BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Peradilan Agama 1. Pengertian Peradilan Agama Dalam pengkajian tentang Peradilan Agama di Indonesia dan peradilan pada umumnya, terdapat berbagai kata atau istilah khusus, di antara peradilan dan pengadilan. Peradilan dan pengadilan merupakan dua istilah dari kata dasar yang sama tetapi memiliki pengertian yang berbeda. Jaih Mubarok (2004:2) mengemukakan bahwa: Peradilan merupakan salah satu pranata dalam menegakkan hukum dan keadilan, yang mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan pengadilan merupakan satuan organisasi yang menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan tersebut. Sedangkan menurut UU No. 7 tahun 1989 (dalam Zain Badjeber dkk, 1983:3) dijelaskan perbedaan peradilan dan pengadilan yaitu bab 1 pasal 1 sebagai berikut: “Peradilan agama adalah peradilan bagi orang beragama Islam, sedangkan pengadilan adalah pengadilan agama dan Pengadilan Tinggi Agama di lingkungan Peradilan Agama”. Sama hal nya dengan pernyataan Idris Ramulyo (1991:15) bahwa “Pengadilan Agama itu khusus diperuntukkan terhadap orang yang beragama Islam” (peradilan terhadap orang yang beragama Islam). Menurut Cik Hasan Bisri (dalam Jaih Mubarok, 2004:2) mengatakan bahwa “Peradilan adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan Negara yang dimaksud adalah kekuasaan kehakiman yang Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
21
memiliki kebebasan dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya. Sedangkan pengadilan adalah penyelenggara peradilan, atau dengan kata lain, pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu di antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat umum untuk semua jenis perkara (general jurisdiction), sedangkan peradilan Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan dengan yurisdiksi khusus (special jurisdiction). Dikatakan peradilan khusus karena ketiga peradilan tersebut mengadili perkara-perkara tertentu seperti peradilan Agama. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam. Cik Hasan Bisri (1997-44) menyatakan bahwa dalam ketentuan pasal 2 UU No.7 tahun 1989 tertulis sebagai berikut: Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undnag ini. Sedangkan yang diatur dalam Undang-undang tersebut antara lain dalam pasal 49 ayat 1: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam c. Wakaf dan shadaqoh. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
22
Ketentuan pasal 49 ayat 1 sama dengan penjelasan umum butir 2 alinea ketiga yang dinyatakan bahwa kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama secara garis besar meliputi perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Hal itu menunjukkan bahwa hukum Islam dalam bidang keluarga merupakan hukum positif di Indonesia, khususnya bagi orang-orang yang beragama Islam, dan penegakkan hukum positif itu menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding) adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung (MA). Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu di antara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Cik Hasan Bisri (1997: 36) Perbedaan istilah Pengadilan agama dan Peradilan Agama adalah: Peradilan merupakan salah satu pranata (institution) dalam memenuhi hajat hidup masyarakat dalam menegakkan hukum dan keadilan yang mengacu pada hukum yang berlaku. Sedangkan Pengadilan merupakan suatu organisasi yang menyelenggarakan penegakkan hukum dan keadilan Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan. Sedangkan menurut Bahder Johan Nasution (1992: 1) berpendapat bahwa Peradilan Agama merupakan alat kelengkapan dalam pelaksanaan hukum, oleh
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
23
karena itu Peradilan Agama Islam bagi umat Islam Indonesia merupakan alat kelengkapan pelaksana hukum Islam itu sendiri. Berdasarkan penjelasan di atas, pengertian Peradilan Agama dapat dirumuskan sebagai kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pada pernyataan di atas yang dimaksud dengan kekuasaan negara adalah kekuasaan hakim sedangkan yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu dalm Peradilan Agama adalah perkara-perkara dalm bidang perkawinan, wasitat, hibah, dan shodaqoh yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan Pengadilan Agama adalh pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan Peradilan Agama. Hal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama adalah satuan atau unit penyelenggara satuan Peradilan Agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan ingkat kedua (banding) adalah Pengadilan Tinggi Agama. Dengan perkataan lain, pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan. 2. Tujuan Undang-undang Peradilan Agama M. Yahya Harahap (2003: 8) menyatakan bahwa tujuan kelahiran Undangundang Peradilan Agama bukan semata-mata dalam rangka pembangunan dan pembaharuan hukum guna mempelajari pertumbuhan dinamika masyarakat, akan tetapi adanya tujuan yang ingin dicapai oleh undang-undang ini, yaitu: a. Mempertegas Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama Sebagai Kekuasaan Kehakiman Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
24
Salah satu
tujuan pokok Undang-undang Peradilan Agama,
mempertegas kedudukan dan kekuasaan lingkungan Peradilan Agama sebagai salahsatu bagian pelaksana “kekuasaan kehakiman” atau judicial power dalam Negara Republik Indonesia dan berkedudukan sejajar dengan pengadilan lainnya. Penegasan tujuan ini dapat disimak dalam rumusan konsideran huruf c dan e. dalam huruf c dirumuskan “Bahwa salahsatu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro (1987: 4) bahwa: Pengadilan harus dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, pengadilan juga harus mampu menghilangkan sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, karena sengketa merupakan sesuatu yang mengganggu masyarakat, mengganggu ketentraman dan kedamaian sehingga keseimbangan masyarakat tergoncang. Dalam rumusan di atas ditegaskan bahwa lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang ikut berfungsi dan berperan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum. Sedangkan peran dan fungsi melaksanakan kekuasaan kehakiman, sebagaimana
yang
dirumuskan
huruf
e
konsideran
menegaskan:
“….dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama.” Kemudian pada penjelasan Umum angka 1, dipertegas lagi fungsi kekuasaan lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman, hanya meliputi “bidang tertentu”. Bidang tertentu sebagaimana Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
25
yang dicantumkan dalam pasal 10 Undang-undang No. 4 tahun 2004 (M. Yahya Harahap, 2003: 10) sebagai undang-undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas disebut lingkungan peradilan yang berfungsi melaksanakan “kekuasaan kehakiman” atau judicial power terdiri dari lingkungan. a) Peradilan Umum b) Peradilan Agama c) Peradilan Militer d) Peradilan Tata Usah Negara Rumusan penjelasan umum ini semakin mempertegas kesederajatan lingkungan Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman dengan lingkungan lain. Dengan demikian, kedudukan dan fungsi lingkungan Peradilan Agama bergandengan dalam suatu kesederajatan yang sama dengan lingkungan peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing lingkungan peradilan, dalam mengemban dan melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman, mempunyai kewenangan mengadili perkara atau sengketa di “bidang tertentu”. Dalam pembidangan kekuasaan masing-masing lingkungan peradilan, tercipta suatu pembatasan kewenangan “yurisdiksi” setiap lingkungan peradilan tanpa “subordinasi” antara yang satu dengan yang lain. Masingmasing secara otonomi berdiri sendiri, dan “berpuncak” pada Mahkamah Agung. Menurut M. Yahya Harahap (2003: 9) hal ini ditegaskan ulang kembali dalam pasal 2 dan pasal 3 ayat (2). Menurut pasal 2: “Peradilan Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
26
Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu…”. Kemudian pasal 3 ayat (2) menjelaskan “Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. ” b. Menciptakan Kesatuan Hukum Peradilan Agama Tujuan lain yang tersurat dalm rumusan konsideran huruf d;” …perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam rangka sistem dan tata hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Rumusan ini didahului oleh uraian yang menggambarkan keanekaragaman peraturan yang mengatur keberadaan lingkungan Peradilan Agama yang berbunyi: “Bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan peradilan Agama yang selama ini masih beraneka karena didasarkan pada: (1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatblad tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatblad tahun 1937 Nomor 116 dan 610). (2) Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residen Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639).
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
27
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99). Keanekaragaman peraturan yang mengatur lingkungan Peradilan Agama, tidak saja menggambarkan keanekaragaman itu sendiri, tetapi berdampak, ketidakseragaman kewenangan yurisdiksi.
Berdasarkan
ketentuan S. 1937 No. 116, lingkungan Peradilan agama di Jawa dan madura, tidak berwenang mengadili perkara warisan. Sebaliknya berdasarkan PP No. 45 Tahun 1957, lingkungan Peradilan Agama di Luar Jawa dan madura mempunyai kewenangan mengadili perkara warisan. Bagi masyarakat Islam yang ada di pulau Jawa-Madura, diterapkan hukum warisan adat yang dimasukkan ke dalam yurisdiksi lingkungan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri). Sedangkan masyarakat di Luar Jawa-Madura, diberlakukan hukum warisan Islam (faraidh) dan lingkungan peradilan yang mengadilinya dimasukkan ke dalam yurisdiksi Pengadilan agama. Memperhatikan
segala
keanekaragaman
tersebut,
melalui
pembangunan dan pembaruan hukum yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1989, diatur suatu perundang-undangan yang bertujuan untuk mengakhirinya. Berbarengan dengan itu dicipta suatu “kesatuan” hukum Lingkungan Peradilan Agama yang meliputi segala segi mulai dari kesatuan keseragaman susunan, kekuasaan, dan hukum acara termasuk kesatuan dan keseragamn keseragaman
yurisdiksi
kewenangan
ditegaskan
dalam
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
28
yurisdiksi. BAB
Kesatuan dan III
(Kekuasaan
Pengadilan),
sebagaimana
yang
dirinci
dalam
pasal
49
yakni
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (1) Perkawinan (2) Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam (3) Wakaf dan shadaqah. Sejak berlaku UU No. 7 tahun 1989, serta merta gugur semua daya kekuatan hukum peraturan-peraturan yang beranekaragam tersebut. Hal itu ditegaskan dalm BAB VII (Ketentuan Peralihan), sebagaimana yang dirumuskan dalm pasal 107. menurut pasal 107, sejak saat UU No. 7 tahun 1989 berlaku, semua peraturan yang meliputi S. 1882 No. 152, S. 1937 No. 116 dan No. 610, s. 1937 No. 638 dan No. 639 serta PP No. 45 Tahun 1957, dinyatakan “tidak berlaku”. Berarti sejak UU No. 7 Tahun 1989 diundangkan pada tanggal 29 Desember 1989, berakhir keanekaragaman peraturan yang mengatur lingkungan Peradilan Agama. Sejak tanggal tersebut lingkungan Peradilan Agama memasuki “era baru” yakni era “kesatuan” landasan hukum dan “keseragaman” kewenangan yurisdiksi. c. Memurnikan Fungsi Peradilan Agama Salah satu tujuan Pokok Undang-Undang Peradilan Agama seperti yang ditegaskan dalam UU No. 7 tahun 1989, bermaksud memurnikan dan sekaligus menyempurnakan fungsi dan susunan organisasinya, agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya. Wujud keberadaannya benar-benar sebagaimana layaknya badan peradilan yang murni fungsinya dan lengkap susunan dan kekuasaannya. Tidak lagi Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
29
memberi gambaran seolah-olah Peradilan Agama tidak lebih dari peradilan semu dan lumpuh, yang sudah berjalan ratusan tahun. Secara formal dan legalistis Peradilan Agama dilimpahi kekuasaan melaksanakan kekuasaan kehakiman, tetapi secara realistis semu dan lumpuh (tidak sempurna) dalam melaksanakan fungsi perasilan. 3. Kekuasaan dan Wewenang Peradilan Agama Kata “kekuasaan” sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Kekuasaan dan wewenang Pengadilan agama hanya terbatas terhadap orang-orang Islam saja, tentang siapa yang dianggap Islam di Indonesia Pengadilan Agama mengikuti suatu pendapat Notosusanto (dalam Bahder Johan Nasution, 1992: 36) yang mengatakan “bahwa siapa-siapa yang sehari-hari dianggap muslim, menganggap dirinya seorang Islam dan telah mengucapkan kalimat syahadat ia pun dianggap Islam di mata Pengadilan Agama”. Berbiara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yatu tentang “Kekuasaan relatif” dan “Kekuasaan Absolut”, serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan. a. Kekuasaan Relatif Kekuasaan Relatif menurut Rosihan A. Rasyid (1992: 25) diartikan “sebagai kekuasaan Pengaidlan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya”, sedangkan menurut Cik Hasan Bisri (1997: 162) diartikan Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
30
sebagai berikut: “kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding”. Maksudnya, cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan meliputi daerah hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Seperti halnya Pengadilan Negeri melipti wilayah kota atau kabupaten, sedangkan daerah hukum pengadilan Tinggi agama seperti Pengadilan Tinggi meliputi wilayah propinsi. Dengan demikian, tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau mempunyai “yurisdiksi relatif” trtentu. Yurisdiksi ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya. b. Kekuasaan Absolut Selain kekuasaan relatif yang dimiliki oleh Pengadilan Agama juga memiliki kekuasaan lain yang berhubungan dengan jenis perkara dalam tingkatan pengadilan. Kekuasaan ini disebut dengan kekuasaan absolut. Roihan A. Rasyid (1992: 27) mendefinisikan kekuasaan absolut sebagai berikut: Kekuasaan absolut merupakan kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya. Sedangkan menurut Cik Hasan Bisri (1997: 164) mengatakan bahwa: Kewenangan relatif berhubungan dengan jenis perkara dan jenjang pengadilan. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama memiliki kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata di kalangan golongan rakyat tertentu yaitu orang-orang yang beragama Islam. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
31
Kekuasaan absolut Peradilan Agama hanya menangani perkara bagi umat Islam seperti halnya dalm perkara perkawinan. Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain agama Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Terhadap kekuasaan absolut ini Pengadilan Agama berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama. Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan. Jika Pengadilan Agama menerimanya maka, pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang disebut “eksepsi absolut” dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab gugatan pertama bahkan boleh diajukan kapan saja malahan sampai ditingkat banding atau kasasi. Eksepsi absolut ini termasuk salah satu diantara tiga alasan yang membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kekuasaan absolutnya. Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebutkan dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 (Roihan A. Rasyid, 1994: 29) yang berbunyi: 1)
2)
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: a) Perkawinan b) Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam c) Wakaf dan shadaqah Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a. ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undangundang mengenai perkawinan yang berlaku.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
32
3)
Bidang kewarisan sebagaimana dalam ayat (1) hurup b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 (Roihan A. Rasyid, 1994:30) ialah: (1) Izin beristri lebih dari seorang (2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat. (3) Dispensasi kawin (4) Pencegahan perkawinan (5) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (6) Pembatalan perkawinan (7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri (8) Perceraian karena thalak (9) Gugatan perceraian (10) Penyelesaian harta bersama (11) Mengenai penguasaan anak-anak (12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya (13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri. (14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak (15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua (16) Pencabutan kekuasaan wali (17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut (18) Menunjuk seorang wali dalm hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal ke dua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya (19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian tehradap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya. (20) Penetapan asal-usul seorang anak (21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan pekawinan campuran. (22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
33
Cik Hasan Bisri (dalam Jaih Mubarok, 2004: 17) bahwa dari 22 (dua puluh dua) perkara tersebut, terdapat enam perkara yang relatif cukup besar diterima dan diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, dua perkara perkawinan dan empat perkara perceraian. Keenam perkara itu adalah izin beristri lebih dari seorang (poligami), pengesahan perkawinan, penetapan izin ikrar thalak, ta’lik thalak, fasakh, dan perceraian. Semua persoalan yang menyangkut tentang perkawinan sebagaimana disebut di atas, dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam apabila terjadi sengketa atau untuk memperoleh penetapan pengadilan mengenai kedudukan dan atau untuk memohon kepastian hukumnya merupakan wewenang absolut dari pengadilan Agama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya.
4. Landasan Hukum Peradilan Agama Landasan hukum Pengadilan Agama ada tiga sesuai yang dikemukakan Bahder Johan Nasution (1992: 17-21) yaitu: a. Landasan Filosofis Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu ikdeologi bangsa dan negara Indonesia yang telah diterima sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh bahder Johan Nasution (1992: 17) bahwa:
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
34
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Negara Indonesia mempunyai arti bahwa semua hukum yang berlaku dan hukum yang akan diperlakukan harus bersumber kepada Pancasila, dengan artian bahwa pancasila harus dituangkan dalam setiap peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu setiap pembentukan undang-undang harus merupakan pengamalan Pancasila dalam kesatuan yang utuh, demikian juga halnya dalam pembentukan Undang-undang Peradilan di mana Pancasila dijadikan sebagai landasan falsafahnya. Dari pendapat yang dikaji oleh Rochmat Soemitro (dalam Bahder Johan Nasution, 1992: 17) dalam UU No. 4 Tahun 2004 pasal 3 ayat (2) ditegaskan bahwa: Pengadilan Negara menetapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu pengadilan harus dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, pengadilan juga harus mampu menghilangkan sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, karena sengketa merupakan sesuatu yang mengganggu masyarakat, mengganggu ketentraman, kedamaian sehingga keseimbangan masyarakat tergoncang. Dengan demikian dalam pembangunan hukum nasional pancasila merupakan perangkat penyaring dari berbagai asas dan ketentuan-ketentuan hukum, baik yang berasal dari asas kaidah hukum berat maupun dari asas dan kaidah yang berasal dari hukum adat dan hukum Islam. Dalam hubungannya dengan Peradilan Agama sebagai salahs atu badan pelaksana kekuasaan kehakiman, jelas bahwa hukum yhang bersumber dari hukum Islam itu dapat dijadikan hukum nasional karena nilai-nilai yang dikandungnya tidak bertentangan dengan Pancasla dan Undang-undang Dasar 1945, nilai-nilai yang dimaksud dapat kita temukan dalam hukum perkawinan, hukum waris, wasiat, Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
35
hibah, wakaf dan shodaqoh yang merupakan kaidah yang mengatur masyarakat agar menjadi tertib dan teratur untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin. b. Landasan Yuridis Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini berarti bahwa negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dipertanggungjawabkan menurut hukum. Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar yang tertulis merupakan landasan yuridis dari Peradilan Agama. Di dalam UUD 1945 pasal-pasal yang menjadi landasan dari Peradilan Agama adalah pasal 24 dan 25 yang merupakan landasan dari kekuasaan kehakiman serta pasal 27 ayat (1) tentang kesamaan hak dan kewajiban di muka hukum, pasal 29 ayat (2) tentang kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan dari setiap warga negara. Dalam kaitannya dengan Peradilan Agama pasal 27 ayat (1) harus dikaitkan dengan pasal 29 ayat (2), karena kedua pasal tersebut menjamin hakhak warga negara sebagai syarat esensial yang diperlukan oleh seuatu masyarakat yang berada dalam negara Indonesia sebagai negara hukum. Maka dari itu untuk menghubungkan kedua pasal tersebut terlebih dahulu harus melihat maksud dari pasal 27 ayat (1) yang merupakan “equality before law” yang menegaskan bahwa setiap orang dalam negara republik Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, dan mempunyai kedudukan yang sama dalam mengabdi kepada negara di bidang pemerintahan, Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
36
serta harus mendapatkan pelayanan hukum yang sama sesuai dengan kebutuhan hukumnya, dan mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang sama oleh aparatur pemerintah. Sedangkan maksud pasal 29 ayat (2) yang menegaskan bahwa negara memberi kebebasan dan jaminan kemerdekaan kepada tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menruut agama dan kepercayaannya itu. Sehingga dengan demikian hukum yang berlaku tidak boleh menghalangi pelaksanaan agama oleh tiap-tiap pemeluknya begitu juga dengan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana hukum islam bagi para pemeluknya harus mendapat perlindungan secara hukum. c. Landasan Politis Di dalam GBHN pada bab II E mengenai Wawasan Nusantara angka I huruf b menyebutkan “Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah, memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan berpedoman pada isi GBHN tersebut di atas, Peradilan Agama sebagai salah satu sub sistem hukum nasional merupakan penjabaran politis dari Wawasan Nusantara dan wawasan Kebhineka Tunggal Ikaan. GBHN sebagai landasan politis dari Peradilan Agama telah menentukan bahwa dalam rangka pembangunan hukum, perlu diciptakan kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, selain itu hukum harus benar-benar menjadi pengayom Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
37
masyarakat, memberi rasa aman dan ketentraman serta dapat menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta mendukung stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Oleh karena itu Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman berfungsi sebagai pengayom masyarakat yang dapat memberikan keadilan bagi para pencari keadilan dalam hal perkara-perkara yang menyangkut dengan perdata Islam. Untuk dapat berfungsi sebagai pengayom masyarakat, Peradilan Agama diberikan wewenang, kedudukan dan kekuasaan oleh undang-undang yang berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. 5. Asas Umum Peradilan Agama Asas umum melekat secara menyeluruh terhadap batang tubuh UU No. 7 Tahun 1989 UU ini menjadi “fondamentum umum” dan “pedoman umum” dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat undang-undang. Asas umum menurut M. Yahya Harahap (2003: 56) dapat dikatakan sebagai karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan pasal-pasal seingga pendekatan, penafsiran, penerapan dan pelaksanaan tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam setiap asas umum.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
38
Adapun asas umum yang terdapt dalm UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menurut M. Yahya Harahap (2003: 56-96) adalah sebagai berikut: a. Asas Personalita Keislaman Asas personalita keislaman hanya ditujukan kepada pemeluk agama Islam. Orang yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang mengaku pemeluk agama Islam, sedangkan pemeluk agama lain di luar Islam atau yang “non Islam”, tidak tunduk dan tidak dipaksa tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama. Asas personalita keislaman diatur dalam pasal 2, penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dari penggarisan yang dirumuskan dalam ketiga ketentuan tersebut, dapat dilihat asas personalita keislaman sekaligus dikaitkan berbarengan dengan perkara perdata “bidang tertentu”, sepanjang mengenai sengketa perkara yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Ketentuan pasal 2 dan penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga serta pasal 49 ayat 1 dalm asas personalita keislaman yang melekat pada UU No. 7 Tahun 1989, terdapat beberapa penegasan terhadap asas yang dimaksud, yaitu: 1) Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam 2) Perkara perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasitat, hibah, wakaf, dan shadaqah, dan 3) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara penyelesaian berdasarkan hukum Islam. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
39
Melihat
penjelasan
tersebut
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
ketundukan personalita muslim kepada lingkungan Peradilan Agama “bukan” bersifat umum dan menyeluruh meliputi semua bidang hukum perdata akan tetapi hnya bersifat “khusus” sepanjang bidang hukum perdata “tertentu”. Selain itu juga uraian di atas menunjukkan bahwa asas personalita keislaman harus meliputi para pihak yang bersengketa. Kedua belah pihak harus samasama beragama Islam. Jika salah satu pihak tidak beragama Islam, sengketa tidak dapat ditundukkan kepada lingkungan Peradilan Agama. Dalam hal seperti itu, sengketa tunduk kepada kewenangan Peradilan Umum. Begitu pula landasan hubungan hukumnya harus hubungan hukum Islam. Jika hubungan yang terjadi bukan berdasar hukum Islam sengketa tidak tunduk menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama. b. Asas Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman Asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman, menurut M. Yahya Harahap (2003: 59) merupakan asas yang paling sentral dalam kehidupan peradilan. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 4 Tahun 2004 pasal 1 tentang. Ketentuan-ketentuan Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Pasal tersebut dijabarkan kedalam beberapa sendi filosofis dalam kegiatan upaya penegakkan hukum badan-badan peradilan yang terdiri dari:
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
40
1) Kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan “yudikatif”. 2) Tujuan memberi kemerdekaan bagi
kekuasaan kehakiman dalam
menyelenggarakan fungsi peradilan: a) Agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan, dan b) Agar benar-benar diselenggarakan kehidupan bernegara berdasar hukum, karena negara Indonesia adalah negara hukum (Recht Staat). Asas kemerdekaan peradilan (kekuasaan kehakiman) memberi penegasan dan peringatan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah “kekuasaan negara”. Setiap lingkungan peradilan yang dilimpahi fungsi dan kewenangan menyelenggarakan peradilan adalah lembaga “kekuasaan negara” dan sekaligus milik negara dan seluruh rakyat Indonesia. Tujuan utama memberi kemerdekaan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan yaitu agar para pejabat fungsional yakni para hakim yang memeriksa dan memutus perkara benar-benar menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum dan kebenaran sesuai dengan hati nurani. Hanya peradilan yang bebas dan merdeka yang dapat menegakkan hukum dan keadilan yang hakiki (to enforce the ultimate truth and justice), dan hanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka yang dapat menjamin tegaknya “negara hukum”. Ini berarti kemerdekaan yang diberikan kepada hakim bukan untuk menegakkan kemauan pribadi guna mengejar kepentingan
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
41
pribadi atau golongan. Atau bukan untuk kepentingan hakim (not the interest of the judge), tetapi untuk kepentingan keadilan (for the interest of the justice). c. Asas Wajib Mendamaikan Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan ishlah (fa aslikhu baina akhwaikum). Karena itu, layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan”. Sebagai bagaimanapun adilnya putusan namun akan lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Perdamaian ditinjau dari sudut KUH Perdata (BW) maupun dari segi hukum Islam termasuk pada bidang “hukum perjanjian” yang menuntut syarat-syarat seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yakni: Adanya “kesepakatan” berdasar kehendak bebas darikedua belah pihak. Dalam kesepakatan tersebut tidak boleh ada cacat yang mengandung kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) dalam segala bentuk baik yang bersifat fisik dan psikis atau penipuan (bedrog). Syarat kedua, kecakapan untuk melakukan tindakan hukum. Syarat ketiga, mengenai hal tertentu dan syarat keempat, didasarkan atas sebab yang halal (geoorloofdeoorzaak). Syarat-syarat ini paling tidak harus dipahami dan disadari hakim dalam melaksanakan fungsi mendamaikan. d. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dalam UU No. 7 Tahun 1989 diatur pada pasal 57 ayat 3. Pada dasarnya asas ini berasal dari ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
42
Kehakiman. Makna yang lebih luas dari asas ini diutarakan dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal 4 ayat 2 itu sendiri yang berbunyi: Peradilan harus memenuhi harapan dari pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan. Tidak, diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadangkadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris pencari keadilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua dengan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan. Makna dan tujuan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan bukan hanya sekedar menitikberatkan unsur kecepatan dan biaya ringan tetapi juga bertujuan untuk menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara perceraian dalam tempo pemeriksaan yang tidak memakan jangka waktu lama sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. e. Asas Persidangan Terbuka untuk Umum Secara harfiah makna pemeriksaan sidang terbuka untuk umum menurut M. Yahya Harahap (2003: 73), berarti: Setiap pemeriksaan berlangsung di sidang pengadilan selain dari pihak-pihak yang berperkara dan saksi, masyarakat umum tanpa kecuali boleh meghadiri, menyaksikan, dan mendengar jalannya pemeriksaan persidangan tidak boleh dihalangi dan dilarang tanpa mempersoalkan apakah dia berkepentingan atau tidak. Sedangkan menurut Roihan A. Rasyid (1994: 97) berpendapat bahwa: Sidang terbuka untuk umum artinya siapa saja boleh mengikuti atau mendengarkan jalannya sidang, boleh masuk ruang sidang asal tidak mengganggu atau membuat keonaran dalm sidang dan pihak-pihak boleh merekam jalannya sidang sehingga sewaktu-waktu mereka dapat menyimak sidang bagi kepentingan pembelaan perkaranya. Salah satu tujuan utama asas persidangan terbuka untuk umum menurut M. Yahya Harahap (2003: 73) adalah agar jalannya sidang Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
43
pemeriksaan berlangsung dalm suasana fair trial (pemeriksaan sidang yang fair), tidak memihak (imperial) dan tidak berat sebelah. Hal ini dilakukan karena semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan berlaku untuk semua putusan termasuk penetapan sidang yang sebelumnya dilakukan dalam sidang tertutup. Dalam UU No. 7 Tahun 1989, asas ini diatur dalam pasal 59, tercantum dalam bab IV tentang Hukum Acara. Bagian Pertama yang mengatur bagian umum. Rumusan kalimat dan kata-katanya hampir serupa dengan ketentuan pasal 17 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hanya kalimatnya saja yang lebih panjang tapi maknanya tidak berbeda, berupa penegasan dimungkinkan sidang tertutup dalam hal jika undang-undang menentukan atau jika hakim menganggap perlu berdasar alasan-alasan pentng dan alasan itu dicatat dalam berita acara. Penerapan asas terbuka untuk umum dikecualikan dalam pemeriksaan perkara perceraian. Sebagaimana pasal 68 ayat 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa, pemeriksaan permohonan cerai thalak dilakukan dalam sidang tertutup. Hal ini diutamakan untuk menjamin kerahasiaan aib rumah tangga dan pribadi suami istri. Sehubungan masalah pemeriksaan perkara perceraian dilakukan dalam sidang tertutup ada dua hal yang penting untuk diperhatikan: Pertama, Ketentuan sidang tertutup perkara perceraian adalah bersifat “imperatif”. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
44
Kedua, Putusan tetap diucapkan dalam sidang terbuka. Sifat ketentuan sidang tertutup dalam pemeriksaan perkara perceraian bersifat “imperatif” karena aturan ini memiliki derajat yang bernilai “ketertiban umum” atau openbaar orde. Derajat nilai yang demikian menjadikan aturan ini sebagai tata tertib beracara yang harus dilaksanakan secara konsekuen dalam pemeriksaan perkara perceraian. Pelanggaran dan kelalaian hakim mematuhi aturan ini, mengakibatkan pemeriksaan “batal demi hukum”. f. Asas Legalitas dan Persamaan Asas legalitas menurut M. Yahya Harahap (2003: 82) merupakan asas yang lain yang menjadi landasan hakim melaksanakan peran, fungsi dan kewenangan peradilan (kekuasaan kehakiman). Asas legalitas tercantum dalam pasal 58 ayat 1 UU. No. 7 tahun 1989 yang bunyinya sama persis dengan ketentuan pasal 5 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Asas legalitas yang terdapa di dalamnya sekaligus berbarengan dengan penegasan hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang yang berperkara di muka sidang pengadilan. Asas legalitas itu sendiri pada hakikatnya termasuk salah satu bentuk hak asasi yakni hak asasi yang berkenaan dengan “hak perlindungan hukum”, sehingga dalam pasal ini tergabung dua jenis hak asasi. Pertama hak asasi “perlindungan hukum” dan hak “persamaan hukum”. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
45
g. Asas Aktif Memberi Bantuan Dalam proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan hakim bertindak “memimpin” jalannya persidangan yaitu dengan mengatur, mengarahkan tata tertib pemeriksaan dan berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta berwenang memutus perkara yang disengketakan. Dalam kedudukannya sebagai pemimpin sidang, terdapat dua aliran yaitu: Aliran pertama, meletakkan kepemimpinan hakim dalam kedudukan yang “pasif” yaitu kedudukan hakim memimpin sidang hanya bersifat mengawasi jalannya proses agar pihak yang berperkara bertindak sesuai dengan tata tertib beracara yang ditentukan. Kedudukan pasif, sesuai dan sejalan dengan sistem yang dianut Reglement of de Rechtsvordering (RV) yang menggariskan sistem daagvaarding yang menetapkan semua tingkat proses dilakukan secara tertulis (schriftelijke procedure) serta procureur stelling yakni pihak wajib dibantu seorang pengacara dalam proses atau verplichte rechtsbijstand. Aliran kedua, menempatkan kedudukan hakim sebagai pemimpin sidang yang “aktif”. Sifat kedudukan hakim yang aktif sesuai dengan sistem yang dianut HIR dan RBG, antara lain: 1) Pemeriksaan
persidangan
secara
langsung
(onmiddelijkheid
van
procedure) yaitu antara para pihak dengan hakim terjadi hubungan langsung yang hidup (levend contact) sejak permulaan sampai berakhir pemeriksaan persidangan.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
46
2) Proses beracara secara lisan (mendelinge procedure) yaitu pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan di antara pihak-pihak berlangsung secara tanya jawab dengan lisan. Dengan demikian, kedudukan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak hanya mengadili dan memutus perkara tetapi mempunyai wewenang untuk memimpin sidang secara pasif (mengawasi) dan aktif baik secara langsung maupun lisan kepada pihak yang berperkara di Pengadilan Agama. 6. Susunan Organisasi Peradilan Agama Susunan organisasi Peradilan Agam sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 9 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dapat digambarkan sebagai berikut:
KETUA WAKIL KETUA
HAKIM HAKIM
PAN/SEK
HAKIM HAKIM WKL. PANITERA
WKL. SEKRETARIS
P. PENGGANTI JURU SITA P. PENGGANTI
J.S. PENGGANTI
P. PENGGANTI P. PENGGANTI
P. MUDA
P. MUDA
PERKARA
HUKUM
TATA USAHA/ UMUM
P. MUDA BANDING/ KASASI
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
47
PERSONALIA
KEUANGAN
Dari bagan di atas dapat dijelaskan bahwa bagan sebelah kiri yang terdapat dalam kotak hakim, panitera pengganti termasuk “juru sita”, merupakan suborganisasi fungsional peradilan yang berfungsi dan berwenang melaksanakan peradilan. Sedang bagan bagian kiri juga terdapat dalam kotak panitera muda adalah pejabat struktural yang ikut menunjang tugas pejabat fungsional dalam menjalankan fungsi peradilan. Adapun bagan sebelah kanan yang distrukturkan di bawah wakil sekretaris adalah jabatan struktural pendukung umum seluruh organisasi peradilan. Bagan tersebut merupakan suborganisasi baik langsung atau tidak langsung, tidak terkait dengan fungsi peradilan atau penegakan hukum. Namun sebagai subbagian yang bertugas sebagai pendukung umum organisasi pengadilan, perannya sangat besar menunjang kelancaran organisasi. Dalam bagan, jabatan fungsional peradilan dihubungkan dengan garisgaris putus. Hubungan antara pejabat fungsional pada dasarnya tidak bersifat struktural, tetapi lebih ditekankan pada hubungan yang bersifat fungsi peradilan. Ketua dan wakil ketua sebagai unsur pimpinan seperti yang ditegaskan dalam pasal 10 ayat 1, hanya mempunyai hubungan struktural dengan panitera/sekretaris, wakil panitera, wakil sekretaris serta eselon yang distrukturkan di bawah wakil panitera dan wakil sekretaris. Sedangkant erhadap hakim, ketua dan wakil ketua mempunyai hubungan fungsional karena hakim sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 11 ayat 1 adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
48
Struktur kepaniteraan sebagai salah satu pendukung utama fungsi peradilan mempunyai tugas ganda, pada diri dan jabatannya melekat jabatan panitera merangkap sekretaris pengadilan untuk memperlancar tugas kepaniteraan dan kesekretariatan yang dijabat panitera, dibantu oleh seorang wakil panitera dan seorang wakil sekretaris. Fugnsi wakil panitera memimpin dan membagi habis semua tugas fungsional peradilan termasuk memimpin dan membawahi petugas fungsional murni yang terdiri dari para panitera pengganti, juru sita dan juru sita pengganti, serta petugas fungsional yang bersifat struktural yakni para panitera muda. Panitera muda menurut M. yahya Harahap (2003: 116) adalah: Aparat yang distrukturkan dalam sub organisasi fungsional yang akan memberi pelayanan kelancaran fungsi peradilan dalam berbagai unsur diantaranya unsur yang menangani registrasi dan penyiapan berkas perkara, membantu menyediakan peraturan dan perundang-undangan, menangani permintaan banding dan kasasi. Pembidangan yang rasional dihubungkan dengan jumlah panitera muda harus melalui endekatan realistik disesuaikan dengan volume pekerjaan menurut kebutuhan nyata. Dengan demikian, ada panitera muda bidang perkara, panitera muda bidang hukum dan perpustakaan, dokumentasi, bidang banding dan kasasi. B. Hukum Acara Peradilan Agama 1. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama Sebelum membahas mengenai sumber hukum acara Pradilan Agama perlu dijelaskan mengenai pengertian Hukum Acara Peradilan Agama. Definisi Hukum Acara Peradilan Agama dikemukakan oleh Roihan A. Rasid (1994: 10), yang menyatakan bahwa: Segala peraturan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan Negara maupun dari syari’at Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak kemuka Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
49
Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama. Hukum acara, termasuk hukum acara Peradilan Agama, sering disebut sebagai hukum proses. Proses artinya rangkaian pembuatan, bahwa hukum itu selama jalannya dalam proses di muka pengadilan masih dalam pembuatan. Selesai dari proses pembuatan adalah setelah diputus dan putusan itu sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Hukum acara juga bisa disebut hukum poses karena hukum acara tersebut terdiri dari rangkaian cara-cara berbuat atau bertindak, mulai dari memasuki gugatan permohonan sampai selesai diputus dan dilaksanakan. Selain disebut sebagai hukum proses, hukum acara termasuk hukum acara Peradilan Agama sering juga disebut hukum formal yang berarti bentuk atau acara. Jadi hukum formal maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk atau kebenaran acara. Itu sebabnya beracara dimuka pengadilan tidak cukup adanya tahu dengan materi hukum, tetapi lebih dari itu harus tahu terhadap bentuk atau cara yang spesifik itu, sebab ia terikat pada bentuk-bentuk atau caracara trtentu yang sudah diatur. Keterikatan pada bentuk keterikatan ini, berlaku bagi pencari keadilan. Dengan demikian, hukum acara hanya mengabdi kepada hukum material atau dengan kata lain hanya bermaksud untuk mewujudkan hukum material. Mengutamakan kebenaran formal tidak berarti bahwa hukum acara sekarang ini mengenyampingkan kebenaran material, sebab pendapat para ahli hukum dan Mahkamah Agung, kini sudah tidak pada tempatnya lagi untuk tidak berpendapat demikian karena hukum acara ini sudah harus mencari hukum material. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
50
2. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama a. Keharusan Adanya Undang-undang Tersendiri Tentang Acara Menurut Roihan A. Rasyid (2005: 19) menyebutkan bahwa keharusan adanya Undang-undang tentang acara tidak lepas dari dasar hukum yang membentuknya yaitu Undang-undang tentang Peradilan Agama yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 pasal 24ayat 1 dan 2 berbunyi: 1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang. 2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-undang. Sekarang ini, pasal 24 UUD 1945 tersebut dilaksanakan oleh Undangundang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 14 ayat 1 berbunyi: “Susunan
serta acara dari badan-badan peradilan tersebut dalm pasal
10 ayat 1 diatur dalam undang-undang tersendiri”. Pasal 10 ayat 1 berbunyi: 1) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya,k dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Apabila pasal 14 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memerintahkan demikian, sedangkan UU tersebut meurpakan pelaksana dari UUD 1945 pasal 24, maka mewujudkan Undang-undang tentang Susunan kekuasaan serta acara dari dan bagi tiap-tiap lingkungan peradilan tersebut di atas adalah merupakn sebagian dari bukti melaksanakan UUD 1945 Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
51
secara murni dan konsekuen, di samping sebagai salah satu ciri dari cita kepada Negara Hukum sebagai subsistem dari sistem Pemerintahan Negara RI. Dalam masa 19 tahun kemudian setelah tahun 1970 terbitlah Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama dan Undang-undang ini memuat antara lain tentang susunan kekuasaan dan Acara Peradilan Agama. b. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka, Peradilan Agama dahulunya mempergunakan acara yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan dalam hukum tidak tertulis (hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia). Namun kini, setelah terbitnya UU No. 7 Tahun 1989 maka Hukum Acara Peradilan Agama menjadi konkrit. Pasal 54 UU tersebut berbunyi: “Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalm lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khsuus dalam undang-undang ini”. Menurut pasal diatas Roihan A. Rasyid (1994: 21) menyatakan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber kepada dua aturan yaitu: (1) yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
52
Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara perdata peradilan umum antara lain: a)
HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglement Indonesia yang diperbaharui).
b)
RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga reglement untuk daerah seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura.
c)
RsV (Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering) yang zaman jajahan Belanda dahulu berlaku untuk Raad Van Justitie.
d) BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Eropa. e)
UU No. 2 Tahun 1986, tentang Peradilan Umum. Peraturan Perundang-undangan tentang acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama adalah:
1) UU No. 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman. 2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung 3) UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, tentang perkawinan dan pelaksanaannya. Dengan demikian, maka Peradilan Agama dalam hukum acara minimal harus memperhatikan UU No. 7 Tahun 1989, ditambah dengan delapan macam peraturan perundang-undangan yang disebut diatas. Selain itu Peradilan agama masih harus memperhatikan hukum proses menurut Islam. Kesemua inilah yang disebut sumber hukum Acara Peradilan Agama.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
53
C. .Tinjauan Umum Tentang Cerai Thalak 1. Pengertian Cerai Thalak Perceraian merupakan pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Menurut bahasa thalak artinya melepaskan ikatan, sedangkan menurut istilah ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan kata-kata thalak oleh suami kepada istinya. Menurut Syamsuri dan M. Yunus (2000: 35), menyatakan bahwa “Thalak berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara sukarela ucapan thalak dari pihak suami pada istrinya”. Hal serupa juga dikatakan oleh m. Yahya Harahap (2003: 215) yang mendefinisikan cerai thalak sebagai berikut: “Thalak berarti melepaskan ikatan, yaitu melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara sukarela ucapan thalak kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas (sharih) ataupun dengan kata-kata sindiran (kinayah)”. Sedangkan menurut penjelasan pasal 14 peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, cerai thalak ialah. Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya kepada pengadilan agar diadaan sidang untuk keerluan itu. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa cerai thalak merupakan suatu cara melepaskan ikatan perkawinan oleh suami terhadap istrinya baik secara sharih maupun kinayah yang diajuan kepada Pengadilan Agama disertai alasan-alasan yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Dalam prakteknya, pelaksanaan cerai thalak harus berdasarkan prosedur atau tata cara yang harus ditempuh oleh pihak-pihak yang berperkara. Menurut Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
54
Lili Rasyidi (1983: 23) dinyatakan bahwa tata cara perceraian dapat dilakukan sebagai berikut:
“Cerai thalak yaitu bagi mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama islam, maksud perceraian dapat diajukan kepada Pengadilan Agama ditempat dimana mereka bertempat tinggal”. Selanjutnya Hilman Hadikusuma (1990: 171), menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 mengatur tata cara perceraian itu dalam dua cara, yaitu: a. Cerai thalak yang dapat dijatuhkan suami terhadap istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam melalui Pengadilan Agama, dan b. Cerai gugat yang dapat dijatuhkan istri terhadap suami yang melangsungkan perkawinan menurut agama lain dari Islam atau menurut cara lain melalui Pengadilan Negeri. Dengan demikian, maka perceraian menurut peraturan perundangundangan dpaat dilakukan dalam dua cara yaitu cerai thalak yang diajukan oleh suami terhadap istrinya dan cerai gugat yang dijatuhkan istri terhadap suaminya yang dilakukan di Pengadilan Agama bagi yang menikah menurut agama islam dan di Pengadilan Negeri bagi salah satu pihak yang melangsungkan perkawinan menurut agama lain di luar agama Islam. 2. Jenis-jenis Thalak dan Hukumnya a. Jenis-jenis thalak ada tiga: 1) Thalak yang dijatuhkan tiga kali disebut juga dengan “Bain kubra”. Sebagaimana yang tercantum dalam kompilasi hukum Islam pasal 120 tentang hukum perkawinan yang menyebutkan bahwa: Thalak bain kubra adalah thalak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Ramayulis (2001: 142) mengatakan bahwa:
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
55
Suami yang menjatuhkan thalak kepada istrinya dengan bain kubra menyebabkan bekas suami tidak sah rujuk dan tidak pula sah kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila bekas istri sudah nikah dengan lakilaki lain, kemudian sudah diceraikan dan sudah habis pula masa iddahnya. Sebagaimana firman Allah SWT: Jika ia menceraikan istrinya (sesudah cerai dua kali) maka tidaklah halal bagi wanita itu baginya melainkan setelah wanita itu dikawini oleh laki-laki lain dan kebetulan sudah diceraikan pula oleh laki-laki lain itu (Q.S. Al Baqarah: 230). 2) Thalak ba’in sugra atau disebut juga dengan nama thalak tebus (khulu). Suami yang menjatuhkan thalak kepada istrinya dengan khulu menyebabkan bekas suaminya tidak sah rujuk lagi, tetapi boleh kawin baru kembali setelah habis masa iddahnya. 3) Thalak raj’I menurut kompilasi hukum islam bab 1 pasal 118 tentang hukum perkawinan disebutkan bahwa thalak raj’I adalah thalak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. b. Hukum Thalak Hukum Thalak ada tiga macam: 1) Wajib, yaitu apabila terjadi perselisihan antara suami istri yang tidak bisa dirukunkan lagi, sedangkan hakim sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai. 2) Sunat, yaitu pada suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkah lahir dan batin) dengan cukup, atau istri tidak menjaga kehormatan dirinya. 3) Haram, dalam dua keadaan yaitu: (1) Menjatuhkan thalak sewaktu istri dalam keadaan haidh.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
56
(2) Menjatuhkan thalak sewaktu istri dalam keadaan suci yang dicampuri (dukhul) dalam masa suci itu.
c. Bentuk-bentuk Perceraian Bentuk-bentuk dari perceraian selain thalak adalah sebagai berikut: 1) Fasakh Fasakh menurut bahasa yaitu merombak atau membatalkan. Fasakh menurut istilah ialah perceraian dengan merombak atau membatalkan tali pernikahan antara suami dengan istri. Perceraian dengan fasakh tidak boleh suami merujuk kepada istrinya Bentuk perceraian karena fasakh bisa disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut, yaitu: a) Fasakh karna aib Bila pada suami atau istri terdapat aib yang menyebabkan terganggunya pergaulan yang baik antara keduanya, maka salah satu keduanya (suami atau istri) mempunyai hak untuk memasakhkan nikahnya. Macam-macam aib yang membolehkan fasakh adalah sebagai berikut: (1) Aib suami (a) Gila, sawan yang tidak mungkin diharapkan sembuhnya (b) Kusta, sopak walaupun sedikit (c) Potong zakar (kemaluan) (d) Lemah kemaluan untuk sembuh (2) Aib istri Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
57
(a) Gila, sawan yang tidak mungkin diharapkan sembuhnya (b) Kusta, sopak walaupun sedikit (c) Rataq (tersumbatnya tempat persetubuhan dengan daging) (d) Garan (Tersumbatnya tempat persetubuhan dengan tulang) b) Fasakh karena nafkah Bila istri yang taat tidak mendapat nafkah dari suaminya disebabkan karena miskin, sedang istri tidak sabar maka ia boleh minta fasakh. Pada prinsipnya fasakh menjadi hak suami dan istri, tapi dalam prakteknya lebih banyak diberikan kepada istri karena suami telah punya thalak. Upaya-upaya untuk menghindari suami atau istri tidak mau di fasakh, maka salah satu pihak dapat mengajukan ke Pengadilan Agama yang berkompeten Perceraian karena alasan fasakh ini tidak dapat kawin lagi atau rujuk. Oleh sebab itu perceraian karena alasan fasakh dihukumkan sebagai thalak ba’in kubro. 2) Khulu’ Khulu’ menurut bahasa ialah tebus. Sedangkan menurut istilah ialah thalak yang dijatuhkan kepada istrinya dengan tebusan (pembayaran) dari pihak istri kepada suami. Menceraikan istri dengan khulu boleh (sah) sekalipun istri dalam keadaan haid ataupun dalam keadaan suci. Perceraian dengan khulu berakibat suami tidak boleh rujuk lagi kecuali dengan akad nikah baru. 3) Ila’ Ila’ ialah sumpah yang diucapkan oleh suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya dalam masa empat bulan atau tidak menyebutkan batas lamanya.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
58
Seorang suami yang telah meng-ila’ istrinya maka berlakulah baginya ketentuan sebagai berikut: a) Masa Ila’ Masa Ila’ ada empat macam, yaitu: (1) Suami tidak menyebutkan lama masanya misalnya, kata suami “demi Allah aku tidak akan mencampurimu” (2) Suami menyebutkan masanya empat bulan misalnya kata suami: “Demi Allah aku tidak akan mencampurimu selama empat bulan”. (3) Suami menyebutkan lama masa yang sangat jauh misalnya, kata suami: “Demi Allah aku tidak akan mencampurimu sampai aku meninggal”. (4) Suami menyebutkan masa yang tidak ada batasnya misalnya, kata suami: “Demi Allah aku tidak akan mencampurimu selama-lamanya”. Suami yang telah meng-ila’ istrinya menurut masa seperti tersebut di atas, maka dalam masa waktu empat bulan kepadanya diberikan kesempatan untuk surut kembali dari sumpahnya yaitu dengan mencampuri istrinya, dan kemudian ia wajib membayar kifarat sumpah. Jika dalam masa empat bulan suami tidak surut kembali dari sumpahnya, maka hakim berhak menceraikan dengan paksa dengan menjatuhkan thalak satu. Cara kembali dari Ila’ menjelang empat bulan: (a) Kembali dengan mencampuri istrinya (b) Kembali mencampuri istrinya jika ada halangan boleh dengan lisan atau niat saja. (c) Kembali dengan lisan baik ketika berhalangan atau tidak.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
59
b) Kifarat sumpah Ila’ (berdasarkan buku mengenai masalah pernikahan dan perceraian dari Departemen Agama). Suami yang kembali kepada istrinya sesudah melakukan ila’ ia wajib membayar salah satu diantara kifarat sumpah sebagai berikut: (a) memberi makanan yang mengenyangkan bagi 10 (sepuluh) orang miskin masingmasing dengan ukuran satu cupak ¾ liter beras. (b) Memberi pakaian yang layak kepada 10 (sepuluh) orang fakir miskin, sekurangkurangnya setiap orang satu lembar. (c) Memerdekakan seorang budak muslim. Apabila ketiga kifarat sumpah itu tidak sanggup dilaksanakan oleh suami maka dia wajib berpuasa selama tiga hari. 4) Zhihar a) Zhihar menurut bahasa ialah berasal dari kata “Zhahara” yang berarti belakang atau punggung. b) Zhihar menurut istilah ialah seorang laki-laki yang menyerupakan istrinya dengan ibunya. Misalnya kata suami kepada istrinya “Engkau bagiku seperti ibu kandungku sendiri” adalah ucapan suami yang menyerupai istrinya sama dengan ibunya, seperti suami berkata pada istrinya, “punggungmu sam dengan punggung ibuku”. Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut. Menurut Ramayulis (2001: 149) dalam firman Allah SWT (Q.S. Al Mujadalah: 2) menyebutkan: Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya) padahal tiadalah istri mereka ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
60
sesungguhnya mereka sungguh mengucapkan yang mungkar dan dusta, dan sesungguhnya Allah Mah Pemaaf lagi Maha Pengampun. Suami yang menzhihar istrinya berlaku baginya ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (1) Suami yang menzhihar istrinya dan tidak diteruskannya kepada thalak maka, suami wajib membayar kifarat dan haram mencampuri istrinya sebelum ia membayar kifarat. (2) Suami yang menzhihar istrinya kemudian diteruskannya kepada thalak, maka dia tidak wajib membayar kifarat. Denda kifarat zhihar adalah sebagai berikut: (a) Memerdekakan seorang budak (hamba sahaya) yang beriman (b) Kalau tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut (c) Kalau tidak mampu puasa, sebagai gantinya memberi makan 60 (enam puluh) orang fakir miskin masing-masing ¾ liter beras.
d. Alasan-alasan Yang mendasari terjadinya Cerai Thalak Perceraian hanya dapat dilakukan apabila memenuhi salah satu dari beberapa alasan, akan tetapi dapat pula terjadi memenuhi beberapa alasan secara komulatif sebagaimana diatur menurut pasal 9 Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasanalasan sebagai berikut: 1) salah satu berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
61
Dalam perkara perceraian dengan alasan zina mengandung asas “in flagrante delicto” yang pada umumnya asas ini dipegang secara teguh dalam praktek peradilan yang pada dasarnya keterbuktian suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada seseorang, pembuktiannya harus berupa alat bukti saksi. Kekuatan pembuktian dalam perkara perceraian atas zina menurut M. yahya Harahap (2003: 291) yang merumuskan pasal 87 ayat 1 sebagai berikut: Penggugat wajib membuktikan dalil gugat apabila termohon atau tergugat menyanggah dalil gugat. Dalam hal termohon mengakui dalil zina, permohon atau penggugat tidak dibebani wajib bukti dan dianggap telah berhasil membuktikan dalil gugat. Rumusan diatas merupakan prinsip pembuktian yang diatur dalam pasal 163 HIR atau pasal 283 RBG. Prinsip yang diutarakan di atas sesuai dengan asas pembuktian zina yang dirumuskan dalm (Q.S. An-Nur: 4) bahwa: Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Dengan demikian, apabila suami menuduh istri berbuat zina dan istri menyangkal tuduhan, wajib bagi suami untuk membuktikan dengan empat orang saksi. Apabila tidak mampu membuktikan dengan empat orang saksi, suami diancam dengan hukuman dera delapan puluh kali karena berani menuduh istrinya berbuat zina secara qadzaf atau tanpa alat bukti. 2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
62
Menurut Sudarsono (2005: 174) dalam gugatan perceraian seperti diatas berlaku ketentuan pasal 21 yang ditegaskan bahwa: a) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b, diajukan kepada pengadilan di tempat penggugat. b) Gugatan tersebut dalam ayat 1 dapat diajukan setelah lampau dua tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. c) Gugatan dapat diterima apabila terganggu menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi ke rumah kediaman bersama. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung Pada prinsipnya perundang-undangan menetapkan gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami istri mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman lebih berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutusklan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Demikian halnya pasal 24 berlaku bagi keadaan suami istri selama dalam proses berlangsungnya gugatan perceraian maka, pengadilan dapat melakukan langkah-langkah positif, yaitu: a) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan
pertimbangan
bahaya
yang mungkin
ditimbulkan,
pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tinggal dalam satu rumah. b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat: Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
63
(1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami (2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. (3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. Izin pengaidlan untuk memperkenankan suami istri tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami istri beserta anak-anaknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sudarsono (2005: 175) bahwa: Proses perceraian yang sedang terjadi antara suami istri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada istgrinya, demikian pula tugas kewajiban suami istri itu terhadap anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh suami istri, maupun harta kekayaan istri atau suami menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik, sebab yang demikian itu bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami istri itu melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga. 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 22 berlaku effektif terhadap gugatan perceraian semacam ini yang ditentukan:
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
64
a) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf f diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman tergugat. b) Gugatan tersebut dalam ayat 1 dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu.
D. Tinjauan Umum Tentang Konflik Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam kehidupan umat manusia sebagai makhluk sosial, karena manusia merupakan unit pertama dalam masyarakat karena disitulah terbentuknya tahap awal proses sosialisasi dan perkembangan individu sebagai makhluk sosial. Arti keluarga menurut Soelaeman (1994: 6) terdiri dalam dua arti yaitu keluarga dalam arti luas dan keluarga dalam arti sempit. Dalam arti luas keluarga yang berkaitan dengan hubungan meliputi semua pihak yang ada hubungan darah sehingga sering tampil sebagai ari clan atau marga, dalam kaitan ini dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan keluarga atau marga. Sedang dalam arti sempit, keluarga yang didasarkan pada hubungan darah dan terdiri atas ayah, ibu dan anak yang disebut dengan istilah keluarga inti. Hal senada diungkapkan oleh hammudah Abd Al-Ati (Ramayulis, 2001: 1) mengatakan bahwa definisi keluarga dapat dilihat secara operasional, yaitu: Suatu struktur yang bersifat khusus satu sama lain dalam keluarga itu mempunyai ikatan apakah lewat hubungan darah atau pernikahan. Menurut definisi di atas keluarga diikat oleh dua hubungan yaitu hubungan darah dan hubungan pernikahan. Bentuk keluarga yang paling sederhana adalah keluarga inti yang terdiri atas suami istri dan anak-anak yang biasanya hidup berama dalam suatu tempat tinggal. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
65
Sedangkan ditinjau dari sudut pandang sosiologis keluarga menurut F.J. Brown (Yusuf, 2002: 35) yaitu: Keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan clan atau arga, sedangkan dalam arti sempit keluarga meliputi orang tua dan anak. Abd Al-Ati (Ramayulis, 2001: 2) melihat adanya dua posisi dalam struktur keluarga menurut Islam, yaitu posisi utama (primary) atau posisi tambahan (suplementary). Posisi utama (primary) adalah keluarga dalam tingkatan pertama yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Posisi tambahan (suplementary) adalah keluarga pada tingkatan kedua, yang terdiri atas anggota dari keturunan ibu baik kesamping maupun keatas dan keluarga karena kesamaan agama. Dengan demikian, pengertian keluarga dalam Islam adalah suatu sistem kehidupan masyarakat yang terkecil yang dibatasi oleh adanya keturunan (nasab) atau disebut juga ummah akibat oleh adanya kesamaan agama dan juga keluarga merupakan suatu kelompok sosial bersifat abadi yang memiliki hubungan darah terdiri dari ayah, ibu dan anak. 2. Fungsi Keluarga Keluarga adalah pokok pertama yang mempengaruhi pendidikan seseorang dan berfungsi dalm menentukan hidup seseorang. Ada lima fugsi keluarga menurut Ramayulis (2001: 5) yaitu: 1) Keluarga dibentuk untuk reproduksi memberikan keturunan, ini merupakan tugas suci agama yang dibebankan kepada manusia 2) Keluarga bertanggung jawab dalam pemeliharaan yang diselenggarakan demi kesejahteraan keluarga. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
66
3) Keluarga mengharuskan menyelenggarakan sosialisasi, memberikan arah pendidikan, pengisian jiwa yang baik dan bimbingan kejiwaan. 4) Freferensi adalah fungsi selanjutnya karena hidup adalah “just a matter of choice” maka orang tua harus mampu memberikan referensi yang terbaik untuk anggota keluarganya. 5) Pewarisan nilai kemanusiaan yang minimal dikemudian hari dapat menciptakan manusia yang cinta damai, anak shaleh yang suka mendoakan orang uanya, yang mengembangkan kesejahteraan sosial dan ekonomi umat manusia yang mampu menjaga dan melaksanakan hak asasi kemanusiaan yang adil dan beradab dan yang mampu menjaga kualitas dan moralitas lingkungan hidup. Dalam Islam keluarga itu penting sekali, baik dilihat menurut pandangan individu maupun menurut pandangan masyarakat. Menurut Ramayudis (2001: 56) mengatakan bahwa: Keluarga menruut pandangan individu merupakan simbol bagi ciri-ciri yang mulia seperti keimanan kepada Tuhan, pengorbanna, kesediaan berkorban untuk kepentingan kelompok, cinta kepada kebaikan. Kesetiaan dan lain-lain nilai mulia yang dengannya keluarga dapat menolong individu untuk menanamkannya kepada dirinya. Sedangkan menurut pandangan masyarakat keluarga merupakan institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit sosial yang utama, melalui individu-individu dalam masyarakat dipersiapkan nilai-nilai kebudayaan, kebiasaan dan tradisi, dipelihara kelanjutannya, dan melalui dia juga kebudayaan dipindahkan dari generasi ke generasi berikutnya. Jelas kiranya bahwa generasi penerus yang sehat dinamis dan kreatif diciptakan oleh generasi sebelumnya. Pembangunan dunia ini harus diteruskan secara berkesinambungan dan tidak berhenti dengan matinya seseorang dan ilmu yang bermanfaat erlu dikembangkan secara terus menerus. 3. Hak dan Kewajiban Anggota Keluarga Hubungan suami istri dalam kehidupan berumah tangga tidak selamanya ditentukan oleh perhitungan-perhitungan rasio dan logika namun mempunyai variasi yang bermacam-macam. Semua itu berpangkal dari perasaan dan Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
67
keinginan serta kebutuhan kedua belah pihak yang saling berlainan dalam pergaulan sehari-hari.
Dari perasaan suami istri yang saling berlainan itu
menimbulkan titik tujuan tidak searah yang seringkali menjadi pokok pangkal keruwetan dan timbulnya perselisihan kecil-kecilan dalam rumah tnagga, yang kemudian bertambah besar dan akhirnya sulit dapat diatasi. Gari Alexander dalam bukunya “Five ways to save your Marriage” (Ramayulis, 2001:
55) meneliti dan menyorot masalah-masalah perkawinan,
sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Kesanggupan untuk memahami hubungan timbal balik antar suami istri terutama kepekaan memahami hal-hal yang tidak terungkapkan. Kesanggupan membangun dan menciptakan keserasian idup berumah tangga Kesanggupan untuk saling memahami peranan masing-masing Kesanggupan untuk saling memberikan keharmonisan dan kesanggupan dalam hubungan sex Kesanggupan untuk mematuhi kesepakatan dalam mengatur pembiayaan rumah tangga dan hal-hal yang bersangkutan dengan masalah itu.
Faktor kesanggupan untuk saling dapat memahami hubungan yang sifatnya timbal balik dan wilayahnya penuh kepekaan itu, banyak menentukan kelangsungan dan keselamatan kehidupan rumah tangga. Untuk itu di dalam diri suami maupun istri hendaknya banyak tertanam rasa untuk saling tolong menolong, saling melindungi, saling membantu dan saling memberikan kasih mesra dan kecintaan, serta masing-masing suami istri berusaha melakukan kewajibannya.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
68
Adapun hak dan kewajiban suami istri dalam Kompolasi Hukum Islam BAB XII bagian kesatu pasal 77 tentang hukum perkawinan, sebagai berikut: a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadaah, warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat b. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anakanak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan keada Pengadilan Agama Sementara itu kewajiban suami istri menurut Ramayulis (2001: 56) yaitu: a. Kedua belah pihak suami istri harus saling hormat menghormati, sopan santun dan penuh pengertian. b. Kedua belah pihak jangan membukakan rahasia rumah tangga dan rahasia masing-masing walaupun disaat terjadinya pertengkaran dan malah harus berlapang dada menghadapi kesukaran dan kesulitan rumah tangga. c. Matang dalam berpikir, mampu mengatasi emosi yang sedang menyala-nyala dan meluap-luap dan harus berusaha menjauhi bibitbibit pertengkaran dan perselisihan. d. Milikilah kesabaran dan kerelaan atas kekurangan dan kelemahankelemahan yang ada pada masing-masing. e. Bekerjasama untuk menyelamatkan rumah tangga. Suami istri harus sama-sama dapat menyesuaikan diri, satu tekad dan satu tujuan demi tercapainya kebahagiaan rumah tangga. f. Adanya saling bantu membantu untuk mencapai kedewasaan dan kematangan emosi serta mempelajari dan memahami kepribadian dan perilaku masing-masing. g. Kedua belah pihak harus saling mencintai dan harga menghargai. h. Kedua belah pihak harus dapat merajut suatu hubungan yang mesra dengan cinta kasih dan kedua belah pihak harus dapat memenuhi kepuasan lahiriyah dan kepuasan batiniah walaupun sudah berumur lanjut. i. Antara suami istri harus saling hormat menghormati orang tua dan keluarga kedua belah pihak. j. Kedua belah pihak harus menjadikan rumah tangga itu itu sebagai muara yang tenang dan pelabuhan yang damai, tempat istirahat yang menyenangkan dan menggembirakan. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
69
k. Masing-masing hendaklah memberikan kesempatan untuk menambah pengetahuan yang berguna untuk kebahagiaan rumah tangga maupun untuk kepentingan masyarakat selama tidak melanggar ajaran agama Islam. Dengan demikian, suami istri harus mengerti hak dan kewajibannya masing-masing karena kedudukan suami istri adalah sama dan seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan hidup bermasyarakat sehingga suasana harmonis dalam kehidupan keluarga akan terwujud. 4. Pengertian dan Penyebab Timbulnya Konflik Keluarga Kehidupan rumah tangga tidak selamanya indah mempesona akan tetapi, sering dijumpai berbagai masalah dan konflik. Uraian ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Samihah Mahmud Gharib (2006: 12) tentang pengertian konflik keluarga yang mengatakan bahwa: Konflik keluarga ialah peselisihan yang terjadi di dalam keluarga disebabkan berbagai masalah dan perbedaan-perbedaan yang meniupkan hawa ketegangan yang selalu siap untuk mengusik ketenangan bahkan menggiring kearah kehancuran sebuah keluarga. Sedangkan menurut Ramayulis (2001: 1) konflik keluarga ialah “Kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis disebabkan oleh kurangnya pengertian dan pengetahuan tentang hukum dan petunjuk agama dalam pembinaannya”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik keluarga merupakan perselisihan atau pertentangan di dalam keluarga yang dipicu oleh perbedaan dan ketidakharmonisan karena kurangnya pengertian diantara suami istri dan pengetahuan tentang hukum dan petunjuk agama sehingga dapat menggiring ke arah kehancuran sebuah keluarga (perceraian). Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
70
Penyebab-penyebab timbulnya konflik keluarga dapat dipicu oleh berbagai macam faktor. Samihah Mahmud Gharib (2006: 15-18) berpendapat bahwa konflik keluarga kebanyakannya terjadi dikarenakan persoalan-persoalan di bawah ini: a. Keliru Dalam Memilih Dari Pihak Suami Maupun Istri Hal ini banyak terjadi, karena pernikahan dilakukan melalui pendekatan perasaan, bukan karena alasan agama, karena perasaan cinta hanya akan bertahan beberapa bulan setelah terjadinya pernikahan. Setelah itu, diantara suami istri akan terbentang jarak yang lebar dari segi akhlak, tabiat, wawasan maupun kecenderungan masing-masing, kebanyakan keduanya melaksanakan pernikahan hanya terpesona dengan kecantikan, yang selanjutnya akan terbuka matanya bahwa ternyata kecantikan, harta dan lain-lain hanya emmbawa kepada keburukan dan kehinaan akhlak. Maka, agama adalah pondasi pertama agar pernikahan menjadi sukses. b. Ketidaktahuan Terhadap Hak dan Kewajiban Masing-masing Yaitu ketidaktahuan suami istri tentang syariat dan hukum bergaul dengan pasangan, kemudian hak saling memberi dan menerima, tidak bisa memelihara dengan baik hak-hak tersebut seperti saling menghormati, taat, saling percaya dan ikhlas, juga tidak ada komitmen yang kuat terhadap akhlak yang islami dari salah satu pihak ataupun keduanya yang menyebabkan hubungan keduanya menjadi tegang dan kemudian timbul berbagai masalah.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
71
c. Perbedaan Mencolok Dalam Kepribadian Kebanyakan suami istri berbeda dalam cara berpikir, berperilaku, dan gaya hidup, mengingat perbedaan mereka dari segi lingkungan tempat mereka tumbuh ditambah lagi sebagian dari mereka memiliki sikap fanatisme yang kuat dan kondisi kejiwaan yang labil yang dapt menyebabkan perselisihan dan pertengkaran. d. Persoalan Materi Msalah ekonomi kerap menjadi pemicu pertengkaran, sebagian para suami tidak menunaikan kewajibannya untuk meberi nafkah kepada istri, suami tidak mampu menghemat untuk menutupi kebutuhan istrinya yang menyulut pertengkaran. Namun, terkadang istri pun bisa menjadi penyebab masalah, dia hanya sibuk memperkaya diri dengan kesenangan dunia seperti perabot rumah mahal dan lux, perhisasan berharga, dan selalu ingin seperti yang lain. Inipun menjadi penyebab para suami dzhalim, semakin tertekan dan jiwanya stress karena ketidakmampuan dirinya dalam memenuhi keinginan istrinya. Keadaan tersebut memaksanya untuk mencari pinjaman ataupun terjadi pertengkaran sengit dengan istrinya. e. Tidak Adanya Simpati Dari Salah Satu Pihak Terhadap Beratnya Beban Kehidupan Karena tidak adanya simpati dan penghargaan dari salah satu pihak terhadap beban hidup yang terjadi, akan menjadi reaksi keras dari salah satu pihak disebabkan dengan kondisi tertekan yang akan menjurus kepada perpecahan dan malapetaka di antara suami istri. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
72
f. Intervensi Suami Dalam Urusan Rumah Terkadang campur tangan suami dalam urusan rumah melebihi batas. Situasi seperti ini akan membuat istri merasa tertekan dan dari hari ke hari sang istri akan berontak. g. Campur Tangan Kerabat Keluarga Dalm Kehidupan suami Istri Penyebab masalah dalam keluarga banyak juga disebabkan oleh campur tangan kerabat dekat dari suami maupun istri, seperti ayah, ibu saudara kandung mereka ikut campur dalam urusan rumah tangga yang menyebabkan perselisihan dalam kehidupan rumah tangga. h. Tidak Mau melihat Kebaikan dan hal Positif Dari Pasangan dan Hanya Sibuk Mencari-cari Kesalahan dan Hal-hal Negatif lainnya. i. Rasa Cemburu Yang Berlebihan Rasa cemburu ini juga akan berakibat hilangnya kepercayaan antara suami istri dan selanjutnya menghancurkan sebuah keluarga. j. Tidak Komitmen Pada Solusi Yang telah Ditetapkan Oleh Syariat Berkaitan Dengan Persoalan Rumah Tangga Ketika terjadi pertengkaran antara suami istri, dalam pikiran keduanya tidak ada solusi lain kecuali cerai. Padahal, perceraian bukanlah satu-satunya jalan terakhir dari berbagai persoalan keluarga. Masih banyak cara dan jalan keluar yang lain yang bisa digunakan dalam pemecahan problematika keluarga. k. Banyak Melakukan Dosa dan Maksiat Fudhail bin “Iyadh berkata,” Sungguh aku berbuat maksiat kepada Allah maka aku mendapatka akibatnya pada perlakuanku terhadap binatang dan istriku”. Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
73
Maknanya, bahwa perbuatan dosa yang dilaklukan seorang manusia mempunyai pengaruh buruk terhadap sang pelaku. Ketika istri melakukan perbuatan dosa bisa dilihat pengaruhnya pada hubungan di antara keduanya. l. Mengabaikan Kebutuhan Sexual Salah Satu Pihak Bahwa kebutuhan kedua pasangan terhadap pemenuhan insting sexualnya adalah fitrah yang membuat keduanya saling suka dan terbuka, keduanya tidak boleh menganggap remeh untuk kebutuhan yang satu ini. m. Sering Mencela dan Menghina Sebagian problem rumah tangga akan semakin bertambah jika selalu banyak mencela dan menghina. Sikap menghina tidak akan pernah mebawa hasil yang positif, begitu juga terlalu banyak mencela akan menghancurkan harga diri pasangan.
5. Solusi untuk Menghindari dan Menyelesaikan Konflik Keluarga Terkadang kehidupan rumah tangga selalu dihadapkan dengan berbagai krisis yang rumit. Hal itu disebabkan karena munculnya perbedaan-perbedaan dari segi keinginan dan kebutuhan kedua pasangan, tiap pihak selalu mendesak agar mendapatkan apa yang diinginkan yang selalu menghasilkan pihak yang menang dan kalah. Idealnya kondisi ini tidak boleh terjadi di dalam keluarga.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
74
Menurut Samithah mahmud Gharib (2006: 22), solusi untuk menghindari dalam penyelesaian konflik keluarga ialah sebagai berikut: a. Perundingan antara suami istri Adanya pihak yang menang dan kalah diantara suami istri akan mengakibatkan salah satu pihak merasa di zhalimi. Oleh karena itu, kit bisa membuat komunikasi atau perundingan antara suami istri sebagai solusi yang tepat agar kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan adil, harmonis dan masing-masing merasa ada kecocokan. b. Membuat perjanjian bersama ketika terjadi konflik Untuk meminimalisir masalah yang terjadi mesti ada semacam perjanjian atau aturan main yang telah ditetapkan antara suami istri, keduanya saling sepakat dan komitmen dengan poin-point yang telah ditetapkan. Kesepakatan ini juga menekankan agar salah satu pihak tidak melanggar ketentuan yang sudah berlaku, dan poin-poin dari kesepakatan ini harus mencakup sesuatu yang disukai dan diinginkan kedua belah pihak sehingga kedua pasangan harus saling berkomitmen dengan perjanjian tersebut.
Elissa Mudya Yunus, 2011 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
75