BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Agresif Pembahasan perilaku agresif dijabarkan kedalam subbab berikut ini meliputi (1) pengertian perilaku agresif, (2) aspek-aspek perilaku agresif, (3) bentuk-bentuk perilaku agresif, (4) mengurangi perilaku agresif. 2.1.1 Pengertian Perilaku Agresif Perilaku agresif adalah perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku agresif akan terbentuk dan diulang oleh individu karena dengan melakukan perilaku agresif individu memperoleh efek yang menyenangkan, dan sebaliknya individu tidak akan mengulang perilaku agresif apabila perilaku tersebut menimbulkan efek yang tidak menyenangkan bagi dirinya (Buss & Perry, 1992). Barbara (2005) menjelaskan bahwa motif utama perilaku agresif bisa jadi adalah keinginan menyakiti orang lain untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif.
2.1.2 Aspek-Aspek Perilaku Agresif Buss & Perry (1992) menyebutkan ada empat aspek perilaku agresi, yaitu; 1) Physical Aggression (agresi fisik) Physical aggression merupakan agresi yang dapat diamati. Physical anggression (PA) adalah kecenderungan individu untuk melakukan serangan secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi.Bentuk serangan fisik tersebut seperti memukul, mendorong, mencubit. 2) Verbal Aggression (agresif verbal) Verbal aggression merupakan perilaku agresi yang dapat diamati (didengar). Verbal Aggresion adalah kecenderungan untuk menyerang orang lain untuk memberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkan kepada organisme lain secara verbal, yaitu melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut seperti cacian, ancaman, mengumpat atau penolakan. 3) Anger (kemarahan)
6
Anger adalah perasaan marah, kesal, sebal dan bagaimana cara mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan untuk mengendalikan amarah. 4) Hostility (permusuhan) Hostility tergolong dalam agresi covert (tidak nampak).Hostility terdiri dari dua bagian yaitu Resentmen seperti cemburu dan iri hati terhadap orang lain, dan Suspicion seperti adanya ketidak kepercayaan, kekhawatiran, dan proyeksi dari rasa permusuhan terhadap orang lain. 2.1.3 Bentuk-bentuk Perilaku Agresif Menurut Moore dan Fine (Koeswara, 1988) yang membagi perilaku agresif dalam dua bentuk yaitu secara fisik dan secara verbal, antar lain: 1) Agresif verbal yaitu agresif yang dilakukan dengan cara menyerang secara verbal seperti mengejek, membentak, menghina, dan lain-lainnya. 2) Agresif fisik yaitu agresif yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan fisik seperti menendang, menggigit, mencubit, melempar dan lain-lainnya.
2.1.4 Mengurangi Perilaku Agresif Krahe (2005) menyatakan bahwa perilaku agresif dilakukan oleh pelaku individual. Dengan demikian, sebagian besar upaya intervensi diarahkan pada pengurangan kemungkinan individu untuk memperlihatkan perilaku agresif.Krahe (2005) menjelaskan empat mekanisme yang dapat mencegah perilaku agresif, yaitu : 1) Katarsis Freud (1920) dan Lorenz (1974) menyatakan bahwa ventilasi perasaan bermusuhan dapat melepaskan impuls-impuls agresif yang secara temporer mengurangi kemungkinan perilaku agresif. Namun temuan dari para peneliti selanjutnya, seperti Baron & Richardson (1994), Bushman, dkk (1999), menunjukkan bahwa katarsis tidak efektif dalam mengurangi agresi, tetapi justru meningkatkan. Mengingat efek stimuli agresif dalam penetapan prima kognitif agresi, maka tidak mengherankan bahwa terlibat dalam bentuk-bentuk agresi imajiner atau agresi yang tidak merugikan atau melihat perilaku kekerasan orang lain bisa menjadi pencetus agresi dalam bentuk perilaku di masa mendatang.Ekspresi agresi terbuka dalam bentuk verbal maupun fisik diketahui bisa
mengurangi rangsangan afektif negatif. Tetapi, bukannya bertindak mencegah perbuatan agresi selanjutnya, pengalaman bahwa perasaan negatif dapat dikurangi melalui perilaku agresif itu justru bisa meningkatkan dan bukan menghambat agresi di masa mendatang. 2) Hukuman Penjelasan tentang agresi sebagai hasil proses belajar menekankan peran penguatan dan hukuman dalam mengatur performa perilaku agresif. Agresi dianggap bisa meningkat sejauh pelakunya (atau orang lain yang diobservasinya) mendapatkan akibat positif atas tindakan agresifnya, begitu pula sebaliknya. Namun, parapengkritik berpendapat bahwa respon punitif itu sendiri merupakan tindakan agresi. Seperti yang dikemukakan dalam agenda penelitian untuk mengurangi kekerasan yang dibuat oleh the American Psychological Society (1997), “Hukuman bisa menekan perilaku antisosial dalam jangka pendek, tetapi modifikasi perilaku yang lebih kekal hanya akan muncul setelah cara-cara alternatif untuk mengatasi masalah-masalah sosial dipelajari”. Berdasarkan alur penalaran ini, program-program yang diarahkan pada pencegahan gangguan perbuatan agresif pada anak-anak difokuskan pada strategi pendisiplinan nonkekerasan oleh orang tua (Coie dan Dodge, 1998). 3) Mengelola kemarahan Fokus pendekatan mengelola kemarahan adalah menujukkan kepada individu agresif tentang model kemarahan yang bisa dimengerti dan hubungannya dengan kejadian, pikiran, serta perilaku kekerasan yang dipicu olehnya (Howell, 1989). Pendekatan manajemen kemarahan banyak mendasarkan diri pada prinsip-prinsip terapi kognitif-perilaku, khususnya “stress inucolation training (latihan inokulasi stress) Meichenbaum (1975) yang diadaptasi untuk mengelola kemarahan oleh Novaco (1975). Howells (1989) mengemukakan metode manajemen kemarahan bisa berfungsi pada individu yang menyadari kenyataan bahwa perilaku agresif mereka adalah akibat kegagalan mengontrol implus agresif dan pada individuyang termotivasi untuk mengubah cara mereka yang tidak kuat dalam menangani implus. Selain itu, kontrol terhadap kemarahan dapat ditingkatkan dengan melatih individu-individu ini agar mampu menyadari tentang penyebab-penyebab potensial dan keadaan-keadaan yang dapat mengurangi perilaku orang lain yang negatif dan menyebabkan frustasi. 4) Belajar melalui observasi Menyaksikan tokoh panutan nonagresif dimaksudkan untuk mendapatkan repertoar perilaku baru di mana pola-pola respons agresif dapat digantikan untuk jangka waktu yang lebih lama.
Mengamati orang-orang yang berperilaku nonagresif bisa mengurangi performa tindakan agresif pengamatannya (Baron & Richardson 1994). Cara yang lebih efektif untuk mencegah dan mengurangi agresif fisik dan kemarahan adalah dengan menghilangkan stressor yang diketahui meningkatkan kecederungan agresif fisik dan kemarahan melalui pencetusan afek negatif, misalnya suhu udara yang tinggi, kebisingan atau kondisi tempat tinggal. 2.2 Bimbingan Kelompok Pembahasan bimbingan kelompok dijabarkan ke dalam subbab berikut: 2.2.1 Pengertian Bimbingan Kelompok Gazda (dalam Prayitno 1995) mengemukakan bahwa bimbingan kelompok di sekolah merupakan kegiatan informasi kepada sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat. Bimbingan kelompok adalah proses pemberian bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan kelompok ditujukan untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan mengembangkan potensi siswa (Romlah, 2001). 2.2.2 Tujuan Bimbingan Kelompok Tujuan bimbingan kelompok dikemukakan oleh Bennett (dalam Romlah, 2001) sebagai berikut: a) Memberikan kesempatan-kesempatan pada siswa belajar hal-hal penting yang berguna bagi pengarahan dirinya yang berkaitan dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial. b) Memberikan layanan-layanan penyembuhan melalui kegiatan kelompok. 2.2.3 Teknik – Teknik Bimbingan Kelompok Teknik-teknik Bimbingan Kelompok menurut Romlah (2001) adalah sebagai berikut: a) Teknik Pemberian Informasi (Expository Techniques) yaitu pemberian penjelasan oleh seorang pembicara kepada sekelompok pendengar. Pemberian informasi tidak hanya diberikan secara lisan, tetapi juga dapat diberikan secara tertulis. Pemberian informasi secara tertulis dapat dilakukan melalui berbagai media, misalnya papan bimbingan, majalah sekolah, rekaman, selebaran, video, dan film (Romlah, 2001).
Pelaksanaan teknik pemberian informasi (Jacobsen,dkk,1985) yaitu: 1) Tahap perencanaan, terdapat tiga langkah yaitu: (a) merumuskan tujuan apa yang hendak dicapai dengan pemberian informasi tersebut; (b) menentukan bahan yang akan diberikan apakah berupa fakta, konsep atau generalisasi; (c) menentukan dan memilih contoh-contoh sesuai dengan bahan yang diberikan. 2) Tahap pelaksanaan, penyajian materi disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. 3) Tahap penilaian, dapat dilakukan secara lisan dengan menanyakan pendapat siswa mengenai materi yang diterimanya, tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis baik dengan tes subjektif ataupun objektif. b) Diskusi Kelompok Bloom (dalam Romlah, 2001) mendefinisikan diskusi kelompok merupakan usaha bersama untuk memecahkan suatu masalah, yang didasarkan pada sejumlah data, bahan-bahan dan pengalaman-pengalaman, di mana masalah ditinjau selengkap dan sedalam mungkin. Dinkmeyer dan Muro (dalam Romlah, 2001) menyebutkan tiga macam tujuan diskusi kelompok, yaitu: (a) untuk mengembangkan pengertian terhadap diri sendiri; (b) untuk mengembangkan pandangan baru mengenai hubungan antara manusia; (c) untuk mengembangkan kesadaran tentang diri dan orang lain. c) Teknik Pemecahan Masalah (Problem-Solving Technique ) yaitu suatu proses yang kreatif dimana individu- individu menilai perubahan-perubahan yang ada pada dirinya dan lingkungannya, dan membuat pilihan-pilihan baru, keputusan-keputusan, atau penyesuaian yang selaras dengan tujuan- tujuan dan nilai-nilai hidupnya (Romlah, 2001). Langkah-langkah pemecahan masalah secara sistematis adalah: (1) Mengidentifikasi dan merumuskan masalah, (2) Mencari sumber dan memperkirakan sebab-sebab masalah, (3)Mencari alternatif pemecahan masalah, (4) Menguji kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masing-masing alternatif, (5) Memilih dan melaksanakan alternatif yang paling menguntungkan, (6) Mengadakan penilaian terhadap hasil yang dicapai. d) Permainan Peranan (Role playing) Bennett (dalam Romlah, 2001) mengemukakan bahwa permainan peranan adalah suatu alat belajar yang mengembangkan keterampilan – keterampilan dan pengertian-pengertian mengenai hubungan antar manusia dengan jalan memerankan situasi-situasi yang paralel dengan yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Cosini, (1966) menyatakan bahwa permainan peranan dapat digunakan sebagai: (a) Alat untuk mengdiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu
memerankan secara spontan situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan sebenarnya; (b) Media pengajaran, melalui proses “modeling” anggota kelompok dapat belajar dengan lebih efektif keterampilan-keterampilan hubungan antara pribadi dengan mengamati berbagai macam cara dalam memecahkan masalah; (c) Metode latihan untuk melatih keterampilanketerampilan tertentu; melalui keterlibatan secara aktif dalam proses permainan peranan, anggota kelompok dapat mengembangkan pengertian – pengertian baru dan mempraktekkan keterampilan-keterampilan baru. Bennet, 1963 menyebutkan dua macam permainan peranan, yaitu sosiodrama dan psikodrama. 1) Sosiodrama adalah permainan peranan yang ditujukan memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Konflik sosial yang disosiodramakan adalah konflik kepribadian seperti pertentangan antar kelompok sebaya, perbedaan nilai individu dengan nilai lingkungan, perbedaan nilai antara anak dengan orang tua. 2) Psikodrama merupakan permainan peranan yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksinya terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya (Corey, dalam Romlah, 2001). e) Permainan Simulasi (Simulation Games ) Menurut Adams (dalam Romlah, 2001) simulasi adalah permainan yang dimaksudkan untuk merefleksikan situasi–situasi yang terdapat dalam kehidupan yang sebenarnya. Permainan simulasi dibuat untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya membantu siswa untuk mempelajari pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan aturan-aturan social. f) Karyawisata (Field Trip) Karyawisata merupakan kegiatan yang diprogamkan oleh sekolah untuk mengunjungi objek-objek yang berkaitan dengan bidang studi yang dipelajari siswa, dan dilaksanakan untuk tujuan belajar secara khusus. Tujuan karyawisata ini adalah siswa diharapkan mendapat pengalaman – pengalaman baru dan wawasan-wawasan baru terhadap situasi tertentu (Pietrofesa,dkk, dalam Romlah, 2001). g) Teknik Penciptaan Suasana Kekeluargaan (Homeroom) Teknik penciptaan suasana kekeluargaan (homeroom) adalah teknik untuk mengadakan pertemuan dengan sekelompok siswa di luar jam–jam pelajaran dalam suasana kekeluargaan dan dipimpin oleh seorang guru atau konselor (Pietrofesa,dkk, dalam Romlah, 2001).
Kegiatan homeroom mempunyai dua fungsi yaitu : menyediakan program bimbingan yang sistematis; dan merupakan suatu proses penyaringan yang efektif terhadap siswa-siswa yang mempunyai masalah yang lebih mendalam yang perlu dikirim ke konselor (Romlah, 2001). 2.2.4 Teknik yang Digunakan Teknik-teknik Bimbingan Kelompok yang digunakan penulis dalam penelitian adalah teknik bimbingan kelompok menurut Romlah (2001) adalah sebagai berikut: a) Teknik Pemberian Informasi (Expository Techniques) yaitu pemberian penjelasan oleh seorang pembicara kepada sekelompok pendengar. Pemberian informasi tidak hanya diberikan secara lisan, tetapi juga dapat diberikan secara tertulis. Pemberian informasi secara tertulis dapat dilakukan melalui berbagai media, misalnya papan bimbingan, majalah sekolah, rekaman, selebaran, video, dan film (Romlah, 2001). b) Diskusi Kelompok Bloom (dalam Romlah, 2001) mendefinisikan mengenai diskusi kelompok merupakan usaha bersama untuk memecahkan suatu masalah, yang didasarkan pada sejumlah data, bahan-bahan dan pengalamanpengalaman, di mana masalah ditinjau selengkap dan sedalam mungkin. Dinkmeyer dan Muro (dalam Romlah, 2001) menyebutkan tiga macam tujuan diskusi kelompok, yaitu: (1) untuk mengembangkan pengertian terhadap diri sendiri; (2) untuk mengembangkan pandangan baru mengenai hubungan antara manusia; (3) untuk mengembangkan kesadaran tentang diri dan orang lain.
2.3 Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Simanjuntak Julian (2012) Mengurangi Perilaku Agresif Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2 Siabu Kabupaten Mandailing Natal Tahun Ajaran 2011/2012. Memperoleh hasil observasi pada siklus I diketahui bahwa perilaku agresif seperti mudah marah, sering frustasi, mudah emosi dan sering berkelahi
dapat dikatakan sedang, hal ini diketahui 50% perilaku agresif siswa berkurang. Selanjutnya observasi siklus II diketahui bahwa perilaku agresif siswa yang mudah marah, sering frustasi, mudah emosi, dan sering berkelahi dapat dikatakan sudah berkurang, hal ini diketahui 10% siswa sudah berkurang perilaku agresifnya. Siwinarti (2012), Model Bimbingan Kelompok Teknik Fun Game untuk Mengurangi Perilaku Agresif Verbal Siswa. Fun game efektif dan dapat mengurangi perilaku agresif verbal siswa. Hasil tes menunjukkan menurunnya skor pre-test dan post-test pada skala perilaku agresif verbal siswa mencapai 28,29% dibandingkan sebelum diberi perlakuan bimbingan kelompok. Dari kedua hasil penelitian itu menunjukkan terjadinya pengurangan perilaku agresif siswa setelah mengikuti bimbingan kelompok dan diberikan treatment pada kelompok siswa yang tingkat agresifitasnya tinggi. Oleh karena itu, peneliti juga optimis bahwa penelitian ini juga akan berhasil untuk mengurangi perilaku agresif siswa kelas XI IS 2 di SMAN 2 Salatiga.
2.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan di atas, peneliti mengajukan hipotesis: “Layanan Bimbingan Kelompok pada Siswa dapat mengurangi perilaku agresi Kelas XI IS 2 SMA Negeri 2 Salatiga Tahun Pelajaran 2013/2014”.