BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pendidikan Anak Usia Dini 2.1.1 Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini Menurut
Christy
Merrick
(2013:32),
„Early
childhood is a critically important time in human development, when biological paths are set that affect lifelong learning and habits’. Carie Green (2013:8) Early childhood is a significant time when children begin to develop their place
identity. As they discover their
environment, young children claim special places in which to construct their own experiences. Menurut Ulfiani Rahman (2009:48) Pendidikan Anak Usia Dini adalah pendidikan yang ditujukan untuk anak usia 3 s/d 6 tahun (PP No. 27/1990 Pasal 6). Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 4 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut
Hartanti
(2010:64)
Konsep
PAUD
pertama di Indonesia dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Kanak-kanaknya. Sistem pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah sistem Among, suatu gabungan antara nature 9
(kodrat) dan nurture (pengasuhan), maksudnya pendidikan Taman Kanak-kanak harus didesain sesuai dengan kodrat anak-anak dan perlahan membimbing anak menuju adab. Menurut Listari Basuki (2012:712) pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah upaya orang dewasa untuk memberikan pendidikan kepada anakanak dan dilaksanakan pada saat anak masih berada pada fase usia prasekolah (0-6 tahun). Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 2.1.2 Pembelajaran Anak Usia Dini Pembelajaran untuk anak usia dini memegang peranan
yang sangat
penting bagi pembentukan
kemampuan dan sikap belajar pada tahap yang lebih lanjut. Dalam suatu pembelajaran peran guru bukan semata-mata memberikan informasi, melainkan juga mengarahkan dan memberi fasilitas belajar (directing and facilitating the learning) agar proses belajar lebih memadai.
Sebagaimana
yang
dikemukakan
oleh
Mohammad Ali (2007) bahwa pembelajaran adalah upaya yang dilakukan guru dalam merekayasa lingkungan agar terjadi belajar pada individu siswa. 10
Konsep pembelajaran menurut Corey (Sagala, 2003) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisikondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi
tertentu,
pembelajaran
merupakan
subset
khusus dari pendidikan. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono ”pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar” (Sagala, 2003). Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 dinyatakan bahwa, ”pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Pembelajaran menurut Sudjana (2000) adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Surya (2004) menyatakan bahwa, pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran sebagai usaha memperoleh perubahan perilaku dalam diri individunya. Menurut Dunkin dan Biddle (Sagala, 2003) proses pembelajaran atau pengajaran kelas (classroom teaching) berada pada empat variabel instruksi yaitu: 11
(1) varibel pertanda (presage variables) berupa pendidik; (2) variabel konteks (context variables) berupa peserta didik, sekolah, dan masyarakat; (3) variabel proses (process variables) berupa interaksi peserta didik dengan pendidik; dan (4) variabel produk (product variables) berupa perkembangan peserta didik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik jika pendidik mempunyai dua kompetensi utama yaitu kompetensi substansi materi pembelajaran dan kompetensi metodologi pembelajaran. Kegiatan pembelajaran di Taman Kanak-kanak didesain untuk memungkinkan anak belajar. Setiap kegiatan harus mencerminkan jiwa bermain, yaitu senang, merdeka, volunter, dan demokratis. Setiap permainan yang diberikan harus diberi muatan pendidikan sehingga anak dapat belajar. Untuk itu guru di Taman Kanak-kanak harus kreatif melihat potensi lingkungan dan mendesain kegiatan pembelajaran yang menyenangkan anak. Adapun
pendekatan
yang
dapat
digunakan
dalam pembelajaran bagi anak usia dini menurut Direktorat PADU (2002: 5) adalah sebagai berikut: 1) Berorientasi pada kebutuhan anak. Kegiatan pembelajaran pada anak usia dini harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan dan gizi yang dilaksanakan secara integratif dan holistik; 2) Belajar melalui bermain. Bermain merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan anak usia dini, dengan mengguna-
12
kan strategi, metode, materi/bahan, dan media yang menarik agar mudah diikuti oleh anak. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi (penjajagan), menemukan, dan memanfaatkan benda-benda di sekitarnya; 3) Kreatif dan inovatif. Proses kreatif dan inovatif dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan menarik, membangkitkan rasa ingin tahu anak, memotivasi anak untuk berpikir kritis, dan menemukan hal-hal baru; 4) Lingkungan yang kondusif. Lingkungan harus diciptakan sedemikian menarik dan menyenangkan, dengan memperhatikan keamanan dan kenyamanan anak dalam bermain; 5) Menggunakan pembelajaran terpadu. Model pembelajaran terpadu yang beranjak dari tema yang menarik anak (center of interest) dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi anak; 6) Mengembangkan keterampilan hidup. Mengembangkan keterampilan hidup melalui pembiasaan-pembiasaan agar mampu menlong diri sendiri (mandiri), disiplin, mampu bersosialisasi, dan memperoleh bekal keterampilan dasar yang berguna untuk kelangsungan hidupnya; 7) Menggunakan berbagai media dan sumber belajar. Media dan sumber belajar dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahanbahan yang sengaja disiapkan; 8) Pembelajaran yang berorientasi pada prinsipprinsip perkembangan anak. Ciri-ciri pembelajaran ini adalah: (a) Anak belajar dengan sebaik-baiknya apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta merasakan aman dan tenteram secara psikologis; (b) Siklus belajar anak selalu berulang, dimulai dari membangun kesadaran, melakukan penjelajahan (eksplorasi), memperoleh penemuan untuk selanjutnya anak dapat menggunakannya; (c) Anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan
13
teman sebayanya; (d) Minat anak dan keingintahuannya memotivasi belajarnya; (e) Perkembangan dan belajar anak harus memperhatikan perbedaan individual; (f) Anak belajar dengan cara dari sederhana ke rumit, dari konkrit ke abstrak, dari gerakan ke verbal, dan dari keakuan ke rasa sosial. 9) Stimulasi terpadu. Pada saat anak melakukan suatu kegiatan, anak dapat mengembangkan beberapa aspek pengembangan sekaligus. Contoh: ketika anak melakukan kegiatan makan, kemampuan yang dikembangkan antara lain bahasa (mengenal kosa kata tentang jenis sayuran dan peralatan makan), motorik halus (memegang sendok dan menyuap makanan ke mulut), daya pikir (membandingkan makan sedikit dengan banyak), sosial-emosional (duduk rapi dan menolong diri sendiri), dan moral (berdoa sebelum dan sesudah makan).
2.1.3 Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini Dengan diberlakukannya UU No. 20 Tahun 2003 maka sistem pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistemik. PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanakkanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD 14
pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Berdasarkan pada ketentuan yang dimuat pada pasal 28 (2), penyelenggaraan PAUD tidak hanya diselenggarakan pada jalur formal, tetapi melalui jalur informal dan non formal seperti kelompok bermain. Pertanyaan yang sering diajukan adalah bagaimana bentuk pelayanannya. Permasalahan yang lebih kritis adalah
jika
orang
tua
harus
dilibatkan
secara
langsung dalam penyelenggaraan PAUD. Permasalahan berkenaan dengan pemahaman orang tua terhadap kondisi
psikologis
dan
perkembangan
fisik
anak
menjadi salah satu hambatan. Di lain pihak, karena kemampuan
ekonomi
yang
berbeda-beda,
maka
keluarga yang kurang mampu secara ekonomis, cenderung diikuti dengan kurangnya perhatian terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendukung penyelenggaraan PAUD di rumah (Unesco dalam Indiarto 2004:4). Dalam
upaya
pembinaan
terhadap
satuan-
satuan PAUD tersebut, diperlukan adanya sebuah kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi anak usia dini yang berlaku secara nasional. Kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi adalah rambu-rambu yang dijadikan acuan dalam penyusunan kurikulum dan silabus (rencana pembelajaran) pada tingkat satuan pendidikan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasi15
onal yang disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan. 2.1.4
Pendidikan Anak Usia Dini Berkarakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan
turunannya,
merupakan
instrumen
untuk mewujudkan pembentukan karakter bangsa Indonesia, termasuk karakter seorang guru Indonesia. Untuk itu, diperlukan suatu pendidikan guru berbasis pada pembangunan karakter bangsa. Tujuan utama pendidikan karakter adalah untuk menumbuhkan karakter warga Negara, baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter publik, misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah,2007:192). Peningkatan kualitas pendidikan diharapkan akan mampu mendongkrak kualitas pendidikan di negeri ini. Namun, kebijakan ini malah justru dikaburkan oleh pandangan sempit bahwa “sertifikasi guru merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan guru”. Dari hal ini, muncul kelompok-kelompok pragmatisme di kalangan para guru, dan menyisihkan kelompok 16
idealisme.
Pandangan
idealisme
dipojokkan
pada
sebuah kenyataan yang tidak sesuai dengan zaman, padahal kelompok idealime ini merupakan agen pembaharu di lingkungan komunitas guru. Gagasan character building sebagai upaya menciptakan guru-guru ideal patut mendapat dukungan semua pihak. Apabila idealisme telah melekat pada pribadi guru, maka ia akan mampu memperbaiki fenomena masyarakat kita yang telah mulai meninggalkan karakter bangsa Indonesia sebagaimana yang dicita-citakan
pembukaan
Undang-undang
Dasar
1945. Konsep Pendidikan Budi Pekerti yang menjadi pemikiran ideal seorang guru ketika ia merasa resah dengan fenomena masyarakat saat ini merupakan landasan bagi pengembangan character building. Pengembangan pendidikan budi pekerti ini seharusnya dibangun terlebih dahulu melalui sebuah kesadaran kolegial setiap guru bahwa ia harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia. Seorang guru ideal ia harus mampu mendidik dirinya (otodidak) untuk selalu menjadi pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat. Konsep kejujuran dan berahlak mulia yang ditanamkan kepada peserta didik, seharusnya telah terlebih dahulu tertanam dalam diri pendidik. Bagaimana jadinya, jika pendidik mengarahkan peserta didik untuk bertindak dan berkata jujur, sedangkan ia tidak memberi contoh untuk bertindak jujur? Guru harus menjadi teladan 17
bagi murid dan masyarakat dalam bertindak dan berkata jujur serta berahlak mulia. 2. Tujuan Pendidikan Karakter Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. DIKTI (2010) menyatakan bahwa secara khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu: 1. Pembentukan dan Pengembangan Potensi Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila. 2. Perbaikan dan Penguatan Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
18
3. Penyaring Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Nilai-nilai pendidikan adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan akurat yang mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. Di antara nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa, ada 18 unsur dan nilai yang mana di antaranya adalah: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat Kebangsaan; (11) Cinta Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat atau Komuniktif; (14) Cinta Damai; (15) Gemar Membaca; (16)
Peduli
Lingkungan;
(17)
Peduli
Sosial,
dan
(18) Tanggung Jawab. Sedangkan menurut Menurut UU No 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa
yang
bermartabat. Ada
9 pilar
pendidikan berkarakter, di antaranya adalah: Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian Kejujuran/amanah dan kearifan Hormat dan santun Dermawan, suka menolong dan gotong royong/ kerjasama 6. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras 7. Kepemimpinan dan keadilan
1. 2. 3. 4. 5.
19
8. Baik dan rendah hati 9. Toleransi kedamaian dan kesatuan
2.2 Manajemen Pembelajaran 2.2.1 Pengertian Manajemen Follet yang dikutip oleh Wijayanti (2008: 1) mengartikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Menurut Stoner yang dikutip oleh Wijayanti (2008: 1) manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya manusia organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Gulick dalam Wijayanti (2008: 1) mendefinisikan manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan (science)
yang
berusaha
secara
sistematis
untuk
memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan dan membuat sistem ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. Terry (2005: 1) memberi pengertian manajemen suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orangorang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata. Hal tersebut meliputi pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan, menetapkan cara bagaimana melakukannya, memahami bagaimana mereka harus melakukannya dan 20
mengukur efektivitas dari usaha-usaha yang telah dilakukan. Dari beberapa definisi yang tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan usaha yang dilakukan secara bersama-sama untuk menentukan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan
pelaksanaan
fungsi-fungsi
perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling). Manajemen merupakan sebuah kegiatan; pelaksanaannya disebut managing dan orang yang melakukannya disebut manager. 2.2.2 Manajemen Pembelajaran Pembelajaran menurut Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2007 adalah suatu proses belajar mengajar dan proses interaksi komunikasi aktif antara siswa dengan guru dalam kegiatan pendidikan. Kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan yang dilakukan siswa dan ada kegiatan yang dilakukan guru yang terjadi secara sinergis. Manajemen pembelajaran terkait dengan penerapan standar proses pembelajaran. Standar ini mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan,
pembelajaran
untuk
terlaksananya 21
proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Manajemen pembelajaran merupakan bagian dari strategi pembelajaran yaitu strategi pengelolaan pembelajaran, (Diknas, 2004:6). Menurut Terry (2010: 9), fungsi manajemen dapat dibagi menjadi empat bagian, yakni planning (perencanaan),
organizing
(pengorganisasian),
actuating (pelaksanaan), dan controlling (pengawasan). Secara umum, ada empat fungsi manajemen yang sering orang menyebutnya “POAC”, yaitu Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling. Dua fungsi yang pertama
dikategorikan
sebagai
kegiatan
mental
sedangkan dua berikutnya dikategorikan sebagai kegiatan fisik. Suatu manajemen bisa dikatakan berhasil jika keempat fungsi di atas bisa dijalankan dengan baik. Kelemahan pada salah satu fungsi manajemen akan mempengaruhi manajemen secara keseluruhan dan mengakibatkan tidak tercapainya proses yang efektif dan efisien. 1. Perencanaan (Planning) Perencanaan tidak lain merupakan kegiatan untuk menetapkan tujuan yang akan dicapai beserta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan Handoko (2005) mengemukakan bahwa: Perencanaan (planning) adalah pemilihan atau penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi, kebijaksanaan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibu-
22
tuhkan untuk mencapai tujuan. Pembuatan keputusan banyak terlibat dalam fungsi ini.
Arti penting perencanaan terutama adalah memberikan kejelasan arah bagi setiap kegiatan, sehingga setiap kegiatan dapat diusahakan dan dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin. Robbin (2001: 3) menyatakan bahwa fungsi perencanaan meliputi menetapkan tujuan organisasi, menetapkan suatu strategi keseluruhan untuk mencapai tujuan dan mengembangkan suatu hirarki rencana yang menyeluruh untuk memadukan dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan. Secara lebih terinci, Suharsimi (2008:9) mengemukakan penjelasan perencanaan dari masing-masing fungsi adalah sebagai berikut: Perencanaan adalah proses mempersiapkan serangkaian pengambilan keputusan untuk dilakukannya tindakan dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan atau tanpa menggunakan
sumber-sumber
yang
ada.
Aspek-aspek
perencanaan meliputi: (a) apa yang akan dilakukan, (b) siapa yang harus melakukan, (c) kapan dilakukan, (d) dimana dilakukan, (e) bagaimana melakukan, dan (f) apa saja yang perlu dilakukan agar tercapai tujuannya secara maksimal. 2. Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian
pada
dasarnya
merupakan
upaya untuk melengkapi rencana-rencana yang telah 23
dibuat dengan susunan organisasi pelaksananya. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengorganisasian adalah bahwa setiap kegiatan harus jelas siapa yang mengerjakan, kapan dikerjakan, dan apa targetnya. Suharsimi (2008: 10) menyatakan bahwa pengorganisasian adalah usaha untuk mewujudkan kerjasama antar manusia yang terlibat kerjasama. Suatu keseluruhan proses pengelompokan orang, alat-alat, tugas, tanggung jawab atau wewenang sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai satu kesatuan dalam rangka mencapai tujuan. Pada pokoknya pengorganisasian adalah proses pembagian kerja, sistem kerja sama, sistem hubungan antar personal yang terlibat dalam suatu organisasi. Menurut Suharsimi (2008:11) pengorganisasian adalah pembagian tugas atau pekerjaan, pembidangan, pengunitan, yaitu: macam dan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan, banyaknya orang yang terlibat dalam organisasi, dan kemampuan, minat, bakat yang berbeda terhadap pekerjaan. 3. Pelaksanaan (actuating) Pelaksanaan (actuating) tidak lain merupakan upaya untuk menjadikan perencanaan menjadi Kenyataan, dengan melalui berbagai pengarahan dan pemotivasian agar setiap karyawan dapat melaksanakan kegiatan secara optimal sesuai dengan peran, tugas dan tanggung jawabnya. 24
Menurut Terry (2011: 20), actuating adalah usaha untuk menggerakkan anggota-anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Dalam suatu lembaga, kalau hanya ada perencanaan atau organisasi saja tidak cukup. Untuk itu dibutuhkan tindakan atau actuating yang konkrit yang dapat menimbulkan action. 4. Pengawasan (Controlling) Pengawasan
(controlling)
merupakan
fungsi
manajemen yang tidak kalah pentingnya dalam suatu organisasi. Semua fungsi terdahulu, tidak akan efektif tanpa disertai fungsi pengawasan. Sementara itu, Robert J. Mocker sebagaimana disampaikan oleh Handoko (2005: 25) mengemukakan definisi pengawasan yang di dalamnya memuat unsur esensial proses pengawasan, bahwa: “Pengawasan manajemen adalah suatu usaha
sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan–tujuan perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan-penyimpangan, serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan dipergunakan dengan cara paling efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan-tujuan perusahaan.”
25
2.3 Penelitian yang Relevan Nirmala,
Dwiputri
(2012)
dengan
penelitian
berjudul “Pelaksanaan Pendidikan Karakter pada Anak Usia Dini di Lembaga PAUD Yayasan Taman Asuh Anak Terpadu (TAAT) Qurrota A‟yun Malan)”. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: (1) Tujuan dari pendidikan karakter di lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A‟yun yaitu menanamkan nilai religious sejak dini sebagai fondasi terbentuknya nilai-nilai karakter yang lain. Menggali bakat dan minat peserta didik, menumbuhkan wawasan yang luas melalui eksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap dibarengi dengan IMTAQ; (2) Metode yang digunakan cukup beragam namun yang paling dominan yaitu metode keteladanan, mendongeng, bernyanyi, bermain dan metode demonstrasi; (3) Media yang digunakan telah memenuhi kriteria media pembelajaran untuk anak usia dini; (4) Materi pendidikan karakter mengandung nilai-nilai karakter yang menjadi prioritas utama dalam pengembangan nilai karakter terhadap anak; (5) Peran pendidik telah sesuai dengan kriteia pendidikan anak usia dini dan tergolong sangat baik; (6) Lingkungan belajar yang menjadi perhatian bukan hanya lingkungan yang bersifat fisik namun lingkungan belajar yang bersifat non fisik; (7) Evaluasi pendidikan karakter meliputi, indikator karakter yang dikembangkan dan tingkat efektivitas proses pembelajaran yang dialami oleh anak; (8) Hambatan yang dialami oleh lembaga PAUD Yayasan TAAT Qurrota A‟yun yaitu masalah sarana dan prasarana serta kualitas sumber daya manusia, sehingga diperlukan solusi yang tepat dan efektif untuk mengatasi hambatan tersebut.
Dindin Jamaluddin (2013), Character Education in Islamic Perspective. Tujuan artikel ini adalah untuk menjelaskan pendidikan karakter dalam perspektif 26
Islam sebagai kehidupan dasar manusia. Metode analisis yang digunakan adalah studi literatur disandingkan dengan fenomena aktual yang terjadi pada masyarakat. Analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk kurikulum pendidikan nasional yang dilaksanakan. Parker, Neuharth-Pritchett (2006), dengan judul Developmentally Appropriate Practices in Kindergarten: Factors Shaping Teacher Beliefs and Practice, meneliti masalah tentang penentuan jenis pengajaran anak usia dini yang tepat (pembelajaran berpusat guru dan pembelajaran berpusat siswa) dan pengaruh ketentuan DAP
(Developmentally
Appropriate
Practices)
pada
prestasi anak usia dini. Tujuan penelitian ini adalah agar memberikan kejelasan kepada guru apakah akan menggunakan DAP pembelajaran berpusat siswa atau pembelajaran berpusat guru. Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara DAP dengan tingkat prestasi, motivasi dan tekanan dalam pembelajaran. Keterlibatan program DAP berhubungan positif dengan prestasi siswa nantinya. Keterlibatan program DAP memberi harapan yang lebih tinggi pada kesuksesan anak di sekolah. Tekanan untuk menyiapkan siswa untuk tingkat selanjutnya meningkat seperti guru-guru berpindah spektrum dari pembelajaran berpusat guru ke pembelajaran berpusat siswa. Meningkatnya penggunaan pembelajaran berpusat siswa, DAP berhubungan dengan kebebasan untuk membuat keputusan pembelajaran. Beberapa guru, 27
bagaimana pun jenis praktik pembelajaran yang digunakan di kelas, mereka merasa bahwa siswa-siswanya berhasil dengan menerapkan pembelajaran berpusat siswa. Logue (2007), Early Childhood Learning Standart: Tools for Promoting Social and Academic Succes in Kindergarten, meneliti tentang pedoman standar pendidikan anak usia dini. Yang dihasilkan dalam penelitian ini antara lain adalah bahwa standart pendidikan anak usia dini dirancang untuk bersatu dan membangun menuju standar untuk pendidikan K-12 (yang diidentifikasi sebagai pengetahuan dan keahlian yang diperlukan untuk menyiapkan anak usia dini sekolah dan memberi mereka sarana yang diperlukan untuk kesuksesan sosial, emosional, fisik dan intelegensi) merupakan sumber-sumber yang belum dimanfaatkan untuk pekerja sekolah sosial dan personel Taman Kanak-kanak. Standar pendidikan anak usia dini, dengan memadukan sekolah dan cita-cita pembelajaran
akademik,
menyediakan
guru-guru
dan
pekerja sosial yang bertujuan mempromosikan kolaborasi pra TK dan TK. Standar pendidikan anak usia dini dapat meningkatkan mutu pengalaman anakanak pra TK untuk anak
2.4 Kerangka Pikir Peneliti Pendidikan bagi anak usia dini tidak hanya berfungsi 28
untuk
memberikan
pengalaman
belajar
seperti pendidikan orang dewasa, namun juga berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan kecerdasannya, sikap moral, sosial dan emosionalnya. Dalam pendidikan anak usia dini, nilai-nilai karakter yang dipandang sangat penting dikenalkan dan diinternalisasikan ke dalam perilaku mereka mencakup: kecintaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kejujuran, disiplin, toleransi dan cinta damai, percaya diri, mandiri, tolong menolong, kerjasama, dan gotongroyong, hormat dan sopan santun, tanggung jawab, kerja keras, kepemimpinan dan keadilan, kreatif, rendah hati, peduli lingkungan, cinta bangsa dan Tanah Air. PAUD Nurul Wathon di Semarang merupakan suatu lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan anak usia dini. Manajemen pembelajaran terkait dengan
penerapan
standar
proses
pembelajaran.
Standar ini mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan, pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
29
Perencanaan
Pelaksanaan
Manajemen Pembelajaran PAUD berbasis Karakter
30
Evaluasi