BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Keuangan mikro Keuangan mikro merupakan alat yang cukup penting untuk mewujudkan
pembangunan oleh Pemerintah Indonesia dalam tiga hal sekaligus, yaitu: menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan. Akses terhadap jasa keuangan yang berkelanjutan merupakan prasyarat bagi para pelaku usaha mikro untuk meningkatkan kemampuan usahanya dan keluarga miskin dalam mengurangi kerentanan hidup terhadap musibah dan permasalahan ekonomi, serta untuk meningkatkan penghasilan mereka. Keuangan mikro adalah alat yang penting dalam strategi pembangunan negara yang diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi nasional. Walaupun Indonesia memiliki beraneka ragam penyedia jasa keuangan mikro, namun kesenjangan antara permintaan dan penawaran layanan keuangan mikro masih tetap ada. Sebagian besar keluarga di Indonesia tidak memiliki akses layanan jasa keuangan, dimana sebagian besar keluarga ini tinggal di wilayah pedesaan yang jumlah masyarakat miskinnya tercatat paling tinggi (Ashari, 2006). Selanjutnya menurut Setyarini (2008) keuangan mikro juga memiliki beberapa prinsip kunci. Adapun prinsip-prinsip tersebut sebagi berikut : 1. Masyarakat miskin membutuhkan aneka ragam jasa keuangan, tidak hanyapinjaman. 2. Keuangan mikro adalah instrumen yang berdaya guna untuk melawan kemiskinan. 3. Keuangan mikro artinya membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat miskin. 4. Keberlanjutan keuangan sangat diperlukan agar mampu menjangkau orang miskin dalam jumlah besar 5. Keuangan mikro itu mengenai pembangunan lembaga keuangan lokal yang permanen.
6.
Kredit mikro tidak selau merupakan jawaban. Kredit mikro tidak sesuai bagi setiap orang atau setiap situasi. Prinsip- prinsip di atas menunjukan bahwa sebagaimana halnya dengan
banyak orang lainnya, orang miskin juga membutuhkan berbagai macam jasa keuangan yang nyaman, fleksibel, dan penetapan harga yang wajar. Tergantung keadaan mereka orang miskin tidak saja membutuhkan kredit, tetapi juga tabungan, transfer uang, dan asuransi. Akses terhadap jasa keuangan berkelanjutan memungkinkan masyarakat miskin meningkatkan pendapatan, meningkatkan aset, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap goncangan eksternal. Keuangan mikro memungkinkan rumah tangga berpendapatan rendah untuk beralih dari sekedar perjuangan untuk bertahan hidup dari hari ke hari menuju perencanaan masa depan, peningkatan kondisi kehidupan, serta peningkatan kesehatan dan pendidikan anak-anak.
A. Lembaga Keuangan Mikro Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997) dalam Wijono (2004), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro ini umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Ashari (2006), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income households and their microenterprises). Selain itu, terdapat tiga hal yang penting dalam LKM, yang pertama adalah menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman tradisional masyarakat Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, simpanan, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani masyarakat miskin karena memang pada awalnya keuangan
mikro muncul dan berkembang akibat dari permasalahan mengenai sulitnya masyarakat kelas menengah kebawah untuk mengakses modal dari lembaga keuangan konvensional. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang fleksibel. Hal ini merupakan konsekuaensi dari masyarakat yang dilayani sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan oleh sistem keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel. Selanjutnya, merujuk pada Prabowo (2001) dalam Ashari (2006) bentuk LKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal misalnya pelepas uang atau rentenir. Hal lain yang perlu diperhatikan dari LKM adalah LKM dikembangkan berdasarkan semangat untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin, baik untuk kegiatan konsumtif ataupun kegiatan yang produktif keluarga miskin tersebut. Berdasarkan fungsinya, maka jasa keuangan mikro yang dilaksanakan oleh LKM memeiliki ragam yang luas yaitu dalam bentuk kredit dan pembiayaan lainya.
B. Usaha kecil Mikro dan Menengah Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 seperti yang dikutip oleh Ahlam (2005) mengenai UKM terdapat beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikannya yaitu usaha mikro, kecil dan menengah. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorang dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur oleh undang-undang. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah datau usaha besar yang memenihi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang. Pelaku usaha kecil dan mikro adalah individu atau kelompok yang melakukan kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Aktor-aktor yang terlibat dalam usaha ini mayoritas adalah masyarakat kelas menengah kebawah yang tidak memiliki modal yang cukup besar untuk mendirikan suatu usaha yang berskala besar. Adapun ciri- ciri UKM menurut Ashari (2006) yaitu : jenis barang/komoditi
usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti, tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat, belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha,
sumber daya manusianya
(pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai, tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah, umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank. Pembahasan usaha kecil mengenai pengelompokan jenis usaha yang meliputi usaha industri dan usaha perdagangan. Pengertian tentang usaha kecil dan menengah (UKM) tidak selalu sama, tergantung konsep yang digunakan. Mengenai pengertian atau definisi usaha kecil ternyata sangat bervariasi. Dalam definisi tersebut mencakup sedikitnya dua aspek yaiu aspak penyerapan tenaga kerja dan aspek pengelompokan perusahaan ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap dalam kelompok perusahaan tersebut. Mengacu Undang-undang Nomor 9 tahun 1995, kriteria usaha kecil dilihat dari segi keuangan dan modal yang dimilikinya adalah: 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak dua ratus juta rupiah (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) 2. Memiliki hasil penjualan paling banyak satu miliar per tahun Definisi atau kriteria yang digunakan untuk usaha kecil dan usaha menengah di Indonesia sampai saat ini dirasakan sudah tidak sesuai dengan kondisi dunia usaha, serta kurang dapat digunakan sebagai acuan oleh instansi dan institusi lain, sehingga masing-masing institusi menggunakan definisi yang berbeda.
C. Peranan UMKM dalam Bidang Sosial Menurut Clapham (1991), tujuan sosial dari UMKM sekurang-kurangnya untuk mencapai tingkat kesejahteraan minimum, yaitu menjamin kebuutuhan dasar rakyat. Sadoko (1995) juga menegaskan peranan usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen perkotaan lain yang berdaya beli lebih tinggi, selain itu
usaha kecil juga menyediakan bahan baku atau jasa bagi usaha menengah dan besar, termasuk pemerintah lokal. Karena itu, perlu ditekankan disini bahwa perusahaan besar membutuhkan perusahaan kecil, karena alasan-alasan ekonomi, sebagai pemasok misalnya, dan pembeli produk dan penyedia berbagai jasa. Peranan UMKM untuk kepentingan konsumen berpendapatan rendah penting untuk menjamin persediaan barang bermutu sederhana bersangkutan, dan pada harga yang terjangkau. Dapat dikatakan bahwa perusahaan kecil memberikan sumbangan yang sangat penting dalam bentuk turut menurunkan biaya hidup bagi kelompok-kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Umumnya, karena itu perusahaan kecil dan menengah memberikan sumbangan yang besar dari segi kedaulatan konsumen (Clapham, 1991). Selain berperan dalam kedaulatan konsumen, UMKM memiliki peranan yang sangat berarti dalam hal penciptaan lapangan kerja. Clapham (1991) menyebutkan bahwa lebih dari 75 persen lapangan kerja di luar sektor pertanian di negara sedang berkembang diciptakan oleh perusahaan kecil dan menengah di sektor industri pengolahan, perdagangan, dan selebihnya di sektor jasa. Mendukung pernyataan tersebut, Rahmana (2009) juga menyatakan bahwa hampir 90 persen daritotal usaha yang ada di dunia merupakan kontribusidari UKM. Kontribusi UKM terhadap penyerapan tenaga kerja, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia, mempunyai peranan yang signifikan dalam penanggulangan masalah pengangguran. Berdasarkan fakta tersebut, Tambunan (2001) menyebutkan bahwa UKM juga mampu
mereduksi ketimpangan pendapatan terutama di negara-negara
berkembang. Melihat peranan UKM yang sangat signifikan dalam penciptaan kesempatan kerja dan nilai tambah seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, mendukung pendapat bahwa UKM mampu memberikan manfaat sosial yaitu mereduksi ketimpangan pendapatan (Sulistyastuti, 2004). Karena itu, sektor perusahaan kecil dan menengah dipandang lembaga yang cocok untuk menghilangkan dualisme ekonomi dan sosial (Clapham, 1991).
D. Peranan UMKM dalam Bidang Ekonomi Berdasarkan tujuan ekonomi yang hendak dicapai, UMKM dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber daya nasional menurut prinsip-prinsip ekonomi. Karena itu, pengusaha dan negara mempunyai tugas pokok untuk memanfaatkan semua faktor produksi (tenaga kerja, modal, dan tanah) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimum dan sesuai dengan kepentingan rakyat (Clapham, 1991). Sadoko (1995) juga mengungkapkan
bahwa usaha kecil
memberikan kontribusi yang tinggi sekitar 55 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor-sektor perdagangan, transportasi, dan industri. Sektor ini juga mempunyai peranan cukup penting dalam penghasilan devisa negara melalui usaha pakaian jadi (garments), barang-barang kerajinan termasuk meubel dan pelayanan bagi turis. Rahmana (2009) menegaskan kembali bahwa UKM di Indonesia telah menunjukkan perannya dalam penciptaan atau pertumbuhan kesempatan kerja dan sebagai salah satu sumber penting bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Kementrian Negara Koperasi dan UKM menyatakan bahwa pada tahun 2006-2007 kontribusi UKM dalam penciptaan nilai tambah nasional sebesar Rp 1.778,75 triliun atau sebesar 53,3 persen dari PDB nasional dengan laju pertumbuhan PDB
tahun 2005-2006 adalah sebesar 5,40 persen. Selain itu,
UMKM turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor non-migas. Selama periode 1990-1995, UKM menyumbangkan rata-rata 40 persen dari total ekspor. Sadoko (1995) juga mengungkapkan bahwa dalam hal perolehan devisa, industri kecil menyumbang sekitar 15 persen dari seluruh nilai ekspor industri yang ada.
2.1.2
Pengertian Modal Sosial Konsep modal sosial memiliki pengertian yang berbeda-beda dikalangan
pakar ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Masalah konsep kapital atau modal dalam modal sosial bersumber pada beberapa keterbatasan dan referensi. Konsep kapital dalam referensi ekonomi mempertimbangkan referensi bukan ekonomi yang sering kali terbatas, konsep kapital dalam referensi ilmu sosial terlalu sedikit mempertimbangkan
referensi
ekonomi,
sehingga
sulit
untuk
mencapai
keseragaman pengertian (Lawang 2004). Berikut adalah konsep modal sosial menurut beberapa ahli : A. Putnam Menurut (Putnam 1993 dalam Vipriyanti 2007) modal sosial juga dapat dilihat sebagi sekumpulan asosiasi di antara orang-orang yang mempengaruhi produktivitas komunitas yang mencakup jaringan dan
norma secara empirik
saling berhubungan dan saling memiliki konsekuensi ekonomi yang penting. Modal sosial berperan di dalam memfasilitasi kerjasama dan koordinasi untuk manfaat bersama bagi anggota-anggota asosiasi. Selanjutnya (Putnam, 2000 dalam Field 2003) memperkenalkan perbedaaan dua bentuk dasar modal sosial : menjembatani
(bridging)
dan
mengikat
(bonding).
Modal
sosial
yang
menjembatani cenderung bersifat menyatukan orang dari beragam ranah sosial yang berbeda sedangkan modal sosial yang mengikat cenderung mendorong identitas ekslusif dan mempertahankan homogenitas. Masing-masing bentuk tersebut membantu menyatukan kebutuhan yang berbeda modal sosial yang mengikat adalah sesuatu yang baik untuk menopang resipprositas spesifik dan memobilisasi solidaritas, sambil pada saat yang sama menjadi semacam perekat terkuat sosiologi dalam memelihara kesetiaan yang kuat di dalam kelompok dan memperkuat identitas-identitas spesifik. Sementara hubungan-hubungan yang menjembatani lebih baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi persebaran informasi da menjadi katalis sosiologi yang dapat membangun identitas dan resiprositas yang lebih luas. B. Fukuyama Menurut Fukuyama (2007), menjelaskan modal sosial secara sederhana bisa didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki
bersama
diantara
para
anggota
kelompok
masyarakat
yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Jika anggota kelompok tersebut mengharapkan para anggota kelompok berprilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Menurut Fukuyama (2007) bahwa kepercayaan sangat bergantung dengan kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan yang berkembang pada setiap individu di dalam masyarakat. Berikut
adalah penjelasan dari kekerabatan, kolektivitas, etnisitas dan keterampilan dalam konsep Trust (Fukuyama, 2007) : 1.
Kekerabatan, terkait pada hubungan seseorang dengan seseorang yang berasal dari garis keturunan yang sama, terdapat hubungan keluarga. Seseorang akan memiliki kepercayaan yang lebih kepada anak, adik, kakak, bapak, ibu yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dibandingkan dengan seseorang non-kerabat.
2.
Kolektivitas, terkait dengan nilai kebersamaan yang memiliki rasa solidaritas komunal yang tinggi dalam masyarakat cenderung memiliki kekuatan ketika dihadapi suatu tekanan.
3.
Etnisitas, terkait dengan persebaran etnik tertentu dalam suatu wilayah. Dalam suatu wilayah dengan komunitas yang cenderung memiliki etnik homogen maka mendukung komunitas tersebut menghadapi tekanan.
4.
Keterampilan, terkait dengan keahlian yang dikuasai secara mendalam oleh seseorang untuk membuat dan melakukan aktivitas yang tidak semua orang mampu melakukannya. Walaupun definisi modal sosial di kalangan para pakar ilmu ekonomi dan
ilmu sosial berbeda-beda, akan tetapi secara umum modal sosial memiliki tiga unsur utama, yaitu ; (1) Kepercayaan ,(2) jaringan dan (3) Norma. Ketiga unsur tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengukut tingkat modal sosial di suatu wilayah. 1. Kepercayaan Dalam membangun ikatan sosialnya, modal sosial dilandasi oleh trust (kepercayaan) sehingga modal sosial akan menjadi infrastruktur komunitas yang dibentuk secara sengaja (Fukuyama, 2001 dalam Alfiasari, 2007). Kepercayaan adalah rasa percaya yang terdapat di antara dua orang atau lebih untuk saling berhubungan. Bagi sebagian analis sosial kepercayaan disebut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan dan juga menjadi nyawa dari modal sosial tersebut. Kepercayaan adalah sesuatu yang terbangun dari hubungan-hubungan sosial
dimana terdapat
peraturan
yang dapat
dirundingkan dalam arti terdapat ruang terbuka dari peraturan-peraturan tersebut untuk mencapai harapan-harapan yang ingin dicapainya (Seligman 2000 dalam
Dharmawan 2002a, 2002b). Ada tiga hal utama yang saling terkait dalam kepercayaan, yaitu : (1) hubungan antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam hubungan tersebut adalah institusi, yang dalam hal ini diwakili oleh orang. Seseorang percaya pada institusi tertentu untuk kepentingannya, karena orang dalam institusi tersebut bertindak. (2) Harapan yang terkandung dalam hubungan tersebut, yang jika direalisasikan salah satu dari kedua belah pihak tersebut. (3) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud. Dengan ketiga dasar tersebut kepercayaan dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial (Lawang, 2004). Rasa percaya akan mempermudah terbentuknya kerjasama. Semakin kuat rasa percaya kepada orang lain maka akan semakin kuat juga kerjasama yang terjalin antara mereka. Kepercayaan sosial muncul dari hubungan yang bersumber pada norma resiprositas dan jaringan kerja dari keterkaitan warga negara (Lawang,2004). Dengan adanya rasa saling percaya, tidak dibutuhkan aktivitas pengawasan terhadap prilaku orang lain agar orang tersebut berprilaku sesuai dengan keiinginan kita. Kepercayaan dapat dibangun, akan tetapi dapat juga hancur. Demikian juga kepercayaan tidak dapat ditimbuhkan oleh salah satu sumber saja, tetapi sering kali tumbuh berdasarkan pada hubungan teman atau keluarga (Williamson, 1987 dalam Viprianty,
2007). Rasa percaya ditentukan oleh
homogenitas, komposisi, populasi dan tingkat keragaman. Ras percaya yang tinggi ditemukan pada wilayah dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat keberagaman rendah. Hasbullah (2006), menyatakan bahwa berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling percaya yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. . 2. Jaringan Lawang (2004) menjelaskan, menjelaskan pengertian jaringan mengacu pada hubungan sosial yang teratur, konsisten dan berlangsung lama, hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan banyak individu. Hubungan antar individu tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus
merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat. Michel (1999) dalam Lenggono (2007) mengemukakan bahwa, jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk diantara kelompok orang, karekteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan motif-motif prilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sementara Suparlan (1995) mengemukakan, bahwa jaringan sosial merupakan proses pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan dihubungkan melalui hubungan sosial. Setiap individu tersebut dapat memasuki berbagai kelompok sosial yang terdapat di masyarakat dan menjalin ikatan sosial berdasarkan unsur kekerabatan, keteanggaan, dan pertemanan (Lenggono 2007). Ikatan sosial tersebut dapat berlangsung di antara mereka yang memiliki status sosial ekonomi. Setiap individu akan melihat dirinya sebagai pusat dari jaringan yang dimilikinya, ikatan sosial yang terbentuk merupakan sarana yang dapat menjembatani hubungan diantara anggota jaringan tersebut. Dalam jaringan yang terbentuk tersebut, hubungan sosial dan
keanggotaanya dapat melampaui batas teritorial dan
keberadaan masyarakat yang bersangkutan. Menurut Lawang (2004) jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan hubungan sosial yang lebih luas, ini berarti individu tersebut akan
memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial yang
sesuai dengan ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan yang hendak dicapainya kemudian Lawang (2004) menambahkan keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis, karena pada dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial akan selalu terkait dengan jaringan sosial yang kompleks. Bila sejumlah individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda sesuai dengan fungsi dan konteksnya, ia akan merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial bukan hanya pencerminan adanya keteraturan aturan dalam satu jaringan sosial, melainkan juga menjadi sarana untuk memahami batas-batas status peran, serta hal dan kewajiban individu yang terlibat dalam hubungan sosial tersebut. Berdasarkan tinjauan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial
dalam suatu masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut : 1. Jaringan kekuasaan, yakni hubungan sosial yang terbentuk bermuatan kepentingan kekuasaan 2. Jaringan kepentingan, yakni hubungan sosial yang membentiknya adalah hubungan sosial yang bermuatan kepentingan sosial 3. Jaringan perasaan, yakni jaringan sosial yang terbentuk atas dasar hubungan sosial yang bermuatan peran
3. Norma Menurut (Dharmawan, 2002a; 2002b dalam Alfiasari, 2008) norma merupakan sebuah pertanda dalam mendukung keberadaan kepercayaan antar individu. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerjasama sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilainilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, dan ikatan timbal balik (Fukuyama, 2007). Hasbullah (2006), mengartikan
norma sebagai sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi dan diikuti masyarakat pada entitas sosial tertentu. Normanorma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Norma-norma tersebut biasanya terinstitusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak tertulis tetapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial. Lawang (2004), mengatakan norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan. Kalau struktur jaringan tersebut terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antara dua orang atau lebih, sifat norma kurang lebih sebagai berikut : 1. Norma itu muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan, artinya jika pertukaran tersebut hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial yang selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu norma yang
muncul disini, bukan sekali jadi melalui satu pertukaran saja. Norma muncul karena beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan ini dipegang terus menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus terpelihara. 2. Norma bersifat resiprokal, artinya isi norma manyangkut keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan tertentu. Orang yang melanggar norma ini yang berdampak pada berkurangnya keuntungan di kedua belah pihak, akan diberi sanksi negatif yang keras. 3. Jaringan yang terbina menjamin keuntungan kedua belah pihak secara merata, akan memunculkan norma keadilan, dan akan melanggar prinsip keadilan akan dikenakan sangsi yang keras juga.
2.1.3 Pengertian Kredit Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu, dasar dari kredit ialah kepercayaan. Seseorang yang memberikan kredit percaya bahwa penerima kredit di masa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan. Apa yang dijanjikan itu dapat berupa uang, barang, atau jasa (Suyanto, 2007). Pengertian kredit menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan adalah penyadiaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan
kesepakatan
pinjam-meminjam
untuk
melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit juga dapat diartikan sebagai hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta atau pada waktu yang akan datang karena penyerahan barang-barang yang sekarang (Kent dalam Ramadhini 2008). Berdasarkan beberap pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur yang terkandung dalam kredit (Suyatno, 2007) adalah : 1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang di berikannya baik dalam bentuk uang, barang maupu jasa kan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu pada masa yang akan datang. 2. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Adanya unsur resiko ini menyebabkan adanya jaminan dalam pemberian kredit. 4. Prestasi, yaitu objek kredit baik berupa uang, barang ataupun jasa.
A. Tujuan dan Fungsi Kredit Pada dasarnya pemberian kredit dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan yang terwujud dalam bentuk bunga yang diterima. Namun, tujuan pemberian kredit disesuaikan juga dengan tujuan negara yaitu untyuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Pemberian kredit untuk usaha yang produktif diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi, pendapatan dan kesempatan kerja yang secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat (Suyatno, 2007). Suyatno (2007) manyimpulkan fungsi kredit sebagai berikut : 1. Kredit dapat meningkatkan daya guna uang Pemilik uang dapat meminjamkan uangnya sebagai kredit kepada pengusaha atau menyimpan uangnya pada lembaga keuangan lalu uang tersebut diberikan diberikan sebagai kredit peinjaman kepada perusahaan yang digunakan untuk mengembangkan usahanya. Dengan cara ini berarti uang tersebut lebih berguna dari pada disimpan saja 2. Kredit dapat meningkatkan peredaran dan lalu-lintas uang Adanya transaksi penyaluran dan pembayaran kredit menyebabkan peredaran uang meningkat 3. Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang Pemberian kredit kepada pengusaha dapat meningkatkan kemampuan produksi sehingga daya guna barang makin menigkat. Selain itu, adanya penjualan dan pembelian barang secara kredit juga meningkatkan peredaran barang. 4. Kredit sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi Peran kredit dalam menjaga kestabilanekonomi terlihat dari penyaluran kredit pada sektor yang produktif umtuk meningkatkan produksi sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat dan ekspor
5. Kredit dapat meningkatkan gairah berusaha Bantuan kredit dapat mengatasi kendala modal yang dihadapi pengusaha sehingga pengusaha dapat meningkatkan usahanya. 6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan. Penyaluran kredit kepada pengusaha memberi kesempatan untuk peningkatan skala usaha yang diikutu oleh meningkatnya penyerapan tenaga kerja. Selain itu, fungsi kredit dapat dilihat dari sudut pandang dunia usaha dan lembaga keuangan (Dendawijaya dalam Ramadhini 2008) yaitu : 1. Bagi dunia usaha (termasuk usaha kecil). Kredit berfungsi sebagai sumber permodalan untuk menjaga kelangsungan atau meningkatka usahanya. Pengembalian kredit wajib dilakukan tepat waktu yang diharapkan diperoleh dari keuntungan usahanya 2. Bagi lembaga keuangan (termasuk LKM). Kredit berfungsi untuk menyalurkan dana masyarakat kepada dunia usaha.
B. Kredit Mikro Pengertian dari kredit mikro sangat terkait dengan pengertian usaha mikro. secara universal pengertian kredit mikro adalah definisi yang dicetuskan dalam pertemuan The World Summit in Microcredit di Washington pada tanggal 2-4 Februari 1997 yaitu program atau kegiatan memberikan pinjaman yang jumlahnya kecil kepada masyarakat golongan kelas menengah ke bawah untuk kegiatan usaha meningkatkan pendapatan, pemberian pinjaman untuk mengurus dirinya sendiri dan keluarganya (The World Summit in Microcredit , 2007 dalam Ramadhini, 2008). Usaha kredit mikro adalah suatu istilah lain dari micro credit. Ada banyak pihak yang mencoba mendefinisikan kredit mikro. Berikut ini beberapa di antaranya. Grameen Banking (2003) dalam Ramadhini (2008) mendefinisikan kredit mikro sebagai pengembangan pinjaman dalam jumlah kecil kepada pengusaha yang terlalu lemah kualifikasinya untuk dapat mengakses pada pinjaman dari bank tradisional. Calmeadow (1999) mengartikan kredit mikro sebagai arisan pinjaman modal untuk mendukung pengusaha kecil dalam beraktivitas, umumnya dengan alternatif jaminan kolateral dan sistem monitoring
pengembalian. Pinjaman diberikan untuk melayani modal kerja sehari-hari, sebagai modal awal untuk memulai usaha, atau sebagai modal investasi untuk membeli asset tidak bergerak. Pada umumnya, kredit mikro melayani area geografi tertentu atau masyarakat tertentu. Dana awalnya diberikan sebagai jawaban terhadap kebutuhan dari kelompok tertentu seperti wanita, pendatang baru, anak-anak, dan orang cacat. Kebanyakan usaha kredit mikro menawarkan beberapa bentuk dari bantuan teknis, seperti pelatihan usaha kecil, pertukaran pengalaman di antara anggota, dan peluang jejaring.
Tabel 2. Kriteria Kredit Mikro Kriteria
Besaran
Ukuran
Pinjaman kecil atau sangat kecil
Kelompok sasaran
Pengusaha kecil (sektor informal) Keluarga berpendatan rendah
Penggunaan
Meningkatkan pendapatan Pengembangan usaha
Waktu dan persyaratan
Kegaitan social Fleksibel Disesuaikan dengan kondisi persyaratan
Sumber : Bank Indonesia, 2006 dalam Ramadhini (2008)
Selanjutnya, Calmeadow menjelaskan bahwa struktur kepemilikan dana pinjaman kredit mikro amat bervariasi. Umumnya kredit mikro dimiliki secara campuran antara dana publik dengan investasi swasta. Kredit mikro juga dapat beroperasi secara independen, bagian integral dari program pengembangan masyarakat ekonomi, atau suatu program yang merupakan bagian dari bank komersial. Pada kenyataanya kredit mikro telah terbukti secara efektif dan popular dalam upaya mengatasi kemiskinan (Grameen Banking, 2003 dalam Ramadhini, 2008). Meskipun pada awalnya kredit mikro lahir sebagai suatu terobosan bagi penyediaan jasa keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses ke system keuangan modern. Dalam perkembangannya, konsep pembiayaan mikro telah meluas tidak sekedar sebagai salah satu alternatif sumber
pembiayaan usaha kecil, tetapi lebih dari itu, sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan ekonomi (Sabirin, 2001).
C. Tahapan Kredit Mikro Tahapan pemberian kredit pada dasarnya dikatagorikan menjadi tiga tahap yakni : rescue, recovery dan development (Wardoyo, 2006). Pengkatagorian tersebut didasarkan pada perkembangan usaha kecil mikro yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pada saat tahap awal pendirian usaha, pelaku usaha kecil mikro membutuhkan jumlah dana yang tidak terlalu banyak dan dana tersebut digunakan sebagai dana pencetus atau sebagai modal awal untuk menjalankan suatu usaha. Tahap tersebut dinamakan dengan tahap rescue. Tahap rescue adalah tahap yang membutuhkan modal awal atau dana pencetus untuk memulai suatu usaha . Setelah melewati tahap rescue usaha yang dijalankan sudah mulai berjalan beberapa lama dan membutuhkan dana lain sebagai pelengkap atas kekurangankekurangan yang dialami selama tahap rescue. Tahap tersebut dinamakan dengan tahap recovery yakni tahap yang membutuhkan dana lain sebagai pelengkap atas kekurangan dalam menjalankan usaha selama tahap rescue Tahap yang terakhir adalah tahap development yakni tahap yang dilalui usaha untuk mulai melakukan pengembangan agar usaha tersebut dapat bertahan cukup lama dan pada tahap tersebut membutuhkan dana yang digunakan untuk pengembangan usaha dan biasanya jumlah dana pada tahap ini lebih besar dari tahap lainya.
2.2
Kerangka Pemikiran Dalam memandang permasalahan keuangan mikro aspek sosial tidak bisa
kesampingkan begitu saja karena aspek sosial juga memiliki peranan yang cukup penting. Aspek sosial yang dimaksud di sini adalah modal sosial. Berdasarkan hal tersebut maka hal yang layak untuk diangkat adalah masalah perolehankredit atau modal finansial oleh pelaku usaha kecil terhadap Lembaga Keuangan Mikro. Seperti yang telah diketahui bahwa modal sosial yang terdiri dari tiga pilar utama diantaranya kepercayaan, norma dan jaringan. Kepercayaan disini ditandai dengan adanya posisi dan status sosial seseorang karena seseorang akan memiliki peran dan pengaruh yang besar jika dia memiliki posisi dan status yang tinggi dalam suatu masyarakat dan jika orang tersebur memiliki peran dan pengaruh yang besar maka anggota masyarakat lain akan cenderung memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap orang tersebut. Selain itu, kepercayaan ditandai juga dengan adanya keterampilan. Artinya seseorang yang memiliki keterampilan yang lebih akan cenderung dipercaya oleh orang lain. Komponen lain dari modal sosial adalah jaringan. Kepercayaan juga ditandai dengan kekerabatan karena seseorang akan lebih mempercayai anggota kerabatnya dibandingkan dengan orang lain. Jaringan ditandai dengan basis jaringan dan tingkat interaksi. Basis jaringan disini bisa dikatakan seperti hubungan pertemanan atau pun pertetanggaan. Selain itu jaringan ditandai dengan adanya tingkat interaksi. Suatu jaringan sosial di dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat interaksi dari masyarakat tersebut artinya jaringan sosial tidak akan muncul jika tidak ada interaksi dari masing-masing anggota masyarakat. Komponen yang terakhir dari modal sosial adalah norma. Norma ditandai dengan ketaatan terhadap aturan tertulis maupun yang tidak tertulis karena jika seseorang menjadi orang yang taat kepada aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat baik itu aturan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis maka orang tersebut akan menjadi lebih dipercaya oleh anggota masyarakat lain. Ketiga pilar tersebut memiliki hubungan pengaruh terhadap tahapan perolehan kredit mikro yang terdiri dari rescue, recovery dan development. Masing masing dari tingkatan tersebut memiliki porsi kredit yang berbeda. Rescue merupakan tingkatan yang terendah, recovery merupakan tahapan yang berada
pada taraf menengah dan development merupakan tahapan yang berada pada taraf yang tinggi.
MODAL SOSIAL Kepercayaan Kekerabatan Posisi dan Status Sosial Keterampilan Tingkatan mikro Jaringan Basis jaringan Tingkat interaksi
perolehan
1. Rescue 2. Recovery 3. Development
Norma Ketaatan terhadap norma Aturan Tertulis Aturan Tidak Tertulis
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perolehan Kredit Mikro
Keterangan
: Hubungan pengaruh
kredit
2.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian adalah
sebagai berikut: 1. Diduga semakin kuat modal sosial ( kepercayaan, jaringan, norma) maka tahapan kredit yang diperoleh semakin tinggi. 2. Diduga kepercayaan memiliki pengaruh yang paling besar di antara kedua komponen modal sosial lainnya dalam tahapan perolehan kredit
2.4
Definisi Operasional
1. Kepercayaan adalah ada atau tidak adanya perasaan yakin bahwa orang lain akan memberikan respon sebagaimana yang diharapkan dan akan saling mendukung atau setidaknya orang lain tidak akan bernaksud merugikan. Pengukuran kepercayaan dilihat melalui pernyataan yang berhubungan dengan kekerabatan, status dan posisi sosial, keterampilan. a) Kekerabatan
adalah
hubungan
sosial
yang
memiliki
unsur
kekeluargaan seperti ayah, Ibu, anak, adik, kakak dan saudara. Penilaian kekerabatan menggunakan skor yakni :
Jika pihak pelaku usaha memiliki hubungan kekerabatan dengan LKM Bina Usaha Mandiri (skor = 1)
Jika pihak pelaku usaha tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan LKM Bina Usaha Mandiri (skor = 0)
b) Status dan posisi sosial dilihat dari peran dan pengaruh yang dimiliki oleh pelaku usaha kecil dan dipandang penting bagi warga sekitar seperti jabatan yang bersifat formal maupun informal. Penilaian status dan posisi sosial menggunakan skor yakni :
Jika pihak pelaku usaha memiliki status dan posisi sosial yang tinggi ( skor = 1)
Jika pihak pelaku usaha tidak memiliki status dan posisi sosial yang rendah (skor = 0)
c) Keterampilan yakni kemampuan yang dimiliki pelaku usaha kecil dalam menjalankan usaha kemampuan tersbut diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman dalam menjalankan usaha. Ketetarpulan diukur berdasarkan 2 kategori yaitu :
Tinggi : skor 5-8
Rendah : skor 0-4
2. Jaringan adalah struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka berhubungan karena kesamaan sosialitas,
mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari
sampai dengan keluarga. Pengukuran jaringan sosial dilihat melalui pernyataan yang berhubungan dengan basis jaringan dan tingkat interaksi responden. a) Basis jaringan adalah latar belakang penyeban terbentuknya jaringan sosial bisa disebkan oleh hubungan pertetangaan dan hubungan pertemanan. Penilaian skor basis jaringan menggunakan skor yakni :
Jika pihak pelaku usaha kecil bisa mendapatkan kredit atas dasar pertetanggaan dan pertemanan (skor = 1)
Jika pihak pelaku usaha kecil bisa mendapatkan kredit bukan atas dasar pertetanggaan dan pertemanan (skor = 0)
b) Interaksi adalah bisa dilihat melalui interaksi yang bersifat langsung seperti intetnsitas berkomunikasi. Penilaian interaksi dibagi menjadi 2 katagori yakni :
Tinggi : skor 4-6
Rendah : skor 0-3
3. Norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Pengukuran norma sosial dilihat melalui pernyataan yang berhubungan dengan ketaatan responden terhadap norma yang berlaku baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. a) Ketaatan terhadap aturan tertulis yaitu ketaatan responden terhadap aturan atau kesepakatan yang telah dibuat secara
bersama-sama dan dan bersifat tertulis. Penilaian ketaatan terhadap aturan tertulis dibagi menjadi 2 katagori yakni :
Tinggi : skor 4-6
Rendah : skor 0-3
b). Ketaatan terhadap aturan tidak tertulis yaitu ketaatan responden dalan menjalankan nilai-nilai tradisional yang bersifat tidak tertulis. Penilaian ketaatan terhadap aturan tidak tertulis dibagi menjadi 2 katagori yakni :
Tinggi : skor 4-6
Rendah : skor 0-3
4. Tahapan perolehan kredit mikro adalah tahapan-tahapan yang terdapat pada proses pengajuan dana atau kredit oleh pihak pelaku usaha kecil dengan pihak lembaga keuangan mikro yang bersangkutan. Adapaun tahapantahapan tersebut dinilai dari kisaran jumlah dana yang dapat diperoleh yakni sebagai berikut : a) Rescue > Rp 200 ribu (skor 1) b) Recovery ≤ Rp 200 ribu - < Rp 500 ribu (skor 2) c) Development ≥ Rp 500 ribu (skor 3)