BAB II LANDASAN TEORI
A. Agresivitas 1. Pengertian Agresivitas Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis. Tingkah laku agresif adalah tingkah laku yang tertuju pada keberhasilan menyakiti atau melukai hidup yang tidak ingin diperlakukan demikian (Bron & Byrne, dalam Sarwono, 2009). Dalam hal ini jika menyakiti seseorang karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Sebuah definisi klasik diusulkan oleh Buss (Krahé, 2005). Ia mengkarakterisasikan agresi sebagai sebuah respons yang mengantarkan stimuli ‘beracun’ kepada makluk hidup lain. Dalam arti tertentu, ternyata definisi yang behavioristis ini dianggap terlalu luas, karena mencakup banyak bentuk perilaku yang seharusnya tidak dapat digolongkan seagai agresi. Tetapi
dalam
arti
lain,
definisi
tersebut
terlalu
sempit
karena
mengesampingkan semua proses nonperilaku seperti pikiran dan perasaan. Menurut Buss (1992), agresi manusia tidak muncul sebagai adaptasi khusus untuk menangani masalah tertentu tetapi muncul sebuah adaptasi untuk menangani sejumlah masalah yang berkaitan untuk kelangsungan hidup manusia. 8
Baron dan Richardson (Krahé, 2005) mengusulkan penggunaan istilah agresi untuk mendeskripsikan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu. Motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah keinginan menyakiti orang lain untuk mengeskpresikan perasaan-perasaan negatif, seperti pada agresi permusuhan atau keinginan mencapai tujuan yang diinginkan melalui tindakan agresif (Krahé, 2005). Berkowits (Krahé, 2005) mendefinisikan agresi dalam hubungannya dengan pelanggaran norma atau perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial berarti mengabaian masalah bahwa evaluasi normatif mengenai perilaku yang sering kali berbeda, bergantung pada perspektif pihak yang terlibat. Sebagai contoh, sebagian orang menganggap hukuman badan adalah cara pengasuhan anak yang efektif dan dapat diterima, sementara yang lainnya menganggap sebagai bentuk agresi yang tidak dapat diterima. Pemicu yang umum dari agresi adalah ketika seseorang mengalami salah satu kondisi emosi tertentu, yang sering dilihat adalah emosi marah (Sarwono, 2009). Marah adalah sebuah pernyataan yang disimpulkan dari perasaan yang ditunjukkan yang sering disertai dengan konflik atau frustasi (Segall, dkk dalam Sarwono,2009). Ada dua istilah yang berhubungan erat dengan agresi yaitu koersi (paksaan) dan violence (kekerasaan). Koersi diartikan oleh Tedeschi dan Felson (Krahé, 2005) sebagai tindakan yang dilakukan dengan niat membuat
9
orang lain menderita atau memaksa orang lain patuh. Tindakan koersif dapat berbentuk ancaman, hukuman, atau paksaan badaniah. Berlawanan dengan koersi, yang lebih luas dibandingkan agresi, istilah kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi yang menunjuk pada bentukbentuk agresi fisik ekstrem. Kekerasan didefinisikan sebagai pemberian tekanan intensif terhadap orang atau properti dengan tujuan merusak, menghukum,atau mengontrol (Geen dalam Krahé, 2005). Sedangkan Archer dan Browne (Krahé, 2005) mendefinisikan kekerasan sebagai serangan fisik yang merusak yang bagaimanapun juga tidak dibenarkan secara sosial. Berdasarkan definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa agresivitas adalah tingkah laku seseorang yang sengaja ditujukan untuk melukai individu lain. 2. Penyebab Agresivitas Menurut Sarwono (2009) ada beberapa sumber agresivitas, antara lain : a. Sosial Frustasi, terhambatnya atau tercegahnya upaya mencapai tujuan kerap menjadi penyebab agresi. Dalam keadaan frustasi seseorang akan mengambil tindakan yang bernuansa agresif seperti penyerangan terhadap orang lain. Selain itu faktor provokasi verbal atau fisik merupakan penyebab agresi. Faktor sosial lainnya adalah alkohol. Penelitian atas 14 negara menemukan pola bahwa tingkah laku kriminal dilakukan oleh pelaku saat menenggak alkohol.
:
b. Personal Personal merupakan pola tingkah laku berdasarkan kepribadian. Orang bertipe A cenderung lebih agresif dibandingkan orang dengan tipe B. Tiper A cenderung indentik dengan karakteristik terburu-buru dan kompetitif (Gifford dalam Sarwono, 2009). Orang tipe A cenderung lebih melakukan hostile aggression. Hostile aggression merupakan agresi yang bertujuan untuk melukai atau menyakiti korban. Sedangkan tipe B lebih melakukan instrumental aggression. Instumental agresi adalah tingkah laku agresif yang dilakukan karena ada tujuan yang utama dan tidak ditujukan untuk melukai atau menyakiti korban. c. Sumber Daya Salah satu penyebab munculnya agresi adalah budaya. Segall,dkk (dalam Sarwono, 2009) menengarai faktor kebudayaan terhadap agresi. Lingkungan geografis, seperti pantai/ pesisir, menunjukkan karakter lebih keras dibandingkan masyarakat yang hidup dipedalaman. d. Situasional Ada yang mengatakan cuaca yang cerah membuat hati juga cerah. Sedangkan cuaca panas membuat hati panas. Ketidaknyamaan akibat cuaca panas menyebabkan kerusuhan dan dan bentuk-bentuk agresi lain (Hariies dalam Sarwono, 2009). Hal yang paling sering muncul ketika cuaca panas adalah timbulnya rasa tidak nyaman yang berujung pada meningkatnya agresi sosial (Harries dan Stadler dalam Sarwono, 2009).
,<
e. Sumber Daya Manusia ingin memenuhi kebutuhnya dengan daya dukung alam. Dibutuhkan upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan tawar menawar. Jika tidak terjadi kesepakatan maka ada dua kemungkinan tindakan yang diambil. Pertama, mencari sumber pemenuhan kebutuhan lain, kedua mengambil paksa dari pihak yang memilikinya. Sumber daya lain adalah letak daerah yang strategis untuk perdagangan, yang sering memunculkan perselisihan hingga peperangan. f. Media Massa Tayangan dari televisi berpotensi besar diimitasi oleh pemirsanya (Mardiana dalam Sarwono, 2009). Banyak faktor yang bisa menimbulkan agresi pada akhirnya membutuhkan kerangka pikir proses dari agresi yang berupa model. 3. Bentuk Agresivitas Manusia akan cenderung melakukan agresi bila ada faktor-faktor eksternal maupun internal yang membuat seseorang merasa terancam atau terusik ketenangannya. Setiap kondisi dan situasi, individu mengekspresikan perilaku agresifnya ke dalam bentuk yang berbeda. Buss dan Perry (1992) berpendapat behwa ada empat bentuk pola agresi yang biasa dilakukan oleh individu, yaitu : a. Agresi fisik. Agresi yang dilakukan untuk melukai diri sendiri maupun orang lain secara fisik seperti memukul, menendang, dan lain-lain. ,,
b. Agresi verbal. Agresi yang dilakukan secara verbal kepada lawan, seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang
seseorang
kepada
orang
lain,
memaki,
mengejek,
membentak, dan berdebat. c. Kemarahan.
Agresi
yang
semata-mata
dilakukan
sebagai
pelampiasan keinginan untuk melukai, menyakiti atau agresi yang tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban. Reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang termasuk ancaman agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan atau frustasi dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bagian simpatik, dan secara implisit disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat sematik atau jasmaniah maupun yang verbal. d. Permusuhan. Agresi yang dilakukan oleh individu sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu. Permusuhan cenderung untuk menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada orang lain, kecenderung melontarkan rasa kemarahan pada orang lain.
,(
B. Konseling Kelompok 1. Pengertian Konseling Kelompok Konseling kelompok merupakan bentuk khusus dari layanan konseling , yaitu wawancara konseling antara konselor profesional dengan beberapa orang sekaligus yang tergabung dalam suatu kelompok kecil (Winkel & Hastuti, 2006). Prayitno (1999) mengemukakan bahwa layanan konseling kelompok adalah layanan yang menggunakan dinamika kelompok sebagai media kegiatannya, apabila dinamika kelompok dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif maka dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dinamika kelompok perlu dibentuk pada sesi awal konseling. Apabila pembentukan dinamika antar kelompok gagal maka konseling akan berjalan tidak efektif. Melalui konseling kelompok pada siswa yang memiliki kesamaan masalah dapat disadarkan bahwa banyak siswa lain yang mengalami permasalahan tersebut. Penyadaran tersebut akan memberi suatu penguatan kepada siswa untuk terbuka dan bebas dalam mengutarakan permasalahan pribadinya.
2. Tahap – tahap Konseling Kelompok Menurut Corey & Corey (dalam Loekmono, 2003) konseling kelompok dlaksanakan secara bertahap. Terdapat 5 tahap yaitu tahap pembentukan kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, serta tahap evaluasi dan tindak lanjut. ,3
Berikut ini penjelasan tahap – tahap konseling kelompok secara singkat. a. Tahap pementukan kelompok Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Pada tahap ini terutama tahap pembentukan kelompok, yang dilakukan dengan seleksi anggota dan menawarkan program kepada calon peserta konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta. b. Tahap permulaan (orietasi dan eksplorasi) Pada tahap ini, konselor mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok. Setiap aggota kelompok mulai mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan atau harapannya. Kelompok mulai membangun norma untuk mengontrol aturan-aturan kelompok dan menyadari makna kelompok untuk mencapai tujuan. c. Tahap transisi Pada masa transisi ini para anggota masih merasa takut dan cemas dan perasaan itu masih cukup tinggi. Pada awal tahap kedua ini anggota kelompok mempunyai keinginan untuk terbuka tetapi pada sisi lain takut untuk terbuka pada kelompoknya. d. Tahap bertumbuh / berkembang Pada tahap ini anggota kelompok sudah mulai mengungkapkan permasalahan pribadinya secara terbuka apa adanya. Dalam tahap ini anggota kelompok juga mulai berinteraksi dan beradaptasi dalam kelompok dan telah meninggalkan fase bagaimana belajar dan berinteraksi dengan kelompok. e. Tahap penutup Tahap ini adalah tahap di mana kelompok sudah memasuki tahap lamanya waktu sesi kelompok yang sudah disepakati bersama. C. Self Management 1. Pengertian Self Management Self management adalah suatu proses di mana konseli mengarahkan perubahan tingkah laku sendiri, dengan menggunakan satu strategi atau kombinasi strategi (Cormier & Nurius, 2003). Dalam menggunakan prosedur self management, konseli mengarahkan usaha perubahan dengan mengubah aspek-aspek lingkungan atau dengan mengatur konsekuensi.
,4
Dalam teknik ini konseli harus aktif untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Menurut Cormier & Nurius (2003), ada empat macam strategi dalam self management yaitu: a. Self monitoring
: upaya konseli untuk mengamati diri sendiri,
mencatat sendiri tingkah laku tertentu (pikiran, perasaan dan tindakan) tentang dirinya dan interaksinya dengan peristiwa lingkungan. b. Stimulus control : merancang sebelumnya antesendent atau isyarat pedoman/ petunjuk untuk menambah atau mengurangi tingkah laku. c. Self reward
: pemberian hadiah pada diri sendiri, setelah
tercapainya tujuan yang diinginkan. d. Self as model
: menggunakan diri sendiri sebagai model, melihat
diri sendiri menampilkan tujuan perilaku yang dirubah. Keempat strategi ini dikelompokkan menjadi strategi self management karena masing-masing prosedur konseli sendiri yang mengarahkan secara langsung gayanya, memonitor, mengubah, memberi penghargaan, sebagai model, dan proses self efficacy untuk menampilkan tugas yang khusus untuk menciptakan keinginan merubah perilakunya (Cormier & Nurius, 2003). 2. Ciri – ciri Program Self Management yang Efektif Program self management yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik mempunyai beberapa keuntungan (Cormier & Nurius, 2003) yaitu: a. Menambahkan
pengawasan
individu
terhadap
lingkungan
dan
mengurangi ketergantungan terhadap konselor atau yang lainnya. ,5
Perasaan dapat mengawasi lingkungan sering kali memotivasi konseli untuk melakukan tindakan. b. Praktis, tidak mahal, dan gampang. c. Mudah dijawab. Karakteristik strategi self management efektif (Cormier & Nurius, 2003) adalah : a. Menggunakan kombinasi strategi, beberapa memusatkan pada tingkah laku anteseden dan yang lain pada konsekuensi. b. Menggunakan strategi secara konsisten dalam jangka waktu tertentu. c. Adanya bukti evaluasi diri dari konseli, membentuk tujuan dengan standar yang tidak terlalu tinggi, realistik dan terjangkau. d. Menggunakan penguat diri. e. Adanya dukungan lingkungan. 3. Pengembangan Program Self management efektif Menurut Cormier & Nurius (2003) menyatukan lima karakteristik self management yang efektif ke dalam gambaran dari langkah – langkah untuk menghubungkan dengan program self management. Berikut ini langkah – langkah program self management yang efektif : a.
Konseli mengidentifikasi dan mencatat target tingkah laku dan
mengawasi antesenden dan konsekuensinya. Untuk mengembangkan program self management yang efektif, langkag 1 dan 2 merupakan pembentukan evaluasi diri dan self efficacy. Tahap ini
,6
meliputi self monitoring yang mana konseli mengumpulkan garis besar data mengenai perilaku yang akan dirubah. b.
Konseli secara tegas mengidentifikasi tingkah laku yang ingin diubah,
kondisi, dan tingkatan perubahan. Tingkah laku, kondisi, dan tingkatan dari perubahan merupakan tiga bagian dari tujuan outcome konseling. Penggambaran tujuan adalah bagian penting dari program self management karena efek motivasi yang memungkinkan dari pembentukan tujuan. c.
Konselor menjelaskan kemungkinan stategi self management.
Langkah ketiga dan keempat langsung menolong konseli memilih kombinasi dari strategi self management yang digunakan. Konselor akan menjelaskan semua program self management yang memungkinkan untuk konseli. Konselor sebaiknya menjelaskan bahwa konseli sebaiknya memilih beberapa strategi yang meliputi pengaturan sebelumnya dari antesenden dan beberapa yang meliputi manipulasi dan pengaturan diri dari konsekuensi. d.
Konseli memilih satu atau lebih strategi self management.
Akhirnya konseli bertanggung jawab untuk memilih yang mana strategi self management yang akan digunakan. Pemilihan strategi konseli merupakan bagian penting dari semua self directed dari program self management, meskipun langkah ini mungkin berguna dari asisten konselor dari konselor professional atau yang lainnya meliputi dukungan usaha konseli selesai memilih berbagai pilihan strategi. ,8
e.
Konseli secara verbal menyatakan untuk melaksanakan langkah
keempat. Langkah kelima samapai kesembilan semua meliputi pertimbangan prosedural yaitu kekuatan komitmen konseli dan mendorong konsistensi penggunaan strategi setiap waktu. Konseli menyatakan kepada diri sendiri secara verbal untuk melakukan dengan spesifikasi apa dan bagaimana banyaknya perubahan yang diinginkan dan langkah strategi, konseli akan menciptakan perubahan. f.
Konselor mengajarkan dan memberi contoh strategi yang dipilih.
Konselor akan mengajarkan konseli bagaimana melakukan strategi yang dipilih. Konselor juga dapat mengikuti daftar pedoman untuk self monitoring, stimulus control maupun self reward. Secara tegas instruksi dan contoh oleh konselor mendorong konseli untuk menggunakan prosedur lebih akurat dan efektif. g.
Konseli berlatih strategi yang dipilih.
Kumpulan petunjuk diberikan oleh konselor mungkin memberikan pengaruh untuk beberapa tingkatan untuk semua hasil layanan. Konseli juga dapat menggunakan strategi –strategi secara lebih efektif jika ada kesempatan untuk melatih kembali prosedur di bawah bimbingan konselor. h.
Konseli menggunakan strategi yang dipilih dalam kehidupan nyata.
i.
Konseli mencatat penggunaan dan tingkatan target tingkah laku.
,9
Konseli mencatat (mengawasi) frekuensi penggunaan dari tiap –tiap strategi dan tingkatan dari target perilaku. Beberapa dari pengaruh layanan self management dapat juga berfungsi untuk pencatatan diri konseli. j.
Data konseli ditinjau kembali oleh konselor dan konseli, konseli
melanjutkan atau merevisi program. Langkah kesepuluh dan kesebelas meliputi aspek dari evaluasi diri, penguatan
diri,
dan
dukungan
lingkungan.
Konseli
mempunyai
kesempatan untuk mengevaluasi kemajuan ke arah tujuan
dengan
meninjau
selama
kembali data
pencatatan
diri yang terkumpul
pelaksanaan. Peninjauan kembali data dapat mengindikasi bahwa program berjalan secara lancer atau beberapa penyesuaian dibutuh. k.
Membuat peta data hasil penguatan diri dan lingkungan untuk
kemajuan konseli. Ketika data menyarankan bahwa beberapa kemajuan kea rah tujuan dibuat, evaluasi diri konseli dapat mengumpulkan kesempatan untuk penguatan diri. Pembuatan peta data dapat mempertinggi penguatan diri dan dapat mendatangkan dukungan lingkungan yang penting untuk pemeliharaan jangka panjang perubahan konseli.
4. Strategi Self Management a. Self Monitoring Self monitoring adalah suatu proses di mana konseli mengamati dan mencatat hal – hal tentang diri dan interaksi dengan situasi lingkungan. ,:
Langkah – langkah self monitoring yaitu : 1) Rasional Konselor memberi penjelasan tentang apa yang akan dimonitor dan mengapa, menekankan bahwa hal ini dapat dilakukan sendiri, dan dapat dilakukan sesering mungkin. 2) Penentuan respon Konselor membantu konseli menentukan usaha yang ditargetkan secara eksplisit. 3) Mencatat respon Konselor mengajarkan konseli tentang waktu, metode dan alat – alat untuk mencatat. Dalam hal ini menggunakan post behavior monitoring. 4) Membuat peta respon Setiap minggu konseli dapat menjumlahkan frekuensi dan membuat petanya. 5) Memperlihatkan data Konseli dapat menempelkan di tempat tertentu agar dapat mendorong kemajuan perilaku yang baru. 6) Analisi data Selama periode self monitoring konseli hendaknya membawa data ke konselor untuk ditinjau kembali. Konseli dapat memulai sendiri data dengan membandingkan data sebelumnya dengan tingkah laku yang diinginkan dan tingkat perubahannya. (<
b. Stimulus Control Stimulus control adalah penyusunan/ perancangan kondisi – kondisi lingkungan
yang
telah
ditentukan
sebelumnya,
yang
membuat
terlaksanakan/ dilakukannya tingkah laku tertentu. c. Self Reward Self reward digunakan untuk memperkuat atau menambah respon yang diinginkan. Self reward berfungsi mempercepat target tingkah laku. Ada 4 komponen yang merupakan bagian integral dari prosedur self reward yang efektif. 1) Pemilihan hadiah yang memadai/ cocok : a) Hadiah bersifat mendidik. b) Gunakan hadiah yang terjangkau. c) Gunakan beberapa hadiah. d) Gunakan
bermacam
jenis
(verbal,
material,
mutakhir,
potensial,dan sebagainya). e) Tukar hadiah bila tidak cocok. 2) Pengadaan hadiah a) Konseli sendiri yang menentukan kelayakan respon yang ditargetkan. b) Tentukan sendiri seberapa banyak yang akan dilakukan dalam hubungan dengan hadiah yang telah dipilih.
(,
3) Pengaturan waktu self reward a) Hadiah harus dilakukan sesudahnya, bukan sebelum tingkah laku. b) Hadiah harus disegerakan. c) Hadiah harus mengikuti perubahan, bukan janji – janji. 4) Rencana untuk mempertahankan pengubahan diri a) Cari bantuan orang lain untuk sharing atau menyalurkan hadiah. b) Tinjauan dengan konselor. Konselor
hendaknya
menemukan cara
memperkuat pernyataan
keterlibatan konseli untuk menggunakan strategi self management secara konsisten. Menurut Nursalim,dkk (2005) beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: a. Banyak konseli ragu terhadap metode ini pada pertama kali proses konseling. Maka konselor hendaknya tidak memperkenalkan strategi self management pada pertemuan awal. b. Penggunaan strategi self management sebagian tergantung terhadap motivasi konseli untuk berubah. d. Self As Model Prosedur Self as model menggunakan konseli sebagai model. Hosford
dan
de
Visser ( dalam
Cormier dan
Nurius,
2003)
mendeskripsikan self-modeling sebagai prosedur yang mana konseli melihat dirinya sebagai model dan menampilkan tujuan sikap yang ingin dirubah. Latihan yang berhasil diberi hadiah, dan yang salah dikoreksi. ((
Sebagai catatan bahwa prosedur ini tidak hanya modeling tetapi juga latihan dan umpanbalik. Dowrick ( dalam Cormier dan Nurius, 2003) menelaah mengenai self as model, digunakan dari anak- anak sampai orang tua dan mencakup target seperti keterampilan fisik ( rehabilitasi dan olahraga), akademik dan tujuan vokasional, komunkasi, serta penyesuaikan pribadi dan sosial. Tingkah laku yang dimodelkan hendaknya disesuaikan dengan usia konseli, gender, dan budaya. Diadopsi 5 langkah yang diasosiasikan dengan prosedur self as model dari Hosford dan de Visser. 5 komponen tersebut sebagai berikut : 1) Dasar pemikiran tentang strategi. 2) Merekam perilaku yang diinginkan. 3) Mengedit perilaku. 4) Mendemonstrasikan 5) Pekerjaan rumah : konseli mengobservasi dan melatihkan secara rutin. D. Penelitian yang Relevan Kursin (2005)
meneliti tentang “Efektivitas Layanan Konseling
Kelompok dalam Mengurangi Perilaku Agresif Siswa Panti Pamardi Putra Mandiri Semarang Tahun 2004/2005” menjelaskan bahwa perilaku agresif fisik siswa pada mulanya tinggi dan setelah mendapatkan layanan konseling kelompok menurun menjadi kategori rendah sedangkan perilaku agresif verbal siswa yang pada mulanya sangat tinggi setelah mendapatkan layanan konseling kelompok (3
juga menurun menjadi kategori rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil uji wilcoxon diperoleh Zhitung = 2,521 > Ztabel = 1,96. Maka layanan konseling kelompok sangat efektif untuk mengurangi perilaku agresif siswa di Panti Pamardi Putra Mandiri Semarang. Laila Indriyati (2007) meneliti tentang “ Keefektifan Konseling Kelompok dengan Pendekatan Behavioral untuk Mengurangi Perilaku Agresif pada Siswa kelas XI SMA Purusatama Semarang Tahun 2006/2007” menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan behavioral secara signifikan dapat mengurangi perilaku agresif pada siswa kelas XI SMA Purusatama Semarang Tahun 2006/2007 yang ditunjukkan dengan p= 0,004 lebih kecil dari a= 0,05. Novi Kristina (2011) meneliti mengenai “Pengaruh Layanan Konseling Kelompok terhadap Perilaku Agresif pada siswa kelas VIII MTs At-Taqwa Jatingarang Bodeh Pemalang Tahun 2010/2011” mengemukakan bahwa ada pengaruh layanan konseling kelompok terhadap perilaku agresif pada siswa kelas VIII MTs At-Taqwa Jatingarang Bodeh Pemalang Tahun 2010/2011 yang ditunjukkan dengan t hitung = 2,208 > t tabel = 1,684.
E. Hipotesis ” Layanan Konseling Kelompok dengan Teknik Self Management secara efektif dapat mengurangi agresivitas siswa kelas VIII G SMP N 2 Ambarawa.”
(4