1
BAB II KAJIAN TEORITIS
2.1
Pengertian Membaca Menurut Klein (Dalam Rahim, 2008: 3) mengemukakan definisi membaca mencakup : membaca merupakan suatu proses. Membaca merupakan suatu proses dimaksudkan informasi dari teks dan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca mempunyai peranan yang utama dalam membentuk makna. Menurut Kridalaksana (Dalam Dhieni, 2008: 55), mengemukakan bahwa ”membaca pada anak usia dini adalah keterampilan membaca dan memahami tulisan dalam bentuk urutan lambang-lambang grafis dan perubahannya menjadi wacana bermakna. Menurut (Dalam Rahim, 2005: 3.), membaca untuk anak merupakan kegiatan yang melibatkan unsur auditif (pendengaran) dan visual (pengamatan). Kemampuan membaca dimulai ketika anak senang mengeksplorasi buku dengan cara memegang atau membolak-balik buku. Menurut Juel (Dalam Sandjaja, 2005), membaca adalah proses untuk membaca kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan, sehingga hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.
2
Menurut Ginting : 2005, membaca pada anak usia dini merupakan proses ganda meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan. Proses penglihatan dijabarkan oleh Wassman dan Rinky (Dalam Ginting, 2005) adalah sebagai proses penglihatan, membaca bergantung pada kemampuan melihat symbol - simbol, oleh karena itu mata memainkan peran penting dan sebagai proses tanggapan menurut ahuja (Dalam Ginting 2005 ) membaca menunjukan interprestasi segala sesuatu yang kita persepsi. Proses membaca juga meliputi indentifikasi symbol symbol yang digunakan dalam pengajaran membaca. Adapun menurut Hainstock (2002: 29) membaca merupakan interpretasi yang bermakna dari simbol verbal yang tertulis /tercetak. Membaca adalah tindakan menyesuaikan arti kata dengan simbol – simbol yang tertulis atau tercetak . Kegemaran membaca harus dikembangkan sejak dini. Sejalan dengan pendapat ini Montessori dan Hainstock
juga mengemukakan
bahwa pada usia 4-5 tahun anak sudah bisa diajarkan membaca dan menulis. Hal ini seperti dikemukakan oleh (Moleong 2003: 25) salah satu aspek yang harus dikembangkan pada anak tman kanak – kanak adalah kemampuan membaca dan menulis . Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ahli di atas, bahwa aktivitas membaca merupakan proses ganda meliputi proses penglihatan dan proses tanggapan yang memerlukan suatu kesiapan fisik dan psikhis, yang dapat memperkaya kosa kata dan daya imajinasi anak.
3
2.1.1
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca.
Menurut Lamb dan Arnold (Dalam Rahim Farida 2011) faktor – faktor tersebut adalah faktor fisiologis, intelektual, lingkungan, dan psikologis. 1. Faktor Fisiologis Faktor fisiologis mencangkup kesehatan fisik, pertimbangan neurologis, dan jenis kelamin. Kelelahan juga merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi anak untuk belajar, khususnya belajar membaca. Beberapa ahli mengemukakan bahwa keterbatasan neurologis (misalnya berbagai cacat otak) dan kekurangmatangan secara fisik merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anak gagal dalam meningkatkan
kemampuan
membaca
pemahaman
mereka.
Guru
hendaknya cepat menemukan tanda – tanda yang disebutkan di atas. Gangguan pada alat bicara, alat pendengaran, dan alat penglihatan bisa memperlambat kemajuan belajar membaca anak. Analisis bunyi, misalnya mungkin sukar bagi anak yang mempunyai masalah pada alat bicara dan alat pendengaran. Guru harus waspada terhadap beberapa kebiasaan anak, seperti anak sering menggosok – gosok matanya, dan mengerjap – ngerjapkan matanya ketika membaca. Jika menemukan anak seperti di atas, guru harus menyarankan kepada orang tuanya untuk membawa si anak ke dokter spesialis mata. Dengan kata lain, guru harus sensitif terhadap gangguan yang dialami oleh seorang anak.
4
Makin cepat guru mengetahuinya, makin cepat pula masalah anak dapat diselesaikan. Sebaiknya, anak – anak diperiksa matanya terlebih dahulu sebelum mulai membaca permulaan. Walaupun tidak mempunyai gangguan pada alat penglihatannya, beberapa anak mengalami kesukaran belajar membaca. Hal itu dapat terjadi karena belum berkembangnya
kemampuan mereka dalam
membedakan symbol – simbol cetakan, seperti huruf – huruf, angka – angka, dan kata – kata misalnya anak belum bisa membedakan b, p, dan d. Perbedaan pendengaran (auditory discrimination) adalah kemampuan mendengarkan kemiripan dan perbedaan bunyi bahasa sebagai faktor penting dalam menentukan kesiapan membaca anak. (Lamb Dan Arnold,1976). 2. Faktor Intelektual Istilah inteligensi didefinisikan oleh Heinz sebagai suatu kegiatan berpikir yang terdiri dari pemahaman yang esensial tentang situasi yang diberikan dan meresponsnya secara tepat. Terkait dengan penjelasan Heinz di atas, Wechster mengemukakan bahwa intelegensi ialah kemampuan global individu untuk bertindak sesuai dengan tujuan, berpikir rasional, dan berbuat secara efektif terhadap lingkungan. Penelitian Ehansky dan Muehl dan Forrell yang dikutip oleh Harris dan Sipay menunjukkan bahwa secara umum ada hubungan posirif (tetapi rendah) antara kecerdasan yang diindikasikan oleh IQ dengan rata – rata peningkatan remedial membaca.
5
Pendapat ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rubin bahwa banyak hasil penelitian memperlihatkan tidak semua anak yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi menjadi pembaca yang baik. 3. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan juga mempengaruhi kemajuan kemampuan baca anak. Faktor lingkungan itu mencakup (1) latar belakang dan pengalaman anak dirumah, dan (2) sosial ekonomi keluarga. a) Latar belakang dan pengalaman anak di rumah Lingkungan dapat membentuk pribadi, sikap, nilai, dan kemampuan bahasa anak. Kondisi di rumah memengaruhi pribadi dan penyesuaian diri anak dalam masyarakat. Kondisi itu pada gilirannya dapat membantu anak, dan dapat juga menghalangi anak belajar membaca. Anak yang tinggal di dalam rumah tangga yang harmonis, rumah yang penuh dengan cinta kasih, yang orang tuanya memahami anak – anaknya, dan mempersiapkan mereka dengan rasa harga diri yang tinggi, tidak akan menemukan kendala yang berarti dalam membaca. Komposisi orang dewasa dalam lingkungan rumah juga berpengaruh pada kemampuan membaca anak. Anak yang dibesarkan oleh kedua orang tuanya , orang tua tunggal, seorang pembantu rumah tangga, atau orang tua angkat akan memengaruhi sikap dan tingkah laku anak. Anak yang dibesarkan oleh ibu saja berbeda dengan anak yang dibesarkan oleh seorang ayah saja. Kematian salah seorang
6
anggota keluarga umumnya akan menyebabkan tekanan pada anak – anak. Perceraian juga merupakan pengalaman yang traumatis bagi anak – anak. Guru hendaknya memahami tentang lingkungan keluarga anak dan peka pada perubahan yang tiba– tiba terjadi pada anak. Kualitas dan luasnya pengalaman anak di rumah juga penting bagi kemajuan belajar membaca. Membaca seharusnya merupakan suatu kegiatan yang bermakna. Pengalaman masa lalu anak – anak memungkinkan anak – anak untuk lebih memahami apa yang mereka baca. b) Sosial ekonomi Ada kecenderungan orang tua kelas menengah ke atas merasa bahwa anak – anak mereka siap lebih awal dalam membaca permulaan. Namun, usaha orang tua hendaknya tidak berhenti hanya sampai pada membaca permulaan saja. Orang tua harus melanjutkan kegiatan membaca anak secara terus –menerus. Anak lebih membutuhkan perhatian daripada uang. Oleh sebab itu, orang tua hendaknya menghabiskan waktu mereka untuk berbicara dengan anak mereka agar anak menyenangi membaca dan berbagi buku cerita dan pengaaman membaca dengan anak – anak. Sebaliknya, anak – anak yang berasal dari keluarga kelas rendah yang berusaha mengejar kegiatan – kegiatan tersebut akan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk menjadi pembaca yang baik.
7
Faktor sosioekonomi, orang tua, dan lingkungan tetangga merupakan faktor yang membentuk lingkungan rumah anak. Beberapa penelitian
memperlihatkan
bahwa
status
sosioekonomi
anak
mempengaruhi kemampuan verbal anak. Semakin tinggi status sosioekonomi anak semakin tinggi kemampuan verbal anak. Anak – anak yang mendapat contoh bahasa yang baik dari orang dewasa serta orang tua yang berbicara dan mendorong anak – anak mereka berbicara akan mendukung perkembangan bahasa dan inteligensi anak. Begitu pula dengan kemampuan membaca anak. Anak – anak yang berasal dari rumah yang memberikan banyak kesempatan membaca, dalam lingkungan yang penuh dengan bahan bacaan yang beragam akan mempunyai kemampuan membaca yang tinggi. 4. Faktor Psikologis Faktor lain yang juga memengaruhi kemajuan kemampuan membaca anak adalah faktor psikologis. Faktor ini mencakup (1) motivasi, (2) minat, dan (3) kematangan sosial, emosi, dan penyesuaian diri menurut Lamb dan Arnold (Dalam Rahim Farida 2011). a. Motivasi Motivasi adalah faktor kunci dalam belajar membaca. Eanes mengemukakan bahwa kunci motivasi itu sederhana, tetapi tidak mudah untuk mencapainya. Kuncinya adalah guru harus mendemonstrasikan kepada anak praktik pengajaran yang
8
relevan dengan minat dan pengalaman anak sehingga anak memahami belajar itu sebagai suatu kebutuhan. Suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan akan mengoptimalkan kerja otak anak. Di samping itu, suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan akan lebih memotivasi anak agar belajar lebih intensif. Seseorang tidak berminat membaca kalau dalam keadaan tertekan. Untuk usia dini bisa diwujudkan dalam bentuk permainan, sedangkan pada anak kelas tinggi bermain dapat dikembangkan melalui eksperimen. Misalnya, setelah membaca materi bacaan yang menjelaskan tentang petunjuk membuat pesawat terbang dari kertas, kemudian anak mencoba memodifikasinya sehingga pesawatnya bisa terbang lebih jauh. Lamb dan Arnold (Dalam Rahim Farida 2011) b. Minat Minat baca ialah keinginan yang kuat disertai usaha – usaha seseorang untuk membaca. Orang yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkannya dalam keserdiannya untuk mendapat bahan bacaan dan kemudian membacanya atas kesadarannya sendiri. Seorang guru harus berusaha memotivasi anaknya. Anak yang mempunyai motivasi yang tinggi terhadap membaca, akan mempunyai minat yang tinggi pula terhadap kegiatan membaca.
9
c. Kematangan sosial dan emosi serta penyesuaian diri Seorang anak harus mempunyai pengontrolan emosi pada tingkat tertentu. Anak – anak yang mudah marah, menangis, dan bereaksi secara berlebihan ketika mereka tidak mendapatkan sesuatu, atau menarik diri, atau mendongkol akan mendapat kesulitan dalam pelajaran membaca. Sebaliknya, anak – anak yang lebih mudah mengontrol emosinya, akan lebih mudah memusatkan perhatiannya pada teks yang dibacanya. Pemusatan perhatian pada bahan bacaan memungkinkan kemajuan kemampuan anak–anak dalam memahami bacaan akan meningkat. Percaya diri sangat dibutuhkan oleh anak – anak. Anak – anak yang kurang percaya diri di dalam kelas, tidak akan bisa mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya walaupun tugas itu sesuai dengan kemampuannya. Mereka sangat bergantung kepada orang lain sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan mandiri
dan
selalu
meminta
untuk
diperhatikan
guru
Lamb dan Arnold (Dalam Rahim Farida 2011). 2.1.2
Kemampuan Membaca Anak Taman Kanak – Kanak Anak prasekolah adalah anak berusia 3 – 6 tahun. Biasanya mengikuti program prasekolah atau kindergarten (Biechler dan Snowman, dalam Patmonodewo, 1995: 19). Di Indonesia, sistem Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) melibatkan anak berusia 0 – 8 tahun .
10
Pendidikan yang diberikan pada anak di rentang usia tersebut dibagi berdasarkan sumbernya. Anak berusia 0 – 2 tahun mendapat pendidikan dari lingkup formal, yaitu keluarga; anak berusia 2 – 6 tahun mendapat pendidikan anak usia dini (kelompok bermain) dan taman kanak – kanak (TK); sementara anak usia 7 – 8 tahun mendapat pendidikan Sekolah Dasar (SD) kelas 1 dan 2. Anak yang duduk di bangku TK umumnya berusia 4 – 5 tahun. Menurut Piaget (Santrock, 2002, h. 45), anak berada pada tahap perkembangan kognitif praoperasional yang berlangsung antara usia 2 – 7 tahun. Pada tahap ini, anak – anak mulai melukiskan dunia dengan gambar – gambar. Pemikiran simbolis melampaui hubungan sederhana antara informasi inderawi dan tindakan fisik. Akan tetapi, meskipun anak – anak prasekolah mampu melukiskan dunia secara simbolik, namun mereka masih belum mampu melaksanakan apa yang disebut Piaget sebagai “operasi (operations)”, yaitu tindakan mental yang diinternalisasikan dan memungkinkan anak melakukan secara mental sesuatu yang sebelumnya dilakukan secara fisik. Selanjutnya Piaget menyatakan bahwa dalam subtahap pemikiran simbolik tahap praoperasional, anak melambangkan suatu benda dengan benda lain. Anak dapat melakukan peniruan yang ditunda, di mana peniruan dilakukan setelah benda atau objek yang ditiru sudah tidak ada. Jadi, peniruan yang dilakukan tanpa kehadiran benda aslinya tersebut merupakan salah satu jenis simbolisasi atau bayangan mental (kemampuan akal).
11
Bahasa terdiri dari berbagai simbol yang dapat terungkap secara lisan maupun tulisan. Pemerolehan bahasa terjadi pada sub tahap pemikiran simbolik tahap praoperasional tersebut, sehingga menurut Piaget, bahasa merupakan hasil dari perkembangan intelektual secara keseluruhan dan sebagai bagian dari kerangka fungsi simbolik. Bahasa berkaitan erat dengan perkembangan kognisi anak, terutama dalam hal kemampuan berpikir. Lev Vygotsky (Santrock, 2002: 241) mengemukakan hubungan antara bahasa dan pemikiran, bahwa meskipun dua hal tersebut awalnya berkembang sendiri, tetapi pada akhirnya bersatu. Prinsip yang mempengaruhi penyatuan itu adalah pertama, semua fungsi mental memiliki asal – usul eksternal atau sosial. Anak harus menggunakan bahasa dan menggunakannya pada orang lain sebelum berfokus dalam proses mental mereka sendiri. Kedua, anak harus berkomunikasi secara eksternal menggunakan bahasa selama periode yang lama
sebelum
transisi
kemampuan bicara eksternal ke
internal
berlangsung. Jadi, anak perlu belajar bahasa untuk mengasah ketrampilan mereka dalam melakukan proses mental seperti berpikir dan memecahkan masalah, karena bahasa merupakan alat berpikir . Demikian pula dengan membaca, yang merupakan salah satu komponen bahasa yang perlu dipelajari sejak dini. Salah satu teori membaca yang amat berpengaruh adalah teori rute ganda (Grainger, 2003:
12
190). Teori rute ganda menjelaskan mekanisme yang terjadi pada pembaca awal dalam mencoba mengatasi huruf yang belum dikenal. Pembaca awal akan melalui dua rute yang akan menentukan suatu kata akan dikenali (berhasil dibaca) atau tidak. Rute pertama (rute Gambar), merupakan rute pengenalan yang tergantung pada pendekatan mencocokkan pola Gambar, di mana anak –anak menatap jalinan huruf cetak dan membandingkan pola itu dengan simpanan kata
yang telah
mereka kenal dan pelajari sebelumnya. Rute kedua (rute fonologis), pembaca mengubah simbol (huruf) menjadi bunyi. Rute kedua mungkin hanya digunakan bila rute pertama gagal. Pembaca lemah sebagaimana pembaca awal menggunakan metode rute Gambar, namun mereka berbeda dalam hal kesadaran fonemis, karena anak normal memiliki kesadaran fonemis yang memungkinkan mereka memanfaatkan asosiasi bunyi simbol dan kemampuan memetakan bunyi ke dalam kata berdasarkan konsep mereka tentang bentuk huruf yang benar. Maka dapat disimpulkan bahwa anak usia Taman Kanak – kanak memiliki potensi yang terpendam untuk menjadi pembaca yang baik. Tahap perkembangan yang memungkinkan mereka mengerti symbol simbol dalam bahasa memberi kesempatan untuk cepat belajar dan mengasah ketajaman berpikir. Selain itu, anak sebagai pembaca awal umumnya memiliki kesadaran fonemis yang cukup baik dan sangat berguna dalam proses membaca. Karena itu, diperlukan adanya pemilihan metode yang tepat dengan harapan anak dapat belajar membaca dengan
13
efektif, memanfaatkan segala potensinya dan merasa nyaman dalam belajar menggunakan metode yang memperhatikan kebutuhan belajar mereka. 2.2
Pengertian Huruf Menurut Arifin, (2009:173) “Huruf merupakan beberapa bunyi dan bentuk yang terdiri dari dua puluh enam macam yang masing-masing bunyi tersebut dapat dibuat menjadi satu kata dan kalimat”. Huruf-huruf ini tercipta atas dua bentuk yaitu huruf Abjad dan huruf konsonan. Huruf Abjad diantaranya adalah a, i, u, e dan o. sedangkan huruf konsonan adalah b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z. Menurut Badudu, JS (1996:4) mengemukakan bahwa “huruf adalah salah satu bagian materi pembelajaran bahasa Indonesia.materi ini jelas telah tertuang dalam buku pedoman ejaan bahasa Indonesia. Di dalam pendidikan formal materi huruf telah diajarkan di sekolah TK, sekolah dasar, pendidikan menengah sampai perguruan tinggi. Karena pentingnya bahan pelajaran ini diharapkan para anak dapat memiliki kemampuan menggunakannya, khususnya dalam pemakaian bahasa indonesia dalam ragam tulis. Huruf juga dapat di klasifikasikan oleh suatu tulisan yang berbentuk khusus yang terbagi atas dua bentuk yaitu huruf kapital dan huruf biasa menurut ketentuan penggunaannya”.
14
2.2.1
Pengertian Membaca Huruf Abjad Membaca
Huruf Abjad merupakan salah satu kemampuan
berbahasa yang perlu dikuasai anak. Membaca Huruf Abjad sering juga disebut sebagai salah satu prasyarat penguasaan bahasa yang baik. Dalam belajar bahasa, Membaca merupakan kemahiran tingkat lanjut. Rahim (2005: 5) berpendapat bahwa pengajaran Membaca huruf abjad merupakan dasar untuk kemampuan membaca kalimat. Dalam kegiatan belajar Membaca Huruf Abjad maka anak harus menguasai pengenalan huruf. Di samping itu, penguasaan kosa kata juga banyak diperlukan pula. Arifin (2009:143) mengemukakan bahwa membaca huruf abjad sebagaimana berbicara, merupakan kemampuan yang produktif dan ekspresif. Perbedaannya, Membaca Huruf Abjad merupakan komunikasi tidak bertatap muka (tidak langsung), sedangkan berbicara merupakan komunikasi tatap muka (langsung). Menurut Alwasilah (2006: 128), kemampuan Membaca Huruf Abjad berhubungan erat dengan membaca kata. Hal ini diakui pula oleh Rahim (2005: 5). Semakin banyak anak membaca huruf abjad, cenderung semakin lancar anak membaca kata. Salah
satu
prinsip
perkembangan
menyatakan
bahwa
perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Proses kematangan adalah terbukanya karakteristik yang secara potensial ada pada individu dan berasal dari warisan genetik (Hurlock, 1991: 28).
15
Beberapa proses belajar berasal dari latihan atau pengulangan suatu tindakan yang nantinya menimbulkan perubahan dalam perilaku (Hurlock, 1991: 29). Kematangan menentukan siap atau tidaknya seseorang untuk belajar, karena betapapun banyaknya rangsangan yang diterima anak, mereka tidak dapat belajar dan menghasilkan perubahan perilaku sampai mereka dinyatakan siap menurut taraf perkembangannya. Havighurst (Hurlock, 1991: 30) menamakan kondisi kesiapan belajar yang ditentukan oleh kematangan ini sebagai teachable moment, atau saat yang tepat bagi anak untuk “diajar”. Menurut Montessori (Hainstock, 2002: 103), masa peka anak untuk belajar membaca dan berhitung berada di usia 4 – 5 tahun, karena di usia ini anak lebih mudah membaca dan mengerti angka. Doman (2005: 44) menyarankan sebaiknya anak mulai belajar membaca di periode usia 1 hingga 5 tahun. Menurutnya, pada masa ini otak anak bagaikan pintu yang terbuka untuk semua informasi, dan anak bisa belajar membaca dengan mudah dan alamiah. Namun menurut Dardjowidjojo (2003: 301), dari segi neurologis pada usia 1 tahun otak baru berkembang 60% dari otak orang dewasa. Di usia ini anak belum dapat mengidentifikasi letak garis lurus dan setengah lingkaran apalagi kombinasinya, maka anak belum mungkin belajar membaca. Dardjowidjojo (2003: 301) kemudian menyebutkan bahwa membaca hanya dapat dilakukan ketika anak sudah memenuhi prasyarat – prasyarat tertentu untuk berbicara. Prasyarat ini antara lain: menguasai
16
sistem fonologis (bunyi), sintaksis (struktur kalimat), dan kemampuan semantik (kaitan makna antar kata). Sementara kesiapan untuk memulai pengajaran membaca tergantung pada kesadaran fonemis. Istilah ini meliputi banyak aspek kepekaan anak terhadap struktur bunyi kata lisan, menentukan kemampuan memetakan bunyi ke simbol yang penting untuk membaca, menulis, dan mengeja. Faktor ini pula yang nantinya menjadi dasar untuk membedakan kemampuan membaca pada anak normal dan pembaca lemah. Pernyataan di atas memberi makna bahwa kematangan sangat berperan dalam menentukan waktu yang tepat hingga anak dinyatakan siap untuk belajar membaca. Anak yang berada pada masa peka untuk belajar membaca akan dengan mudah menerima dan menanggapi rangsangan yang diberikan padanya dalam bentuk huruf, suku kata, kata, atau kalimat. Anak pun akan cepat memberi respon tiap kali stimulus yang sama muncul, dan sebagai hasilnya anak akan menunjukkan perubahan perilaku sebagai indikator keberhasilan proses belajarnya, yang dalam hal ini berarti anak menguasai kemampuan – kemampuan yang diperlukan dalam membaca. Menurut
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(1999:623),
“kemampuan” berarti kesanggupan atau kecakapan. “Membaca” berarti melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, atau mengeja dan melafalkan apa yang tertulis. Petty dan Jensen (dalam Ampuni, 1998:16) menyebutkan bahwa definisi membaca memiliki beberapa prinsip, di
17
antaranya membaca merupakan interpretasi simbol – simbol yang berupa tulisan, dan bahwa membaca adalah mentransfer ide yang disampaikan oleh penulis bacaan. Maka dengan kata lain membaca merupakan aktivitas sejumlah kerja kognitif termasuk persepsi dan rekognisi. Terdapat beberapa tahap dalam proses belajar membaca. Initial reading (membaca permulaan) merupakan tahap kedua dalam membaca. Menurut Depdikbud tahun 1986 (dalam Ayriza, 2005: 85) huruf konsonan yang harus dapat dilafalkan dengan benar untuk membaca permulaan adalah b, d, k, l, m, p, s, dan t. Huruf – huruf ini, ditambah dengan huruf–huruf vokal akan digunakan sebagai indikator kemampuan membaca permulaan, sehingga menjadi a, b, d, e, i, k, l, m, o, p, s, t, dan u. 2.2.2
Tujuan Dan Manfaat Pengajaran Membaca Bagi Anak Usia Dini Pengajaran membaca, menurut Soejono (dalam Lestary, 2004: 12) memiliki tujuan yang memuat beberapa hal yang harus dikuasai anak secara umum, yaitu: a) Mengenalkan anak huruf – huruf dalam abjad sebagai tanda suara atau tanda bunyi, b) Melatih ketrampilan anak untuk mengubah huruf dalam kata menjadi suara, c) Pengetahuan huruf dalam abjad dan ketrampilan menyuarakan wajib untuk dapat dipraktikkan dalam waktu singkat ketika anak belajar membaca lanjut. Menurut (Dhieni, 2008: 53) perkembangan kemampuan membaca untuk anak usia 5-6 tahun di TK bertujuan untuk : 1). Mendeteksi / melacak kemampuan awal membaca
anak yaitu, terdapat anak yang
kemungkinan memiliki keunggulan dalam mengenal bacaan lebih awal
18
sehingga memiliki kapasitas yang lebih dalam pengenalan berbahasa dan membaca, 2). Mengembangkan keterampilan menyimak menyimpulkan n mengkomunikasikan berbagai hal melalui bentuk gambar dan permainan, 3) Melatih kelenturan motorik halus anak melalui berbagai bentuk permainan oleh tangan dalam rangka mempersiapkan anak mampu membaca. Steinberg (Dalam Dhieni 2008: 53) berpendapat mengenai manfaat mengajarkan anak usia dini yaitu: a) Belajar membaca anak usia dini akan memenuhi rasa keingintahuan anak, b) Situasi akrab dan informal di dalam rumah atau sekolah Taman Kanak- Kanak merupakan factor yang kondusif, c) Anak –anak yang berusia dini pada umumnya sangat perasa dan mudah terkesan serta mudah di atur, d) Anak- anak yang berusia dini dapat mempelajari sesuatu dengan mudah dan cepat. Selain itu, anak usia dini juga dapat membentuk pengetahuannya terhadap bahasa secarah lisan dan tulisan ketika belajar membaca. Melalui pengamatan yang menyenagkan terhadap tulisan dan bahasa yang mereka dengarkan pada saat dibacakan cerita, kemampuan berpikir dan berkomunikasinya akan berjalan sejalan dengan pertumbuhannya. 2.2.3 Kesiapan Belajar Membaca Anak Usia Dini Menurut World Book Program (2008) anak akan siap membaca ketika : a) Anak dapat mengenal bentuk- bentuk huruf yang sama ataupun berbeda, b) Anak dapat mengenal bunyi, seperti memperlihatkan kemampuan mereka membuat kata menjadi pentun atau kalimat, c) Anak
19
dapat mengenal kata- kata yang berawalan bunyi spesifik, d) Anak menyadari bahwa proses membaca di mulai dari kiri ke kanan, e) Anak meenyadari bahwa proses membaca di mulai dari atas ke bawah pada setiap halaman, f) Anak dapat memperlihatkan kemampuan mendengar dan mengerti, g) Anak dapat menceritakan apa yang terjadi pada sebuah cerita yang mereka dengarkan, h) Anak dapat mengikuti petunjuk dalam membaca, i) Anak dapat mengenal dan menyebutkan beberapa huruf dalam alphabet 2.2.4 Tahap-tahap membaca untuk Anak Usia Dini Secara khusus menurut (Rahim, 2005: 3), kemampuan membaca pada anak usia dini berlangsung dalam beberapa tahap sebagai berikut: d. Tahap Fantasi (magical stage), Tahap ini anak mulai belajar menggunakan buku, anak berpikir bahwa buku itu penting, membolakbalik buku dan kadang-kadang anak membawa buku kesukaannya. Tahap pertama ini, orang tua atau guru harus menunjukkan model atau contoh tentang perlunya membaca, membacakan sesuatu pada anak, membicarakan buku pada anak. e. Tahap pembentukan konsep diri (self concept stage) Anak memandang dirinya sebagai pembaca, dan mulai melibatkan diri dalam kegiatan membaca, pura-pura membaca buku, memberi makna pada gambar atau pengalaman
sebelumnya dengan buku, menggunakan bahasa buku
meskipun tidak cocok dengan tulisan. Tahap kedua ini, orang tua atau guru harus memberikan rangsangan dengan membacakan sesuatu pada
20
anak. Orang tua atau guru hendaknya memberikan akses pada bukubuku yang diketahui anak-anak, melibatkan anak membacakan berbagai buku, f. Tahap Membaca Gambar (Bridging reading stage) Tahap ini menjadi sadar pada cetakan yang tampak serta dapat menemukan kata yang sudah dikenal, dapat mengungkapakan kata-kata yang memiliki makna dengan dirinya, dapat mengulang kembali cerita yang tertulis, dapat mengenal cetakan kata dari puisi atau lagu yang dikenalnya serta sudah mengenal abjad, g. Tahap pengenalan bacaan (Take-off reader stage) Anak mulai menggunakan tiga sistem isyarat (graphonic, semantik, dasyntactic) secara bersama-sama. Anak tertarik pada bacaan, mulai mengingat kembali cetakan pada konteknya, berusaha mengenal tanda-tanda pada lingkungan serta membaca berbagai tanda seperti kotak susu, pasta gigi, atau papan iklan, h. Tahap Membaca Lancar (Independent reader stage) Tahap ini, anak dapat membaca berbagai jenis buku yang berbeda secara bebas. Menyusun pengertian dari tanda, pengalaman dan isyarat yang dikenalnya dapat membuat perkiraan bahan-bahan bacaan. Bahanbahan yang berhubungan secara langsung dengan pengalaman anak semakin mudah dibaca. Tahap kelima ini, orang tua dan guru masih tetap membacakan berbagai jenis buku pada ana-anak. Tindakan ini akan mendorong agar dapat memperbaiki bacaannya.
21
Membantu menyeleksi bahan-bahan bacaan yang sesuai serta membelajarkan cerita yang berstruktur. Untuk memberikan rangsangan positif terhadap munculnya berbagai potensi keberbahasaan anak diatas, maka permainan dan berbagai alatnya memegang peranan penting. Lingkungan, termasuk didalamnya peranan orangtua dan guru, seharusnya menciptakan berbagai aktivitas bermain sederhana yang memberikan arah dan bimbingan agar berbagai potensi yang tampak akan tumbuh berkembang secara optimal. Berdasarkan kelima tahap di atas penulis menyimpulkan bahwa dalam mengembangkan kemampuan para pendidik untuk mengajarkan anak membaca secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik dari pada melarang anak menyukai pelajaran yang tidak disukai orang tua. Pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan membaca di sekolah. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya yang harus di pertanyakan.