BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Kajian Teoretis
2.1.1 Pengertian Kemampuan Kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan seseorang dalam melakukan kegiatan. Semiawan (2001:1) mengemukakan bahwa kemampuan adalah daya untuk suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Menurut Smeth (2004:150) istilah kemampuan didefinisikan dalam arti apa yang diharapkan di tempat kerja, dan merujuk pada pengetahuan, keahlian, dan sikap yang dalam penerapannya harus konsisten dan sesuai standar kinerja yang dipersyaratkan dalam pekerjaan. Ada tiga komponen penting yang tidak tampak dalam kemampuan diri manusia yaitu; keterampilannya, kemampuannya dan etos kerjanya. (Gomes, 2005:6). Tanpa ketiganya, semua sumber daya tetap terpendam, tidak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka. Dari ketiga komponen yang tidak kelihatan tersebut memang berada dalam diri manusia, tersimpan dalam bentuk kemampuan insani operasional (operational human abilities). Sebagaimana digambarkan sebagai berikut: Lowler dan Porter (dalam Hasibuan, 2001:61) mendefinisikan kemampuan (ability) sebagai karakterisik individual seperti intelegensia, manual skill, traits yang merupakan kekuatan potensial seseorang untuk berbuat dan sifatnya stabil. Selain itu kemampuan dinyatakan sebagai seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
8
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Mendiknas, 045/U/2002 dalam Indrayanto, 2004:127). Kemampuan pada individu tersebut paling tidak ditentukan oleh tiga aspek kondisi dasar yaitu; kondisi sensoris dan kognitif, pengetahuan tentang cara respon yang benar, dan kemampuan melaksanakan respon tersebut. Jadi kemampuan (ability) merupakan suatu potensi untuk melakukan sesuatu. Atau dengan kata lain kemampuan (ability) adalah what one can do dan bukanlah what he does do (Hersey, 2002:60). 2.1.2 Pengertian Karakter Menurut Muda (2006: 291) Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerrti yang menjadi ciri khas orang. Karakter meliputi kualitat keseluruhan dari seseorang. Kualitat itu akan nampak dalam cara-caranya berbuat, cara-caranya berfikir, cara-caranya mengeluarkan pendapat, sikapnya, minatnya, filsafat hidupnya dan kepercayaannya. Karakter merupakan keseluruhan dari reaksi psikologis dan sosial dari suatu individu, sintesa dari kehidupan emosional dan kehidupannya, tingkah laku dan reaksinya terhadap lingkungannya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter adalh sifat-sifat yang terdapat dalam jiwa seseorang dan menjadi cirri khas dari seseorang. Karakter merupakan keseluruhan dari rekasi psikologis dalam diri seseorang. 2.1.3 Macam-Macam Karakter Karakter merupakan ciri-ciri khusus yang melekat pada diri seseorang. Karakter memiliki berbagai macam diantaranya. Menurut Zulkifli (2007: 1-2) Macam-macam karakter sebagai berikut:
1. Karakter dilihat aspek kognitif (pengenalan),yaitu pemikiran, ingatan, khayalan, daya bayang, inisiatif, kreativitas, pengamatan dan penginderaan. Fungsi aspek kognitif adalah menunjukkan jalan mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku. 2. Karakter dilihat aspek afektif, yaitu bagian kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan alam perasaan atau emosi. Sedangkan hasrat, kehendak, kemauan, keinginan ,kebutuhan, ,dorongan, dan elemen motivasi lainnya disebut aspek konatif atau psiko-motorik (kecenderungan atau niat tindak) yang tidak dapat dipisahkan dengan aspek afektif. Kedua aspek itu sering disebut aspek finalis yang berfungsi sebagai energi atau tenaga mental yang menyebabkan manusia bertingkah laku. 3. Karakter dilihat aspek motorik yang berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku manusia seperti perbuatan dan gerakan jasmaniah lainnya. Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa macam-macam karakter dapat dilihat dari aspek kognitif, afektif, dan aspek motorik. 2.1.4
Hakekat Bercerita Bercerita berasal dari kata cerita. Cerita adalah jenis sastra yang ditulis dan
ditertibkan untuk anak atau lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Kata cerita mengacu pada suatu yang diungkapkan dalam aktivitas bercerita. Takdioratun (2005:1) mengatakan bahwa pengertian cerita yaitu: (1) tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal peristiwa, kejadian dan sebagainya; (2) karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman penderitaan orang, kejadian dan sebagainya, baik sungguh-sungguh maupun rekaan belaka; (3)
Lakon yang diwujudkan atau dipertunjukan dan digambar hidup seperti sandiwara, wayang, dan sebagainya. Pengertian bercerita menurut Yusi (2003:40) adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa, berpikir logis, pengaturan diri, pertimbangan memori yang mendalam, pertimbangan perilaku serta pola umum dan makna cerita, karakter, ide, konsep logis dan peristiwa penting yang bermanfaat. Sedangkan menurut Hurlock (2003:2) bahwa bercerita adalah salah satu dari beberapa bidang kreativitas yang tidak saja membantu anak melakukan penyesusaian sosial yang baik namu bercerita juga membantu mereka melatih pribadi yang baik, membantu anak melakukan penyesuaian sosial yang baik, membantu siswa melatih pribadi yang baik, membantu siswa meningkatkan wawasan diri dengan mengetahui bagaimana reaksi orang lain terhadapnya dan caranya bercerita. Bercerita adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang secara lisan kepada orang lain dengan alat atau tanpa alat tentang apa yang harus disampaikan dalam bentuk pesan, informasi atau hanya sebuah dongeng yang untuk didengarkan dengan rasa menyenangkan, oleh karena orang menyajikan cerita tersebut menyampaikannya dengan menarik. Hendrikus dalam Winangsih (2005:9) mengatakan bahwa bercerita adalah proses pengalihan makna antar pribadi manusia atau tukar menukar berita dalam sistem informasi. Dijelaskan pula bahwa bercerita adalah suatu proses hubungan antara manusia, yaitu terjadinya penyampaian pesan (anjuran atau pembeberan lambang) bahan-bahan yang mengandung arti.
Mulyana (2005:61) mengkategorikan definisi-definisi tentang bercerita dalam tiga konseptual yaitu bercerita sebagai tindakan satu arah, bercerita sebagai interaksi dan bercerita sebagai transaksi. Dikatakan pula oleh Mulyana (2005:62) bahwa bercerita sebagai tindakan satu arah memiliki pengertian bahwa suatu pemahaman cerita sebagai penyampaian pesan searah dari seseorang (atau lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Bercerita
sebagai
interaksi,
merupakan
suatu
pandangan
yang
menyetarakan cerita dengan suatu proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya bergantian. Seseorang menyampaikan pesan, baik verbal atau nonverbal, seorang penerima bereaksi dengan memberi jawaban verbal atau nonverbal, kemudian orang pertama bereaksi lagi setelah menerima respon atau umpan balik dari orang kedua, dan begitu seterusnya (Mulyana, 2005:62). Bercerita sebagai transaksi merupakan pandangan yang menyatakan bahwa kegiatan bercerita adalah proses yang dinamis yang secara sinambungan mengubah phak-pihak yang bercerita. Berdasrkan pandangan ini, maka orangorang yang bercerita dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar pesan verbal dan atau pesan nonverbal (Mulyana, 2005:62). Menurut Irawan (2007:1) bahwa bercerita adalah proses komunikasi yang melibatkan maklum-balas menggunakan percakapan untuk menyampaikan maklumat lengkap kepada penerima. Sedangkan menurut Sunandar (2008:2)
bahwa bercerita adalah komunikasi dalam bentuk percakapan atau tertulis. Setiap orang dalam suatu komunitas secara verbal dalam menyampaikan pesan atau informasi. Kegiatan bercerita dilakukan dengan menggunakan kata-kata untuk menyatakan ide. Gaya dalam berkomunikasi disesuaikan dengan situasi dan lawan bicara.\ 2.1.5
Unsur-Unsur Cerita Anak Dalam suatu cerita terdapat unsur-unsur cerita, sebagaimana pendaoat dari
Amiruddin (2003:23) bahwa unsur-unsur cerita mencakup beberapa hal berikut. a. Tokoh dan penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam cerita. Tokoh adalah pelaku yang mengmban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.Tokoh-tokoh dalam cerita perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan batinnya agar watak juga di kenal oleh pembaca. Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokoh cerita baik keadaan lahir dan batin yang berupa pandangan hidup, sikap, keyakinan, adat istiadat dan sebagainya. b. Latar atau seting Latar atau seting yaitu tempat ,petunjuk,pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya satra. Tidak semua jenis latar cerita selalu ada dalam sebuah cerita.Mungkin dalam sebuah cerita/latar yang mononjol atau latar dan waktu.
c. Alur atau Plot Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalinsuatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku/tokoh cerita. Dalam alur terdapat serangkaian peristiwa dari awal sampai akhir, yang terbagi atas : (1) pengenalan tahap peristiwa dalam suatu cerita yang mengenalkan tokoh- tokoh atau latar cerita, (2) konflik, adalah ketegangan atau pertikaian antara dua kepentingan dalam cerita (3) klimaks adalah titik akhir dalam konflik, (4) leraian adalah bagian struktur setelah tercapai klimaks, (5) selesaian merupakan tahap akhir dalam sebuah cerita. d. Tema dan Amanat Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita yang berperan sebagai dasar bagi pengarang dalam memaparkan karya fiksi. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra. Pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat, di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat. 2.1.6 Cara-Cara Bercerita Menurut Amirudin (2003:24) bahwa ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar siswa dapat bercerita dengan baik yakni : a. Menentukan cerita yang disukai b. Membaca berulang kali cerita itu sehingga isi cerita dapat dipahami dengan baik c. Melakukan latihan bercerita dengan memperhatikan nada, tempo, jeda, perubahan wajah, mimik, dan lafal secara tepat
d. Memperhatikan urutan cerita yang logis dalam cerita serta menggunakan bahasa menarik dan menyenangkan. Sehubungan dengan teori di atas dapat dikatakan bahwa cara bercerita diawali dengan menentukan cerita yang akan disampaikan, memahami cerita yang akan disampaikan dan menyampaikan cerita dengan intonasi, mimik dan bahasa yang menyenangkan. Menurut Prihadi (2010:1) bahwa cara-cara bercerita meliputi beberapa hal sebagai berikut. a. Membaca keras, ini adalah cara termudah dalam bercerita, yaitu menggunakan cerita yang sudah ada. Kita tinggal membacakannya Boleh kita baca dulu agar selanjutnya lebih lancar. Cerita yang sudah dikemas dengan gaya bahasa bertutur akan mempermudah. Tapi cerita yang terdapat di buku biasanya butuh dikelola ulang agar bisa dibacakan dengan enak. Nah, berarti kita butuh cara membaca yang menarik. b. Gerak tanpa suara, cara bercerita seperti ini seperti berpantomim. Cara seperti ini memang tidak lumrah. Namun karena tidak lumrah itu, biasanya anak tertarik memperhatikannya. Di sisi lain, karena tidak biasa, maka kita perlu tahu bagaimana caranya. c. Mendayagunakan diri secara total. cara bercerita ini yang biasanya dilakukan oleh kebanyakan kita dan para profesional. Bercerita dengan cara ini menggunakan bahasa verbal dan nonverbal secara total. Menyelaraskan apa yang kita ucapkan dengan ekspresi dan gestur adalah kuncinya. Namun, bagaimana melakukan cara ini dengan baik.
Langkah-langkah bercerita menurut Prihadi (2010:1) meliputi beberapa hal yakni : menentukan topik, menyusun kerangka cerita, mengembangkan kerangka cerita, menyusun teks cerita. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bercerita: keruntutan cerita, alur cerita disampaikan haruslah runtut, cerita disampaikan denganm urutan yang baik, sehingga pendengar akan mudah memahami isi cerita, harus menggunakan suara, lafal, intonasi, gestur dan mimik yang tepat agar pendengar tertarik pada cerita yang disampaikan. Suara yang jelas maksudnya suara yang dikeluarkan terdengar jelas di telinga pendengar. Lafal adalah cara seseorang mengucapkan bunyi bahasa. Intonasi merupakan tinggi rendah/keras lembutnya suara. Gestur dan mimik, gestur adalah gerakan badan yang digunakan dalam bercerita. Kalian dapat menggunakan gerak tangan, kepala, maupun badan untuk mempertegas isi cerita. Adapun mimik adalah ekspresi wajah (air muka) untuk menunjukkan perasaan yang terkandung. 2.1.7 Tujuan dan Manfaat Bercerita Tujuan bercerita adalah agar siswa mampu mendengarkan dengan seksama terhadap apa yang disampaikan pada siswa lain, siswa dapat bertanya apabila tidak memahaminya, siswa dapat menjawab pertanyaan, selanjutnya siswa dapat mengidentifikasi dan mengekspresikan terhadap apa yang didengarkan dan diceritakannya, sehingga hikmah dari isi cerita dapat dipahami dan lambat laun didengarkan, diperhatikan, dilaksanakan dan diceritakannya pada orang lain. Menurut Fatimah (2008:23) bahwa ada beberapa tujuan bercerita yakni sebagai media untuk menyampaikan peran moral, sebagai sarana pendidikan emosi bagi siswa, sebagai sarana pendidikan fantasi, imajinasi dan kreatifitas
siswa, sebagai sarana pendidikan bahasa siswa, sebagai sarana pendidikan daya pikir siswa, sebagai sarana memberikan pengalaman batin dan hasanah pengetahuan siswa dan sebagai sarana hiburan dan pencegahan kejenuhan. Manfaat kegiatan bercerita terdiri dalam beberapa kategori. Menurut Mulyana (2005:63) bahwa kategori manfaat bercerita dibagi menjadi empat, yaitu bercerita secara sosial, bercerita secara ekspresif, bercerita secara ritual dan bercerita secara instrumental. Manfaat bercerita sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa kegiatan bercerita itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat cerita yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui kegiatan bercerita kita bekerja sama dengan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Manfaat kegiatan bercerita secara ekspresif yakni untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama diceritakan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal (Mulyana, 2005:64). Dijelaskan pula oleh Mulyana (2005:63) bahwa manfaat kegiatan bercerita instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga
menghibur. Sebagai instrumen, cerita tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Kegiatan bercerita bermanfaat sebagi instrumen untuk mencapai tujuantujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang.
Tujuan
jangka
pendek
misalnya
untuk
memperoleh
pujian,
menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan. Berkenaan dengan manfaat kegiatan bercerita ini, terdapat beberapa pendapat dari para ilmuwan yang bila dicermati saling melengkapi, misalnya pendapat Effendy (2006:10), bahwa manfaat kegiatan bercerita adalah menyampaikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Dijelaskan pula oleh Nuruddin (dalam Effendy, 2006:12) bahwa manfaat bercerita yakni untuk penjajagan/pengawasan lingkungan (surveillance of the information) yakni penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai masyarakat, menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya; dan menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Musfiroh (2005:83) bahwa manfaat bercerita antara lain untuk mengasah imajinasi siswa, mengembangkan aspek sosial emosi, mengembangkan kemampuan
berbahasa,
mengembangkan
aspek
moral,
mengembangkan
kesadaran beragama, menumbuhkan semangat berprestasi dan melatih konsentrasi siswa. 2.1.8
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Model jigsaw merupakan strategi yang menarik untuk digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar sekaligus mengajarkan kepada orang lain (Zaini. 2005:59). Menurut Asma (2006) bahwa model pembelajaran jigsaw adalah sebuah tehnik pembelajaran kooperatif dimana siswa, bukan guru, yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam pelaksanaan pembelajaran. Adapun tujuan dari medel pembelajaran jigsaw ini adalah untuk mengembangkan kerja tim, ketrampilan belajar kooperatif, dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh bila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian. b. Langkah-Langkah Model Jigsaw Suprijono (2009:89) menjelaskan bahwa pembelejaran model jigsaw diawali dengan pengenalan topik yang akan dibahas oleh guru. Kemudian guru menanyakan kepada peserta didik apa yang mereka ketahui mengenai topik
tersebut. Kegiatan sumbang saran ini dimaksudkan untuk mengaktifkan schemata atau struktur kognitif peserta didik agar lebih siap menghadapi kegiatan pelajaran yang baru. Selanjutnya guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok-kelompok lebih kecil. Jumlah kelompok bergantung pada jumlah konsep yang terdapat pada topik yang dipelajari. Setelah kelompok asal tersebut terbentuk, guru membagikan materi tekstual kepada tiap-tiap kelompok. Setiap orang dalam setiap kelompok bertanggung jawab mempelajari materi tekstual yang diterimanya dari guru. Sesi berikutnya membentuk kelompok ahli. Jumlah kelompok ahli diatur sedemikian rupa yang berasal dari masing-masing kelompok asal. Kelompok ahli setelah terbentuk diberikan kesempatan kepada mereka untuk
berdiskusi. Melalui diskusi di kelompok ahli diharapkan mereka
memahami topik model pelajaran. Setelah diskusi kelompok ahli selesai, selanjutnya peserta didik kembai ke kelompok asal dan mendiskusikan pengetahuan yang mereka dapatkan dari kelompok ahli. Setel;ah semua langkah dilaksanakan, guru menutup pembelajaran dengan memberikan review terhadap topik yang dipelajari. c. Keunggulan dan Kelemahan Model Jigsaw Model jigsaw dapat pengelompokkan homogen maupun pengelompokkan heterogen. Namun kedua cara ini memiliki keunggulan dan kelemahan (Sunarto, 2009:2).
Kelebihan
model
jigsaw
yakni
pengelompokan
semacam
ini
memungkinkan peserta berbagi perspektif yang berbeda tantang bacaan yang sama, yang secara potensial diakibatkan oleh pemahaman yang lebih mendalam
terhadap salah satu bab. Potensi yang lebih besar untuk memunculkan proses analisis daripada hanya sekedar narasi sederhana. Memungkinkan “peer instruction” dan pengumpulan pengetahuan, memberikan peserta informasi dari bab-bab yang tidak mereka baca. Sedangkan kekurangan model jigsaw yakni fokusnya sempit (satu bab) dan kemungkinan akan berlebihan. Selain itu apabila satu peserta tidak membaca tugasnya, informasi tersebut tidak dapat dibagi/didiskusikan. Potensi untuk pembelajaran yang naratif (bukan interpretatif) dalam berbagi informasi. Menurut Hasmiati dkk. (2008) bahwa kelebihan model jigsaw adalah (a) meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. (b) Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain, sehingga pengetahuannya jadi bertambah. (c) Meningkatkan bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan Dijelaskan pula oleh Hasmiati dkk. (2008) bahwa kekurangan model jigsaw adalah (a) jika guru tidak mengingatkan agar siswa selalu menggunakan keterampilan-keterampilan kooperatif dalam kelompok masing-masing maka dikhawatirkan kelompok akan macet dalam pelaksanaan diskusi. (b) Jika jumlah anggota kelompok kurang akan menimbulkan masalah. (c) Membutuhkan waktu yang lebih lama, apalagi bila penataan ruang belum terkondisi dengan baik sehingga perlu waktu untuk merubah posisi yang dapat menimbulkan kegaduhan.
2.1.9 Langkah-langkah Mengidentifikasi Karakter Tokoh Dalam Cerita Melalui Metode Jigsaw Dijelaskan
pula
oleh
Zaini
(2005:59)
bahwa
langkah-langkah
mengidentifikasi karakter tokoh dalam cerita melalui metode jigsaw yakni: a) Pilihlah materi pelajaran yang dapat dibagi menjadi beberapa segmen (bagian). b) Bagilah siswa menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah segmen yang ada. c) Setiap kelompok mendapat tugas membaca dan memahami materi pelajaran yang berbeda-beda. d) Setiap kelompok mengirimkan anggotanya ke kelompok lain untuk menyampaikan apa yang telah mereka pelajari di kelompok. e) Kembalikan suasana kelas seperti semula kemudian tanyakan sekiranya ada persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam kelompok. f) Sampaikan
beberapa
pertanyaan
kepada
siswa
untuk
mengecek
pemahaman mereka terhadap materi. 2.2
Kajian Penelitian yang Relevan Kajian penelitian yang relevan dengan penelitian ini diantaranya adalah
hasil penelitian dari Holifatul Fitri (2012) yang berjudul ”Penerapan Media Permainan Monopoli untuk Meningkatkan Kemampuan Mengidentifikasi Unsur Cerita Pada Siswa Kelas VI SDN Karangbesuki I Malang”. Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan media permainan monopoli mampu meningkatkan proses mengidentifikasi unsur cerita yang meliputi tokoh, watak, latar, tema dan amanan cerita. Pada aspek
mengidentifikasi tokoh cerita terjadi peningkatan yang semula 64% pada pratindakan menjadi 70% di siklus I dan menjadi 90% di siklus II. Aspek mengidentifikasi watak tokoh mengalami peningkatan yang awalnya 54% pada pratindakan menjadi 71% pada siklus I dan meningkat menjadi 88% pada siklus II. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa penggunaan media permainan monopoli mampu meningkatkan kemampuan siswa mengidentifikasi unsur cerita pada siswa kelas VI SDN Karangbesuki 1 Malang. Hasil penelitan dari Holifatul Fitri (2012) memiliki persamaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan yakni pada kompentensi yang akan ditingkatkan namun metode pembelajaran yang digunakan berbeda. Pada penelitian sebelumnya menggunakan metode permainan monopoli dan pada penelitian yang akan dilaksanakan menggunakan metode jigsaw. Selain penelitian di atas, ada juga kajian relevan lainnya dari Dwika Wulandari (2011) yang berjudul ”Kemampuan Mengidentifikasi Tokoh, Watak, Latar, Tema dan Amanat dari Cerita Anak yang Dibacakan Pada Siswa Kelas VI SDN 10 Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh”. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa SD yakni kemampuan dalam mengidentifikasi unsurunsur karya sastra, dimana cerita anak merupakan salah satu unsur karya sastra yang dipelajari pada sisswa kelas VI Sekolah Dasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata kemampuan siswa kelas VI SDN 10 Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh dalam mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema atau amanat cerita anak yang dibacakan yaitu sebesar 75.83%. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan siswa kelas VI SDN 10 Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh dalam mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema atau amanat cerita anak yang dibacakan tergolong baik. Penelitian yang dilaksanakan oleh Dwika Wulandari (2011) memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilaksanakan oleh penulis yakni pada variabel penelitian yakni mengidentifikasi tokoh, watak, latar, tema atau amanat cerita anak. Sedangkan perbedaannya dengan penelitian yang akan dilaksanakan terletak pada jenis penelitiannya dan subyek penelitian. Penelitian sebelumnya berbentuk kualitatif sedangkan penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK). 2.3
Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori sebelumnya maka hipotesis yang dapat diajukan
yakni “jika guru menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw maka kemampuan mengidentifikasi tokoh dalam cerita pada siswa kelas V SDN 8 Telaga Kabupaten Gorontalo dapat ditingkatkan”.
2.4
Indikator Kinerja Indikator
kinerja
keberhasilan
dalam
penelitian
ini
adalah
dapat
meningkatkan kemampuan mengidentifikasi karakter tokoh dalam cerita melalui model pembelajaran jigsaw pada siswa kelas V SDN 8 Telaga Kabupaten Gorontalo yang mendapat nilai 70 keatas