BAB II LANDASAN TEORI

6 digilib.uns.ac.id

perpustakaan.uns.ac.id

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Tempat Kerja a. Menurut Undang – undang No. 1 tahun 1970 di dalam pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber – sumber bahaya, sedangkan yang termasuk tempat kerja adalah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut. b. Tenaga kerja dalah setiap orang yang melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang dan atau jasa (Tarwaka, 2008). c. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan terbuka atau tertutup, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air dan di udara (Tarwaka, 2008).

commit to user

7 digilib.uns.ac.id


2. Potensi Bahaya (Hazard) Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, potensi bahaya adalah kondisi atau keadaan baik pada orang, peralatan, mesin, pesawat, instalamsi, bahan, cara kerja, sifat kerja, proses produksi, dan lingkungan yang berpotensi menimbulkan gangguan, kerusakan, kerugian, kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran, dan penyakit akibat kerja. Potensi bahaya merupakan suatu keadaan yang memungkinkan atau berpotensi terhadap terjadinya kejadian kecelakaan berupa cidera, penyakit, kematian, kerusakan, atau kemampuan melaksanakan fungsi operasional yang telah ditetapkan (Tarwaka,2008). 3. Keadaan Darurat Keadaan Darurat dapat didefinisikan sebagai sebuah sub rangkaian dari semua kejadian-kejadian yang mengancam jiwa manusia, kesehatan, harta benda dan / atau lingkungan dan dengan demikian menciptakan sebuah kebutuhan untuk ditanggapi dan diatasi. ( PT. Pertamina Persero, 2010 ). 4. Kebakaran menurut Buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran P2K3 RS PKU Muhammadiyah Surakarta. a. Faktor Penyebab Kebakaran 1) Api

commit to user

8 digilib.uns.ac.id


Api adalah suatu reaksi kimia yang dikenal sebagai pembakaran. Nyala api yang tampak pada hakekatnya adalah masa suatu zat yang sedang berpijar yang dihasilkan dalam proses kimia oksida yang berlangsung sangat cepat dan disertai pelapasan sinar dan energi atau panas. a) Unsur-unsur terjadinya api Api atau kebakaran dapat terjadu karena pertemuan unsur dalam perbandingan yang tepat yaitu : 1. Unsur bakar atau setiap bahan yan beroksidasi baik padat, cair dan gas 2. Oksigen atau zat pembakaran (dari udara atau bahan oksidator) 3. Panas atau sumber nyala yang cukup 4. Reaksi berantal radikal bebas setelah bahan bakar di panaskan atau terbakar b) Proses terjadinya api Bahan bakar setelah dipanaskan atau terbakar akan mengalami : 1. Secara fisik menjadi gas 2. Secara kimia akan menghasilkan atom-atom yang berdiri bebas (radikal) c) Api padam 1) Semua bahan telah habis terbakar commit to user

9 digilib.uns.ac.id


2) Kosentrasi oksigen tidak cukup untuk berlangsungnya kebakaran 3) Temperatur material berada dibawah suhu nyalanya 4) Reaksi berantal radikal bebas terputus 2) Sumber potensial penyebab kebakaran a) Ditempat kerja secara umum 1. Api terbuka Penggunaan api terbuka didaerah berbahaya atau tempat bahan- bahan yang mudah menyala sering menjadi sumber penyebab terjadinya kebakaran antara lain : pengelasan, pemotongan dengan gas acetelin, dapur api, api rokok dan sebagainya. 2. Permukaan panas Pesawat atau instalasi pemanas, pengering, oven apabila tidak terkendali atau kontak dengan bahan hingga mencapai suhu penyalaan dapat menyebabkan kebakaran. 3. Peralatan listrik Peralatan listrik juga mempunyai poyensi bahaya kebakaran apabila tidak memenuhi standar keamanan dan pemakaiannya misalnya pembebanan lebih, legangan melebihi kapasitas, bunga api pada motor listrik.

commit to user

10 digilib.uns.ac.id


4. Gesekan mekanis Akibat gerakan secara mekanis seperti pada peralatan yang bergerak bila tidak diberi pelumasan secara teratur, dapat menimbulkan panas bungan mekanis atau brom dan bubutan atau penggerindraan (mesin gerindra) dapat menjadi sumber nyala api bila kontak dengan bahan yang mudah terbakar. 5. Reaksi Exothermal Panas akibat reaksi kimia terutama akibat reaksi yang terjadi dapat mengeluarkan panas dan juga dapat menghasilkangas yang mudah terbakar seperti reaksi batu karbit dengan air, reaksi bahan kimia yang peka terhadap asam. 6. Loncatan bunga api listrik statis Akibat pengaruh mekanis pada bahan non konduktor akan dapat terjadi penimbunan elektron (akumulasi titik stalls) pada keadaan tertentu elektron-elektron dapat menimbulkan loncatan bunga api yang dapat sebagai sumber penyebab kebakaran. b. Khusus di rumah sakit Menurut Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran P2K3 Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta sumber potensi kebakaran dirumah sakit sama halnya potensi penyebab kebakaran di tempat lain. Disini di titik beratkan pada penggunaan peralatan pada commit to user



tempat-tempat atau bagian-bagian dirumah sakit mempunyai ciri-ciri yang khusus antara lain : 1) Dalam memberikan pelayanan kepada pasien dipergunakan alat-alat yang mempergunakan aliran listrik (alat elektro medis), gas atau cairan berbahaya dan mudah terbakar atau meledak dan zat radio aktif. 2) Pada bagian penunjang rumah sakit seperti laboratorium atau rotgent juga banyak dipergunakan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kebakaran (bahan-bahan kimia) 3) Pada bagian dapur rumah sakit dipergunakan ketel uap atau boiler serta banyak mempergunakan listrik, gas dan minyak tanah sebagai sumber energi. 4) Bagian pusat sterilisasi mempergunakan autoclave dengan tekanan tinggi 5) Pada bagian loundry juga dipergunakan listrik dan uap untuk mencuci setrika dan pengering 6) Faktor lingkungan luar rumah sakit yang rawan terhadap kebakaran 7) Faktor

ketrampilan

dan

pengetahuan

tenaga

kerja

dalam

mempergunakan peralatan yang berbahaya dan kebakaran 8) Faktor pengunjung pasien pada jam-jam pengunjung dan pada umumnya rawan terhadap bahaya kebakaran

commit to user



c. Daerah berbahaya ledakan Zona G Zone G adalah daerah bahaya ledakan disebut juga sistem gas medis tertutup, dimana secara terus menerus ataupun tidak dialirkan dan dipergunakan campuran yang mudah meledak dalam jumlah sedikit (tidak termasuk udara yang mudah meledak dalam jumlah sedikit (tidak termasuk udara yang mudah meledak). Pencegahan pada Zone G dapat diusahakan dengan dengan cara menjauhkan peralatan listrik yang dapat diusahakan dengan cara menjauhkan peralatan listrik yang dapat menimbulkan percikan api dari alat yang mengeluarkan percikan api dari peralatan listrik yang dapat menimbulkan percikan api dari alat yang mengeluarkan gas, baik dalam keadaan biasa maupun bila ada gangguan berlaku ketentuan-ketentuan pada PUIL Pasal 860. Dianjurkan pada Zone G menggunakan Explusion Proof untuk lampu penerangan, kotak kontak atau panel pada peralatan listrik. Jenis peralatan elektro medik diijinkan. d. Zone M Zone M adalah bahaya ledakan di sebut juga “APG” (peralatan dengan pengujian alat anestesi) sekitar kegiatan medis mencakup sebagai ruangan, dimana dapat terbentuk udara mudah meledak sebagai akibat penggunaan bahan analgetik atau pembersih kulit, Ether Fluotliane, Nitrous Oxyde, Halothane atau Desinfektan dalam jumlah sedikit dan commit to user



waktu yang singkat. Pada Zona M cara pencegahan kebakaran tidak berbeda akan tetapi pada Zone M ini ada sedikit kekhususan. Untuk pencegahan kebakaran akibat dan ledakan, maka pemasukan daya listrik pada semua peralatan listrik yang dapat menimbulkan percikan api, dianjurkan terpasang terebih dahulu sebelum gas analgetik atau desinfektor memasuki ruangan Zobe M tersebut. Jenis peralatan elektro medik yang diijinkan “AP – M” (peralatan dengan pengujian alat anestasi). e. Pada instalasi listrik diluar Zone G dan Zone M. Pada instalasi atau daya di luar Zone G dan Zone M haruslah dipatuhi persyaratan – persyaratan pada PUIL 910 AI A3. Yang mempunyai syarat-syarat pencegahan kebakaran, terutama pada : 1) Tusuk Kontak Yang sering menyebabkan percikan bunga api pertama disebabkan oleh beban alat-alat listrik yang cukup besar. Pada Tusuk Kontak : dianjurkan besar beban yang dipikul tusuk kontak tersebut, dan diberikan penutup kontak. Tusuk kontak pada Zona G dan Zone M diletakkan pada ketinggian minimal 1,5 m dari lantai. 2) Sakelar (Kotak Kontak) Pada sakelar sering terjadi loncatan bunga api yang disebabkan oleh pemasukan beban yang secara tiba-tiba dan beban yang cukup besar

commit to user



dan di daerah sekitar lembab., sangat panas atau mengandung bahan korosif. Untuk penempatan kontak kontak diusahakan penempatannya di daerah yang kering atau tidak lembab dan mudah terjangkau atau tidak tertutup atau terhalang daerah sekitarnya. 3) Instalasi daya atau kabel instalasi Dengan diameter yang terlalu kecil tidak seimbang dengan beban, maka kabel instalasi akan panas dan mudah terbakar. Untuk mencegah mudah terbakarnya kabel instalasi listrik maka harus diadakan pengetesan tahanan isolasi minimal 1 tahun sekali dan harus teliti dalam mengawasi penyambungan atau penambahan daya listrik pada jaringan listrik yang tidak sesuai rencana harus seijin IPSRS. Untuk daerah tertentu seperti ruang operasi, ruang cobalt, ruang isolasi dan lain-lain disrankan : dipasang detektor asap yng dihubungkan dengan Master Control Fire Alarm (MCFA). f. Pada Perlengkapan Hubungan Bagi (PHB) Pada PHB juga perlu diadakan pemeriksaan pole-pole kabel ke pengaman lebur dan percobaan secara mekanis (OOF/ON untuk membersihkan kerak-kerak besi yang ada dan sebaiknya tidak dipergunakan jenis pengaman lebur yang terbuka, sebaiknya MCCB atau MCB/ELCB.

commit to user



Pada PHB harus diletakkan didaerah yang bebas dan lembab dan mudah terlihat dari segi pengamanan disekitarnya dan diberi tutup pengaman atau pintu. Dianjurkan dipasang detektor asap –ada shaft listrik yang dihubungkan pada MCFA agar dideteksi lebih awal. g. Ruang Genset Pada ruang genset sering terjadi banyak tumpahan bahan bakar dan barang-barang yang diletakkan tidak pada tempatnya. Misalnya kursikursi bekas, meja –meja rusak, dan lain-lain. Pada ruang genset dianjurkan untuk penempatan daily tank atau tangki bahan bakar tidak berada didalam ruang genset dan untuk ruangan harus bersuh dan di jaga sirkulasi udara ruang genset tersebut. 5. Aspek – aspek sebab kebakaran Aspek – aspek sebab kebakaran secara rinci dapat ditinjau melalui hal – hal yang menyangkut : a. Sumber daerah 1) Daerah produksi 2) Penimbunan 3) Fasilitas pelayanan 4) Jalan keluar yang aman 5) Daerah perjalanan kendaraan b. Sumber pelayanan commit to user



1) Perilaku unsur pelayanan (merokok dan lain-lain) 2) Perlengkapan listrik 3) Perlengkapan proses 4) Tempat masak atau pemasangan 5) Mengelas dan memotong c. Bahan – bahan yang mudah menyala 1) Gas 2) Larutan 3) Kimiawi 4) Kayu atau papan 5) Textile dan lain – lain. d. Keadaan atau tindakakan yang membahayakan 1) Kesalahan mekanis 2) Tidak bekerjanya sistem 3) Prosedur yang tidak aman 4) Salah penggunaan peralatan 5) Tidak adanya latihan e. Kesalahan pemadaman 1) Keterlambatan deteksi 2) Tidak adanya sistem alarm 3) Tidak adanya alat – alat pemadam api 4) Keselahan pemeliharan alat – alat pemadaman api commit to user



5) Keterlambatan datangnya dinas pemadam 6. Sumber potensial penyebab terjadinya kebakaran pada peralatan medik di Rumah Sakit. Peralatan medik adalah peralatan yang digunkan untuk keperluan diagnostik, therapy maupun untuk keperluan riset dalam bidang kesehatan. Pada pengoprasian peralatan tidak terlepas pada media lain yang terkait seperti pemakaian bahan habis pakai atau reagensia, gas –gas medis bahan bakar, dan lain – lain. Oleh karena itu terkecuali peralatan anesthesia dan beberapa peralatan laboratorium, bahaya kebakaran dan peralatan medik tidak memerlukan persyaratan khusus dalam hal penanggulangannya. a. Ruang perawatan dan ruang Emergency 1) Penggunaan regulator compressed oxygen pada pemakaian ventilator unit atau respirator 2) Terjadinya kegagalan isolasi atau korsluting listrik pada peralatan seperti lampu OK Emergency, monitoring unit, defibrillator, dan sebagainya. b. Ruang operasi 1) Pemakaian zat-zat yang mudah terbakar seperti ether, flouthane, halothen, nitrous oxyde (N2O) pada peralatan anesthesi. 2) Disamping itu juga perlu diperhatikan oxygen bertekanan tinggi yang mudah terbakar.

commit to user



3) Terjadinya percikan atau loncatan bunga api terhadap bahan –bahan yang mudah terbakar seperti ether, alkohol, pada saat dilakukan pembedahan dengan elektro surgery unit. 4) Terjadinya kegagalan isolasi pada alat sterilisator kecil ataupun alat elektromedis lainnya yang ada di ruang operasi. c. Ruang sterilisasi 1) Peralatan sterilisasi seperti steam sterilizer, hot air sterilizer, sterilizer basah, yang perlu diperhatikan adalah uap air panas yang bertekanan tinggi. 2) Terjadinya kegagalan isolasi pada alat. d. Ruang radiologi 1) Terjadinya gerakan atau gesekan mekanis pada alat rontgen sehingga menimbulkan panas atau bunga mekanis dan dapat mengakibatkan kebakaran. 2) Terjadinya kegagalan isolasi pada rangkaian listrik dan alat juga pada kabel tegangan tinggi (high tension cable) 3) Pemakaian gas LPG pada pemakaian alat Flame Photometer. e. Ruang farmasi dan apotik Di dalam ruang farmasi atau apotik selain obat – obatan disimpan juga bahan – bahan yang mudah terbakar. f. Ruang service atau dapur

commit to user



1) Pada umumnya didapur dipergunakan karosene atau LNG sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak. 2) Disamping itu dalam proses memasak dipergunakan minyak goreng dan air panas yang pabila tumpah dapat menimbulkan luka bakar. g. Ether, flouthane, halothane, nitrous oxyde dan alkohol 1) Zat – zat tersebut diatas harus disimpan dengan ditutup rapat dalam ruang yang sejuk dan berventilasi yang cukup dan sejauh mungkin harus dihindari kebocoran dan tumpahan. 2) Khusus untuk ether dan alkohol didalam pemakaiannya agar diupayakan jauh dari percikan api. h. Ruang generator set 1) Umumnya pembangkit tenaga listrik yang dihasilkan oleh mesin diesel atau generator, menggunakan minyak solar sebagai bahan bakarnya. 2) Minyak solar ini potensial dapat menimbulkan bahaya kebakaran apabila terkena percikan api atau loncatan bunga api dan genset. i. Pada ruang pesawat rontgen Pada ruang pesawat rontgen sebenarnya praktis kemungkinan untuk terjadinya kebakaran kecil sekali atau dapat dikatakan tidak ada, hanya perlu selalu dilakukan pemeliharaan berkala terhadap alat rontgen tersebut, seperti misalnya : pergerakan – pergerakan alat, contractor,

commit to user



sambungan kabel termasuk kabel tegangan tingi, pentanahan atau arde dan lain –lainnya. j. Ruang laboratorium Asam dan basa harus disimpan dalam ruangan yang berventilasi baik dan sewaktu pemakaian harus dijaga agar tidak terjadi tumpahan – tumpahan. Untuk pemakaian LPG agar selalu diperiksa tabung – tabungnya dari kemungkinan korosif dan hindarkan benturan – benturan yang mungkin terjadi. 5.

Prosedur Tanggap Darurat Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 50 tahun 2012 tentang penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, Perusahaan harus memiliki prosedur sebagai upaya menghadapi keadaan darurat kecelakaan dan bencana industri, yang meliputi : 1) Penyediaan personil dan fasilitas P3K dengan jumlah yang cukup dan sesuai sampai mendapatkan pertolongan medis, dan 2) Proses perawatan lanjutan Prosedur menghadapi keadaan darurat harus diuji secara berkala oleh personil yang memiliki kompetensi kerja dan untuk instalasi yang mempunyai bahaya besar harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang untuk mengetahui kehandalan pada saat kejadian yang sebenarnya. 1) Perencanaan

commit to user



Perencanaan awal berupa skenario yang didalamnya memuat sumber daya yang diperlukan, strategi pengendalian, organisasi, sistem komunikasi serta dampak ke lingkungan (Ramli, 2009). 2) Tahapan Kejadian / Penanggulangan Keadaan Darurat a) Komunikasi Komunikasi internal harus dirancang mulai dari deteksi keadaan darurat sampai ke penanggulangannya. Komunikasi eksternal dengan pemerintah daerah atau masyarakat sekitar, kegiatan organisasi untuk mencegah kepanikan atau jatuhnya korban yang tidak diinginkan (Ramli, 2009). b) Mekanisme Penanggulangan Keadaan Darurat Tim tanggap darurat yang terdiri tim evakuasi, tim lingkungan, bagian keamanan dan sistem komunikasi harus berjalan dan bekerjasama dengan baik, dengan melaksanakan peran masing – masing dalam kesatuan tim tanggap darurat (Covan, 1994). 6.

Prosedur Pemulihan setelah keadaan darurat Organisasi perlu membuat prosedur rencana pemulihan keadaan darurat sebagai bagian dari rencana keadaan darurat/bencana untuk membantu penyembuhan tenaga kerja di lokasi secepat mungkin setelah kejadian berakhir. Dengan prosedur tersebut perusahaan dapat mengurangi waktu yang diperlukan mengembalikan ke operasi normal dan membantu tenaga kerja yang cidera. Rencana pemulihan keadaan darurat dilakukan jika commit to user



kegiatan operasional tidak berjalan. Jika tidak, kehilangan waktu dalam pemulihan akan memakan produksi organisasi (ISO 14001, 1996) Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI NO. 50 tahun 2012 tentang penerapan

Sistem

Manajemen

Kesehatan

dan

Keselamatan

Kerja

menyatakan bahwa dalam melaksanakan rencana dan pemulihan keadaan darurat setiap perusahaan harus memiliki prosedur rencana pemulihan keadaan darurat secara cepat untuk mengembalikan

pada kondisi yang

normal dan membantu pemulihan tenaga kerja yang mengalami trauma. Serta prosedur untuk pemulihan kondisi tenaga kerja maupun sarana dan peralatan produksi yang mengalami kerusakan harus ditetapkan dan dapat diterapkan sesegera mungkin setelah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. 1) Pemulihan Keadaan Merupakan langkah yang diambil untuk memulihkan keadaan seperti kondisi normal. Di tingkat industri atau perusahaan, fase rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan jalannya operasi perusahaan seperti sebelum bencana terjadi. Upaya rehabilitasi misalnya memperbaiki peralatan yang rusak dan memulihkan jalannya perusahaan seperti semula (Ramli, 2010). 2) Investigasi dan Pelaporan Setiap kejadian darurat harus di investigasi dengan teliti untuk

commit to user



mengetahui penyebab sekaligus juga untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dalam proses penanggulangannya. Hasil investigasi atau penyelidikan bencana sangat diperlukan dengan tujuan sebagai berikut : a) Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya suatu bencana b) Mengetahui

kelemahan

atau

kelebihan

yang terdapat

dalam

pelaksanaan penanganan bencana yang dilakukan c) Mengetahui efektivitas organisasi penanganan bencana d) Menentukan langkah perbaikan atau pencegahan terulangnya suatu bencana e) Sebagai masukan dalam melakukan perbaikan atau penyempurnaan sistem manajemen bencana dan dalam menentukan kebijakan pembangunan (Ramli, 2010). 3) Inspeksi dan Audit Secara berkala seidaknya 3 bulan dilakukan audit dan inspeksi sistem tanggap darurat yang menyangkut prosedur, sarana dan kemampuan petugas (Ramli, 2009). 7.

Tim Tanggap Darurat Menurut Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 pada bagian Pedoman Penerapan dan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dikatakan bahwa perusahaan harus memiliki prosedur untuk menghadapi keadaan darurat atau bencana, yang diuji secara berkala untuk mengetahui keadaan pada saat kejadian yang sebenarnya. Pengujian prosedur secara commit to user



berkala tersebut dilakukan oleh personil yang memiliki kompetensi kerja, dan untuk instalasi yang mempunyai bahaya besar harus dikoordinasikan dengan instansi terkait yang berwenang. Tim Tanggap Darurat ini, terdiri dari beberapa kelompok satuan tim penanggulangan dan pengendalian bahaya, diantaranya adalah Tim Pemadaman Kebakaran, TimEvakuasi, Tim Medis dan P3K, Tim Lingkungan serta Tim Keamanan. 8.

Pelatihan Untuk menjamin keberhasilan sistem manajemen darurat di perlukan upaya pembinaan dan pelatihan yang terencana dan berkesinambungan, khususnya bagi mereka yang terlibat dalam rantai komando sehingga mengetahui peran dan tanggung jawabnya (Ramli, 2009). Anggota tim harus pada tingkat kesehatan dan kebugaran jasmani yang tinggi, disiplin dan mampu bekerja dalam situasi stress yang berat. Karena itu untuk tim penanggulangan keadaan darurat perlu dilakukan seleksi untuk mendapatkan personil yang sesuai kebutuhan (Sahab, 1997).

9.

Instrumen Sarana dan Prasarana 1) Personal Protective Equipment (PPE) Penempatan Peralatan Perlindungan Personil atau Personal Protective Equipment (PPE) harus disesuaikan dengan potensi bahaya yang ada di lokasi tersebut. PPE yang harus disediakan misalnya alat pelindung kepala (Head Wear ), alat pelindung mata (Eye Protection), alat pelindung

telinga

(Ear

Protection),

commit to user

alat

pelindung

pernafasan



(Respiratory Protection), alat pelindung tangan (Hand Protection), alat pelindung kaki (Feet Protection)a pakaian pelindung (Body Protection), sabuk pengaman keselamatan (Safety Belt). (Tarwaka, 2008) 2) Fire Fighting Equipment Fire Fighting Equipment yang harus tersedia meliputi hydrant, fire extinguisher, system detector, alarm system (Britsh Standadrs Institution, 2004) 3) Sarana Penyelamatan Jiwa (Means of escape) Penyelamatan jiwa dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya yang harus

dilakukan

agar

penghuni

bangunan

dapat

meninggalkan

bangunannya dengan aman apabila terjadi suatu bahaya pada bangunan tersebut dan dapat dilakukan tanpa bantuan orang lain. Faktor dasar yang mempengaruhi sarana penyelamatan adalah : Konstruksi, lamanya waktu untuk keluar, jumlah dan sifat kegiatan penghuni dan tempat keluar (EXIT). 4) Sarana Jalan Keluar Sarana jalan keluar (Emergency Exit) ialah fasilitas gedung atau bangunan yang digunakan untuk penyelamatan jiwa manusia dari tempat yang terancam bahaya ketempat yang aman. Untuk keperluan menekan sampai sekecil-kecilnya bahaya bagi keselamatan jiwa manusia dari kebakaran, asap, gas beracun dan panik, tentunya persyaratan penyediaan sarana jalan keluar sangat berkaitan dengan konstruksi dan penggunaan commit to user



bangunan. Penyediaan sarana jalan keluar harus ditunjukkan untuk mempersiapkan jalur aman yang akan digunakan penghuni bangunan ketika evakuasi sebelum keselamatan jiwa mereka terancam oleh api, asap atau panik. Melalui jalan keluar tersebut, para penghuni bangunan akan keluar atau berpindah tempat dari lokasi yang terancam bahaya ke tempat yang aman dalam waktu yang singkat. Dalam waktu yang singkat ttersebut dimaksudkan bahwa tiap orang dapat meninggalkan lokasi bahaya dengan melalui sarana jalan keluar yang tersedia dalam waktu antara 2 sampai 3 menit. Waktu yang cukup singkat tersebut (2-3 menit) sudah

termasuk

waktu

untuk

mencapai

exit

dengan

segera,

pemberitahuan kepada seluruh penghuni dan penggunaan jalan keluar yang efisien. Sarana jalan keluar mencakup seluruh jalan yang dilaui baik verikal maupun horizontal dari setiap titik di dalam bangunan samapi ke jalan umum, termasuk didalamnya pintu ruangan jalan penghubung (koridor), ruangan penghubung, jalan landai, pintu tahna api, tangga kedap asap, pintu keluar, halaman luar. (Nugroho, 2010) Sarana

jalan

keluar

yang

dibutuhkan

para

penghuni

untuk

menyelamatkan diri dari keadaan darurat ini mencakup antara lain : a) Pintu Keluar (EXIT) Pintu masuk, pintu keluar dan sistem sirkulasi dalam bangunan harus dilengkapi baik untuk pemakaian sehari-hari maupun sarana penyelamatan diri. Karenanya perlu dibuat banyak dan lebar tempat commit to user



keluar serta gerakan dari penghuni bila sewaktu-waktu terjadi emergency. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pintu darurat adalah : (1) Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya 2 jam (2) Pintu harus dilengkapi minimal 3 engsel (3)Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis. Bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik maka harus dapat dibukasecara manual bila terjadi kerusakan, dapat membuka langsung kearahjalan umum dan harus dapat membuka otomatis bila terjadi kegagalanpada daya listrik atu saat aktivasi alarm kebakaran. (4)Pintu dilengkapi dengan tuas atau tungkai pembuka pintu yang beradadiluar ruang tangga (kecuali tangga yang berada dilantai dasar, beradadidalam ruang tangga) dan sebaiknya menggunakan tuas yangmemudahkan, terutama dalam keadaan panik (panic bar). (5)Pintu dilengkapi dengan tanda peringatan “TANGGA DARURAT –TUTUP KEMBALI”. (6)Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api. (7)Ambang pintu harus tidak mengenai anak tangga minimalselebar daun pintu.

commit to user



(8)Pintu paling atas membuka kearah luar (atap bangunan) dan semua pintulainnya membuka kearah ruangan tangga kecuali pintu paling bawahmembuka keluar dan langsung berhubungan ruang luar b) Tangga Darurat Tangga darurat harus berhubungan langsung dengan jalan, halaman atau tempat terbuka yang langsung berhubungan dengan jalan umum. Semua tangga luar yang permanen dapat digunakan sebagai sarana jalan keluar bila memenuhi syarat. Syarat-syarat tangga darurat yaitu : (1) Tangga terbuat dari konstruksi beton atau baja yang mempunyai ketahanankebakaran selama 2 jam. (2) Tangga dipisahkan dari ruangan-ruangan lain dengan dinding beton yangtebalnya minimum 15 cm atau tebal tembok 30 cm yang mempunyaiketahanan kebakaran selama 2 jam. (3) Bahan-bahan finishing, seperti lantai dari bahan yang tidak mudah terbakardan tidak licin, susuran tangan terbuat dari besi. (4) Lebar tangga minimum 120 cm (untuk lalu lintas 2 orang ). (5) Harus dapat dilewati minimal oleh 2 orang bersama-sama atau lebar bersihtangga minimal 120 cm. (6) Untuk anak tangga, lebar minimum injakan tangga 27,9 cm, tinggiminimum 10,5 cm, tinggi maksimum 17,8 cm dan jumlah 2R + G ≤ 70cm. commit to user



(7) Harus mudah dilihat dan dicapai (dilengkapi dengan penunjuk arah). Jarakmaksimum dari sentral kegiatan 30 m atau antar tangga 60 m. (8) Persyaratan tangga kebakaran, khususnya yang terkait dengan kemiringantangga, jarak pintu dengan anak tangga, tinggi pegangan tangga dan lebar serta ketinggian anak tangga, seperti: 5) Tempat Berkumpul (assembly Point) Titik Assembly Point merupakan tempat untuk berkumpul yang aman, pada saat terjadi kondisi darurat di suatu perusahaan (Sahab, 1997) dan merupakan tujuan utama untuk melakukan tindakan evakuasi. Tanda ini diletakkan pada luar ruangan yang berarea luas seperti dibawah ini : a) Cukup menampung para tenaga kerja yang disesuaikan dengan pembagian area kerja masing-masing. b) Penentuan titik assembly point ini harus diperkirakan aman dan jauh dari sumber bahaya yang ada. c) Untuk jenis industri yang mencakup aktivitas dan karakteristik proses produksi yang mempunyai potensial bahaya tinggi, harus mempunyai beberapa titik assembly point yang memadai. d) Mudah untuk dijangkau dan mudah dipahami oleh setiap tenaga kerja apabila berada dalam kondisi darurat 6) Peta Evakuasi Peta evakuasi harus dipersiapkan dan ditempatkan di beberapa commit to user



lokasi pada tiap fasilitas pabrik. Peta-peta ini harus menunjukkan pintu keluar terdekat, pintu keluar cadangan, dan titik pertemuan. Disarankan peta evakuasi juga menunjukkkan lokasi rencana gawat darurat, meja resepsionis, pemadam kebakaran, pencuci mata, pancuran air, peralatan untuk menangani tumpahan bahan kimia, P3K, dan elemen penting lainnya. Para pekerja harus diberitahu untuk mengingat rute utama mereka dan rute cadangan bila jalan utama tertutup.(ISO 14001, 1996).

commit to user



B. Kerangka Pemikiran Tempat Kerja

Proses Kerja

Tenaga Kerja

Krmm

Peralatan Kerja

Potensi Bahaya

Keadaan Darurat

Kebakaran

Rencana Peanggulangan Bencana

Dikendalikan

1. 2. 3. 4.

Tim Respon Gawat Darurat Prosedur Penanggulangan Prosedur Pemulihan Sarana dan Fasilitas

Upaya Penyelamatan Manusia dan Harta

Tidak dikendalikan

Tidak terdapat upaya penyelamatan

Kecelakaan dan kerugian (tidak terkendali) Review Tidak Safe

Safe

Gambar 1. Kerangka Pikiran commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

Recommend Documents