BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Surat Ketetapan Pajak (SKP) Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) atau karena ditemukannya data fisik yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan setelah proses pemeriksaan selesai dilakukan dan belum dilakukan penyidikan. Surat Ketetapan Pajak (SKP) memiliki fungsi, yaitu sebagai: 1. Koreksi atas jumlah pajak terhutang menurut SPT Wajib Pajak; 2. Sarana untuk mengenakan sanksi; 3. Sarana untuk menagih pajak; 4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar; 5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terhutang. Surat Ketetapan Pajak terdiri atas enam macam, yaitu Surat Tagihan Pajak (STP), surat keterangan berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
9
II.1.1 Surat Tagihan Pajak Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak diatur dalam Pasal 14 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU No.6 Tahun 2000. Surat Tagihan Pajak dapat diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Apabila PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; 2. Apabila
dari
hasil
penelitian
Surat
Pemberitahuan
terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; 3. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; 4. Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP); 5. Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi membuat Faktur Pajak; 6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapya Faktur Pajak. Penerbitan Surat Tagihan Pajak akan ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh
10
empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
II.1.2 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. SKPKB diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terhutang tidak atau kurang dibayar; 2. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; 3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tariff 0%; 4. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda maupun berupa kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% sebulan akan dikenakan apabila 11
berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.
II.1.3 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKPKBT. Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang dapat menyebabkan penambahan pajak yang terutang. SKPKBT diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti: 1. Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah daripada perhitungan yang sebenarnya; 2. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan; dan 3. Adanya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.
II.1.4 Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) harus sudah menerbitkan SKPLB paling lambat 12 bulan sejak permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan 12
tertentu akan ditetapkan lain oleh Direktur Jenderal Pajak. Apabila jangka 12 bulan telah lewat, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan Wajib Pajak berhak memperoleh pengembalian atas kelebihan pajaknya. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan, maka SKPLB masih dapat diterbitkan lagi.
II.1.5 Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
II.1.6 Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak atau berdasarkan data objek pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan PBB.
13
II.2
Penagihan Pajak Tindakan penagihan pajak didasari oleh adanya Surat Ketetapan Pajak, yaitu Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, serta Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar ditambah. Menurut Pasal 1 ayat (9) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, disebutkan bahwa: “Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita”.
Dengan melihat definisi di atas maka penagihan pajak merupakan salah satu rangkaian atau tindakan dalam system perpajakan nasional, yaitu sebagai law enforcement terhadap wajib pajak yang tidak atau belum melaksanakan kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya. Tindakan penagihan dilakukan, baik secara persuasif maupun secara represif. Artinya tindakan penagihan diawali dengan Surat Teguran, tetapi bila Wajib Pajak tidak mengindahkannya baru dilakukan tindakan secara paksa.
II.2.1 Dasar Hukum Penagihan Pajak 1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan
14
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; 2. Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
24/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK/2010 tanggal 13 April 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus; 3. Pasal 18 Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai Dasar Penagihan Pajak. 4. Pasal 19 Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai administrasi penagihan pajak; 5. Pasal 20 Undang-undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai Surat Paksa dan Penagihan Seketika dan Sekaligus; 6. Pasal 21 Undang-undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai Hak Mendahului Tagihan Pajak; 7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 03/PJ.04/2009 tanggal 27 Mei 2009 Tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun 2009; 8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 50/PJ/2010 tanggal 7 April 2010 Tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun 2010;
15
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 36/PJ/2011 tanggal 30 Mei 2011 Tentang Kebijakan Penagihan Pajak Tahun 2011.
II.2.2 Pelaksana Penagihan Pajak Pelaksana yang berwenang dalam melaksanakan penagihan pajak adalah: 1. Pejabat Sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan
Pajak
dengan
Surat
Paksa,
kewenangan
untuk
melaksanakan penagihan pajak diserahkan kepada pejabat tertentu sesuai dengan jenis pajak (pajak pusat atau pajak daerah). Pejabat yang berwenang melaksanakan penagihan pajak pusat antara lain Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan
Bangunan,
sedangkan
pejabat
yang
berwenang
melaksanakan penagihan pajak daerah adalah Kepala Dinas Pendapatan Daerah, yaitu Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi untuk penagihan pajak provinsi, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten untuk penagihan pajak kabupaten, dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota untuk penagihan pajak kota. Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Pejabat berwenang untuk: a. Mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; b. Menerbitkan: 1) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis; 16
2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus; 3) Surat Paksa; 4) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; 5) Surat Perintah Penyanderaan; 6) Surat Pencabutan Sita; 7) Pengumuman Lelang; 8) Surat Penentuan Harga Limit; 9) Pembatalan Lelang; dan 10) Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan pajak.”
2. Jurusita Pajak Jurusita Pajak merupakan pelaksana tindakan penagihan pajak. Jurusita Pajak pusat diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat sedangkan Jurusita Pajak daerah diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) serta ayat (5) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Jurusita Pajak bertugas : a. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus; b. Memberitahukan Surat Paksa; c. Melaksanakan
penyitaan
atas
barang
Penanggung
Pajak
berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
17
d. Melaksanakan
penyanderaan
berdasarkan
Surat
Perintah
Penyanderaan.
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya harus dilengkapi dengan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak dan harus diperlihatkan kepada Penanggung Pajak. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita ditempat
usaha,
ditempat
kedudukan,
atau
ditempat
tinggal
penanggung pajak, atau ditempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.”
II.2.3 Cara Penagihan Pajak Tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Penagihan Pajak Pasif Penagihan pajak pasif yakni penagihan yang dilakukan oleh fiskus sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dari Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang mengakibatkan jumlah pajak yang kurang dibayar bertambah melalui imbauan, baik dengan surat maupun dengan telepon atau media lainnya. 18
2. Penagihan Pajak Aktif Penagihan pajak aktif yakni penagihan yang dilakukan oleh fiskus setelah tanggal jatuh tempo pembayaran dari Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
Pajak
Kurang
Bayar
Tambahan
(SKPKBT)
atau
sejenisnya, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding yang mengakibatkan jumlah pajak yang kurang bayar tidak dilunasi oleh Wajib Pajak sehingga diterbitkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan hingga pelaksanaan lelang.
II.2.4 Tahapan Penagihan Pajak Tindakan penagihan pajak dapat dilaksanakan dalam beberapa tahapan yang diawali dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan diakhiri dengan pelaksanaan lelang. Tahapan penagihan pajak dapat digambarkan sebagai berikut:
19
Gambar 2.1 Tahapan Penagihan Pajak II.2.5 Surat Teguran Sebagaimana telah diketahui bahwa yang menjadi dasar penagihan pajak adalah adanya Surat Ketetapan Pajak. Setelah dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud tersebut Wajib Pajak tetap tidak melunasinya, maka dilakukan suatu tindakan penagihan aktif berupa penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau Surat Lain yang sejenis yang dimaksudkan untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat Teguran sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilakukan segera setelah tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran yang 20
tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak. Penerbitan Surat Teguran dalam UU tidak diatur secara khusus dalam satu bagian tersendiri, tetapi hanya merupakan bagian dari bab mengenai Surat Paksa, seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) menyatakan “Surat Paksa diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis.” Sementara ayat (2) menyatakan “Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.”
II.2.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus Dalam melaksanakan tindakan penagihan pajak tidaklah selalu didahului dengan pelaksanaan Surat Paksa, tetapi dapat langsung dengan melakukan tindakan berupa penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa perlu menunggu jatuh tempo pembayaran. Penagihan seketika adalah penagihan yang dilakukan segera tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran. Sementara itu, penagihan sekaligus adalah penagihan yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak dan tahun pajak. Cara penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, secara tegas disebutkan dalam pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan No.24/ PMK.03/2008 tanggal 6 Februari 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus, yaitu diterbitkan dalam hal: 21
1. Sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran; 2. Tanpa didahului dengan adanya Surat Teguran; 3. Sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran diterbitkan; atau 4. Sebelum penerbitan Surat Paksa. Adanya tindakan penagihan seketika dan sekaligus ini tidak lain dimaksudkan agar Wajib Pajak tetap harus mendahului kepentingan Negara untuk melunasi utang pajak sebelum kepentingan-kepentingan lain diselesaikan. Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tanggal 6 Februari 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus menegaskan bahwa tindakan penagihan seketika dan sekaligus dapat dilaksanakan oleh Jurusita Pajak apabila: a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha, atau menggabungkan usaha, atau memekarkan usaha, atau memindahtangakan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh Pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. 22
II.2.7 Surat Paksa (SP) Surat Paksa (SP) adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Ada tiga hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa, yaitu : 1. Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis; 2. Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus; 3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Surat Paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dilakukan paling lambat setelah lampau 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. Apabila Surat Paksa diterbitkan kurang dari 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran diterbitkan, maka Surat Paksa menjadi batal demi hukum. Surat Paksa yang telah diterbitkan
haruslah
disampaikan
oleh
Jurusita
Pajak
kepada
Wajib
Pajak/Penanggung Pajak. Setelah Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak kemudian dibuat Berita Acara Penyampaian Surat Paksa. Pasal 10 ayat (3) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000 menegaskan bahwa untuk menyampaikan Surat Paksa kepada orang pribadi, Jurusita Pajak harus menyerahkan kepada: a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat lain yang memungkinkan; 23
b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai; c. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau d. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi. Sementara itu, Pasal 10 ayat (4) UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000 menegaskan bahwa penyampaian Surat Paksa untuk Wajib Pajak badan, harus disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada : a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik ditempat kedudukan badan bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Apabila Wajib Pajak sudah dinyatakan pailit, maka Surat Paksa harus disampaikan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta peninggalan. Bila Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa disampaikan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator. 24
II.2.8 Penyitaan Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyitaan merupakan tindakan penagihan lebih lanjut setelah Surat Paksa yang hanya dapat dilakukan setelah batas waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan. Artinya, apabila Penanggung Pajak/ Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang pajak sebagaimana yang tercantum dalam Surat Paksa, barulah penyitaan dapat dilaksanakan. Pada prinsipnya tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu. Penyitaan dapat dilakukan terhadap barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Termasuk penyitaan terhadap barang bergerak adalah mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Sementara itu, yang termasuk barang tidak bergerak adalah tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu. Namun demikian terdapat enam jenis barang yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU No.19 Tahun 1997, yaitu: 25
1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; 2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang ada di rumah; 3. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas; 4. Buku-buku
yang
berkaitan
dengan
jabatan
atau
pekerjaan
Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan; 5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah); 6. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Pada prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status kepemilikan atas suatu barang. Barang yang telah disita dapat dititipkan kepada Penanggung Pajak atau dapat disimpan di tempat lain. Apabila pihak lain telah melakukan penyitaan, maka Jurusita Pajak hanya menyampaikan Surat Paksa kepasa instansi yang bersangkutan dan tidak melakukan penyitaan lagi. Artinya, terhadap suatu barang yang sudah disita oleh suatu instansi, tidak boleh dilekatkan sita lagi oleh instansi lainnya.
II.2.9 Pelelangan Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum yang dipimpin oleh pejabat lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka/lisan dan/atau 26
tertutup/tertulis yang didahului dengan pengumuman lelang. Lelang dalam hal sita pajak merupakan salah satu bagian dari berbagai jenis lelang untuk melaksanakan eksekusi atas barang-barang milik Penanggung Pajak dalam rangka penagihan piutang pajak. Namun demikian, tidak semua objek yang telah disita oleh Jurusita Pajak dapat dilakukan lelang. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 136 Tahun 2000 dengan tegas menyebutkan adanya objek sita yang dikecualikan dari lelang, yaitu berupa: 1. Uang tunai; 2. Surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain; 3. Barang yang mudah rusak atau cepat busuk. Karena atas barang-barang tersebut tidak dapat dilakukan pelelangan, maka tindakan penagihan yang dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut: 1. Atas uang tunai tersebut maka akan disetor ke kas Negara; 2. Atas deposito, tabungan, saldo rekening koran akan dipindahbukukan ke kas Negara; 3. Atas obligasi, saham, atau surat berharga lainnya akan dijual di bursa efek; 4. Atas piutang akan dialihkan hak menagihnya; dan 5. Atas penyertaan modal akan dibuatkan akta persetujuan pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak kepada pejabat (Kepala KPP/KPPBB) Sesuai aturan yang telah ditentukan, pelaksanaan lelang dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. 27
Pengumuman lelang itu sendiri dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan penyitaan. Pengumuman lelang tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pihak ketiga yang berkepentingan dan juga dimaksudkan untuk member kesempatan kepada Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya sebelum lelang dilaksanakan dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada pembeli atas objek barang yang dilelang dari kemungkinan adanya gugatan dari pihak-pihak lain dikemudian hari. Setelah lelang dilaksanakan, secara hukum hak Penanggung Pajak atas barang yang dilelang berpindah kepada pembeli dan kepada pembeli diberikan dokumen Risalah Lelang yang memuat keterangan tentang barang sitaan telah terjual. Risalah Lelang ini merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak, yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap hal pembeli lelang.
II.2.10 Pencegahan dan Penyanderaan Pencegahan
adalah
larangan
yang
bersifat
sementara
terhadap
Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan penyanderaan adalah pengekangan untuk sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor Kep218/PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera,
28
tempat tertentu tersebut adalah rumah tahanan Negara yang terpisah dari tahanan lain. Pencegahan dan penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: 1. Syarat kuantitatif, yaitu apabila Penanggung Pajak mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah); dan 2. Syarat kualitatif, yaitu syarat mengenai diragukannya iktikad baik Penanggung Pajak yang bersangkutan dalam melunasi utang pajaknya. Apabila telah dilakukan pencegahan terhadap Penanggung Pajak, tidaklah berarti utang pajaknya terhapus. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 UU Penagihan bahwa pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Masa pencegahan ditentukan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Sama halnya dengan jangka waktu penyanderaan yang hanya dapat dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanguung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang selama-lamanya 6 (enam) bulan. Jika Penanggung Pajak yang disandera melarikan diri dan tertangkap, maka yang bersangkutan dimasukkan ke rutan kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan pertama kali dan selama masa pelarian tidak dihitung sebagai masa penyanderaan.
29
II.2.11 Gugatan Penanggung Pajak dapat mengajukan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak kepada pengadilan pajak. Sementara gugatan atas kepemilikan barang yang disita diajukannya kepada pengadilan negeri. Gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak ke pengadilan pajak harus diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, sita, maupun lelang telah dilaksanakan. Hitungan 14 (empat belas) hari dihitung sejak dilakukannya pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. Sedangkan untuk sita dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan untuk lelang dihitung sejak pengumuman lelang. Apabila dalam jangka waktu yang dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak untuk menggugat tidak dapat diterima alias gugur.
II.2.12 Daluwarsa Penagihan Pajak Daluwarsa penagihan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan oleh Undang-undang bahwa fiskus tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan penagihan terhadap utang pajak Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi sebagai berikut : 1. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat 30
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. 2. Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. Diterbitkan Surat Paksa; b. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; c. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau d. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Mengacu pada Wirawan (2010) dalam bukunya Hukum Pajak, menjelaskan yang dimaksud dengan adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung misalnya: 1. Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum jatuh tempo pembayaran. Dalam hal ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. 2. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan. Dalam hal ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.
31
3. Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya. Dalam hal ini daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.
32