BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1
Landasan Teori
II.1.1 Akuisisi atau Pengambilalihan Usaha II.1.1.1
Pengertian Akuisisi atau Pengambilalihan Usaha
Salah bentuk strategi yang digunakan perusahaan untuk mengembangkan dan menumbuhkan perusahaan adalah melalui akuisi atau pengambilalihan. Akuisisi sendiri berasal dari kata acquisitio (Latin) dan acquisition (Inggris), yang artinya pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahan oleh suatu perusahaan lain (Fuady,2001:3). Menurut Moin (2007:1), akuisisi adalah pengambilalihan kepemilikan atau pengendalian atas saham atau aset suatu perusahaan oleh perusahan lain, dan dalam peristiwa ini baik perusahaan pengambil alih atau yang diambil alih tetap eksis sebagai badan hukum yang terpisah. Sementara itu, Peraturan Pemerintah RI No 57 tahun 2010 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas mendefinisikan bahwa akuisisi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pelaku Usaha untuk mengambilalih saham Badan Usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Badan Usaha tersebut. Sedangkan perspektif akuntansi mengenai akuisisi dalam PSAK No. 22 (2002) menjelaskan bahwa akuisisi (acquisition) adalah suatu bentuk penggabungan usaha di mana salah satu perusahaan, yaitu pengakuisisi (acquirer) memperoleh kendali atas aktiva neto dan operasi perusahaan yang diakuisisi (acquiree),
10
dengan memberikan aktiva tertentu, mengakui suatu kewajiban, atau mengeluarkan saham. Dengan demikian dapat disimpulkan akusisi adalah bentuk pengambilalihan kepemilikan
perusahaan
oleh
pihak
pengakuisisi
(acquirer)
sehingga
akan
mengakibatkan berpindahnya kendali atas perusahaan yang diambil alih (acquiree) tersebut. Biasanya pihak pengakuisisi memiliki ukuran yang lebih besar dibanding dengan pihak yang diakuisisi. Yang dimaksud dengan pengendalian adalah kekuatan yang berupa kekuasaan untuk: a)
Mengatur kebijakan keuangan dan operasi perusahaan
b)
Mengangkat dan memberhentikan manajemen
c)
Mendapatkan hak suara mayoritas dalam rapat direksi Dengan adanya pengendalian ini maka pengakuisisi akan mendapatkan manfaat
dari perusahaan yang diakuisisi. Akuisisi tidak menyebabkan pihak lain bubar sebagai entitas hukum. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam akuisisi secara yuridis masih tetap berdiri dan beroperasi secara independen tetapi telah terjadi pengalihan pengendalian oleh pihak pengakuisisi. Beralihnya pengendalian mengandung arti pengakuisisi memiliki mayoritas saham berhak suara yang biasanya ditunjukkan atas kepemilikan lebih dari 50% saham berhak suara tersebut. Pengakuisisi yang memiliki saham kurang dari jumlah itu dimungkinkan bisa dinyatakan sebagai pemilik suara mayoritas jika anggaran dasar perusahaan yang diakuisisi menyebutkan hal yang demikian. Namun dalam hal anggaran dasar menyebutkan lain, bisa juga pemilik lebih dari 51% tidak atau belum dinyatakan sebagai pemilik suara mayoritas. Selanjutnya
11
akuisisi memunculkan hubungan antara perusahaan induk (pengakuisisi) dan perusahaan anak (yang diakuisisi) dan selanjutnya keduanya memiliki hubungan afiliasi. II.1.1.2
Motivasi Penerapan Akuisisi
Banyak teori dan pendapat yang mencoba menerangkan motivasi apa saja yang mendorong terjadinya tindakan akuisisi. Mengacu pada Beams, Anthony, Clement dan Lowensohn (2009) dalam bukunya Advanced Accounting, diketahui beberapa alasan yang memotivasi perusahaan melakukan penggabungan usaha, yakni: 1. Manfaat biaya 2. Risiko lebih rendah 3. Memperkecil penundaan operasi 4. Mencegah pengambilalihan 5. Akuisisi harta tak berwujud 6. Alasan lain-lain Surtojo yang dikutip Payamta dan Doddy S (2004), menggolongkan motivasi untuk melakukan akuisisi menjadi dua kelompok, yaitu: • Motivasi Ekonomis Perusahaan target mempunyai keunggulan kompetitif yang diharapkan akan menghasilkan sinergi setelah digabung. Dalam jangka panjang sinergi tersebut akan mampu meningkatkan volume penjualan dan keuntungan perusahaan. • Motivasi Non Ekonomis Keinginan menjadi kelompok terbesar di dunia, meskipun ada kemungkinan penggabungan usaha yang dilakukan tersebut tidak menguntungkan.
12
Weston dan Weaver (2001:83) mengungkapkan motivasi dari akuisisi dipertimbangkan untuk meningkatkan nilai pemegang saham antara lain terdiri dari: a) Peningkatan skala ekonomis Hal ini sesuai dengan fakta yang menyatakan bahwa perusahaan yang bergabung, biasanya akan mengurangi sejumlah kegiatan operasional maupun departemen-departemen yang sama. b) Menambah pangsa pasar dan pendapatan Motivasi ini berasumsi perusahaan akan menyerap pesaingnya dan menambah kekuatannya dalam menentukan harga, karena perluasan pangsa pasar. c) Penjualan silang Dalam hal ini perusahaan target dan perusahaan bidder memiliki produk yang bersifat komplementer, sehingga bisa saling melengkapi satu sama lain. d) Sinergi Sinergi adalah penggunaan sumber daya pelengkap secara lebih baik dan efisien.
Sinergi
tampak
jelas
ketika
perusahaan
yang
melakukan
penggabungan usaha berada dalam bisnis yang sama karena fungsi dan tenaga kerja yang berlebihan dapat dihilangkan. e) Perpajakan Sebuah perusahaan yang memiliki tingkat keuntungan cukup tinggi bisa membeli perusahaan yang sering kali mengalami kerugian sehingga dapat memanfaatkan penghapusan pajak yang terjadi pada perusahaan target.
13
f) Diversifikasi geografis Diversifikasi
ini
untuk
melancarkan
pendapatan
perusahaan
dan
menstabilkan nilai saham dalam jangka panjang sehingga memberi rasa aman bagi para investor untuk berinvestasi pada perusahaan. II.1.1.3
Keunggulan dan Kelemahan Aktivitas Akuisisi
Secara spesifik menurut Abdul Moin (2007:13) menyatakan keunggulan dan manfaat ekspansi eksternal seperti merger dan akuisisi antara lain: • Mendapatkan cashflow dengan cepat karena produk dan pasar sudah jelas. • Memperoleh kemudahan dana/pembiayaan karena kreditor lebih percaya dengan perusahaan yang telah berdiri dan mapan. • Memperoleh karyawan yang telah berpengalaman. • Mendapatkan pelanggan yang telah mapan tanpa harus merintis dari awal. • Memperoleh sistem operasional dan administratif yang mapan. • Mengurangi resiko kegagalan bisnis karena tidak harus mencari konsumen baru. • Menghemat waktu untuk memasuki untuk memasuki bisnis baru. • Memperoleh infrastruktur untuk mencapai pertumbuhan yang lebih cepat. Selain keunggulan dan manfaat, ekspansi eksternal seperti merger dan akuisisi juga memiliki kelemahan antara lain: •
Proses integrasi yang tidak mudah
•
Kesulitan menentukan nilai perusahaan target secara akurat
•
Biaya konsultan yang mahal
•
Meningkatnya kompleksitas birokrasi
•
Biaya koordinasi yang mahal 14
II.1.1.4
•
Seringkali menurunkan moral organisasi
•
Tidak menjamin peningkatan nilai perusahaan
•
Tidak menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Klasifikasi Akuisisi
Menurut Sjahrial (2007:329), akusisisi dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk yaitu: a) Akuisisi Horisontal Merupakan akuisisi suatu perusahaan di dalam industri yang sama atau sejenis sebagai penawar. Perusahaan pengakuisisi membeli perusahaan lain sejenis usahanya, misalnya sebuah perusahaan tekstil membeli perusahaan tekstil lainnya. Biasanya akuisisi seperti ini dilakukan karena ingin memperbesar dari pangsa pasar perusahaan. b) Akuisisi Vertikal Suatu akuisisi yang dimana perusahaan membeli perusahaan lain yang bukan sejenis, tetapi perusahaan yang akan dibeli akan membantu perusahaan pembeli dalam proses produksinya atau dengan kata lan melibatkan perusahaan yang ada keterkaitan prosesnya dalam proses operasionalnya. Salah satu contoh akuisisi ini yaitu perusahaan tekstil membeli perusahaan pemintalan benang sehingga perusahaan tekstil mendapat manfaat proses produksinya. c) Akuisisi Konglomerasi Merupakan akuisisi dimana perusahaan membeli perusahaan lain yang tidak ada hubungannya sama sekali. Dalam kasus ini perusahaan pembeli sudah 15
kelebihan dana dan ingin membuat konglomerasi perusahaan. Contohnya perusahaan tekstil ingin mengakuisisi perusahaan perkayuan. Kedua jenis usaha tidak saling berhubungan tetapi perusahaan tekstil ingin membuat konglomerasi karena dana menganggur dimiliki terlalu besar dari hasil produksi tekstilnya. II.1.2 Analisis Laporan Keuangan Suatu laporan keuangan akan menjadi lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan, apabila dengan informasi tersebut dapat diprediksi apa yang akan terjadi di masa mendatang. Dengan mengolah lebih lanjut laporan keuangan melalui proses perbandingan, evaluasi dan analisis, akan mampu diprediksi apa yang mungkin akan terjadi di masa mendatang, sehingga disinilah laporan keuangan tersebut begitu diperlukan. Menurut Harahap (2007:105) laporan keuangan adalah laporan yang menggambarkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu. Menurut Harry S.(2003:20) laporan keuangan adalah dokumen resmi yang harus dibuat direktur keuangan untuk memberikan informasi mengenai transaksi yang dilakukan perusahaan dan peristiwa penting yang terjadi di perusahaan. Ikatan Akuntan Indonesia (2007) dalam Standar Akuntansi Keuangan mendefinisikan laporan keuangan sebagai berikut: “Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Di samping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya, informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga”(IAI,2007:1). 16
Sehingga dapat disimpulkan laporan keuangan adalah laporan akuntansi yang menggambarkan kondisi keuangan perusahaan, yang terdiri atas ringkasan atas transaksi hasil operasi bisnis perusahaan yang terdiri atas neraca,laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan harus disajikan dengan bentuk yang paling sesuai bagi perusahaan agar dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi pembaca laporan keuangan dan harus dinyatakan dalam satuan mata uang untuk menunjukkan bahwa transaksi dan peristiwa yang terjadi merupakan suatu informasi yang berhubungan dengan data ekonomi perusahaan. Agar dapat memberikan intrepretasi yang sama bagi semua pihak yang berkepentingan maka di setiap negara dibuat standar untuk menyusun laporan keuangan. Untuk memastikan penyusunan laporan keuangan sudah wajar dan sesuai dengan standar yang berlaku, dilakukan audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP). Laporan keuangan biasanya mencakup empat bagian, yaitu : 1. Neraca Neraca adalah suatu laporan tentang posisi keuangan perusahaan pada suatu titik tertentu (Houston,2006:46). Tujuannya untuk menunjukkan posisi keuangan pada suatu waktu tertentu, yakni biasanya pada akhir periode akuntansi yang ditetapkan.Unsur-unsur yang berkaitan langsung dengan pengukuran posisi keuangan adalah aset, kewajiban, dan ekuitas. 2. Laporan Laba Rugi Laporan laba rugi adalah laporan yang mengikhtisarkan pendapatan dan pengeluaran perusahaan selama satu periode akuntansi, yang biasanya setiap satu kuartal atau satu
17
tahun (Houston,2006:46). Tujuan pokok dari laporan laba rugi adalah untuk menggambarkan tingkat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. 3. Laporan Laba Ditahan Laporan laba ditahan adalah laporan yang menunjukan rincian perubahan laba ditahan selama periode tertentu. Dalam laporan ini diuraikan pertambahan nilai kekayaan bersih perusahaan karena laba dan penurunan nilai kekayaan yang disebabkan oleh kerugian atau pembagian dividen. 4. Laporan Perubahan Ekuitas Perusahaan harus menyajikan laporan perubahan ekuitas sebagai komponen utama laporan keuangan yang menunjukkan: 1. Laba atau rugi bersih periode yang bersangkutan 2. Setiap pos pendapatan dan beban, keuntungan atau kerugian beserta jumlahnya yang berdasarkan PSAK terkait diakui secara langsung dalam ekuitas 3. Pengaruh kumulatif dari perubahan kebijakan akuntansi dan perbaikan terhadap kesalahan mendasar sebagaimana diatur dalam PSAK terkait 4. Transaksi modal dengan pemilik dan distribusi kepada pemilik 5. Saldo akumulasi laba atau rugi pada awal dan akhir periode serta perubahannya 6. Rekonsiliasi antara nilai tercatat dari masing-masing jenis modal saham, agio dan cadangan pada awal dan akhir periode yang mengungkapkan secara terpisah setaip perubahan.(IAI,2007:1.12). 5. Catatan atas Laporan Keuangan
18
Mengacu pada pendapat Swain, Stice, Stice dan Albrecht (2008) catatan atas laporan keuangan menjelaskan informasi yang dipertimbangkan sebagai bagian integral atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan mengungkapkan beberapa hal yakni: 1. Informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan akuntansi yang dipilih dan diterapkan terhadap peristiwa dan transaksi yang penting 2. Informasi yang diwajibkan dalam PSAK tetapi tidak disajikan di neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas. 3. Informasi tambahan yang tidak disajikan dalam laporan keuangan tetapi diperlukan dalam rangka penyajian secara wajar. Laporan keuangan akan lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan ekonomi apabila dengan informasi laporan keuangan tersebut dapat diprediksi apa yang terjadi di masa mendatang. Disinilah arti penting dari analisis laporan keuangan dimana hasil pencatatan transaksi keuangan historis diolah agar dapat memberikan gambaran mengenai potensi keberhasilan perusahaan di masa depan. Horngren, Harrison dan Bamber (2002:107) menyatakan , “The use of financial statement analysis is to predict the amount of expected return and asses the risk associated with those return.” Dari pengertian tersebut diterjemahkan menjadi analisis laporan keuangan digunakan untuk memprediksikan jumlah pengembalian dan untuk mengetahui resiko atas pengembalian tersebut. II.1.3 Analisis Kinerja Keuangan Untuk memutuskan suatu perusahaan memiliki kualitas yang baik maka ada dua penilaian yang paling dominan yang dapat dijadikan acuan untuk melihat perusahaan 19
tersebut telah menjalankan suatu kaidah-kaidah manajemen yang baik. Penilaian ini dapat dilakukan dengan melihat sisi kinerja keuangan (financial performance) dan kinerja non keuangan (non financial performance). Kinerja keuangan melihat pada laporan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan dan itu tercermin dari informasi yang diperoleh pada neraca (balancesheet), laporan laba rugi (income statement) dan laporan arus kas (cash flow statement), serta hal-hal lain yang turut mendukung sebagai penguat penilaian financial performance tersebut. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan perusahaan dalam mengukur kinerja, diantaranya: •
Metode Analisis Rasio Keuangan Dari informasi yang telah disediakan di dalam laporan keuangan dapat digunakan untuk menganalisis kinerja keuangan suatu perusahaan, namun sebelumnya informasi tersebut harus diolah terlebih dahulu kedalam rasio-rasio keuangan. Menurut Keown, Martin, Petty, dan Scott (2001:109) rasio keuangan berguna untuk menunjukkan kekuatan dan kelemahan keuangan suatu perusahaan.
•
Metode Nilai Tambah Pendekatan ini merupakan suatu cara untuk menghitung nilai tambah yang diperoleh perusahaan secara riil. Ada dua pendekatan nilai tambah yang biasanya digunakan oleh perusahaan, diantaranya: pendekatan EVA (Economic Value Added) yang menghitung nilai tambah ekonomi yang diperoleh perusahaan dengan mengurangkan laba bersih operasisetelah pajak dengan bagian keuntungan yang diberikan kepada pemilik dana (biaya ekuitas atas investasi) 20
dan pendekatan MVA (Market Value Added) yang menilai efisiensi penggunaan sumber daya perusahaan yang digunakan untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. •
Analisis Rasio dari Arus Kas Analisis rasio atas arus kas dapat memberikan penilaian atas kinerja keuangan perusahaan, baik dari segi likuiditas, profitabilitas maupun solvabilitasnya.
II.1.4 Analisis Rasio Keuangan Analisis rasio keuangan adalah salah satu metode perhitungan dan intrepretasi rasio keuangan untuk menilai kinerja dan status perusahaan. Menurut Munawir (2007:64) rasio menggambarkan suatu hubungan (mathematical relationship) antara jumlah tertentu dengan jumlah yang lain sehingga memberikan gambaran kepada penganalisa tentang posisi keuangan perusahaan. Dimana menurut Khan dan Jain yang diterjemahkan oleh Sinaga (2002:42), mengatakan bahwa analisis rasio adalah alat yang digunakan secaraluas untuk analisis keuangan. Analisis rasio diartikan sebuah penggunaan rasio-rasio secara sistematis guna menginterpretasikan laporan keuangan sehingga kekuatan maupun kelemahan sebuah perusahaan sebagaimana juga dengan kinerja performanya dan kondisis keuangan saat ini dapat diketahui. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa analisis rasio keuangan digunakan untuk menghubungkan unsur-unsur neraca dan laporan laba rugi untuk memberikan gambaran mengenai kinerja performa dan kondisi keuangan perusahaan. Klasifikasi analisa rasio keuangan dapat dibagi di dalam 3 kelompok besar (Gitman,2003) yakni: 21
1. Time Series Analysis ialah perbandingan rasio keuangan perusahaan antar waktu untuk meneliti arah pergerakannya (time series) sehingga diketahui bagaimana trend perkembangan perusahaan tersebut dan faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. 2. Cross Sectional Analysis ialah perbandingan rasio keuangan perusahaan dengan perusahaan lain yang sejenis sehingga bisa diketahui apakah kinerja perusahaan tersebut berada diatas rata-rata industri, berada pada rata-rata industri, atau berada dibawah rata-rata industri. 3. Combined Analysis ialah laporan keuangan perusahaan dengan menggabungkan Time Series Analysis dan Cross Sectional Analysis. Dalam hubungannya dengan keputusan investasi, keputusan pendanaan dan keputusan operasional yang diambil oleh perusahaan, analisis rasio bertujuan untuk menilai efektivitas keputusan yang telah diambil perusahaan dalam rangka menjalankan aktivitas usahanya, sehingga dapat diperoleh pemahaman mengenai kekuatan dan kelemahan perusahaan, juga dapat diperkirakan prospek perusahaan di masa depan. Mengacu pada Irham Fahmi (2011:121) dari data laporan keuangan dapat dibuat banyak macam rasio keuangan berikut adalah : 1. Rasio Likuiditas, yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial jangka pendek yang akan jatuh tempo secara tepat waktu. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban keuangan tepat pada waktunya berarti perusahaan tersebut dalam keadaan likuid, dan perusahaan dikatakan mampu memenuhi kewajiban keuangan tepat waktu apabila perusahaan memiliki alat pembayaran ataupun aktiva lancar yang lebih besar dari 22
hutang lancar (jangka pendek). Perusahaan dalam keadaan illikuid berarti perusahaan tersebut tidak dapat segera memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. Rasio likuiditas ini dihitung dengan: a. Current Ratio (Rasio lancar) Rasio lancar yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan aset lancarnya. Aktiva lancar mempunyai potensi penggunaan setahun ke depan dari tanggal neraca. Utang lancar juga akan memerlukan pembayaran maksimum setahun ke depan dari tanggal neraca juga. Semakin tinggi rasio lancar berarti semakin besar kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Menurut Gitman (2003:54), norma standar untuk current ratio adalah 2.0, tetapi norma ini bergantung pada standar industri dimana perusahaan beroperasi.
Rasio Lancar =
Aktiva Lancar Kewajiban Lancar
b. Cash Ratio (Rasio Kas) Rasio kas (Cash Ratio) yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendek dengan kas yang tersedia dan kas yang disimpan di bank serta dengan surat berharga yang dapat dicairkan dengan segera (marketable securities). Menurut Gitman (2003:55), norma standar yang dapat diterima untuk rasio kas yang baik adalah sebesar 1.0 atau lebih.
23
Kas dan setara kas +Surat Berharga yang dapat segera diperdagangkan Kewajiban lancar
Rasio Kas =
c. Quick Ratio (Rasio Cepat) Rasio cepat (Quick Ratio) atau Acid test Ratio merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan aktiva lancarnya yang benar-benar likuid, yaitu dengan tidak memperhitungkan persediaan karena persediaan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk direalisir menjadi uang kas. Rasio cepat yang baik umumnya sebesar 1.0 dimana dianggap sebagai kondisi keuangan perusahaan yang cukup memuaskan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendeknya.
Rasio Cepat =
Aktiva Lancar-Persediaan Kewajiban Lancar
2. Rasio Aktivitas, atau rasio yang disebut juga rasio manajemen aktiva, merupakan rasio yang menggambarkan sejauh mana suatu perusahaan memanfaatkan dan mengelola aktiva yang dimilikinya guna menunjang aktivitas perusahaan (Irham Fahmi:132). Rasio aktivitas ini dihitung dengan: a. Receivables Turnover (Perputaran Piutang) Rasio ini menunjukkan berapa lama rata-rata tingkat penagihan piutang perusahaan dalam suatu periode. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan bahwa modal kerja yang ditanamkan dalam piutang semakin 24
rendah dan tentunya kondisi ini bagi perusahaan semakin baik. Sebaliknya jika semakin rendah maka terdapat over investment dalam piutang. Untuk mencari perputaran piutang dagang dapat menggunakan rumus:
Perputaran = Piutang Dagang
Penjualan Rata-rata Piutang Dagang
b. Average Collection Period (Jangka Waktu Rata-Rata Penagihan) atau Day Sales Outstanding Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan menagih piutang dagang dan memberikan informasi tentang kebijakan kredit suatu perusahaan. Jangka waktu rata-rata penagihan harus dibandingkan dengan kebijakan kredit yang ditetapkan. Jika kebijakan kredit menentukan waktu penagihan 30 hari, tetapi rata-rata penagihan piutang 60 hari, hal ini berarti tidak cukup keras usaha untuk menagih piutang yang ada. Faktor lain yaitu kekuatan perusahaan dalam industrinya, ada kemungkinan situasi perusahaan secara finansial kuat sehingga memberikan kelonggaran kredit yang lebih lama daripada pesaingnya. Berikut rumus untuk Jangka waktu rata-rata penagihan(Average Collection Period):
Rata-Rata= Penagihan
360 hari Perputaran Piutang Dagang
Atau
25
Rata-Rata= Penagihan
Piutang Dagang Rata-Rata Penjualan dalam satu hari
c. Inventory Turnover (Perputaran Persediaan) Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kecepatan perputaran persediaan menjadi kas. Semakin tinggi rasio ini maka hal ini menunjukkan semakin cepat dana yang tertanam dalam persediaan berputar kembali menjadi uang (barang persediaan tidak menumpuk terlalu lama).
Perputaran Persediaan =
Harga Pokok Penjualan Rata-Rata Persediaan
d. Total Asset Turnover (Perputaran Total Aktiva) Rasio ini menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan menggunakan total asetnya.
Perputaran Total Aktiva =
Penjualan Total Aktiva
3. Rasio Leverage, yaitu rasio yang menyangkut jaminan, yang mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar hutang apabila pada suatu saat perusahaan dilikuidasi atau dibubarkan. Dengan kata lain rasio ini mengukur seberapa besar perusahaan menggunakan dana dari pihak luar kreditor.Rasio Leverage ini dihitung dengan: 26
a. Debt to Total Assets Ratio (Rasio Hutang), yaitu rasio yang menunjukkan posisi antara kewajiban perusahaan terhadap kekayaan perusahaan. Semakin tinggi rasionya menggambarkan semakin besar resiko keuangan yang dimiliki kreditor ataupun investor. Ini dikarenakan perusahaan lebih banyak memiliki hutang daripada aktivanya sendiri. Rumus rasio ini yaitu:
Rasio Hutang=
Total Hutang Total Aktiva
b. Debt to Total Equity Ratio (Rasio Total Hutang terhadap Modal sendiri), yaitu rasio yang menunjukkan posisi antara kewajiban perusahaan terhadap modal perusahaan. Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dengan menggunakan modal yang dimilikinya sendiri
Rasio Hutang=
Total Hutang Total Modal Sendiri
4. Rasio Profitabilitas, yaitu rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Rasio profitabilitas terdiri atas: a. Gross Profit Margin (Margin Laba atas Penjualan), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian keuntungan kotor terhadap penjualan bersihnya. 27
Margin Laba Kotor =
Laba Kotor Total Penjualan
b. Net Profit Margin (Margin Laba Bersih), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan penjualan bersih. Net Profit Margin dapat dihitung dengan rumus:
Margin Laba Bersih =
Laba Bersih setelah Pajak Total Penjualan
c. Return On Total Assets (Tingkat Pengembalian Total Aktiva), yaitu rasio yang
digunakan
menghasilkan
untuk
mengukur
keuntungan
dengan
efektivitas
perusahaan
memanfaatkan
aktiva
dalam yang
dimilikinya.
Tingkat Pengembalian Total Aktiva =
Laba Bersih setelah Pajak Total Aktiva
d. Return On Equity (Tingkat Pengembalian terhadap Ekuitas), yaitu rasio yang
digunakan
untuk
mengukur
efektivitas
perusahaan
dalam
menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan ekuitas yang dimiliki perusahaan.
28
Tingkat Pengembalian = terhadap Ekuitas
Laba Bersih setelah Pajak Total Modal Sendiri
II.1.5 Economic Value Added (EVA) Konsep EVA dikembangkan oleh Stern Stewart, para pendiri perusahaan konsultasi Stern Stewart & Co Young dan O’Bryne (2001:39) menyatakan bahwa EVA merupakan laba yang tertinggal setelah dikurangi dengan biaya modal (cost capital) yang diinvestasikan untuk menghasilkan laba tersebut. EVA mengukur sejauh mana perusahaan sudah menambah nilai bagi pemegang saham, karena itu EVA dapat membantu untuk memasikan bahwa manajemen mengoperasikan perusahaan sesuai dan konsisten dengan tujuan untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Selain untuk mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan, EVA juga dapat diaplikasikan untuk menguur kinerja dari setiap divisi sehingga EVA dapat digunakan untuk menilai kinerja manjemen pada semua tingkatan. Karena itu kini semakin banyak perusahaan yang menggunakan EVA sebagai dasar untuk menentukan pemberian kompensasi bagi manajemen. Menurut Tunggal (2001:1), lebih dari 300 perusahaan di dunia telah mengadosi sistem berbasis EVA untuk penilaian kinerja keuangannya. EVA adalah suatu sistem manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan bahwa kesejahteraannya hanya dapat tercipta jika perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan biaya modal.
29
Batasan nilai EVA adalah sebagai berikut: -Jika EVA lebih besar dari nol atau positif, menunjukkan telah terjadi proses nilai tambah bagi perusahaan dan ini berarti bahwa tingkat pengembalian yang dihasilkan melebihi tingkat biaya modal atau tingkat pengembalian yang diminta oleh investor atas investasi yang dilakukannya. -Jika EVA sama dengan nol maka ini menunjukkan posisi impas perusahaan yang berarti bahwa tingkat pengembalian yang dihasilkan oleh perusahaan sama dengan tingkat biaya modal. -Jika EVA negatif maka menunjukkan tidak terjadi proses pertambahan nilai bagi perusahaan artinya tingkat pengembalian yang dihasilkan oleh suatu perusahaan lebih kecil dibandingkan dengan tingkat biaya modal atau tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor atas investasi yang dilakukannya. Dengan kata lain perusahaan gagal memenuhi harapan penyedia dana. Brigham (2002:208), EVA dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: EVA = NOPAT – Cost of Capital = NOPAT – (IC x WACC) Dimana: EVA = Economic Value Added(Nilai Perusahaan) NOPAT = Net Operating Profit After Tax (Laba Bersih Operasi Setelah Pajak) IC
= Invested Capital (Modal yang diinvestasikan)
WACC = Weight Average Cost of Capital (Biaya Modal rata-rata Tertimbang) Dari persamaan tersebut diperlukan beberapa langkah untuk menentukan nilai EVA, yaitu menghitung WACC, IC, serta NOPAT. 30
II.1.5.1 Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang (WACC) Tingkat biaya penggunaan modal yang harus diperhitungkan oleh perusahaan adalah tingkat penggunaan modal perusahaan secara keseluruhan. Karena biaya dari masing-masing sumber dana berbeda-beda, maka untuk menetapkan biaya modaldari perusahaan secara keseluruhan perlu menghitung weighted average dari berbagai macam sumber dana tersebut. Brigham (2002:296) dan Sjahrial (2007:225) menyatakan bahwa biaya modal rata-rata tertimbang atau WACC merupakan perhitungan biaya modal secara keseluruhan berdasarkan proporsi dari masing-masing komponen modal. Menurut Tunggal (2001:1) Weighted Average Cost of Capital (WACC) adalah: “Jumlah biaya dari masing-masing komponen modal, misalnya pinjaman jangka pendek, dan pinjaman jangka panjang (Cost of Debt) serta setoran modal saham (Cost of Equity)yang diberikan bobot sesuai dengan proporsinya adalah dalam struktur modal perusahaan.” Dari penjelasan tersebut perhitungan biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost of Capital) menggunakan penjumlahan hasil kali antar bobot tertimbang atas komponen hutang dan komponen modal ekuitas perusahaan dari keseluruhan struktur modal perusahaan dengan prosentase biaya hutang dan biaya modal ekuitas yang rumusnya sebagai berikut
WACC=
WdKd(1-T) + WPKP + WsKs
WACC= Biaya modal rata-rata tertimbang
Wd
= Persentase hutang terhadap total modal 31
Kd
= Biaya hutang
T
= Tingkat pajak
Wp
= Persentase saham preferen terhadap total modal
Kp
= Biaya Saham Preferen
Ws
= Persentase ekuitas terhadap total modal
Ks
= Biaya ekuitas
II.1.5.2 Biaya Hutang Sjahrial (2007:223) menyatakan bahwa biaya hutang merupakan tingkat pengembalian yang diminta oleh perusahaan kreditur atas pinjaman yang telah diberikan. Brigham (2002:298) menyatakan bahwa biaya hutang adalah tingkat biaya yang harus dikeluarkan perusahaan apabila mendapatkan dana dengan cara melakukan pinjaman dari pihak lain. Dengan meminjam pihak lain, maka akan timbul bunga yang merupakan biaya. Biaya hutang ini dapat mengurangi pajak, oleh karena itu dalam perhitungan WACC digunakan biaya hutang setelah pajak yang dinyatakan dalam persamaan berikut:
Kdt=
Kd(1-T)
Dimana Kdt adalah biaya hutang setelah pajak, Kd adalah biaya hutang, dan T adalah tingkat pajak.
32
II.1.5.3 Biaya Saham Preferen Brigham (2002:299) menyatakan bahwa saham preferen memberikan dividen yang jumlahnya tetap per periodenya dan sudah ditentukan. Dalam penerbitan saham preferen ada biaya emisi.
Kp=
Dp/(Pp-F)
Dimana: Kp
= Biaya saham prefren
Dp
= Dividen yang tetap
Pp
= Harga penerbitan
F
= Biaya emisi
II.1.5.4 Biaya Ekuitas Sjahrial (2007:218) menyatakan bahwa biaya ekuitas merupakan tingkat pengembalian yang diharapkan oleh pemilik modal itu sendiri atas investasi yang telah mereka lakukan dalam perusahaan. Sedangkan Brigham (2002:301) menyatakan bahwa biaya ekuitas merupakan biaya kesempatan yaitu tingkatpengembalian yang dapat diperoleh oleh para pemegang saham jika dananya diinvestasikan di tempat lain dengan tingkat risiko yang sama. Brigham (2002:301-310) dan Sjahrial (2007:218-222) menyatakan ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung biaya-ekuitas, di antaranya: a) Pendekatan Capital Asset Pricing Modal (CAPM) Dengan pendekatan CAPM, biaya ekuitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus: 33
Ks = Krf + β(Km-Krf) Dimana: Ks = Biaya ekuitas Krf = Tingkat pengembalian bebas resiko (risk free rate-BI Rate) β
= Ukuran resiko dari suatu saham atau portfolio relatif terhadap resiko pasar Berdasarkan pendapat Sembel dan Permadi (2005), beta (β) sebesar 1
artinya harga saham akan bergerak mengikuti pasar, beta lebih dari 1 artinya harga saham lebih fluktuatif daripada pasar sedangkan beta yang kurang dari 1 artinya harga saham tidak sefluktuatif pasar. Damodaran (2006) mengatakan bahwa “The standard procedure for estimating the CAPM beta is to regress stock returns (Rj) against market return (Rm).” Km = Tingkat pengembalian pasar (market rate of return- menggunakan IHSG per mingguan dari 2002-2010) Menurut Jogiyanto (2008:195), baik tingkat pengembalian (return) saham atau portfolio dan pasar (untuk pasar modal Indonesia menggunakan IHSG) dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana Rt adalah tingkat pengembalian minggu ke t, Pt adalah Index harga saham gabungan atau IHSG pada
periode t dan Pt-1 adalah IHSG periode
sebelumnya.
34
b) Pendekatan Discounted Cash Flow (DCF) Pendekatan arus kas yang didiskonto (DCF) ini sering juga disebut model pertumbuhan dividen (dividen growth). Untuk oendekatan DCF, biaya ekuitas dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Kp=
D1 Pp-F
+ g=
D0 (1+g) P0
+g
Dimana: Ks = Biaya ekuitas D0 = Pembayaran dividen pada tahun ke-0 D1 = Pembayaran dividen pada tahun ke-1 P0 = Harga Saham per lembar g
= tingkat pertumbuhan
Menurut Brigham (2002:307), g = b x ROE; ROE =
Laba Bersih Ekuitas Pemegang Saham
Dimana: b = proporsi laba ditahan ROE = Return on Equity Sedangkan menurut Sjahrial (2007: 218-221), dengan menggunakan model dividen bertumbuh, harus muncul suatu perkiraan untuk g, tingkat pertumbuhan. Secara nyata ada dua jalan yaitu: o Menggunakan tingkat pertumbuhan industri, atau
35
o Menggunakan peramalan tingkat pertumbuhan masa depan dari para analis. Peramalan para analis tersedia dari berbagai sumber. Biasanya sumber yang berbeda akan mempunyai perkiraan yang berbeda. Sehingga alternatif yang dapat digunakan merata-ratakan tingkat pertumbuhan selama beberapa tahun. c) Pendekatan Premi Resiko (Risk Premium) Dengan pendekatan Premi Resiko, menurut Brigham (2002:309) biaya ekuitas dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Ks=
Krf + RP
Dimana : Ks
=Biaya ekuitas
Krf
=Tingkat pengembalian bebas resiko
RP
= Premi Risiko
Pendekatan ini dapat digunakan pada perusahaan tertutup yang datanya tidak mudah untuk diperoleh. Menurut Young dan O’ Bryne, alih bahasa oleh Widjaja (2001), Krf (Risk free rate) adalah pengembalian atas suatu aktiva bebas risiko (seperti obligasi pemerintahan). Di Indonesia risk free rate dapat menggunakan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). II.1.5.5 Modal yang diinvestasikan (Invested Capital) Menurut Brigham (2002:203), modal yang diinvestasikan dapat dirumuskan sebagai berikut:
36
IC= Net Operating Working Capital + Operating long term asset Net Operating Working Capital= Cash+Account Receivable+Inventories)-(Accounts Payable+Accruals) Menurut Young dan O’Bryne (2001:49-50), perhitungan IC ada dua cara, yaitu: a) Pendekatan Operasional (Operational Approach) Yang dihitung dari sisi kiri neraca (aktiva), yaitu penjumlahan dari modal kerja bersih (net working capital), aktiva tetap (fixed assets) dan aktiva lainlain (other assets). Yang dpat dirumuskan sebagai berikut: IC =kelebihan kas +WCR (Working Capital Requirement)+ aktiva tetap + investasi + aktiva lainnya = Total aset- Kewajiban tidak berbunga WCR= (persediaan + piutang dagang+ aktiva lancar lainnya +Kas Operasi)kewajiban tidak berbunga Kewajiban tidak berbunga bisa berupa = hutang dagang + biaya yang harus dibayar + uang muka pelanggan b) Pendekatan Keuangan (Financing Approach) IC = hutang jangka pendek yang menanggung bunga + hutang jangka panjang yang menanggung bunga +hutang jangka panjang lainnya (pajak ditangguhakan dan provisi) + ekuitas pemegang saham (termasuk hak minoritas)
37
II.1.5.6 Laba Bersih Setelah Pajak (NOPAT) Menurut Brigham (2002:204), NOPAT adalah laba bersih yang diperoleh perusahaan setelah dikurangi pajak penghasilan, NOPAT dapat dirumuskan sebagai berikut: NOPAT = EBIT(1-Tax) Menurut Young dan O’Bryne (2001:49), NOPAT merupakan laba operasi perusahaan setelah pajak yang berasal dari usaha normal perusahaan dimana dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: NOPAT
= Pendapatan operasi +pendapatan bunga + pendapatan ekuitas (pendapatan dari subsidiari/afiliasi)+ pendapatan investasi lainnya – kerugian lainnya – pajak penghasilan – pembebasan atas biaya bunga
II.1.5.7 Penyesuaian Laporan Keuangan guna menghapus Distorsi Akuntansi (Equity Equivalents atau EE) dalam Perhitungan EVA Menurut Young dan O’ Bryne (2001), untuk menghitung EVA yang akurat, perlu dilakukan penyesuaian (adjustments) terhadap nilai buku akuntansi (accounting book value) menjadi nilai buku ekonomis (economic book value). Dalam menghitung rate of return, penyesuaian laporan keuangan ditambahkan ke Invested Capital dan peningkatan dalam penyesuaian (perubahan dari periode ke periode) diperhitungkan pada NOPAT. Terdapat seratus lima puluh EE adjustment, tetapi banyak perusahaan hanya menggunakan beberapa EE adjustment saja. Tunggal (2001:9-14), memberikan suatu daftar EE adjustment yang sering digunakan oleh perusahaan, yaitu:
38
Tabel II.1 EE Adjustmens Add to Invested Capital Equity Equivalents
Add to NOPAT Increase in Equity Equivalents
Deferrred Tax Liablity Balance ( Net)
Increase in Deffered Tax Liablity Balance (Net)= Deffered Tax) Pajak tangguhan yang timbul dalam Dalam perhitungan EVA, pengaruh akuntansi pajak penghasilan karena deffered tax harus dieliminasi karena terdapat future tax effects yang deffered tax bukan biaya yang bersifat timbul
sebagai
perbedaan
akibat
adanya tunai
temporer
sehingga
perlu
dilakukan
antara penyesuaian (adjustment).
accounting base dengan tax base, yaitu
adanya
perbedaan
dalam
pengakuan transaksi dan peristiwa yang telah diakui dalam laporan euangan dan SPT pajak seperti penyusutan aktiva tetap dan kerugian fiskal. Pengakuan future tax effects dilakukan dengan mengakui aktiva pajak tangguhan (deffered tax asset) dan
kewajiban
pajak
tangguhan
(deffered tax liability) LIFO Reserve Perusahaan
Increase in LIFO Reserve yang
menggunakan
perhitungan biaya persediaan dengan Kenaikan dari tahun ke tahun cadangan menggunakan metode Last in Fist LIFO harus ditambahkan ke dalam Out, harus menambahakan cadangan NOPAT dan penurunannya dikurangkan LIFO
kepada
modal
yang dari NOPAT
diinvestasikan Cummulative goodwill amortization
Goodwill amortization
Goodwill timbul ketika perusahaan NOPAT ditambah dengan nilai amortisasi 39
membeli perusahaan lain untuk suatu berjalan
karena
goodwill
bukan
harga melebihi nilai pasar yang merupakan pemborosan tetapi aktiva pantas dari seluruh aktiva yang dapat yang tidak meningkat nilanya yang tidak diidentifikasi, dikurangi hutang
perlu pembebanan amortisasi sama sekali.
Bad debt Reserve
Increase in Bad Debt Reserve
Dalam perhitungan EVA, bad debt reserve tidak diakui sebagai unsur yang
mempengatuhi
accounting
profits karena sifatnya yang hanya cadangan dan tidak ada unsur cash outflows.
Kenaikan bad debt reserve atas basis sesudah pajak ditambahkan kembali pada NOPAT dan penurunan bad debt reserve atas basis sesudah pajak dikurangkan kembali dari nopat
Sumber: Tunggal( 2001, Economic Value Added:Teori, Soal dan Kasus) II.1.6 Analisis Laporan Arus Kas Laporan arus kas dapat memberikan informasi yang memungkinakan para pengguna untuk mengevaluasi perubahan dalam aset bersih perusahaan, struktur keuangan (termasuk likuiditas dan solvabilitas) dan kemampuan mempengaruhi jumlah serta waktu arus kas dalam rangka adaptasi dengan perubahan keadaan dan peluang. Menurut Warren et al. (2005:230) laporan arus kas adalah salah satu dari laporan keuangan dasar yang berguna bagi manajer dalam mengevaluasi operasi masa lalu dan dalam merencanakan aktivitas investasi serta pendanaan di masa depan. Laporan ini juga menyediakan dasar untuk menilai kemampuan perusahaan membayar hutangnya yang jatuh tempo. Informasi arus kas historis sering digunakan sebagai indikator dari jumlah, waktu, dan kepastian arus kas masa depan. Di samping itu, informasi arus kas juga berguna untuk menilai kecermatan dari taksiran arus kas masa depan yang telah dibuat 40
sebekumnya dan dalam menentukan hubungan antara profitabilitas dan arus kas bersih serta dampak perubahan harga. Menurut Riyanto (2001:330), laporan arus kas perusahaan dibagi menjadi tiga bagian yakni: a) Aliran operasi (Operating Flows), yaknialiran kas yang berhubungan langsung dengan produksi dan penjualan dari produk maupun jasa perusahaan. b) Aliran investasi (Investing Flows), yakni aliran kas yang berhubungan dengan pembelian dan penjualan baik aktiva tetap maupun investasi pada bisnis lain. c) Aliran pendanaan (Financing Flows), yakni aliran kas yang dihasilkan dari hutang dan transaksi keuangan, termasuk peminjaman dan pembayaran hutang, aliran kas masukdari penjualan saham dan aliran arus keluar untuk membeli kembali saham atau membayar dividen kas. Dengan menggunakan analisis arus kas, kita dapat menganalisis pola pendanaan perusahaan selama periode akuntansi tertentu, sehingga kita dapat menentukan bagaimana pengaruh pola pendanaan perusahaan terhadap likuiditas, solvabilitas dan rentabilitasnya. Dengan kata lain, kita dapat menilai apakah pertambahan dari suatu investasi jangka panjang dapat didukung oleh arus kas yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaan. Hal ini sangat penting mengingat bahwa arus kas yang dihasilkan dari kegiatan operasional perusahaanlah yang kelak akan dipergunakan untuk melunasi kewajiban perusahaan, yang ditarik untuk mendanai investasi jangka panjangnya. Dalam 41
hal ini, kewajiban perusahaan yang dimaksud adalah Kewajiban Jangka Panjang yang memunyai jadwal pembayaran angsuran yang telah ditetapkan di muka sebelumnya. II.1.6.1 Analisis Rasio Arus Kas Laporan arus kas juga dapat digunakan untuk menghitung rasio yang bermanfaat dalam menentukan kekuatan keuangan sebuah perusahaan. Menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2002:748), analisis atas laporan arus kas menggunakan perangkat rasio dibagi atas: a) Current Cash Debt Coverage Ratio
Arus Kas bersih yang diperoleh dari aktivitas Operasi Rata-rata Hutang Lancar
Rasio ini merupakan pengukuran yang berbasis kas untuk mengukur likuiditas perusahaan. Current Cash Debt Coverage Ratio menunjukkan berapa besar kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban lancarnya dari kas yang tersedia dalam aktivitas operasinya dalam suatu periode dengan rata-rata hutang lancar. Rasio ini diperoleh dengan membagi arus kas bersih yang dihasilkan dari aktivitas operasi dengan rata-rata hutang lancar. Dengan digunakannya arus kas bersih dari operasi, maka dapat lebih menggambarkan likuiditas perusahaan. Rasio ini dianggap baik jika berada diatas atau sama dengan 40%. (www.scribd.com/doc/14072745/BAB-II) b) Cash Return on Sales Ratio
Arus Kas bersih yang diperoleh dari aktivitas Operasi Penjualan Bersih
42
Rasio ini merupakan perangkat rasio untuk mengukur profitabilitas yang berbasis kas. Rasio ini diperoleh dengan membagi arus kas bersih dari aktivitas operasi dibagi dengan penjualan bersih. Rasio ini menggambarkan berapa besar kas yang disediakan dari aktivitas operasi yang dihasilkan dari setiap satu satuan penjualan selama satu periode. Pada dasarnya rasio ini sama dengan net profit margin, bedanya rasio ini menggunakan cash basis dalam menghitung kas bersih dari aktivitas operasi sedangkan profit margin menggunakan accrual basis dalam menghitung net income. Semakin tinggi rasio ini semakin baik. c) Cash Debt Coverage Ratio
Arus Kas bersih yang diperoleh dari aktivitas Operasi Rata-rata Total Hutang
Rasio ini menggambarkan solvabilitas perusahaan. Kas yang disediakan dari aktivitas operasi dibagi dengan rata-rata hutang dalam satu periode.Berbeda dengan debt to total asset ratio, rasio ini mengambil data arus kas yang disediakan dari aktivitas operasi tanpa harus melibatkan asset yang digunakan dalam aktivitas operasi. Oleh karena itu, rasio ini akan menggambarkan kemampuan perusahaan melunasi kewajibannya tanpa harus melikuidasi asset yang digunakan untuk operasi usaha. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin tingginya solvabilitas perusahaan. Angka rasio ini harus berada diatas atau sama dengan 20%. Terdapat juga analisis rasio keseluruhan arus kas (overall cash flow ratio) yang mengukur kelebihan jumlah arus kas yang dihasilkan oleh aktivitas operasi untuk menutup jumlah kas yang dibutuhkan oleh aktivitas investasi dan pendanaan. Semakin tinggi rasio ini semakin menunjukkan bahwa kas bersih dari aktivitas operasi mampu 43
membiayai pengeluaran kas yangberasal dari aktivitas investasi dan pendanaan secara seluruhnya. Berikut rumus rasio ini:
Arus Kas bersih yang diperoleh dari aktivitas Operasi Arus kas keluar Investasi + Arus kas keluar Pendanaan
www.scribd.com/doc/14072745/BAB-II) II.1.6.2 Analisis Pola Arus Kas Dalam sebuah laporan arus kas, terdapat pola normal dari arus kas masuk yang positif atau keluar kas yang dilaporkan. Pola normal dari arus kas masuk yang positif tersebut adalah sebagai berikut: •
Arus kas dari aktivitas operasi +
•
Arus kas dari aktivitas investasi–
•
Arus kas dari aktivitas pendanaan +/Terdapat beberapa pola arus kas sepanjang siklus hidup perusahaan diantaranya
adalah: a) Sebuah perusahaan baru yang sedang tumbuh pesat Perusahaan ini membutuhkan kas dari aktivitas pendanaan untuk membayar perluasan modalnya (aktivitas investasi) dan untuk menutupi arus kas negatif dari aktivitas operasi akibat penambahan persediaan dan piutang. b) Pada perusahaan yang telah berhenti tumbuh dan sedang mempertahankan posisinya. Arus kas dari aktivitas operasi cukup untuk membiayai pembaharuan asset jangka panjangnya dan untuk membayar dividen kepada para investor.
44
c) Pada perusahaan yang sudah mapan Perusahaan yang sudah mapan menghasilkan sangat banyak cash dari aktivitas operasinya sehingga dapat membiayai perluasan modal dan memiliki kas yang tersisa untuk membayar utang, dividenm dan bahkan membeli kembali sahamnya.(Stice et all 2009) II.1.7 Analisis Kesehatan Perusahaan Menurut Darsono (2005), Analisis Diskriminan yaitu Prediksi mengenai perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang kemudian mengalami kebangkrutan merupakan suatu analisis kesehatan perusahaan yang penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti kreditur, investor, pemerintah, auditor, maupun manajemen. Bagi kreditur analisis ini menjadi bahan pertimbangan utama dalam memutuskan untuk menarik piutangnya, menambah piutang untuk mengatasi kesulitan tersebut, atau mengambil kebijakan lain. Sementara dari sisi investor hasil analisisnya akan digunakan untuk menentukan sikap terhadap sekuritas yangdimiliki pada perusahaan dimana ia berinvestasi, karena semakin ketatnya persaingan mengakibatkan perusahaan yang kalah bersaing akan mengalami kebangkrutan. Sebagai pihak yang berada di luar perusahaan, investor dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang kebangkrutan sehingga keputusan yang diambil tidak akan salah. Salah satu indikator yang bisa dipakai untuk mengetahui tingkat kebangkrutan perusahaan adalah indikator keuangan. Kebangkrutan itu biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kegagalan menurut
45
pengertian ekonomi dapat diartikan bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan tidak menutupi biayanya. Secara garis besar menurut Darsono (2005:101) penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari bagian internal manajemen perusahaaan,sedangkan faktor eksternal bisa berasal dari faktor luar yang berhubungan langsung dengan perusahaan. Faktor internal penyebab kebangkrutan antara lain: 1. Manajemen yang tidak efisien 2. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah hutang-piutang yang dimiliki 3. Moral hazard manajemen Sedangkan faktor eksternal penyebab kebangkrutan antara lain: 1. Perubahan dalam kegiatan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan pelanggan lari sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan. 2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk memproduksi. 3. Hubungan yang tidak harmonis dengan kreditur juga bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup perusahaan. 4. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
46
5. Kondisi perekonomian yang global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Analisis yang digunakan
untuk mengklasifikasikan apakah suatu perusahaan
bangkrut atau tidak bangkrut yaitu analisis diskriminan. Di dalam penerapannya kemudian penialaian aspek keuangan berkembang sesuai dengan kebutuhan pihak manajemen dan tuntutan perkembangan. Mengacu pada Sawir (2005), Z-score yang telah dikembangkan oleh Edward I Altman di Newyork University pada pertengahan tahun 1960 menggunakan analisis diskriminan dengan menyusun suatu model untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan. Rumus Z-score yang telah dikembangkan oleh Altman adalah: Z= 1,2(X1) + 1,4(X2) + 3,3(X3) + 0,6(X4) + 1,0(X5) (http://www.ubm.ac.id/manajemen/images/doc/journal/prediksi-kebangkrutan.pdf) Dimana: X1- Net Working Capital /Total Assets (Modal kerja/ Total Aktiva) Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aktiva yang dimilikinya. Rasio ini dihitung dengan membagi modal kerja bersih dengan total aktiva. Modal kerja bersih diperoleh dengan cara aktiva lancar dikurangi dengan kewajiban lancar. Modal kerja bersih yang negatif kemungkinan besar akan menghadapi masalah dalam menutupi kewajiban jangka pendeknya karena tidaktersedianya aktiva lancar yang cukup untuk menutupi kewajiban tersebut. Sebaliknya perusahaan dengan modal kerja bersih yang bernilai positif jarang sekali mengahadapi kesulitan dalam melunasi kewajibannya.
47
X2- Retained Earning/Total Assets = (Laba Ditahan/Total Aktiva) Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham. Dengan kata lain, laba ditahan menunjukkan berapa banyak pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam bentuk dividen kepada para pemgenag saham. Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva, bukan aktiva per ekuitas pemegang saham. Laba ditahan perusahaan terjadi dikarenakan pemegang saham biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba yang tidak diditribusikan sebagai dividen. Dengan demikian, laba ditahan yang dilaporkan dalam neraca bukan merupakan kas dan tidak tersedia untuk pembayaran dividen atau yang lain. X3- Earning before Interest and Tax / Total Assets (Laba sebelum Bunga dan Pajak/Total Aktiva) Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari aktiva perusahaan, sebelum pembayaran bunga dan pajak. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. X4- Market Value of Equity / Book Value of Debt (Nilai Pasar Modal Sendiri/Nilai Buku Hutang) Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibankewajiban dari nilai pasar modal sendiri (saham biasa). Nilai pasar modal sendiri diperoleh dengan mengalikan jumlah lembar saham biasa yang beredar dengan harga pasar per lembar saham biasa. Nilai buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancar dan kewajiban jangka panjang. 48
X5- Sales/Total Assets (Total Penjualan/Total Aset) Rasio ini menunjukkan apakah perusahaan menghasilkan volume bisnis yang cukup dibandingkan investasi dalam total aktivanya. Rasio ini mencerminkan efisiensi manajemen dalam menggunakan keseluruhan aktiva perusahaan untuk menghasilkan penjualan dan mendapatkan laba. Dengan kata lain,rasio ini menjelaskan berapa Rupiah penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap Rupiah yang diinvestasikan dalam bentuk harta perusahaan. Kriteria penilaian Z-Score yaitu: a) Z > 2,99 memberikan penilaian bahwa perusahaan berada dalam keadaan yang sangat sehat sehingga kemungkinan kebangkrutan sangat kecil terjadi. b) 1.81 ≤ Z ≤ 2.99 maka perusahaan dianggap berada pada daerah abu-abu (Grey Area). Pada kondisi ini, perusahaan mengalami masalah keuangan yang harus ditangani dengan penangan manajemen yang tepat. Kalau terlambat dan tidak tepat penangannya, maka perusahaan dapat mengalami kebangkrutan. Jadi pada grey area ini ada kemungkinan perusahaan bangkrut dan ada pula yang tidak. Semua tergantung bagaimana pihak manajemen perusahaan dapat segera mengambil tindakan untuk segera mengatasi masalah yang dialami oleh perusahaan. c) Z
1.8 menunjukkan indikasi bahwa kesehatan keuangan perusahaan berada
dalam kondisi yang sangat parah dan sangat berpotensi untuk mengalami kebangkrutan.
49
II.2
Penelitian Terdahulu
Berikut terdapat beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan akuisisi: 1. Hasil penelitian dari Payamta dan Setiawan (2004) meneliti pengaruh merger dan akuisisi terhadap kinerja perusahaan manufaktur selama 2 tahun sebelum dan 2 tahun setelah merger dan akuisisi, yang diproyeksikan melalui return saham dan rasio keuangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja yang signifikan untuk periode sebelum dan setelah merger dan akuisisi baik dari return saham maupun rasio keuangan 2. Hasil penelitian dari Murni Hadinigsih (2007) tentang analisis dampak jangka panajang merger dan akuisisi terhadap kinerja keuangan perusahaan pengakuisisi dan perusahaan diakuisisi di Bursa Efek Jakarta (BEJ) diperoleh bahwa peningkatan dan penurunan yang terjadi pada rasio-rasio keuangan tidak cukup kuat untuk menunjukkan adanya pengaruh merger dan akuisisi terhadap rasio keuangan, baik perusahaan pengakuisisi maupun perusahaan yang diakuisisi. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada perbedaan yang signifikan antar tahun sebelum dan setelah merger dan akuisisi. Diduga merger dan akusisi tidak menimbulkan sinergi bagi perusahaan pengakuisisi maupun yang diakuisisi, yang kemungkinan disebabkan lemahnya strategi yang dilakukan, pemilihan perusahaan target yang kurang tepat, perusahaan pengakuisisi kurang pengalaman dalam melakukan merger dan akuisisi dan adanya faktor non ekonomis yaitu untuk menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.
50
II.3
Kerangka Pemikiran Berdasarkan pada teori pendukung dan hasil penelitian sebelumnya, maka
kerangka pemikiran penelitian dapat dijelaskan pada gambar berikut: Gambar II.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
51