BAB II LANDASAN TEORI II.1
Pemahaman Pajak
II.1.1 Definisi Pajak Banyak definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar, yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. : “Pajak adalah iuran kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Dari definisi tersebut dapat diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu: a. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya. b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara individu oleh Pemerintah. c. Pajak dipungut oleh Negara (Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah). 8
d. Pajak diperuntukkan membiayai pengeluaran Pemerintah dan apabila pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai “public investment”
II.1.2 Fungsi Pajak Fungsi pajak sendiri dibagi menjadi 2, yaitu: a. Fungsi Budgeter (fungsi anggaran) adalah fungsi pajak disektor publik, merupakan alat atau sumber untuk memasukkan uang dari masyarakat ke Kas Negara b. Fungsi Regulerend (fungsi mengatur) adalah fungsi pajak yang dipergunakan untuk mengatur atau untuk mencapai tujuan tertentu di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Misalnya dengan mengadakan
perubahan-perubahan
tarif,
memberikan
pengecualian,
keringanan, dll. Hasil Reformasi Perpajakan: a. Terjadinya perubahan undang-undang perpajakan. b. Terjadinya perubahan sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System didukung dengan Witholding System. c. Terjadinya re-organisasi di tubuh Direktorat Jenderal Perpajakan.
9
II.1.3 Sistem/Cara Pemungutan Pajak Dalam Perpajakan dikenal beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu Self Assessment System, Official Assessment System, dan Withholding System. 1) Self Assessment System, suatu sistem pemungutan pajak dimana WP (Wajib Pajak) menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam sistem pemungutan ini, kegiatan pemungutan pajak diletakkan kepada aktivitas masyarakat Wajib Pajak sendiri, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk : •
Menghitung sendiri pajak yang terutang.
•
Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang.
•
Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang.
•
Melaporkan sendiri pajak yang terutang.
2) Official Assessment System, suatu sistem pemungutan pajak, dimana aparatur pajak (fiskus) menetapkan jumlah pajak yang terutang dari Wajib Pajak. Dalam sistem ini inisiatif dan kegiatan dalam menghitung dan menetapkan pajak sepenuhnya berada pada aparatur pajak (fiskus). 3) Withholding System, suatu sistem pemungutan pajak, dimana perhitungan pemotongan dan pembayaran pajak serta pelaporan pajak dipercayakan kepada pihak ketiga oleh Negara. Pihak ketiga yang diberi kepercayaan pemerintah untuk memotong atau memungut pajak misalnya Badan-badan tertentu, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran,
10
Bendaharawan dan lain-lain. Contoh Pajak yang menganut sistem ini misalnya Pajak Penghasilan Pasal-pasal 4 (2), 15, 21, 22, 23, dan 26.
II.1.4 Klasifikasi Pajak Mardiasmo (2004) menulis, ”Pajak dapat dikelompokkan tiga kelompok besar menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya”. Berikut ini adalah kelompok pengelompokkannya : 1. Menurut Golongannya a. Pajak Langsung; pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) b. Pajak Tak Langsung; yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif; yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Objektif; yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : PPN dan PPnBM
11
3. Menurut Lembaga Pemungutnya a. Pajak Pusat; yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : PPh, PPN dan PPnBM serta Bea Materai b. Pajak Daerah; yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : 1) Pajak Propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor 2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.
II. 2 Teori Pajak Pertambahan Nilai II.2.1 Definisi Pajak Pertambahan nilai Djoko Muljono (2008) mendefinisikan Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut, ”Pajak Pertambahan Nilai atau Value Added Tax (VAT) merupakan Pajak Penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada setiap transaksi. Nilai tambah adalah setiap tambahan yang dilakukann pejual atas barang atau jasa yang dijual, karena pada prinsipnya setiap penjual menghendaki adanya tambahan tersebut yang bagi penjual merupakan keuntungan”. (h.4) Sedangkan Muhammad Rusjdi (2007) mendefinisikan PPN sebagai berikut, ”Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang di pungut berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added)
12
yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen”. (h.01-3) Kemudian undang-undang ini diubah dengan undang-undang No.11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 dimana dilakukan perubahan kedua atas UU no.8 Tahun 1983 tesebut menjadi UU No. 18 Tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2001 hingga sekarang. PPN merupakan pajak tidak langsung yang sudah mulai diterapkan di Indonesia mulai tahun 1950 dengan nama pungutan Pajak Peredaran, kemudian pada tahun 1951 diubah menjadi Pajak Penjualan dan terakhir pada tahun 1985 nama pungutannya berubah menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang beraku sampai saat ini.
II.2.2 Latar Belakang Penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai Sukardji (2005) menjelaskan secara gamblang mengenai lahirnya Pajak Pertambahan Nilai sebagai pengganti Pajak Penjualan yang sebelumnya berlaku di Indonesia sebagai berikut, ”Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan UndangUndang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 yang kemudian ditetapkan sebagai undangundang oleh Undang-undang nomor 35 Tahun 1985, sejak tanggal 1 April 1985 telah diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai yang pemungutannya didasarkan pada Undangundang nomor 8 Tahun 1983. Lebih dari tiga dasawarsa Undang-undang Pajak Penjualan 1951 telah menunjukkan dedikasinya dalam pemungutan pajak atas konsumsi di Indonesia, namun dalam angka pelaksanaan program reformasi (pembaharuan) sistem
13
perpajakan tahun 1983, Undang-undang Pajak Penjualan 1951 dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun latar belakang pengamatan tersebut dapat diartikan sebagai berikut : 1. Dalam pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penjualan 1951, sudah terjadi banyak perubahan yang fundamental baik yang bersifat penyempurnaan maupun tambahan.
Sebagai
akibatnya,
hal
ini
menimbulkan
kesulitan
dalam
pelaksanaannya. 2. Mekanisme
pemungutan
Pajak
Penjualan
1951,
dalam
pelaksanaannya
menimbulkan dampak pengenaan Pajak Berganda. Keadaan ini mendorong wajib pajak
untuk
menghindar
dari
pengenaan
pajak
bahkan
kalau
perlu
menyelundupkan pajak. 3. Undang-Undang Pajak Penjualan 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan pajak, untuk pengusaha tertentu diterapkan sistem self assesment system, sedangkan untuk pengusaha lainnya digunakan official assesment system. Keadaan ini sangat menyulitkan dalam pelaksanaan pengawasannya. 4. Sebagai akibat pengenaan Pajak Berganda, maka Pajak Penjualan menjadi tidak netral baik dalam perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional, karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah pajak yang dipikul oleh konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan diekspor. 5. Variasi tarif yang cukup banyak sampai 9 (sembilan) macam tarif, menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga cukup besar pegaruhnya terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak.
14
II.2.3 Sejarah Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia Sejarah Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia ada beberapa tahapan, diantaranya: a. Masa Pajak Pembangunan I ( PPb I ) Pajak yang semula dipungut secara sukarela, kemudian pada tanggal 1 Juni 1947 PPb I mulai dipungut secara resmi. b. Masa Pajak Peredaran 1950 ( PPe 1950 ) Pajak yang dikenakan terhadap penyerahan barang dengan proses jasa yang dipungut pada setiap mata rantai jalur produksi dengan tarif 2.5%, serta hanya berlaku 9 bulan saja. c. Masa Pajak Penjualan 1951 ( PPn 1951 ) Pajak yang berlaku tanggal 1 Oktober 1951 berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 yang kemudian diteruskan menjadi Undang– undang Nomor 35 Tahun 1953. d. Masa Pajak Pertambahan Nilai 1984 Akibat dari adanya reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah tahun 1983, maka dihasilkanlah Undang–undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 8 Tahun 1983 yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 April 1985. e. Masa Pajak Pertambahan Nilai 1994 (Pajak Pertambahan Nilai 1994 ) Merupakan penyempurnaan dari Undang–undang Pajak Nomor 8 Tahun 1983 menjadi Undang – undang Nomor 11 Tahun 1994.
15
f. Masa Pajak Pertambahan Nilai 2000 Penyempurnaan atas Undang–undang Pajak Nomor 11 Tahun 1994 menjadi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang masih berlaku sampai dengan sekarang.
II.2.4 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia Dalam buku Sukardji (2005) mengemukakan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia, dapat dirinci sebagai berikut : a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak tidak langsung Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antar pemikul beban pajak (destinataris pajak) dengan penanggung jawab ats pembayaran pajak ke kas negara berada di pihak yang berbeda. Pemikul pajak itu secara nyata berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau pengsaha JKP. Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, administrasi pajak (fiskus) akan meminta pertanggungjawaban kepada penjual BKP atau pengsaha JKP tersebut, bukan kepada pembeli walaupum kemungkinan pembeli tersebut juga berstatus sebagai PKP. b. Pajak objektif Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya
16
taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hkum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya objek pajak. c. Multi Stage Tax Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek pakjak pertambahan nilai mulai
dari
tingkat
pabrikan
(manufacturer)
kemudian
ditingkat
perdagangan besar (wholesaler) dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer) dikenakan pajak pertambahan nilai. d. PPN terutang untuk dibayar ke kas negara di hitung menggunakan indirect substraction method/credit method/invoice method. Pajak yang dipungut oleh PKP penjual atau pengusaha jasa tidak secara otomatis di bayar ke kas negara. PPN teutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan pajak masukan (input tax) dengan PPN yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan pajak keluaran (output tax). Pola ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (indirect substraction method). Pajak Keluaran yang dikurangkan dengan Pajak Masukannya untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayarkan ke kas negara dinamakan tax credit. Oleh karena itu pola ini
17
dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Untuk mendeteksi kebenaran jumlah pajak masukan dan pajak keluaran yang terlihat dalam mekanisme ini dibutuhkan suatu dokumen penunjang sebagai alat bukti. Dokumen penunjang ini dinamakan Faktur Pajak (Tax Invoice). Sehingga metode ini dinamakan juga Metode Faktur (Invoice Method). e. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak konsumsi dalam negeri Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu komoditi impor dikenakan PPN dengan presentase yang sama dengan produk domestik. Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik yang dilakukan untuk perseorangan maupun badan baik swata maupun badan pemerintah, karena konsumen tidak semata-mata mengkonsumsi barang tetapi juga mengkonsumsi jasa. Maka agar beban pajak yang dipikul oleh konsumen dapat dihitung dengan baik, PPN disamping dikenakan terhadap konsumsi atas barang juga dikenakan terhadap konsumsi atas jasa. f. Pajak pertambahan nilai bersifat netral Netralitas PPN dibentuk oleh dua faktor, yaitu : -
PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa
-
Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle)
18
Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip pemungutan yaitu : 1. Prinsip tempat asal (origin principle) 2. Prinsip tempat tujuan (destination principle) Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa PPN dipungut di tempat asal barang atau jasa akan dikonsumsi. Sedangkan berdasarkan prinsip tempat tujuan, PPN dipungut berdasarkan tempat barang atau jasa dikonsumsi. Kedua prinsip tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kedudukan PPN dalam perdagangan internasional. Apabila dikehendaki ada sifat netral PPN di bidang perdagangan internasional, maka prinsip yang dianut adalah prinsip tempat tujuan (destination principle). Pada prinsip ini komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama dengan barang produksi dalam negeri. Karena kedua komoditi ini sama-sama dikonsumsi di dalam negeri, maka akan dikenakan beban pajak yang sama. Dengan demikian maka kompetisi komoditi impor dan produk domestik tidak dipengaruhi oleh PPN. g. Tidak menimbulkan pengenaan Pajak Berganda Kemungkinan pengenaan Pajak Berganda seperti yang di alami pada era Undang-undang Pajak Penjualan 1951 dapat dihindari sebanyak mungkin karena Pajak Pertambahan Nilai di pungut atas nilai tambah saja. Keadaan ini berbeda dengan situasi di era Undang-undang Pajak Penjualan 1951,
19
yang dalam pelaksanaannya, pengusaha tidak diberi hak untuk memperoleh kembali Pajak Penjualan yang di bayar atas perolehan bahan baku atau barang modal. Akibatnya Pajak Penjualan yang terutang sepenuhnya merupakan hasil perkalian Pajak Penjualan dengan peredaran bruto””. (h.19-25)
II.2.5 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terdapat dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 yaitu: 1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena
Pajak
wajib
memungut
Pajak
Pertambahan
Nilai
dari
pembeli/penerima Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga jual /penggantian, sebagai bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak tersebut membuat Faktur Pajak. 2. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan wajib dipungut oleh Penjual Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. 3. Pada waktu Pengusaha Kena Pajak di atas melakukan pembelian/perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak tersebut akan dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang dibayar atau seharusnya dibayar, Pajak Pertambahan Nilai yang 20
dibayar tersebut bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli merupakan Pajak Masukan. 4. Dalam setiap masa pajak (setiap bulan), jumlah Pajak Masukan yang dibayar diperhitungkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut. Selisih yang terjadi (Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan) harus disetor ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. Sebaliknya, jika jumlah Pajak Masukan yang dibayar lebih besar dari Pajak Keluaran yang dipungut, maka selisih tersebut harus dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. 5. Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagai sarana pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak Pajak Pertambahan Nilai ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha Kena Pajak terdaftar selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
II.3 Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai II.3.1 Dasar Pengenaan Pajak Dasar Pengenaan Pajak dalam PPN Berdasarkan pasal 1 angka 17 Undang-undang PPN 1984, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. 21
Sukardji (2003) menjelaskan dan merinci mengenai dasar pengenaan pajak sebagai berikut, ”dasar pengenaan pajak dalam PPN adalah a. Harga jual dan penggantian Dalam pasal 1 angka 18 UU PPN 1984 dirumuskan harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Kemudian dalam pasal 1 angka 19 UU PPN 1984 dirumuskan penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. b. Nilai impor Djoko Muljono (2008) menjelaskan bahwa, ”nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah punutan lainnya yan dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan Perundang-undangan Pabean. Dimana nilai impor yang menjadi dasar pengenaan pajak dihitung menggunakan nilai kurs yang ditentukan oleh Menteri Keuangan”. (h.41) Pasal 1 angka 20 UU PPN 1984 disebutkan nilai impor adalah niali berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan pabean
22
untuk impor barang kena pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut undang-undang ini.
II.3.2 Tarif PPN Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen). Sedangkan tarif PPN atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN, tetapi Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang di ekspor dapat dikreditkan. Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan peraturan pemerintah tarif PPN dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
II.3.3 Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, dan Pengusaha Kena Pajak II.3.3.1 Barang Kena Pajak (BKP) Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang yang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang yang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut : a) Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti :
23
• Minyak Mentah (Crude Oil) • Gas bumi • Panas bumi • Pasir dan kerikil • Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara; dan • Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, dan biji perak serta biji bauksit. b) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti : • Beras • Gabah • Jagung • Sagu • Kedelai; dan • Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium. c) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering. d) Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi, dan lainnya)
24
II.3.3.2 Jasa Kena Pajak (JKP) Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984 Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang PPN. Jenis pajak yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan atas kelompok-kelompok dan jasa sebagai berikut: a) Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi: •
Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi
•
Jasa dokter hewan
•
Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gizi, dan fisioterapi
•
Jasa kebidanan dan dukun bayi
•
Jasa paramedis dan perawat, dan
•
Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
b) Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi: •
Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo
•
Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifak komersil
•
Jasa pemberi pertolongan pada kecelakaan
•
Jasa Lembaga Rehabilitasi kecuali yang bersifat komersil
•
Jasa pemakaman termasuk krematorium, dan 25
•
Jasa di bidang olah raga kecuali yang besifat komersil.
c) Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko. d) Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, seperti: •
Jasa perbankan, kecuali jasa penyedia tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), jasa wali amanat, serta anjak piutang.
•
Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi
•
Jasa Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi.
e) Jasa di bidang keagamaan, seperti: •
Jasa pelayanan rumah ibadah
•
Jasa pemberian kotbah atau dakwah, dan
•
Jasa lain di bidang keagamaan.
f) Jasa di bidang pendidikan, seperti: •
Jasa penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
•
Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah (kursus-kursus).
g) Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang tidak dikenakan Pajak Tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti: pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-Cuma. h) Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan, seperti penyiaran radio dan televisi yang dilakukan olen instansi Pemerintah atau swasta yang
26
bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. i) Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air, seperti: jasa angkutan umum di darat, di laut, di danau, dan di sungai yang dilakukan oleh Pemerintah atau swasta. j) Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi : •
Jasa tenaga kerja
•
Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut
•
Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
k) Jasa di bidang perhotelan, seperti : •
Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang berkaitan dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap, dan
•
Jasa persewaan ruanganuntuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
l) Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum meliputi jasa-jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, seperti : pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Pemberian Izin Usaha Dagang, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
27
III.3.3.3 Pengusaha Kena Pajak (PKP) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau kegiatannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, dan memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha sebagaimana dimaksud diatas yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak (PKP) berkewajiban, antara lain untuk : • Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP • Memungut PPN dan PPnBM yang terutang • Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak • Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan BKP • Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya • Menyetor PPN dan PPnBM yang terutang • Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN. Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah : •
Pengusaha Kecil
28
•
Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), apabila sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto melebihi batas yang telah ditetapkan. Pengusaha itu wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagak Pengusaha kena Pajak (PKP) paling lambat pada akhir bulan berikutnya. PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1 (satu) bulan sejak berakhirnya tahun buku. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan pencabutan pengukuhan diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan pencabutan pengukuhan dianggap diterima. Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil : •
Dilarang membuat faktur pajak
•
Tidak wajib memasukka SPT masa PPN
•
Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan
29
•
Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh peredaran bruto diatas batas yang telah ditentukan.
II.3.4 Objek dan Subjek Pajak Pertambahan Nilai Pada Pasal 4 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan bahwa Objek Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
-
Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
-
Impor Barang Kena Pajak.
-
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
-
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
-
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau
-
Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
-
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha yang hasilnya untuk digunakan sendiri (Pasal 16C)
Sedangkan Subjek Pajak Pertambahan Nilai dikenakan pada: a. Pengusaha Kena Pajak b. Pengusaha Kecil c. Pedagang Besar
30
d. Pedagang Eceran Besar e. Hubungan Istimewa
II.3.5 Faktur Pajak
Faktur Pajak harus dibuat oleh PKP pada waktu penyerahan BKP atau JKP atau apabila pembayaran dilakukan sebelum penyerahan BKP atau JKP, maka Faktur Pajak harus dibuat pada waktu pembayaran seperti yang diatur pasal 13 ayat (1) dan (3) UU PPN. Djoko Muljono (2008) menjelaskan bahwa, ”Faktur Pajak dapat dibedakan menjadi :
1. Faktur Pajak Standar
Faktur Pajak Standar merupakan Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan perpajakan yaitu pasal 13 ayat (4) dan (5) UU PPN. Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau JKP yang paling sedikit memuat :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan BKP atau JKP; b.
Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli BKP atau JKP;
c.
Jenis barang atau jasa, jumlah araga jual atau penggantian, dan potongan harga;
d.
Pajak pertambahan nilai yang dipungut;
e.
Pajak penjualan atas barang mewah yang dipungut;
f.
Kode nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan
g.
Nama, jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak. 31
Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar tersebut dapat disesuaikan dengan kepentingan PKP dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan lain selain keterangan sebagaimana dimaksud dan bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar dapat dibuat sebagaimana contoh dari Direktur Jenderal Pajak.
Saat pembuatan Faktur Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut :
Faktur Pajak harus di buat paling lambat : − Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP dan atau JKP dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP. − Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau JKP. − Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau JKP. − Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan. − Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada bendaharawan pemerintah sebagai pemungut pajak pertambahan nilai.
2. Faktur Pajak Gabungan
Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP atau JKP yang terjadi selama satu nbulan takwim kepada
32
pembeli yang sama atau penerima JKP yang sama (pasal 13 ayat (2) UU PPN).
Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan BKP dan atau JKP atau pada akhir bulan penyerahan BKP atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan BKP dan atau JKP.
3. Faktur Pajak Sederhana
Berdasarkan Pasal 13 ayat (7) UU PPN, pengusaha kena pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana yang persyaratannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
PKP dapat membuat Faktur Pajak Sederhana apabila melakukan :
-
Penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir; dan
-
Penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli dan atau penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap.
Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat : − Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP − Jenis atau kuantum BKP dan atau JKP yang diserahkan 33
− Jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah. − Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana
Beberapa tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP atau JKP yang memenuhi syarat dan dapat diperlakukan sebagai faktur pajak, yaitu :
-
Bon kontan
-
Faktur penjualan
-
Segi cash register
-
Karcis
-
Kuitansi atau
-
Tanda bukti penyerahan atau pembayaran yang sejenis.
4. Dokumen sebagai Faktur Pajak
Berdasarkan pasal 13 ayat (6) UU PPN, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak. Dokumen tersebut paling sedikit harus memuat : − Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen − Nama dan alamat penerima dokumen − NPWP dalam hal penerima dokumen adalah sebagai wajib pajak dalam negeri − Jmlah satuan barang bila ada − Dasar pengenaan barang − Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor. 34
Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak standar menurut Kep DIP No KEP 522/PJ/2000 jo No 312/PJ/2001 adalah
a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau buku pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor BKP. b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB. c. Surat
Perintah
Penyerahan
Barang (SPPB)
yang
dibuat/dikeluarkan
oleh
BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu. d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNPB) yang dibuat atau dikeluarkn oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM. e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi. f. Tiket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway bill), atau delivery bill, yang dibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri. g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean. h. Nota Penjualan Jasa yang diibuat atau dikeluarkan untuk penyerahan jasa ke pelabuhan. i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik”. (h.93-106).
II.3.6. Pengkreditan Pajak Masukan
Dalam rangka menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam satu dalam satu masa pajak, perlu diperhatikan pajak masukannya terlebih dahulu. 35
Berdasarkan Pasal 1 ayat (24) Unang-Undang PPN, Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
Sukardji (2005) menjelaskan, ”kriteria Pajak Masukan yang dapat dan tidak dapat dikreditkan serta hal-hal teknis mengenai Pajak Masukan lainnya adalah sebagai berikut :
1. Pengkreditan dalam masa pajak yang tidak sama (pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984)
Pada dasarnya pengkreditan Pajak Masukan dilakukan dalam masa pajak yang sama. Namun dalam pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984 dibuka kemungkinan untuk melakukan pengkreditan dalam masa pajak yang tidak sama yang dapat digambarkan dengan skema berikut ini :
2. Pengkreditan Pajak Masukan sebelum ada Pajak Keluaran
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) UU PPN 1984, dalam hal belum ada pajak keluaran dalam satu masa pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. Penjelasan ayat ini menegaskan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak belum berproduksi, atau belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak sehingga Pajak Keluarannya belum ada (nihil), maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh 36
Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan Barang Kena Pajak, atau penerimaan Jasa Kena Pajak,atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau impor Barang Kena Pajak tetap dapat dikreditkan.
3. Kriteria Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
Berdasarkan pasal 9 ayat (5) jo pasal 9 ayat (6) huruf b UU PPN 1984 dapat dipahami bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah
Pajak
Masukan untuk memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
”Berhubung langsung” dengan kegiatan usaha mengandung pengertian bahwa Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang terkait dimaksudkan untuk melakukan kegiatan penyerahan kena pajak atau dengan kalimat lain ”untuk tujuan lain yang bersifat produktif”. Kriteria ini dinamakan syarat materiil. Selain memenuhi syarat materiil tersebut, supaya Pajak Masukan dapat dikreditkan harus memenuhi syarat formal yaitu tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak cacat. Kriteria Faktur Pajak yang cacat adalah sebagi berikut :
a. Faktur Pajak tidak diisi dengan benar b. Faktur pajak diisi tidak lengkap c. Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan d. Pengisian/pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
37
e. Faktur pajak dibuat melampau batas waktu yang telah ditetapkan f. Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP
4. Kriteria pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan
Pasal 9 ayat (8) dan pasal 16B ayat (3) UU PPN 1984 menyebutkan kriteria pajak yang tidak dapat dikreditkan :
a. Perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP b. Perolehan BKP atau JKP yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. e. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutannya berupa faktur pajak sederhana. f. Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan seagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984
38
g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6) UU PPN 1984 h. Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak i. Perolehan BKP atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (pasal 16B ayat (3) UU PPN 1984)”.
II.3.7. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 yang digunakan sebagai alat pembayaran Pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai ialah Surat Setoran Pajak. Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir (Pasal 9 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000). Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang
39
dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan (Pasal 9 ayat (2a) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000).
II.3.8. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai Mengacu pada pendapat Untung Sukardji pada halaman 29-30, dalam setiap pemahaman mengenai Pajak Pertambahan Nilai terdapat kelebihan dan kekurangannya mekanismenya masing-masing, diantaranya yaitu: 1. Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai: a. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda. b. Memiliki netralitas dalam perdagangan dalam dan luar negeri. c. Membantu likuiditas perusahaan, karena Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan sesuai dengan tipe konsumsi dan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction method). d. Ditinjau dari sumber pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat predikat sebagai money maker karena konsumen
selaku
pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya. 2. Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai:
40
a. Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung Lainnya, baik dipihak administrasi maupun dipihak Wajib Pajak. b. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul, sebaliknya semakin rendah kemampuan konsumen semakin berat beban pajak yang dipikul. Dampak ini timbul sebagai akibat karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak objektif. c. Pajak pertambahan Nilai rawan dari upaya penyelundupan. Kerawanan ini ditimbulkan sebagai akibat dari mekanisme pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak yang dibayar oleh pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur administrasi fiskus. d. Konsekuensinya, Pajak Pertambahan Nilai menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
41