BAB II NILAI-NILAI AKHLAK DALAM KITAB AYYUHAL WALAD A. Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Akhlak Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah SWT sehingga menjadi manusia yang sempurna.1 Menurut Al-Ghazali pendidikan dalam prosesnya harus mengarah pada pendekatan diri kepada Allah SWT dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia pada pencapaian tujuan hidupnya yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Hal tersebut terkesan bahwa Al-Ghazali sangat menitikberatkan pendidikan pada pendekatan diri kepada Allah, sehingga dalam tuntutannya pada seorang pendidik, ia mengajarkan agar pendidik tidak menerima upah. Athiyah al-Abrasyi seperti yang dikutip Ramayulis, pendidikan (Islam) adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir
1
M. Sugeng Sholehudin, Teori dan Model Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN, 2008), h. 38.
17
18
dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.2 Istilah Akhlak sudah sangat akrab di tengah kehidupan kita. Mungkin hampir semua orang mengetahui arti kata “akhlak” karena perkataan akhlak selalu dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Akan tetapi, agar lebih jelas dan meyakinkan kata “akhlak” perlu untuk diartikan secara bahasa maupun istilah.3 Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, yaitu jama‟ dari kata “khuluqun” yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan santun, adab dan tindakan.4 Kata “akhlak” juga berasal dari kata “khalaqa” atau “khalqun”, artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq”, artinya menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-Khaliq”, artinya pencipta dan “makhluq”, artinya yang diciptakan. Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Dengan pandangan seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dengan dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan (ghair muktasabah). Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan, perjuangan
2
Ibrahim Amini, Agar tak Salah Mendidik, (Jakarta: al-Huda, 2006), h.5. Beni Ahmad Saebani, Abdul Hamid, Ilmu Akhlak, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2012), h. 13. 4 Ibid, h. 13. 3
19
keras dan sungguh-sungguh. Ibn Miskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (muktasabah).5 Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M), yang dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M), dikenal sebagai Hujjatul Islam (pembela Islam) karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas daripada Ibn Miskawaih, mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gamblang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.6 Syeikh
Muhammad
bin
Ali
Al-Syarif
Al-Jurjani
mengemukakan bahwa akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa perlu berpikir dan merenung.7 Menurut Syeikh Ahmad Amin, akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Maksudnya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak.8
5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 156. Ibrahim Amini, Op.cit. h. 14. 7 Ali Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 32. 8 Ahmad Amin, Kitab al-akhlak, (Mesir: Dar al-Kutub al-Misriyah), h. 3. 6
20
Abuddin Nata mengatakan bahwa ada 5 ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak yaitu: (1) Perbuatan akhlak tersebut sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. (2) Perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan acceptabledan tanpa pemikiran (unthought). (3) Perbuatan akhlak merupakan perbuatan tanpa paksaan. (4) Perbuatan dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. (5) Perbuatan dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.9 Pada hakikatnya khulk (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situlah timnullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat tanpa memerlukan pemikiran. Apabila dari kondisi tadi timbul kelakuan yang baik dan terpuji menurut syari‟at dan akal pikiran, maka ia dinamakan budi pekerti mulia dan sebaliknya apabila yang lahir kelakuan yang buruk, maka disebutlah budi pekerti yang tercela.10 Dari pengertian di atas, peneliti sepakat mengartikan akhlak sebagai sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik atau perbuatan buruk sesuai dengan pembinaannya.
9
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), h. 274. Hamzah Ya‟kub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1985), cet. Ke-3, h. 12.
10
21
2. Tujuan Akhlak Kalau kita kembali pada pengertian dasar pendidikan akhlak, maka jelaslah bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk suatu kepribadian, yaitu kepribadian muslim sejati. Tujuan pendidikan akhlak menurut pendapat beberapa tokoh di antaranya: a. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus. Tujuan pendidikan akhlak membentuk putra-putri yang berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, berkemauan keras, beradab, sopan santun, baik tingkah lakunya, tutur bahasanya, jujur dalam segala perbuatan, suci murni hatinya.11 b. Prof. Dr. Oemar M. Attamimy Asyaibani. Menggarisbawahi beberapa tujuan pendidikan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dunia akhirat, kesempurnaan jiwa bagi individu dan mnciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan ketegakan masyarakat.12 c. Athiyah Al-Abrasy.
11
Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1998), h. 256. 12 Oemar Atammimi al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terjemah Hasan Langgulung dan as-Broto, (Jakarta: 1979), h. 346.
22
Tujuan dari pendidikan akhlak ialah untuk menjadikan orang-orang yang baik akhlaknya, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku serta beradab.13 d. Syeikh Muhammad Syakir Tujuan pendidikan akhlak menurut Syeikh Muhammad Syakir dalam kitab Washoya Al-Abaa‟ Li Al-Abnaa‟ adalah agar anak-anak menjadi manusia yang mempunyai akhlak yang mulia dan mewujudkan bangsa yang berbudi luhur dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa.14 e. Said Agil Husin al-Munawwar Tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.15 Dengan kata lain maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak yaitu supaya seseorang terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. Dan supaya hubungan manusia dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis.
13
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pendidikan Islam, alih bahasa Bustami Abdul Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 103. 14 Muhammad Syakir, Terjemah Washoya Al-Abaa’ Li Al-Abnaa’, (Surabaya: AlHidayah), h. 7. 15 Said agil Husin al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 5.
23
Agar seseorang memiliki budi pekerti yang baik, maka upaya yang dilakukan adalah dengan cara pembiasaan sehari-hari. Dengan upaya seperti itu seseorang akan nampak dalam perilakunya sikap yang mulia dan timbul faktor kesadaran, bukan karena adanya paksaan dari pihak manapun. 3. Macam-macam Akhlak Mengenai macam-macam akhlak sesuai dengan ajaran agama tentang adanya perbedaan manusia dalam segala seginya, maka dalam hal ini menurut Moh. Ibnu Qoyyim ada dua jenis akhlak, yaitu: a. Akhlak Dharury b. Akhlak Muhtasaby Adapun akhlak dharury adalah akhlak yang asli, dalam arti akhlak tersebut sudah secara otomatis merupakan pemberian dari Tuhan secara langsung, tanpa memerlukan latihan, kebiasaan pendidikan. Akhlak ini hanya dimiliki oleh manusia pilihan Allah. Keadaannya terpelihara dari perbuatan-perbuatan maksiat dan selalu terjaga dari larangan Allah yaitu para Nabi dan Rasul-Nya. Dan tertutup kemungkinan bagi orang mukmin yang saleh. Mereka yang sejak lahir sudah berakhlak mulia dan berbudi luhur. Sedangkan akhlak muhtasaby adalah merupakan akhlak atau budi pekerti yang harus diusahakan dengan jalan melatih, mendidik dan membiasakan kebiasaan yang baik serta cara berfikir yang tepat.
24
Tanpa dilatih, dididik dan dibiasakan, akhlak ini tidak akan terwujud. Akhlak ini yang dimiliki oleh sebagian besar manusia.16 Adapun pembagian akhlak berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. Akhlak mahmudah (akhlak terpuji) atau akhlak al-karimah (akhlak yang mulia). b. Akhlak madzmumah (akhlak tercela) atau akhlak sayyi‟ah (akhlak yang jelek) Yang termasuk akhlak al-karimah ialah ridha kepada Allah, cinta dan beriman kepada-Nya, beriman kepada malaikat, kitab Allah, Rasul Allah, hari kiamat, takdir Allah, taat beribadah, selalu menepati janji, melaksanakan amanah, berlaku sopan dalam ucapan dan perbuatan, qana‟ah, tawakal, sabar, syukur, tawadhu‟ dan segala perbuatan yang baik menurut pandangan atau ukuran Islam. Adapun perbuatan yang termasuk akhlak al-madzmumah ialah kufur, syirik, murtad, fasiq, riya‟, takabur, mengadu domba, dengki/iri, kikir, dendam, khianat, memutus silaturrahmi, putus asa dan segala perbuatan tercela menurut pandangan Islam. Sedangkan
pembagian
akhlak
berdasarkan
dibedakan menjadi dua yaitu: a. Akhlak kepada sang Khalik. b. Akhlak kepada makhluk yang terbagi menjadi:
16
Ali Halim Mahmud, opcit, h. 35.
obyeknya
25
-
Akhlak terhadap Rasulullah.
-
Akhlak terhadap keluarga.
-
Akhlak terhadap sesama atau orang lain.17
B. KITAB AYYUHAL WALAD 1. Biografi Penulis a. Perjalanan Hidup Imam al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Tusi al-Ghazali. Lahir pada tahun 450 H / 1058 M, di sebuah desa kecil bernama Ghazalah Thabaran, bagian dari kota Tus (sekarang dekat Meshed), wilayah Khurasan (Iran)18. Orang tuanya bekerja sebagai peminta wol yang dalam bahasa Arab disebut Ghazzal. Adapun penisbahan sebutan nama al-Ghazali terdapat dua pendapat, yakni: al-Ghazali dinisbahkan pada tempat kelahirannya, sedangkan al-Ghazali dinisbahkan dengan pekerjaan orang tuanya sebagai pemintal wol (Ghazzal). Ia berasal dari keluarga miskin, ayahnya mempunyai citacita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemukadan banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia.19
17
Zainudin, Al-Islam 2 (Muamalah dan Akhlak), (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. 1, h. 77-78. 18 M. Sugeng Sholehudin, Teori dan Model Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN, 2008), h. 39. 19 Ramayulis & Samsul Zizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press Group, 2005), h. 3-5.
26
Pendidikan al-Ghazali dimulai dengan belajar al-qur‟an pada ayahnya sendiri. Pada masa kanak-kanak, al-Ghazali berguru dengan salah satu ahli fikih di Thus yang bernama Ahmad Razkani.20 Kemudian dia belajar ilmu pengetahuan dasar di kota kelahirannya (Tus), lalu pindah ke Nysaphur dan di sini berguru dengan ulama besar Imam al-Haramain Abi al-Ma‟ali al-Juwaini (W. 1016 M), ahli fiqih syafi‟iyah waktu itu. Berkat ketekunan dan kerajinan yang luar biasa dan kecerdasan yang tinggi, maka dalam waktu yang tidak lama dia menjadi ulama besar dalam madzhab Syafi‟iyah dalam aliran Asy‟ariyah. Dia dikagumi oleh gurunya, al-Juwaini, dan juga oleh para ulama pada umumnya. Ia senantiasa bersama dengan gurunya (al-Juwaini) hingga ia meninggal dunia pada tahun 478 H. Setelah gurunya, al-Juwaini wafat beliau meninggalkan Nysaphur menuju ke sebuah kota bernama alaskar tidak jauh dari Nysaphur21. Di tempat ini dia bertemu dengan Wazir Nizamul Mulk, Wazir dari Sultan Malik Syah al-Saljuqi. Pada waktu itu beberapa ulama terkemuka berkumpul bersama-sama dengan Wazir. Dalam kesempatan ini mereka bersepakat mengadakan tukar pikiran diskusi-diskusi ilmiah dengan Imam al-Ghazali. Dalam pertemuan ini terjadi perdebatan-perdebatan dan munazarah diantara mereka, dan nampaklah keunggulan dan kelebihan al-Ghazali
20
Abu Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 184. 21 M. Sugeng Sholehudin, Teori dan Model Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN, 2008), h. 39.
27
sehingga para ulama itu mengakui keluasan ilmu beliau dan memberi gelar beliau dengan “Futuhul Iraq” tokoh ulama Iraq. Pada fase perjalanan hidupnya tersebut, al-Ghozali berhasil memperoleh banyak keilmuan secara mendalam. Salah satunya adalah ilmu filsafat. Pengetahuan beliau yang luas dalam ilmu filsafat mendorong
Wazir
untuk
mengundangnya.
Dengan
demikian
meningkatlah kedudukan al-Ghazali di hadapan Wazir dan akhirnya ia diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nizamul Mulk di Baghdad pada tahun 484 H, suatu perguruan tinggi yang mahasiswanya kebanyakan para ulama. Beliau sangat dihormati, disegani, dan dicintai, karena kehalusan bahasanya dan keluasan ilmunya. 4 tahun lamanya beliau mengajar di Madrasah tersebut.22 Namun keilmuan-keilmuan yang telah diperolehnya tersebut tak
mendatangkan
kebahagiaan
dalam
jiwanya,
dan
malah
mendatangkan sebuah goncangan yang amat dalam. Itu semua ia kemukakan dalam salah satu kitabnya yang berjudul Al-Mungkidz minal Dzolal yang hampir serupa dengan buku Quddus Agustinus yang berjudul Confessions.23 Salah satu hasil dari krisis kejiwaan yang dialaminya tersebut adalah keluarnya al-Ghazali dan status sebagai seorang pengajar yang mengajarkan berbagai macam keilmuan. Ia merasa bahwa pengajarannya tersebut tak lain hanya mengejar
22
M. Sugeng Sholehudin, Teori dan Model Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN, 2008), h. 39-40. 23 Abu Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 185.
28
ketenaran, pangkat dan harta sebagaimana yang dikejar oleh manusia biasa. Kemudian tumbuhlah dalam jiwa beliau perasaan Zuhud dari kehidupan duniawi, lalu ditinggalkan jabatan ini karena ingin hidup uzlah. Beliau pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H. Dan terus melakukan perjalanannya ke Damaskus. Di negeri ini beliau hidup menyepikan diri dan menjauhkan diri dari segala kemasygulan duniawi. Kemudian pergi ke Mesir tinggal bebrapa waktu di Iskandariyah lalu kembali ke kampung halamannya “Tus”. Di sini beliau menyibukkan dirinya dengan menyibukan dirinya dengan karang-mengarang kemudian pergi ke Nysaphur untuk memberikan pengajian. Tetapi akhirnya beliau kembali ke Tus lagi dan menghabiskan sisa hidupnya untuk memberikan pengajaran dan beramal kebajikan dan hidup sebagai seorang Sufi. Beliau wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, atau 8 Desember 1111 M, dalam usia ± 55 tahun di desa Tabaran dekat Tus.24 b. Karya-karya Imam al-Ghazali Karya-karya al-Ghazali tidak kurang dari 70 karya-karya yang meliputi ilmu pengetahuan beberapa diantaranya sebagai berikut: 1. Ihya’ Ulumudin; tentang ilmu kalam, tasawuf dan akhlaq. 24
M. Sugeng Sholehudin, Teori dan Model Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN, 2008), h. 40.
29
2. Ayyuhal Walad; sebuah buku tentang akhlaq. 3. Al-Munqidzu Min Ad-Dalal. 4. Maqosidul Falasifah dan Tahafutul Falasifah; buku tentang filsafat.25 5. Iqtishad wa I’tiqad dan Al-Jam al-A’warnan ; buku tentang ilmu kalam. 6. Mi’yarul Ilmi; buku tentang ilmu mantik. 7. Al-Mustasfa; buku tentang ilmu usul fiqih 8. Kitab-kitab lainnya seperti Mizanul ‘Amal, Kimiya’ Sya’adah, Risalah Laduniyah, Miskatul Anwar, al-Madmum bihi ala Ghairihi Ahlihi, Muqsidul Asna fi Syarkh Asmaullah al-Husna dan lain sebagainya.26 2. Latar Belakang Penulisan Beberapa pendahuluan beliau dalam kitab Ayyuhal Walad menjadi latar belakang beliau menulis kitab ini. Beliau mengarang kitab Ayyuhal Walad karena ada salah satu muridnya yang selalu berkhidmat kepada beliau dan ia tidak pernah absen dalam belajar dan membaca ilmu pengetahuan di hadapannya, sehingga ia berhasil mengumpulkan ilmu
pengetahuan
tersebut
secara
mendalam.
Ia
berhasil
menyempurnakan keutamaan jiwa.
25
M. Sugeng Sholehudin, Teori dan Model Kepemimpinan Dalam Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN, 2008), h. 45. 26 Abu Wafa‟ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 190.
30
Namun pada suatu hari, ia berfikir tentang keadaan dirinya dan terlintaslah dalam hati kecilnya seraya berkata dalam hati “saya telah membaca bermacam-macam ilmu pengetahuan. Lalu, manakah ilmu yang bermanfaat bagiku esok, dan menghiburku di dalam kubur, dan manakah
yang tidak
bermanfaat
bagiku
sehingga
aku dapat
meninggalkannya”. Pemikiran semacam ini selalu menghinggapi dirinya sehingga ia menulis surat kepada gurunya Imam al-Ghazali. Ia menanyakan berbagai masalah, meminta nasehat dan do‟a. Dan berikut kutipan pendahuluan beliau dalam kitab Ayyuhal Walad yang menjadikan beliau mengarang kitab ini, yang artinya: “Segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam. Dan kesudahan baik itu bagi mereka yang bertaqwa. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dan keluarganya.Ketahuilah, bahwa ada salah seorang murid zaman dahulu, senantiasa berkhidmat pada seorang guru besar Imam Zainudin Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Ia tidak pernah absen dalam belajar dan membaca ilmu pengetahuan di hadapannya, sehingga ia berhasil mengumpulkan ilmu pengetahuan tersebut secara mendalam. Ia berhasil menyempurnakan keutamaan jiwa. Namun pada suatu hari, ia berfikir tentang keadaan dirinya dan terlintaslah dalam hati kecilnya seraya berkata dalam hati “saya telah membaca bermacam-macam ilmu pengetahuan. Lalu, manakah ilmu yang bermanfaat bagiku esok, dan menghiburku di dalam kubur, dan manakah yang tidak bermanfaat bagiku sehingga aku dapat meninggalkannya”. Pemikiran semacam ini selalu menghinggapi dirinya sehingga ia menulis surat kepada gurunya Imam al-Ghazali. Ia menanyakan berbagai masalah, meminta nasehat dan do‟a. Walaupun karangankarangan Imam al-Ghazali seperti Ihya‟ Ulumudin dan sebagainya telah penuh berisi jawaban-jawaban pertanyaan saya, namun saya berharap agar Asy Syaikh menulis surat untukku, dan insyaallah akan ku amalkan isinya, begitu tulisan sang murid pada gurunya. Akhirnya
31
Imam al-Ghazali membalas suratnya sebagai jawaban pertanyaanpertanyaan yang telah dikirimkan oleh muridnya”.27 Kitab Ayyuhal Waladadalah salah satu dari karangan Imam alGhazali yang berbicara tentang akhlak kepada muridnya. Kitab ini berisi sebuah nasehat-nasehat kepada muridnya dan surat atau nasehat itu berjumlah dua puluh empat secara global namun dalam sebuah nasehat itu ada beberapa hal lagi nasehat. Dan di situ ada beberapa nasehat yang agak sama sifat. Karena keluasan ilmu beliau nasehatnasehat tersebut sangat arif dan bijak untuk dikaji dan patut juga dilaksanakan bagi seorang murid. Nasehat tersebut juga dapat diqiyaskan kepada seorang murid karena nasehat itu diperuntukan kepada murid beliau yang ia sebut sebagai anakku, ia menganggap muridnya sebagai anaknya sendiri. Hal itu juga dapat diterapkan kepada seorang murid agar mempunyai akhlakul karimah. 3. Materi Kitab Materi yang dipakai dalam pengajaran kitab Ayyuhal Walad adalah isi dari kitab tersebut, yang terbagi dalam beberapa bab yang, diantaranya sebagai berikut: Sababur Arrisalah „Alamatu I‟radhillahi Anil „Ibad Annasihatu Sahlatun Walmusykilu Qobuluha
27
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, TerjemahAyyuhal Walad, (Surabaya: Al Hidayah, 2005), h. 3.
32
La Takun llmu Illa bil‟amal Hikayah Rojulun „Abadallahu Sab‟ina Sanah Tholabul Jannati Bila „Amalin Dzanbun Al‟ilmu Bila „Amalin
Jununun berisi
tentang pentingnya
mengamalkan ilmu yang telah diketahui. Al Himmatu fi Ruh La Tuktsirunnaoma Billail Tsalasatu Ashwatin Yuhibbuhallah Wasoya Luqman Li Ibnihi Khulasotul Ilmi Alassaliki „Arba‟ata Umur Tsamaniya Fawaida Yanbaghi Lissaliki Syaikhun Mursyid Intasir Tarol „Ajaiba Nasihatul Ghazali bitsamaniyati Asyya‟a Du‟a al-Ghazali28
28
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, TerjemahAyyuhal Walad, (Surabaya: Al Hidayah, 2000), h. 2-111.
33
4. Karakter/ Akhlak dalam Kitab Ayyuhal Walad a. Mendekatkan diri kepada Allah SWT b. Pentingnya mengamalkan ilmu c. Menghindari perdebatan d. Mendekatkan diri pada ulama e. Tidak menjadi orang munafik f. Menghindari sifat sombong g. Tawakal h. Karakter jujur i. Memuliakan guru j. Menjauhi riya‟ k. Tidak menuruti hawa nafsu l. Ikhlas m. Rendah hati n. Menggapai cita-cita o. Menyedikitkan tidur p. Memperbanyak ibadah sunah q. Memperbanyak dzikir r. Memperbanyak istighfar s. Menghidupkan malam dengan ibadah t. Taubat u. Qona‟ah
34
v. Karakter sederhana w. Tidak menerima sesuatu dari penguasa dholim x. Mencari rezeki yang halal y. Bershodaqoh z. Menjauhi hasud aa. Menjauhi pertikaian bb. Memilih guru yang tepat cc. Menyayangi orang lain dd. Ridho dengan takdir Allah29
29
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali, TerjemahAyyuhal Walad, (Surabaya: Al Hidayah, 2000), h. 2-111.