. 27-28.
Universitas Sumatera Utara
1.
Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
2.
Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.
3.
Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan pribadi.
4.
Pendidikan konsumen.
5.
Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
6.
Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Masyarakat Eropa (Europose Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga
menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: 77 1.
Hak perlindungan kesehatan dan keamanan.
2.
Hak perlindungan kepentingan ekonomi.
3.
Hak mendapat ganti rugi.
4.
Hak atas penerangan.
5.
Hak untuk didengar. Dari sekian banyak hak konsumen yang disebutkan diatas, pemerintah telah
mendefenisikan hak-hak konsumen tersebut dimana hak-hak konsumen tersebut
77
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), Hal. 39-40.
Universitas Sumatera Utara
tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu: 78 a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
78
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Di samping hak-hak dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). Dalam hukum positif Indonesia, masalah persaingan curang (dalam bisnis) ini diatur secara khusus pada Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selanjutnya, sejak 5 Maret 2000 diberlakukan juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan-ketentuan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi sesama pelaku usaha tidak bagi konsumen langsung. Kendati demikian, kompetisi tidak sehat di antara mereka pada jangka panjang pasti berdampak negatif bagi konsumen karena pihak yang dijadikan sasaran rebutan adalah konsumen itu sendiri. Di sini letak arti penting mengapa hak ini perlu dikemukan. 79 Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut: 80
79
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal. 32. 80
Ibid., Hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
a.
Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa tersebut tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha. Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 seiring dengan berkembangnya paham rasional individualisme di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian, prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. Dalam barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, Pemerintah selayaknya mengadakan pengawasan secara ketat. Misalnya zat atau obat yang tergolong dalam narkotika dan psikotropika. Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika menetapkan psikotropika dan narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, tidak dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Restriksi demikian perlu dilakukan semata-mata demi menjaga keamanan masyarakat atas akibat negatif dari produk tersebut. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang ditetapkan. Di Indonesia, sebagian besar fasilitas umum, seperti pusat perbelanjaan, hiburan, rumah sakit
Universitas Sumatera Utara
dan perpustakaan belum cukup akomodatif untuk menopang keselamatan pengunjungnya. Hal ini tidak saja bagi pengguna produk barang dan jasa (konsumen) yang berfisik normal pada umumnya, akan tetapi juga terlebih-lebih mereka yang cacat fisik dan lanjut usia. Akibatnya, besar kemungkinan mereka ini tidak dapat leluasa berjalan dan naik tangga di tempat-tempat umum karena tingkat resiko yang sangat tinggi. 81
b.
Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk. Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh: 1.
pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas;
81
Ibid., Hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
2.
pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya khasiat tertentu padahal tidak. Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak
informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, yaitu: 82 1.
terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya;
2.
daya beli konsumen makin meningkat;
3.
lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang;
4.
model-model produk lebih cepat berubah;
5.
kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen dan penjual. Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof. Hans W. Micklitz,
seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober 1998 membedakan konsumen berdasarkan hak ini. 83 Ia menyatakan, sebelum kita melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan. Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu: a.
konsumen yang terinformasi (well-informed)
b.
konsumen yang tidak terinformasi.
82 83
Shidarta, Ibid., Hal. 20. Warta Konsumen, 1998, Hal. 33-34.
Universitas Sumatera Utara
Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah: 1.
memiliki tingkat pendidikan tertentu;
2.
mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar, dan
3.
lancar berkomunikasi. Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung
jawab dan relatif tidak memerlukan perlindungan. Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-ciri, antara lain: 1.
kurang berpendidikan;
2.
termasuk kategori kelas menengah ke bawah;
3.
tidak lancar berkomunikasi. Konsumen jenis ini perlu dilindungi, khususnya menjadi tanggung jawab
negara untuk memberikan perlindungan. Selain cici-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anakanak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif). Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan informasi, akses kepada informasi yang tertutup, misalnya dalam praktik insider trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius. Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar konsumen memiliki kemampuan dan kesempatan akses informasi secara sama besarnya. Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proposional dan diberikan secara tidak diskriminatif. 84
c.
Hak untuk Didengar Hak yang erat kaitannya denagn hak untuk mendapatkan informasi adalah
hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan pengajuan informasi lebih lanjut. Dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan, harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu. Pengaturan demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik (self regulation) akan mengarah kepada langkah positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar. Dalam Pasal 44 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dinyatakan lembaga penyiaran wajib meralat isi siaran dan/atau berita. Penyanggah berita itu mungkin adalah konsumen dari produk tertentu. Ralat atau
84
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., Hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya satu kali 24 jam berikutnya atau pada kesempatan pertama pada ruang mata acara yang sama, dan dalam bentuk dan cara yang sama dengan penyampaian isi siaran dan/atau berita yang disanggah. Ketentuan dalanUndang-Undang Penyiaran itu jelas-jelas menunjukkan hak untuk didengar, yang dalam doktrin hukum dapat diidentikkan dengan hak untuk membela diri. 85
d.
Hak untuk Memilih Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan
pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seanadainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberi hak monopoli untuk memproduksi dam memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktik Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengartikan monopoli sebagai pengusaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dampak dari praktik monopoli ini adalah adanya persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang merugikan kepentingan umum (konsumen). Jika monopoli itu diberikan kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada
85
Ibid., Hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
kepentingan konsumen, akhirnya konsumen pasti didikte untuk mengonsumsi barang atau jasa itu tanpa dapat berbuat lain. Dalam keadaan seperti itu, pelaku usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual. Monopoli juga dapat timbul akibat perjanjian-perjanjian antarpelaku usaha yang bersifat membatasi hak konsumen untuk memilih. Dalam dunia perdagangan dikenal apa yang disebut market sharing agreements, quota agreement, price fixing agreements, resale price maintenance, dan sebagainya (dalam sejarah perdagangan dikenal sejak 1870-an). 86
e.
Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai Tukar yang Diberikan Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga
yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Nmaun, dalam ketidakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi: take it or leave it. Jika setuju silahkan beli, jika tidak silahkan mencari tempat yang lain (padahal di tempat lain pun pasar sudah dikuasainya). Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi tawarmenawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat saja
86
Ibid., Hal. 37
Universitas Sumatera Utara
membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Praktik yang tidak terpuji ini lazim dikenal dengan istilah externalities. 87
f.
Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang
dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masingmasing pihak. Untuk menghindar dari kewajiban memberikan kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Klausul seperti “barang yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim ditemukan pada took-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Dalam uraian tentang hak untuk didengar dikatakan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran wajib mencantumkan ralat isi siaran dan/atau berita yang disanggah pihak lain. Jika penyanggah isi siaran itu konsumen, walaupun ralat dimuat, hak konsumen tidak berarti dengan sendirinya hilang. Lembaga penyiaran tidak terbebas dari tanggung jawab atas tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan. 88
87 88
Ibid., Hal. 37. Ibid., Hal. 38
Universitas Sumatera Utara
g.
Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi
daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk
advokasi.
Dengan
kata
lain,
konsumen
berhak
menuntut
pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk itu. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak. Tentu ada beberapa karakteristik tuntutan yang tidak memperbolehkan tuntutan ganti kerugian ini, seperti dalam upaya legal standing LSM yang dibuka kemungkinannya dalan Pasal 46 ayat (1) Huruf c UUPK. 89
h.
Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat Hak konsumen atas lingkunan yang baik dan sehat merupakan hak yang
diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.
89
Ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam ketentuan itu jelas bahwa lingkungan hidup , selain sehat juga harus baik. Rumusan ini tidak berbeda dengan undang-undang yang lama, yakni: Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengertian “setiap orang” selain mengacu kepada manusia individual, juga kepada kelompok orang atau badan usaha. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di negara-negara yang bergabung dalam The International Tropical Tumber Organization (ITTO), jika telah memperoleh ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia, karena praktis pangsa pasar terbesarnya adalah negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000. 90
90
Ibid., Hal . 39.
Universitas Sumatera Utara
i.
Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut
dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen saingannya yang lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, dan produksi saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan produsen yang curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula yang dirugikan. Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh pemerintah guna mencegah timbulnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. 91
j.
Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.
Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hakhaknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dimungkiri sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat. Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapat “pendidikan konsumen” ini. Pengertian “pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang hasus
disampaikan
91
kepada
konsumen.
Bentuk
informasi
yang
lebih
Ibid., Hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
komprehensif dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Produsen mobil misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman. Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5, yakni: 92 a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
92
Ibid., Hal. 41.
Universitas Sumatera Utara