BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1.
Peran Aktor Dalam Konsep Pierre Bourdieu Istilah peran1 pada awalnya merupakan terjemahan dari kata “function”,
“job”, atau “work”. Adapun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara. Pertama, suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga drama atau teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno. Dalam arti ini, peran menunjuk pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama. Kedua, suatu penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam struktur sosial. Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa peran seorang aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/unjuk peran (role performance).” Pada dasarnya ada dua paham2 yang dipergunakan dalam mengkaji teori peran yakni dengan pendekatan paham strukturalis dan paham interaksionis. Paham strukturalis lebih mengaitkan antara peran-peran sebagai unit kultural, serta mengacu ke perangkat hak dan kewajiban, yang secara normatif telah dikelola oleh sistem budaya. Sistem budaya tersebut, menyediakan suatu sistem posisional, yang menunjuk pada suatu unit dari struktur sosial. Pada intinya, konsep struktur menonjolkan suatu konotasi pasif-statis, baik pada aspek permanen maupun aspek saling-kait antara posisi satu dengan lainnya. Paham interaksionis, lebih memperlihatkan konotasi aktif-dinamis dari fenomena peran, terutama setelah peran tersebut merupakan suatu perwujudan 1
Konsep tentang “peran” disarikan dari teks tentang functional theory of stratification dan functinalism, Bryan S. Turner (Editor). 2006. The Cambridge Dictionary Of Sosiology. New York: Cambridge University Press. Hal 217-220 dan Smelser, Neil J.,dkk. (Editor). 2001. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences. Hal 5838-5852 2 Ibid
9
peran, yang bersifat lebih organis, sebagai unsur dari sistem sosial yang telah diinternalisasi oleh self dari individu pelaku peran. Dalam hal ini, pelaku peran menjadi sadar akan struktur sosial yang didudukinya. Oleh karena itu, ia berusaha untuk selalu kelihatan “mumpuni” dan dipersepsi oleh pelaku lainnya sebagai “tak menyimpang” dari sistem harapan yang ada dalam masyarakatnya. Istilah peran yang dikemukakan di atas, sangat berkaitan dengan istilah praktik dalam pengertian Pierre Bourdieu. Menurut Pierre Bourdieu (dalam Adib, 2012) praktik (secara sosial) merupakan hubungan relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku, terjalin secara dialektik. Fenomena sosial apa pun merupakan produk dari tindakan-tindakan individual. Oleh karena itu, logika tindakan harus dilihat (dicari) pada sisi rasionalitas pelakunya (Haryatmoko, 2003). Bourdieu juga menambahkan praktek merupakan integrasi antara habitus dikalikan modal dan ditambahkan ranah, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: (Habitus x Modal) + Ranah= Praktik. Secara dialektis, Habitus adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Menurut Bourdieu, habibus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Ritzer dan Goodman, 2010; 581). Habitus dapat dipahami sebagai, di satu sisi, habitus adalah pada waktu tertentu merupakan hasil ciptaan (produksi) sejarah, dari praktik individu-individu kolektif yang selama periode historis yang panjang. Di sisi lain, habitus justru menjadi suatu yang dapat memandu individu dalam memproduksi praktek, di berbagai konteks, yang tidak sepenuh disadari (Bourdieu, 1977; 82). Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatan alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Bourdieu, 1994: dalam Haryatmoko, 2003). Habitus digunakan sebagai kerangka untuk memahami 10
dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif. Menurut Bourdieu (1980; dalam Haryatmoko, 2003) habitus merupakan sistem-sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang membentuk, artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktekpraktek hidup dan representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaaan secara sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara objektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan-kepatuhan akan aturan-aturan dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen. Pada titik ini, disposisi dimaknai sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang. Ranah (field) lebih dipandang Bourdieu (Ritzer dan Goodman, 2010:582590) secara relasional daripada secara struktural. Ranah adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya (Bourdieu dalam Ritzer dan Goodman. 2010:582). Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu. Ranah merupakan: (1) arena kekuatan sebagai upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya atau modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan; (2) semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah (field) merupakan arena politik (kekuasaan) yang sangat penting, dimana terdapat hirarki kekuasaaan yang di dalamnya ada relasi/hubungan kekuasaan dalam arena politik yang memiliki daya untuk membantu menata, menstruktur (membangun) arena-arena yang lain (Ritzer dan Goodman, 2010; 583). Bourdieu menyatakan bahwa ada tiga langkah proses untuk menganalisis ranah, yaitu: pertama, menggambarkan keutamaan ranah (lingkungan) kekuasaan untuk menemukan hubungan setiap lingkungan khusus dengan lingkungan politik; kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam ranah tertentu; dan ketiga untuk mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen 11
yang menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah (Ritzer dan Goodman, 2010; 583). Menurut Bourdieu (dalam Adib 2012), dalam ranah sosial akan selalu terjadi, mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu, akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki modal. Modal dalam penjelasan Bourdieu terdiri dari, Modal Ekonomi, Modal Sosial, Modal Budaya dan Modal Simbolik. Modal ekonomi mencakup kepemilikan alat-alat produksi (seperti mesin, tanah, dan buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang. Sedangkan Modal simbolik ini berupa, akumulasi prestasi, penghargaan, harga diri, jabatan, status, kehormatan, wibawa, reputasi, termasuk gelar akademis (Bourdieu, 1989; 197). Di sisi lain, modal budaya mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Sedangkan modal sosial mencakup keseluruhan kepemilikan nilai, kepercayaan sosial dan jejaring sosial (Adib, 2012). Menurut Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003), keseluruhan kepemilikan modal tersebut, dapat membentuk sebuah struktur tindakan sosial (termasuk praktek keseharian) maupun lingkup sosial individu dalam masyarakat.
2.2.
Pembangunan dan Perencanaan Dalam sejarah perjalanannya, konsep pembangunan di Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari pengaruh-pengaruh pikiran besar dunia, terutama yang berlaku di negara-negara Dunia Ketiga. Pengaruh-pengaruh tersebut tidak saja masuk kedalam nuansa pembangunan di Indonesia, tetapi secara sadar telah diadaptasi oleh para elit penentu kebijakan, terutama melalui pendekatanpendekatan yang dibiayai oleh Bank Dunia dan badan-badan keuangan dunia lainnya (Wrihatnolo, 2009; 9). Pandangan tersebut dipertegas lagi oleh Sumodiningrat (dalam Wrihatnolo, 2009; 9) yang juga mengatakan bahwa kecenderungan perkembangan konsep pembangunan di Indonesia sejak tahun 1960-an adalah konsep growth stategy yang diikuti dengan paradigma 12
pertumbuhan ekonomi,
namun sampai dengan tahun 1990-an,
konsep
pembangunan berkembang dengan gaya empowerment yang menitik-beratkan pada paradigma pembangunan manusia. Pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat yang makmur sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran, yaitu meningkatnya konsumsi yang disebabkan karena meningkatnya pendapatan (Wrihatnolo, 2009; 1). Juga, dalam dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi, pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya (Kartasasmita, 1997). Namun demikian, Bauzon (1992) dan Goulet (1977) (dalam Kartasasmita, 1997) mengatakan pula bahwa pembangunan perlu mengedepankan etika, yang berarti mengetengahkan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya "solidaritas baru" yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots oriented), (2) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan bagi manusia dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan adalah suatu proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang terukur dari terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Menurut Wrihatnolo (2009;2), dalam pendekatan pembangunan nasional, terdapat 3 hal mendasar yang perlu dilakukan. Pertama, pembangunan perlu diletakkan pada arah perubahan struktur. Kedua, pembangunan perlu diletakkan pada arah pemberdayaan masyarakat untuk menuntaskan masalah kesenjangan pembangunan, yakni pengangguran, kemiskinan dan tidak merata ruang serta kesempatan masyarakat untuk berpartispasi secara aktif dalam pembangunan. Ketiga, pembangunan perlu diletakkan pada arah koordinasi lintas sektor, yang mencakup program antar sektor, pembangunan antar daerah, dan pembangunan khusus. Dengan demikian, dalam rangka pencapaian ketiga hal mendasar di atas, pembangunan perlu dilakukan secara terpadu, terarah dan sistematis, serta memberikan ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam menyelesaikan masalah-masalahnya. Hal ini berarti pembangunan membutuhkan 13
sebuah
proses
perencanaan
yang
terukur,
dalam
rangka
mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Perencanaan merupakan merupakan daftar tindakan yang disusun dalam urutan, dan dianggap akan dapat mencapai suatu sasaran (Welsh, 1983;47). Ini berarti pula bahwa perencanaan merupakan upaya-upaya manusia untuk meminimalkan ketidakpastian guna mencapai sebuah tujuan. Wrihatnolo R. dan Nugroho (2011;3) mengemukakan bahwa perencanaan merupakan kemampuan mengukur. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia (Pasal 1 ayat 1 UU No.25/20041 dan Pasal 1 ayat 1 PP No.8/2008). Dengan demikian, perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Widodo (dalam Wrihatnolo R. dan Nugroho (2011;3-4), terdapat 8 (delapan) jenis perencanaan, yaitu (1) perencanaan menurut jangka waktu, (2) perencanaan menurut sifat dorongannya, (3) perencanaan menurut alokasi sumber daya, (4) perencanaan menurut tingkat keluwesan, (5) perencanaan menurut sistem ekonomi, (6) perencanaan menurut arus informasi, (7) perencanaan menurut dimensi pendekatan, (8) perencanaan menurut lingkaran aktivitas pembangunan. Berdasarkan kerangka sistematis yang diamanatkan dalam UU No. 25 tahun 2004 tersebut, maka dokumen perencanaan pembangunan terdiri dari 8 (delapan) yakni, (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan; (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program presiden/kepala daerah dan memuat strategi pembangunan nasional/daerah, kebijakan umum, kerangka ekonomi makro, program-program, dan kegiatan pembangunan; (3) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut 14
Rencana Strategis
Kementerian/Lembaga (Renstra-KL),
adalah dokumen
perencanaan kementerian/ lembaga untuk periode 5 (lima) tahun; (4) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, (RenstraSKPD), adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun; (5) Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun; (6) Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun; (7) Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan kementrian/lembaga untuk periode 1 (satu) tahun; (8) Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun (Nugroho dan Wrihatnolo, 2011;55-56). Berdasarkan prosesnya, perencanaan pembangunan melalui dua proses, yakni proses politik dan proses teknokratik. Pertama, proses politik. Setiap pemilihan umum (Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah/Walikota) selalu ada yang namanya penyampaian visi dan misi calon. Munculnya visi dan misi tersebut, kemudian menjadi alat transaksi politik, yang pada akhirnya menentukan keinginan publik, untuk memutuskan pilihan yang tepat dalam proses pemilu. Dalam pendekatan perencanaan pembangunan, visi dan misi tersebut merupakan dokumen rencana yang diakui. Sehingga, apabila terpilih, setiap visi dan misi tersebut akan direalisasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan yang biasa disebut dengan rencana pembangunan jangka menengah. Pada tahapan inilah, yang disebut dalam perencanaan, sebagai proses politik. Kedua, proses teknokratik. Para pengamat profesional (biasanya dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi), dapat menjadi sumber pengidentifikasian kebutuhan atau masalah di masayarakat. Walau tidak mengalami sendiri, berbekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, para 15
profesional dapat dengan baik mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi masyarakat, termasuk permasalahan yang tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Dari hasil pengamatan inilah yang menjadi titik tolak dari perencanaan. Penyusunan rencana yang demikian ini, yang dinamakan sebagai proses teknokratik. Karena rencana yang dihasilkan dalam proses politik dan teknokratik ini berbeda, keduanya harus diserasikan dan diterjemahkan dalam bahasa yang dapat dijalankan oleh para birokrat. Hasil dari penyerasian inilah yang kemudian menjadi agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) (Nugroho dan Wrihatnolo, 2011;59-61). Sehingga pada titik inilah proses perencanaan pembangunan menerapkan dua pendekatan, yaitu proses dari atas ke bawah (top down) dan sebaliknya proses dari bawah ke atas (bottom up). Keseluruhan proses perencanaan pembangunan tersebut dilebur menjadi empat
tahapan perencanaan,
yaitu;
Pertama,
Evaluasi kinerja
rencana
pembangunan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi tentang kapasitas lembaga pelaksana, kualitas rencana sebelumnya, serta untuk memperkirakan kapasitas pencapaian kinerja di masa yang akan datang. Kedua, Penyusunan rencana yang terdiri atas langkah-langkah: (1) penyiapan rancangan rencana pembangunan oleh lembaga perencana dan bersifat rasional, ilmiah, menyeluruh dan terukur; (2) penyiapan rancangan rencana kerja oleh lembagalembaga pemerintah sesuai dengan kewenangannya; (3) musyawarah perencanaan pembangunan; dan (4) penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Ketiga, Penetapan rencana untuk menetapkan landasan hukum bagi rencana pembangunan yang dihasilkan pada langkah penyusunan rencana. Keempat, Pengendalian pelaksanaan rencana yang merupakan bagian dan tanggung jawab pimpinan lembaga pemerintahan. (Nugroho dan Wrihatnolo, 2011;62-63)
2.3.
Desa
2.3.1. Pengertian Desa Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas. 16
Istilah desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village yang dibandingkan dengan kota (city/town) dan perkotaan (urban). Antonius T. (dalam
Sumpeno, 2011;3) mengatakan bahwa konsep
perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial, dalam hal ini perdesaan mencakup beberapa desa. Koentjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap di suatu daerah, sedangkan Bergel (1995) mendefinisikan desa sebagai setiap pemukiman para petani. Pengertian desa dalam tiga aspek; (1) analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2500 orang, (2) analisis sosial psikologis, desa merupakan suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan akrab dan bersifat informal diantara sesama warganya, dan (3) analisis ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian, (Sumpeno, 2011;3). Di Indonesia penggunaan istilah tersebut digunakan dengan cara yang berbeda untuk masing-masing daerah, seperti dusun bagi masyarakat Sumatera Selatan, dati bagi Maluku, kuta untuk Batak, nagari untuk Sumatera Barat, atau wanua di Minahasa. Bagi masyarakat lain istilah desa memiliki keunikan tersendiri dan berkaitan erat dengan mata pencaharian, norma dan adat istiadat yang berlaku, (Sumpeno, 2011;3). Zakaria (2000) menyatakan, desa adalah sekumpulan manusia yang hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki suatu organisasi pemerintahan dengan serangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan sendiri, serta berada di bawah pimpinan desa yang dipilih dan ditetapkan sendiri. Definisi ini, menegaskan bahwa desa sebagai satu unit kelembagaan pemerintahan mempunyai kewenangan pengelolaan wilayah perdesaan. Wilayah perdesaan sendiri diartikan sebagai wilayah yang penduduknya mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam, dengan susunan fungsi wilayah sebagai pemukiman
17
perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, (Sumpeno, 2011;3). Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (PP 72 Tahun 2005 3 Pasal 1 Ayat 5). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa desa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang dibangun berdasarkan sejarah, nilai-nilai, budaya, hukum dan keistimewaan tertentu yang diakui dalam sistem
kenegaraan
kesatuan
Republik
Indonesia
yang
memiliki
kewenangan untuk mengatur, mengorganisir dan menetapkan kebutuhan masyarakatnya secara mandiri.
2.3.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia (Pasal 1 ayat 1 UU No.25/20044 dan Pasal 1 ayat 1 PP No.8/20085). Perencanaan pembangunan adalah suatu proses penyusunan
tahapan-tahapan
kegiatan
guna
pemanfaatan
dan
pengalokasian sumber daya yang ada dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan pembangunan desa dilakukan secara partisipatif oleh pemerintah desa sesuai dengan kewenangannya (Pasal 63 ayat 2 PP 72/2005). Dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah di Desa disebut
dengan
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Desa
(RPJMDes). RPJMDes adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 3
Tentang Desa Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) 5 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah 4
18
(lima) tahun yang memuat strategi dan arah kebijakan pembangunan Desa, arah kebijakan keuangan Desa dan program prioritas kewilayahan, yang disertai dengan rencana kerja. RPJMDes disusun untuk menjadi panduan atau pedoman bagi komunitas desa dan supradesa, dalam rangka mengelola potensi maupun persoalan di desa. Oleh karena itu, RPJMDes merupakan dokumen perencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan kabupaten/kota, (Pasal 63 ayat 1 PP No 72/2005). RPJMDes dapat dimaknai sebagai dokumen ”cetak biru” (blue print) desa selama rentang waktu lima (5) tahun. Dokumen ”cetak biru” ini memuat arah dan orientasi pembangunan desa selama lima tahun. Secara konsepsional capaian pembangunan desa selama lima tahun dituangkan ke dalam visi dan misi desa. RPJMDes juga merumuskan permasalahan desa, strategi dan kebijakan yang hendak ditempuh, serta program dan kegiatan yang disiapkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. RPJMDes kemudian dijabarkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) sekaligus dengan penganggarannya yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Kedua dokumen ini, RKP Desa dan APB Desa merupakan hasil (output) dari musrenbang tahunan. Perencanaan pembangunan desa dilaksanakan dengan prinsip sekaligus syarat sebagai berikut (Forum Pengembangan Dan Pembaharuan Desa, 2008;5) : a) Pemberdayaan. Yaitu upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. b) Partisipatif. Yaitu keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan. c) Berpihak pada Masyarakat. Yaitu seluruh proses pembangunan di pedesaan secara serius memberikan kesempatan yang seluasluasnya bagi masyarakat khususnya masyarakat miskin.
19
d) Terbuka.
Yaitu
setiap
proses
dan tahapan
perencanaan
pembangunan dapat dilihat dan diketahui secara langsung oleh seluruh masyarakat desa. e) Akuntabel.
Yaitu
setiap
proses
dan
tahapan
kegiatan
pembangunan dapat dipertanggung-jawabkan dengan benar, baik pada pemerintah desa maupun pada masyarakat. f) Selektif. Yaitu semua masalah terseleksi dengan baik untuk mencapai hasil yang optimal. g) Efisien dan Efektif. Yaitu pelaksanaan perencanaan kegiatan sesuai dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang tersedia. h) Keberlanjutan. Yaitu setiap proses dan tahapan kegiatan perencanaan harus simultan dan berlangsung terus-menerus. i) Cermat. Yaitu data yang diperoleh cukup obyektif, teliti, dapat dipercaya, dan menampung aspirasi masyarakat. j) Proses Berulang. Yaitu pengkajian terhadap suatu masalah/hal dilakukan secara berulang sehingga mendapatkan hasil yang terbaik. Proses penyusunan RPJMDes meliputi 3 (tiga) tahap (Forum Pengembangan Dan Pembaharuan Desa, 2008;16). Pertama, Tahap Persiapan Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) RPJMDes, merupakan semua proses yang perlu dilakukan mulai dari sosialisasi, pengkajian desa bersama masyarakat, dan penyusunan draft rancangan awal RPJMDes. Proses persiapan ini mempunyai peran yang sangat penting agar perencanaan desa benar-benar dapat disusun dengan baik dan partisipatif.
Terakhir,
adalah
persiapan
teknis
penyelenggaraan
musrenbangnya sendiri, mulai dari penyebaran undangan, pemberitahuan secara terbuka, penyiapan tempat, materi, alat dan bahan. Kedua, Tahap Pelaksanaan Musrenbang dan Penyusunan RPJMDes, meliputi proses musyawarah bersama warga dan berbagai pemangku kepentingan untuk membahas draft rancangan awal RPJMDes dan 20
menyepakati berbagai hal penting di dalamnya. Ini merupakan proses yang terpenting agar dapat diperoleh kualitas dan legitimasi dokumen perencanaan. Ketiga, Tahap Pelembagaan Dokumen RPJMDes, merupakan proses legislasi penetapan dokumen RPJMDes ke dalam Peraturan Desa. Kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi Peraturan Desa tentang RPJMDes
tersebut
kepada
masyarakat
dan
berbagai
pemangku
kepentingan (desa, kecamatan, Unit Pelaksana Teknis Daerah [UPTD] atau kepanjangan SKPD di kecamatan). Dokumen publik wajib disebarluaskan kepada masyarakat.
2.4.
Kerangka Pikir Penelitian Dalam konteks wilayah, desa merupakan basis masyarakat terkecil. Dalam
perencanaan pembangunan ditingkat daerah, meskipun desa tidak diberikan otonomi khusus, namun perencanaan pembangunan desa menjadi pendukung kestabilan dan kemampuan otonomi daerah (kabupaten/kota). Perencanaan pembangunan desa yang dimaksud ialah penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang merupakan pedoman dan panduan pembangunan desa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Hambatan dan tantangan dialami oleh desa dalam penyusunan RPJMDes seperti, lemahnya kapasitas sumber daya manusia untuk perencanaan, intervensi daerah (kabupaten) yang melemahkan kemandirian perencanaan pembangunan, lemahnya partisipasi masyarakat dari bawah dalam perencanaan pembangunan serta benturan proseduralisme birokrasi pemerintahan, menjadi perosalan mendasar yang dihadapi dalam proses perencanaan pembangunan desa. Dalam menanggapi kelemahan serta tantangan tersebut, muncullah beberapa aktor yang cukup berpengaruh. Tindakan-tindakan aktor ini, berusaha untuk memecahkan masalah dan perjuangannya untuk memecah kebuntuan kekuasaan dalam proses perencanaan pembangunan desa. Dalam kaitan dengan itu serta bersumber pada konsep Bourdieu tentang tindakan/praktik, maka eksistensi aktor dalam perannya (tindakan), menjadikan 21
arena (field) pertentangan dan perjuangan kuasa dikonstruksi dalam posisi relasi antar posisi yang objektif bukan relasi struktural yang terpaut dengan dominasi kuasa. Pada titik inilah peran aktor dalam penyusunan RPJMDes (field) menjadi sangat signifikan, guna memecahkan kebuntuan perencanaan pembangunan desa. Peran aktor dalam penyusunan RPJMDes ini juga ditempatkan dalam relasi timbal balik dengan arena (field) perjuangannya. Pada prinsipnya aktor, menempatkan strateginya dengan berbagai sumber daya yang dimilikinya maupun potensi pembangunan desa itu sendiri, dalam kerangka memecahkan kebuntuan proses penyusunan RPJMDes. Ini dilakukan bukan karena keberpihakan, tetapi demi keuntungan dirinya, ataupun institusinya. Demikianlah kerangka pikir penelitian, yang menjadi acuan peneliti untuk menelaah peran aktor dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Polobogo 2010-2015.
Bagan 2.1. Kerangka Pikir Penelitian
AKTOR
Arena Perjuangan (Ranah)
Habitus
Penyusunan RPJMDes
Modal
Peran/Praktek/Tindakan Aktor 22
2.5.
Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Peran Aktor Dalam Penyusunan RPJMDes Polobogo
2010-2015 ini terinspirasi dari beberapa penelitian terdahulu. Akan tetapi, dari berbagai penelitian tersebut, tidak ada yang khusus memfokuskan pada peran aktor dengan pendekatan sosiologis, seperti yang penulis fokuskan dalam penelitian ini. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan peran aktor dan penyusunan RPJMDes. Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu No. 1
Penelitian
Hasil Penelitian
Dwiyanto. 2009. Peran Pemerintah Hasil dari penelitian ini adalah : Dalam Pembangunan Pedesaan Di 1. Pemerintah kabupaten memiliki peran Desa
Kandangan,
Kecamatan
yang
Kabupaten
perannya baik sebagai regulator dan
Temanggung (Skripsi). Universitas
pelaksana program pembangunan di
Diponegoro
desa. Namun peran pemerintah ini
Kandangan,
tinggi
dalam
menjalankan
dirasakan oleh masyarakat belum begitu memberi dampak yang signifikan, hal ini
dikarenakan
kebijakan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten masih bersifat pengampu. 2. Peran pemerintah kecamatan hanya sebagai fasilitator kebijakan maupun pelaksana
pembangunan.
Hal
ini
dikarenakan
terdapatnya
pergeseran
fungsi
kedudukan
pemerintah
dan
kecamatan. Sedangkan untuk peran pemerintah desa didalam pembangunan pedesaan pada dasarnya memiliki peran sebagai pembuat kebijakan dan sebagai 23
pelaksana
program
pembangunan,
namun dilapangan pemerintah desa cenderung menjalankan fungsi sebagai pelaksana program pembangunan. 2
Indrastanti, S. Retno. dkk. 2010. Hasil dari penelitian ini adalah : Pendampingan
Penyusunan 1. Pelaksanaan pendampingan penyusunan
Dokumen Rencana Pembangunan
dokumen
Jangka Menengah Desa (Jurnal).
tahapan
Universitas
RPJMDes Makamhaji. Pelatihan ini
Muhammadiyah
Surakarta
tersebut
dimulai
pelatihan
melibatkan
seluruh
dengan
penyusunan
kepala
urusan,
anggota BPD, perwakilan masyarakat dan beberapa kepala dusun di Desa Makamhaji,
Kecamatan
Kartasura,
Kabupaten Sukoharjo. Adapun materi yang
disampaikan dalam
pelatihan
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Aspek regulasi dalam perencanaan desa (2) Fungsi RPJMDes sebagai pedoman dalam proses pembangunan desa. (3) Partisipasi
masyarakat
dalam
penyusunan dokumen RPJMDes, dann beberapa teknik mendorong partisipasi masyarakat
dalam
penyusunan
pelaksanaan
penyusunan
RPJMDes 2. Dalam
dokumen RPJMDesa Makamhaji secara umum berjalan dengan cukup lancar, hal ini terlihat dari antusiasnya peserta dalam mengikuti proses pelatihan dan pendampingan masyarakat, akan tetapi 24
dalam pelaksanaan terdapat beberapa hambatan yang menjadi kelemahan dalam proses ini yaitu : (1) Kurangnya pemahaman
para
pemangku
kepentingan
tentang
pentingnya
penyusunan Dokumen RPJMDes ini. (2) Adanya dominasi dari pihak tertentu yang ingin memasukkan program dan kegiatannya
ke
dalam
RPJMDesa,
sehingga membuat dokumen tersebut menjadi kurang aspiratif. 3
Mahayana Wayan. 2013. Peran Hasil dari penelitian ini adalah : Kepala Desa Dalam Meningkatkan 1. Peran
Kepala
Desa
dalam
Pembangunan Desa Di Desa Bumi
meningkatkan Pembangunan desa di
Rapak
Desa Bumi Rapak sudah berjalan
Kecamatan
Kaubun
Kabupaten Kutai Timur (E-Jurnal).
dengan baik,
Universitas Mulawarman
pemerintah desa telah menjalankan perannya
Kepala Desa selaku
sesuai
wewenang
dan
dengan
tugas,
fungsinya
dalam
meningkatkan kegiatan-kegiatan atau program pembangunan desa yang sudah berjalan hingga saat ini. Peran Kepala Desa tersebut adalah memotivasi warga, memfasilitasi warga dalam kegiatankegiatan
pembangunan
desa,
serta
menggerakkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong dan kegiatan lainnya. 2. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
peran Kepala Desa dalam meningkatkan 25
pembangunan
desa
yaitu
sebagai
berikut : (1) Kualitas sumber daya aparatur
desa;
(2)
Partisipasi
masyarakat dalam pembangunan di desa. (3) Memiliki sumber dana yang jelas dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan
dari
Program
Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). 4
Rostyaningsih,
Dewi.,
Suwandi. Hasil dari penelitian ini adalah :
2013. Perencanaan Pembangunan 1. Proses Partisipatif
Di
Desa
Kecamatan Kabupaten
Surakarta
Suranenggala Cirebon
(E-Jurnal).
Universitas Diponegoro
perencanaan
pembangunan
belum dilaksanakan dengan baik di Desa
Surakarta
Suranenggala dimana
Kecamatan
Kabupaten
beberapa
Cirebon,
tahapan
proses
perencanaan
pembangunan
belum
dilaksanakan,
diantaranya
persiapan
yakni
tahapan
Musyawarah
pra
musrenbang dan tahapan pembahasan kegiatan/penetapan prioritas kegiatan yang akan disampaikan ke tingkat musrenbang. 2. Faktor perencanaan
yang
mempengaruhi
partisipatif
Surakarta
Kecamatan
Kabupaten
Cirebon
di
Desa
Suranenggala tidak
berjalan
dengan baik sebagian besar didominasi oleh pemahaman yang minim dari masyarakat
dan
pemerintah
tentang perencanaan pembangunan.
26
desa