19
BAB II KONSEP DASAR KEWARGANEGARAAN
A. Pengertian Warga Negara Wewenang sebuah organisasi negara meliputi kelompok manusia yang berada di dalamnya. Kelompok tersebut dapat dibedakan antara warga negara dengan bukan warga negara (orang asing). Warga negara sebagai pendukung sebuah negara merupakan landasan bagi adanya negara. Dengan kata lain bahwa warga negara adalah salah satu unsur penting bagi sebuah negara, selain unsur lainnya.1 Warga negara itu sendiri bisa diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara.2 Istilah ini biasa juga disebut hamba atau kawula negara.3 Meskipun demikian istilah warga negara dirasa lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang-orang merdeka bila dibandingkan istilah hamba dan kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warga yang menjadi bagian dari suatu negara. Asumsi ini tidaklah berlebihan dan cukup beralasan. Sebagai anggota dari persekutuan yakni negara, yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas 1
Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa suatu negara harus memenuhi syarat-syarat bagi keberadaan negara yang merupakan unsur penting negara. Syarat-syarat yang dimaksud ialah : pertama harus ada wilayahnya, kedua, harus terdapat rakyat atau warga negara, ketiga, harus ada pemerintahan yang berkuasa terhadap seluruh daerah dan rakyatnya, serta keempat harus ada tujuan. Lihat C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara (umum dan Indonesia), Jakarta: Pradnya Paramita, cet.ke-1, 2001, hlm.148. 2 Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN Syarif hidayatullah dengan The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003, hlm. 73. 3 Ibid.
20
dasar tanggung jawab bersama, serta untuk kepentingan atau tujuan bersama pula4, warga negara dituntut untuk aktif terhadap negara. Dengan alasan tersebut istilah warga negara dirasa lebih sesuai, karena mengandung pengertian aktif. Sedangkan istilah hamba atau kawula negara mengandung pengertian warga yang pasif dan hanya menjadi obyek negara. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara mempunyai kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab. Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam mendefinisikan bahwa warga negara (citizenship) adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik daripada istilah kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti obyek yang berarti orang yang dimiliki dan mengabdi kepada negara. Oleh karenanya, kewarganegaraan menurut AS Hikam harus mencakup tiga dimensi utama: 1) Dimensi keterlibatan aktif dalam komunitas, 2) dimensi pemenuhan hak-hak dasar yaitu hak politik, ekonomi, dan hak sosial kultural, serta 3) dimensi dialog dan keberadaan ruang publik yang bebas.5
4
Pada awalnya, negara atau bangsa merupakan sekumpulan manusia atau gabungan entitas-entitas yang beragam, lalu disarikan hubungan kesadaran dan diikat oleh asas kemaslahatan bersama yang dituangkan dalam bentuk system legislasi dan hukum perundang-undangan. System ini diberlakukan padatanah kehidupan yang dinamakan tanah air (wathan). Pada gilirannya hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan yang dinamakan negara. Lihat Muhammad Syahrur, Dirasat Islamiyyah Muashirah fi al Daulat wa al Mujtama', terjemah Saifudin Zuhri dan Badrus Syamsul Fata "Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara", Yogyakarta : LKIS, cet. ke-1, 2003, hlm.90. 5 Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan : Landasan Redemokratisasi di Indonesia, Jakarta : Penerbit Erlangga, 1999, hlm. 166.
21
Istilah warga negara dan rakyat menunjuk pada obyek yang sama6, yakni sebagai anggota negara7.
Meskipun demikian terdapat perbedaan
pengertian antara pengertian warga negara, rakyat dan bangsa. Warga negara adalah pendukung negara atau dalam arti lain warga sebuah negara yang bersifat aktif. Sedang rakyat adalah masyarakat yang mempunyai persamaan kedudukan sebagai obyek pengaturan dan penataan oleh negara dan mempunyai
ikatan
kesadaran
sebagai
kesatuan
dalam
hubungan
keorganisasian negara. Istilah warga negara tidak menunjuk pada obyek yang sama dengan istilah penduduk. Warga negara sebuah negara belumlah tentu merupakan penduduk negara tersebut. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal secara sah dalam suatu negara berdasarkan peraturan perundangan kependudukan sah dari negara yang bersangkutan. Baik status sebagai warga negara maupun sebagai penduduk mempunyai
konsekuensi
hukum,
yaitu
menyangkut
hak-hak
dan
kewajibannya. Konsekuensi hukum dari status warga negara lebih luas dari pada status sebagai penduduk. Pembagian penduduk menjadi warga negara dan orang asing sangatlah penting. Hal ini dikarenakan beberapa hak dan kewajiban yang dimiliki warga negara dengan orang asing berbeda. Hak dan kewajiban penduduk yang bukan warga negara adalah terbatas.8
6
Harsono, Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Yogyakarta : Liberty, cet. ke1, 1992, hlm. 1. 7 Lihat Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, cet. ke-1, 1994, hlm. 1. lihat pula S. Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Bandung : Penerbit Alumni, cet. ke-3, 1975, hlm. 3. 8 Harsono, op. cit., hlm. 2.
22
Perbedaaan antara kelompok warga negara dengan orang asing terletak pada hubungan yang ada antara negara dengan warga negara dengan masingmasing kelompok tersebut. Hubungan antara negara dengan warga negara lebih erat dibandingkan hubungan antara negara dengan orang asing. Dalam konteks negara Islam9, warga negara mengandung pengertian penduduk sebuah negara Islam yang memeluk agama Islam10. Penduduk yang bertempat tinggal di wilayah negara Islam namun belum memeluk agama Islam atau dengan kata lain bahwa masyarakat atau individu non muslim yang bertempat tinggal diwilayah negara Islam, akan diberi status penduduk permanen, tetapi tidak dianggap sebagai warga negara dari negara Islam kecuali jika mereka memeluk Islam atas kemauan mereka sendiri.11 Meskipun demikian, ternyata kenyataan diatas bukanlah sebuah statemen yang bersifat final, hal ini terlihat dari adanya pemikir Islam yang memandang mereka sebagai warga negara Islam.12
B. Asas Kewarganegaraan Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa warga negara merupakan anggota dari sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbal balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebagai warga negara dalam suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang 9
Penjelasan tentang hal ini, lihat catatan kaki bab I no. 6. Lihat Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan Al Qur'an dan Sunah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet. ke-1, 2000, hlm. 115. 11 Ibid. 12 Lihat M. Galib M., Ahl Al Kitab, Makna dan Cakupannya, Jakarta : Penerbit Paramadina, cet. ke-1, 1998, hlm. 181. Lihat pila Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya : Bina Ilmu, cet. ke-1, 1995, hlm. 241. 10
23
telah disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan inilah yang nantinya akan menjadi pedoman atau asas untuk menentukan kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang. Pada umumnya asas kewarganegaraan dapat dibedakan menjadi dua, yakni asas kewarganegaraan dilihat dari sisi kelahiran serta dari sisi perkawinan.13 1. Dari sisi kelahiran. Pada umumnya penentuan kewarganegaraan dilihat dari sisi kelahiran seseorang. Berdasar sisi kelahiran ini, terdapat dua asas kewarganegaraan, yaitu asas kelahiran (Ius Soli) dan asas keturunan (Ius Sanguinis), kedua istilah ini berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, Soli berasal dari kata Solum yang berarti negeri, tanah atau daerah dan Saunginis berasal dari kata Sanguis yang berarti darah.14 Berdasarkan pengertian di atas, Ius Soli mempunyai arti asas atau pedoman untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang dengan berdasarkan tempat atau daerah kelahiran seseorang. Asas ini diasumsikan bahwa seseorang yang terlahir di suatu negara, maka dengan sendirinya ia akan memperoleh status kewarganegaraan dari negara tersebut. Sedangkan Ius Sanguinis berarti penentuan kewarganegaraan seseorang dengan berdasarkan keturunannya atau orang tuanya. Sebagai contoh seseorang yang lahir dari orang tua yang berkewarganegaraan sesuai dengan negara 13 14
Koerniatmanto Soeto Prawiro, op. cit., hlm. 10. Tim ICCE UIN, op. cit., hlm. 75.
24
tertentu maka secara otomatis pula ia akan memperoleh status kewarganegaraan sesuai dengan status kewarganegaraan orang tuanya. 2. Dari sisi Perkawinan Di samping dari sudut kelahiran, hukum kewarganegaraan juga mengenal dua asas yang erat kaitannya dengan masalah perkawinan, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.15 Suatu perkawinan dapat menyebabkan terjadinya perubahan status kewarganegaraan seseorang. Dengan adanya perkawinan campuran yakni perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraannya, maka akan muncul permasalahan seputar kewarganegaraan mereka. Munculnya kedua asas ini berawal dari kedudukan pihak wanita di dalam perkawinan campuran tersebut. Asas kesatuan hukum bertolak dari hakekat suami istri ataupun ikatan dalam keluarga yang merupakan inti dari masyarakat. Masyarakat akan sejahtera apabila didukung oleh keluarga-keluarga yang sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggrakan kehidupan bermasyarakatnya suatu keluarga ataupun suami istri yang baik, perlu mencerminkan adanya kesatuan yang bulat serta perlu adanya suatu kesatuan dalam keluarga. Sedangkan dalam asas persamaan derajat diasumsikan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak.16 Dengan adanya perkawinan campuran, maka masing-masing pihak tetap memiliki kewarganegaraan asal mereka, atau 15 16
Koerniatmanto Soetoprawiro, op. cit., hlm. 12. Tim ICCE UIN, op. cit., hlm. 76.
25
dengan kata lain meskipun sudah menjadi suami istri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan mereka sendiri, seperti saat pertama kali mereka sebelum bertemu dan menjadi pasangan suami istri. Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Dengan asas ini seseorang yang ingin memiliki atau memperoleh status kewarganegaraan dari sutau negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan negara tersebut kemudian menceraikannya, sebisa mungkin dapat dihindari. Untuk menghindari penyelundupan hukum semacam ini, banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan kewarganegaraannya. Sedangkan dalam hal asas kewarganegaraan negara Islam, terdapat perbedaan pandangan. Abdulrahman Abdul Kadir Kurdi misalnya, menyatakan bahwa asas kewarganegaraan dalam negara Islam didasarkan atas olehnya seorang warga dalam menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan mereka.17 Dengan demikian umat manusia secara keseluruhan akan dipandang sebagai muslim atau non muslim dalam sisi kehidupan mereka dalam menjalankan Islam. Pengelompokam ini semata-mata hanya dimaksudkan hanya untuk membedakan antara orang-orang Islam dengan lainnya berkaitan dengan tanggungjawab dan persyaratan mereka dalam sistem Islam. Sedangkan pandangan lain menyatakan, sebagai negara ideologi, Islam tetap membatasi kewarganegaraan bagi mereka yang menetap di
17
Abdulrahman Abdul Kadir Kurdi, op. cit., hlm. 112.
26
wilayahnya saja baik itu muslim ataupun non muslim dan orang-orang yang telah berimigrasi ke dalamnya.18 Adapun dasar dari statemen ini adalah firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 72, yang berbunyi :
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orangorang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan mereka itu satu sama lain saling melindungi dan terhadap orang-orang yang beriman tetapi mereka belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka." (QS. Al Anfal : 72)
C. Hak dan Kewajiban Warga Negara Dalam konsep negara Islam terdapat dua macam kewarganegaraan yakni warga negara muslim dan warga negara non muslim (dzimmi). Pengklasifikasian dalam konsep negara Islam menjadi dua macam
ini
dimaksudkan sebagai pembedaan orang-orang muslim berkaitan dengan
18
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta : Gema Insani Press, cet. ke-1, 1996, hlm. 21.
27
tanggungjawab dan persyaratan mereka dalam sistem Islam,19 tanpa bermaksud membeda-bedakan antara warga muslim dan non muslim dari sudut lainnya, seperti kemanusiaan, ras ataupun warna kulit sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an :
Artinya : "Dialah yang menciptakan kamu, maka diantara kamu ada yang kafir dan ada yang beriman. Allah maha melihat atas apa yang kamu kerjakan." (QS. At Taghabun : 2) Sebagaimana tersirat dalam makna ayat di atas, jelas sekali bahwa ayat ini mengelompokkan manusia sebagai golongan dari orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman sebagai konsekuensi dari penerimaan dan penerapan sistem Islam. Dalam pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota dari negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya sehingga sebagai warga negara yang baik, seseorang akan terlebih dahulu mendahulukan kewajibannya sebagai warga negara dari pada meminta haknya terlebih dahulu. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka adanya hak dan kewajiban bagi warga negara terhadap negaranya merupakan sesuatu yang memang harus ada sebagai sebuah keseimbangan.
19
Abdulrahman Abdul Kadir Kurdi, loc. Cit.
28
Pada dasarnya hak-hak seorang warga negara adalah hak-hak yang telah diakui dan dijamin serta tertuang dalam Hak Asasi Manusia (HAM).20 Hak-hak tersebut antara lain adalah hak atas kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya, kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, hak atas persamaan di depan hukum dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan hak-hak asasi lainnya.
20
Lihat Tim ICCE UIN, op.cit., hlm. 83.