BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.5 Kajian Pustaka Penelitian Syair Dendang Siti Fatimah sudah dilakukan oleh penulis dalam menyusun skripsi S1, Bahasa dan Sastra, Universitas Sumatera Utara (1995) yakni “Analisis Struktural Syair Dendang Siti Fatimah di Kecamatan Binjai Timur”. Hal yang dikaji adalah hakikat puisi( tema, rasa, nada,
amanat) dan metode
puisi
(diksi, imajinasi, gaya bahasa, rima dan ritma). Edi Siswanto (2010) Program Studi Linguistik Konsentrasi Wacana Kesusastraan Sekolah Pasca Sarjana USU, dengan judul Kajian Semiotika Budaya Terhadap Syair Dendang Siti Fatimah Pada Upacara Mengayun Anak Masyarakat Melayu Tanjung Pura. Teori yang digunakan adalah teori semiotika Charles Sanders Peirce. Erma Satifa (2009), Program Studi Linguistik Pasca Sarjana USU dengan judul Syair Mahidin pada Adat Perkawinan Banjar di langkat: Kajian Prosodi dan Fungsi. Penelitian itu menggunakan teori fonetik akustik dan fungsional. Lokasi penelitiannya adalah Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Prosodi yang menjadi kajian meliputi, frekuensi , durasi, dan notasi, dan fungsinya. Hal yang menarik dalam penelitian syair Madihin ini ternyata ada juga yang digunakan pada acara penabalan nama anak yang baru lahir.
Universitas Sumatera Utara
Suzan Ahmad (dalam carmahlms.com/2008) dengan judul “Berendoi” Tanda Kesyukuran. Dalam artikel Harian Bintang Populer membahas sebuah nyayian “Berendoi” Tanda Kesukuran yang juga menggunakan nama Dendang Siti Fatimah. Lirik-lirik yang berlaku di sana berbeda dengan lirik syair yang ada di Binjai Timur ini, namun konsep utamanya sama yakni sebuah nyanyian tanda kesyukuran yang dibawakan dalam acara bercukur seorang bayi yang berusia tujuh hari. Biasanya buaian akan dihiasi indah. Bayi yang dicukur rambutnya akan diletakkan di dalam buaian, dan mulailah nyanyian berendoi yang sarat dengan bait lirik yang memuji Rasullullah. Ketika adat berendoi, bayi akan diletakkan di dalam buaian dengan menggunakan kain songket atau batik dan dihias indah dengan bunga-bungaan. Selendang akan diikat di kiri kanan buaian dan ditarik perlahan-lahan ketika upacara berlangsung. Ketika itu juga nazam atau marhaban dialunkan oleh sekumpulan lelaki atau wanita (Ical dalam resammelayu.blogspot.com, 2008). Pada hari ini, masyarakat Melayu menjalankan adat ini serentak dengan adat memberi nama dan adat cukur rambut. Berendoi masih bergerak aktif sampai hari ini dan boleh ditonton paling banyak di Perlis, Kedah, Selangor dan Perak. Di Perak, nyanyian berendoi menggunakan nama “Dendang Siti Fatimah “dan senikatanya berlainan dengan senikata yang dibawa kumpulan Berendoi di Perlis dan Kedah. Adat berendoi atau buai bayi ini dipersembahkan sebagai tanda keriangan atau kesyukuran menyambut kelahiran cahaya mata. Lagu”Berendoi” atau “Dendang Siti Fatimah” membawa syair yang memuji junjungan Nabi Muhammad saw,
Universitas Sumatera Utara
menceritakan perihal susah payah ibu mengandung dan melahirkan anak, selain juga nasihat kepada anak-anak. Antara lain liriknya, "Ayuhai anak didalam buaian, Pejamkan mata jangan tangiskan, Lagu Berendoi kami dendangkan, Di dalam majlis tanda kesyukuran ... Lamalah sudah kami menanti, Namun engkau tak kunjung tiba, Dengan takdir Ilahi rabbi, Kini engkau sudah menjelma." Dalam sebuah Artikel (.wikipedia.org/wiki/Dendang anak, 2010) Dendang Anak atau ﺩﻳﻨﺪﻍ ﺃﻧﻖmerupakan sebuah Kumpulan Muzik Kesenian adalah Duta Kebudayaan Terengganu yang ditetapkan
sebagai satu gerakan kesenian yang
membawa imej Bangsa Melayu, ditubuhkan dan berasal dari sebuah negeri/ provinsi kecil Semenanjung Malaysia, Terengganu Darul Iman. Dipelopori
oleh seorang
penggiat seni dan ahli pengkaji sejarah ( dikenali sebagai "Raqeem" selaku nama pena nya), berawal di sebuah perkampungan yang letaknya di Hulu Kuala Terengganu seawal tahun 1997. Dendang Anak telah dimulai dengan membawa pelbagai jenis konsep atau genre muzik namun yang jelasnya adalah nama "Dendang Anak" itu sendiri begitu sinonim dengan irama muzik yang diproklamirkan sebagai "Rentak Nusantara ", yang menggabungkan irama tradisional seperti Jawa, Sunda, berteraskan rentak serta penyusunan lagu yang mempunyai sentuhan-sentuhan yang menggambarkan kemelayuan yang meluas atau global seperti Zapin, Djikir Barat, rentak Samaniah, Inang, Masri, dan lain-lain. Pada artikel tersebut nama”Dendang Anak” diambil dari sebuah kisah yang ada tercatat pada awal sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin
Universitas Sumatera Utara
Dalam sejarah Melayu itu juga ada ditulis tentang rombongan Sultan Malaka dan rombongan Inderagiri yang di utus sultan untuk meminang. Dari pernyataan itu dapatlah disimpulkan bahwa, riwayat dendang anak juga ditulis dalam sejarah Melayu. Itu artinya bahwa dendang anak bukanlah semata-mata sebuah kesenian belaka yang hanya mementingkan seni hiburan atau unsur utilenya saja lebih dari itu dendang anak adalah sebuah amanah dari sejarah untuk tetap kita pertahankan karena mengandung ajaran moral bagi generasi selanjutnya. Dengan demikian akan terwujudlah
sebuah
negara
yang
bermartabat,
bermoral,
dan
berbudaya
(wikipedia.org/wiki/Dendang_anak, 2010) Penelitian Syair Dendang Siti Fatimah ini adalah mencoba membahas dan meneliti kandungan bentuk mitos dan ideologi pada teks dan konteks Syair Dendang Siti Fatimah dengan menggunakan teori semiotik Riffatere dan pendekatan struktural. Jadi, penelitian ini menggunakan kajian strruktural-semiotik, artinya penelitian ini menghubungkan aspek-aspek struktural dangan tanda-tanda.
Makalah tentang mitos
juga penulis temukan pada hasil tulisan Hamza
Mustafa Njozi dari Malaysia tahun 1993. Makalah itu berjudul “ Mystic Numbers in Sejarah Melayu.” Hamza Mustafa menulis bahwa Spekulasi dan kepercayaan terhadap nomor-nomor yang dianggap `ajaib’ (mistik) telah ada sejak di zaman silam dan merupakan sesuatu yang universal. Artikel ini bertujuan untuk mengenal pasti beberapa angka yang dianggap `ajaib’ yang terdapat dalam buku Sejarah Melayu. Kemudian analisis ini juga bertujuan untuk membicarakan kepentingan angka-angka
Universitas Sumatera Utara
ini di dalam Sejarah Melayu serta kemungkinannya kepercayaan ini hingga mempengaruhi persepsi dan pemahaman seseorang terhadap alam di sekelilingnya.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa konsep mitos yakni sesuatu yang dipercayai kebenaranya telah ada di alam Melayu sejak dahulu kala. Walaupun yang dimitoskan itu berupa angka yang membawa kebaikan dan keburukan. Bila dikaitkan hubunganya dengan kajian ini adalah konsep mitosnya. Syair Dendang Siti Fatimah ini sarat dengan mitos–mitos yang diyakini oleh penganutnya yaitu masyarakat Melayu Binjai Timur. Mitos-mitos itu disakralkan sebagai sesuatu yang suci, baik dan luhur serta membawa kebaikan, keselamatan. Justru apabila ditinggalkan maka membawa keburukan bagi masyarakat pendukungnya.
2.2.Konsep 2.2.1 Mitologi Mitologi berasal dari bahasa Inggris mytology dan bahasa Prancis mythologie, yang bermakna kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang pokok ceritanya sama; studi tentang mitos. Mitos juga berasal dari kata myth (Inggris), mythe (Prancis), dan mythos (Yunani). Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan
Universitas Sumatera Utara
primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai cerita yang mempunyai struktur berarti mitos dibangun oleh satuan-satuan minimal yang bermakna. Satuan minimal yang membangun struktur cerita mitologis sehingga struktur itu sendiri mengandung makna. Frye (Junus, 1981:92) membagi mitos atas dua bagian yaitu, mitos pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang pertama, mempertahankan apa yang terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah terwujud. Dengan begitu, karya sastra juga bukan sesuatu yang rasional, yang melihat segalanya dengan suatu pertimbangan yang jernih, segala sesuatu dalam karya sastra dapat bersifat mitos. Kalau karya sastra tersebut merupakan mitos pembebasan, segala sesuatu yang telah terwujud dan mapan akan dilihat sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang mesti dilawan dan ditiadakan. Sebaliknya, bila karya sastra itu merupakan mitos pengukuhan maka segala yang baru akan dianggap tidak baik dan jahat. Lebih lanjut, Sikana (2008:140) mendefinisikan mitologi sebagai himpunan cerita yang mengisahkan asal usul ; termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian alam, penciptaan cakrawala, kisah-kisah fantasi, keajaiban, magik, heroisme, tragedisme, dan juga aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini termasuk agama, adat istiadat, pantang larang, kebiasaan-kebiasaan, amalan budaya, dan corak penganut spiritual. Hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra.
Universitas Sumatera Utara
Junus (1981:90) mengatakan bahwa hubungan antara mitos dan realitas itu sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Beliau menambahkan bahwa mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Manusia itu hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak-tanduknya. Ketakutan dan keberanian terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos di sekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat berlaku hanya karena penganutnya mempercayai sebuah mitos. Ketakutan manusia akan sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang sebenarnya. Kehadiran suatu mitos merupakan keharusan terutama pada hal-hal yang bersifat abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang ambiguous. Suatu mitos dari masa lampau akan tetap berlaku dalam masanya. Sekali ditinggalkan masa itu, ia tak akan berlaku lagi. Cassirer (1987:114) mengatakan bahwa mitos adalah sebuah kepercayaan bahwa objeknya nyata, tanpa kepercayaaan maka mitos kehilangan hakikatnya. Mitos bagi masyarakat primitif merupakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat ini. Namun, mitos penciptaannya tidak mengantarkan manusia pada sebab pertama atau dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan dengan aktivitas yang supranatural mitos dianggap sebagai yang benar, suci, dan bermakna, serta menjadi pedoman berharga bagi yang mempercayai dari lingkungan tempat tinggalnya. Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk
Universitas Sumatera Utara
menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Barthes (2004:152) menyebutkan bahwa mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Karya sastra jelas bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah manifestasi mitos itu sendiri. Mitos adalah sebuah bahasa. Bahasa membutuhkan syarat khusus untuk dapat menjadi mitos yang harus ditekankan kuat-kuat adalah bahwa mitos adalah sebuah sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Segala sesuatu dapat menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana . Mitos tidak disajikan oleh sebuah objek pesannya, namun oleh cara mengutarakan pesan itu sendiri. Dengan demikian, realitas mitos Melayu diwujudkan manusia melalui bentuk upacara ritual. Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual berarti menghidupkan kembali dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi masyarakat Melayu, mengetahui mitos adalah sesuatu yang penting karena mitos tidak hanya mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh model tentang keberadaannya di dunia, tetapi mereka harus menjalankan dan mengulangi kembali apa yang telah diperintahkan oleh Tuhan dan alam pada waktu permulaan. Jadi, jelaslah bahwa mitos bagi masyarakat Melayu bukan merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk menjali hubungan yang ideal dan sebaik-baiknya antara manusia dengan Tuhannya.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Budaya Melayu Langkat Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat bahwa kata budaya sebagai suatu perkembangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’. Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama. Suku Melayu adalah salah satu suku yang berdiam di Sumatra Utara. Dalam ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1991) disebutkan bahwa Melayu adalah kelompok masyarakat yang berbahasa Melayu, mengamalkan Adat Melayu dan bergama Islam. Kesan perjalanan sejarah yang menjadikan nama Melayu sebagai identitas kelompok beragama Islam berbeda dengan kelompok yang masih beragama tradisi. Maka identitas Islam itu bersamaan dengan nama Melayu sebagai ciri keMelayu-annya. Selanjutnya, Syaifuddin dan Sinar (2002:6) mengatakan, bahwa kategori orang Melayu tidak lagi terikat pada faktor genealogis (hubungan darah) tetapi ditentukan oleh faktor kultural (budaya) yang sama, yakni kesamaan agama Islam, Bahasa Melayu, dan adat Istiadat Melayu. Secara defenisi maka kedua sumber tersebut
Universitas Sumatera Utara
mengatakan hal yang sama tentang
orang Melayu, yakni menggunakan bahasa
Melayu, beragama Islam, dan menjalankan adat Istiadat Melayu. Menurut Sinar dalam (http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010) mengatakan , bahwa budaya Melayu di Sumatera Utara adalah berasal dari daerah yang sama yakni Melayu Sumatera Timur yang beribukota di Medan (1915). Kemudian, dalam sejarah tersebut disebutkan bahwa daerah Binjai Timur adalah termasuk dalam wilayah Kesultanan Langkat. Kesultana Langkat terbagi dua daerah lagi yakni Langkat Hulu dan Langkat hilir. Maka, Kecamatan Binjai Timur adalah termasuk dalam wilayah Langkat Hulu yang berpusat di Binjai. Dengan demikian Syair Dendang Siti Fatimah di Kecamatan Binjai Timur ini merupakan hasil karya dari masyarakat Melayu Langkat. Berangkat dari definisi Melayu di atas maka dapatlah kita katakan, bahwa budaya masyarakat Melayu secara umum memiliki kesamaan. Hal ini mungkin disebabkan karena bangsa Melayu itu sudah pasti menjalankan adat istiadat Melayu selain beragama Islam dan menggunakan bahasa Melayu. Oleh karena itu tidak salah jika di negeri jiran seperti Malaysia pun memiliki tradisi yang sama dalam penyambutan kelahiran anak.
Menurut Admin dalam (http://www.ubb.ac.id, 2008) Selain syair di alam Melayu di negeri jiran Malaysia juga dikenal tradiri dan sastra yang sama yakni, Dodoi / Nyanyi Budak. Lagu dodoi (lullabies) adalah bagian dari genre tradisi lisan orang Melayu di nusantara. Ada yang mengatakan bahwa, lagu dodoi adalah
Universitas Sumatera Utara
nyanyian rakyat paling tua, yang lahir dari tengah kehidupan rakyat biasa, karena itu, tema-tema lagu juga berkaitan dengan kehidupan harian mereka. Dalam lagu dodoi tercermin kepercayaan, pikiran, keinginan dan harapan rakyat. Secara umum, terdapat empat aspek utama dalam lagu dodoi yaitu: pembelajaran bahasa; permainan anakanak; pesan nilai dan norma kehidupan; dan aspek keagamaan.
Dalam masyarakat Melayu, lagu ini dinyanyikan oleh seorang ibu (terkadang kakak atau saudara) dengan suara yang lemah-lembut, merdu, mendayu-dayu dan berulang-ulang sambil mengayun atau membuai anak yang berada dalam ayunan (buaian) hingga tertidur. Usia anak yang ditidurkan dengan lagu dodoi ini biasanya masih bayi, belum mengerti bahasa formal.
Ketika mendendangkan lagu dodoi, pergerakan tangan, mimik muka dan nada suara sang ibu menggambarkan seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan anaknya. Terkadang, ibu juga mencium dan menepuk-nepuk punggung anaknya, mengangguk-anggukkan kepala dan mengeluarkan suara tertentu yang sudah dikenal dengan baik oleh anaknya, sehingga anak akan cepat tertidur. Bisa dikatakan bahwa, lagu ini adalah simbol dari limpahan kasih sayang dan keikhlasan orang tua terhadap anaknya; media komunikasi antara anak dan ibu bapak; media perdidikan perdana tentang nilai-nilai luhur dan keagamaan; dan pengganti teman bagi si anak.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Landasan Teori Dalam penelitian ini, untuk membedah masalah diapresiasikan secara ekletik digunakan pendekatan dan teori struktural secara bersamaan. Adapun teori yang digunakan adalah pendekatan struktural dan teori semiotika.
2.3.1 Pendekatan Struktural Teeuw (1988:135) berpendapat, “Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendetail serta semendalam Mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang secara bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh “. Analisis struktural bukanlah merupakan penjumlahan anasir-anasir itu, namun yang lebih penting lagi adalah justru sumbangan yang diberikan oleh gejala pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya (antara fonemik, morfologi, sintaksis, semantik). Dengan kata lain tujuan analisis struktur justru ingin mengupas semendetail mungkin keseluruhan makna dari anassir-anasir yang membangun struktur tersebut. Abraham (dalam Teeuw, 1988:120) mengambil istilah lain dari analisis struktural ini, yaitu pendekatan objektif; suatu pendekatan yang menekankan, bahwa karya sastra sebagai struktur yang bersifat otonom. Otonom dalam arti pendekatan ini hanya berpusat pada karya sastra tanpa mempperhatikan penyair sebagai pencipta maupun pembaca sebagai penikmat sastra serta unsur-unsur intrinsik lainya seperti: psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain. Dengan demikian konsep teori analisis
Universitas Sumatera Utara
struktural ini adalah bersifat close reading; pembacaan karya sasstra sebagai ciptaan bahasa. Apa yang diuraikan di atas sangat berkaitan dengan pernyataan Hartoko (1982:36), “ ... kebanyakan penganut aliran struktural secara langsung atau tidak langsung berkiblat pada strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Desasure”. Strukturalis ala Desausure itu menekankan dua aspek yang sangat penting dalam bahasa. Pertama adalah signifiant yang berarti aspek bentuk dalam lambang atau tanda. Sedangkan yang kedua adalah signifie yang berarti yang diartikan atau petanda. Dengan menggabungkan kedua unsur ini (tanda dan petanda) maka kita dapat mengatakan sesuatu hal dalam kenyataan. Hubungan antara arti dan yang diartikan umumnya dilakukan secara konvensional dan sewenang-wenang; jadi tidak menurut kodrat alam yang sudah ditetapkan. Umumnya pula konvensi itu berbeda dari suatu tempat ke tempat lainya karena sudah dipengaruhi oleh lattar belakang sosial budaya serta geografis tertentu. Konsep teori analisis struktural ini sangat berkaitan dengan istilah hermeneutik dalam sastra, yakni ilmu atau keahlian dalam menginterpretasikan sebuah karua sastra dengan ungkapan bahasa yang lebih luas menurut maksudnya (Teeuw: 1988:123). Interpretasi ini tidak dapat diandalkan kecuali telah dimulai menginterpretasikan secara keseluruhan terhadap karya sasstra tersebut. Walaupun demikian interpretasi ini bersifat sementara bersamaan dengan menafsirkan anasiranasir karya itu sebaik mungkin. Setelah itu, pemahaman atau penafsiran ini menyanggupkan kita untuk memahami keseluruhan karya; sampai akhirnya kita
Universitas Sumatera Utara
mencapai tahap penafsiran puncak, yakni diperoleh intergrasi makna secara total dan makna bagian-bagian yang maksimal. Proses bagian ini biasanya bagi pembaca awam berlaku secara implisit dan tidk sadar; hanya penafsiran secara akademis yang profesionalah yang berhasil memahami sebuah karya sastra. Sebaliknya jika seseorang tidak berhasil mencapai interpretasi intergral dan total maka, hanya ada dua kemungkinan; karya itu gagal atau pembaca bukanlah seorang pembaca yang baik. Konsep Aristoteles mengenai karya sastra yang otonom tidak pernah menghilang dari dunia sastra Barat bahkan tetap dipertahankan cukup setia oleh npenulis maupun pembaca sebagai konvensi dasar sastra. Konvensi ini dianggap wajar, alamiah, dan universal. Namun begitu, apa yang dianggap umum pada suatu zaman bisa saja berubah untuk waktu yang akan datang. Konsep Aristoteles yang terkenal dengan otonomi sastranya mengalami pergeseran, yakni dari struktur karya yang objektif bergeser ke pendekatan ekspresif yang melibatkan pembaca. Kemudian bergeser lagi ke arah karya sastra dipahami untuk melihat aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas lagi; terutama agama, sejarah, atau aspek kemasyarakatn lainya.
Perubahana ini terkenal dengan pendekatan
diakronik ke penmdekatan sinkronik. Karya sastra tadinya dianggap sibagai sarana untuk mencapai pengetahuan lain, kini sastra dianggap sebagai bidang kebudayaan yang otonom. Konsep ini dimulai oleh Ferdinand de Sausure (dalam Teeuw, 1988:126) yang cukup radikal membawa perubahan pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik.
Universitas Sumatera Utara
Sifat utama bahasa sebagai sistem tanda ialah sifat rasionalnya; berarti keseluruhan relasi atau oposisi anatara unsur-unsurnya harus dipahami terlebih dahulu, kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsep inilah awal mula aliran atau mazhab ilmu bahasa yang disebut teori strukturalis yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi dominan dalam ilmu bahasa di Eropah; seperti di Paris, Genewa, Praha, Amsterdam, maupun di Amerika Serikat. Aliran sruktural ini dirintis oleh kaum formalis Rusia ini
yang ingin
membebaskan karya sastra dari kungkunga ilmu-ilmu lain: psikologi, sejarah, ataupun kebudayaan. Kaum formalis menganggaap bahwa syair atau puisi secara umum adalah pemakaian bahasa yang mengarah kepada tenda-tanda bukan mengarah kepada kenyataan. Dengan kata lain konsep pemahaman formalis ini adalah memahami karya sastra menggunakan prosede atau sarana yang secara distingkif dimanfaatkan oleh penyair. Sarana yang dimaksud tentu bunyi bahasa (rima, matra, irama, aliterasi, asonansi). Kemudian, bidang morfologi, sintaksis, dan semantik. Dengan begitu karya sastra dengan perangkat unsur-unsurnya adalah sebagai sistem tanda yang lepas dari fungsi reprensial atau mikmetiknya. Dalam perjalannannya aliran strukturalis ini mengalami ketegangan. Ketegangan itu muncul antara otonomi sastra yang struktur dan pendekatan ekpresif dari pembaca sebagai penikmat sastra yang memiliki latar budayanya masing masing. Namun dengan ketegangan itu justru pendekatan strukturalis menjadi berkembang ke arah yang lebih baik dalam dunia sastra. Ketegangan itu akhirnya menimbulkan kesepakatan di kalangan para ahli sastra mengenai teori struktural. Kesepakatan itu
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan bahwa pendekatan struktural terhadap karya sastra sungguh tidak dapat dimutlakkan. Pendekatan ini harus harus ditempatkan dalam keseluruhan model semiotik sastra; pembaca, penulis, kenyataan, serta sejarah sastra. Semua itu memberikan peranan dalam menginterpretasikan sastra secara menyeluruh. Namun begitu, analisis struktur dalam rangka semiotik tetap dipentingkan dan sangat perlu, sebab analisis struktur adalah sarana atau jembatan ke arah proses pembaca memahami karya sastra (Teeuw, 1988: 145)
2.3.2 Teori Semiotika Semiotik berasal dari kata Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Istilah pertama, merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Baik semiotik maupun semiologi sering digunakan secara bersama-sama, tergantung di mana istilah itu dipopulerkan. Biasanya istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi Saussurean. Tradisi ini diikuti oleh Piercean. Sedangkan istilah semiologi banyak digunakan oleh Barthes (Endraswara, 2008: 64). Baik semiotik atau pun semiologi sebenarnya merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah model pendekatan keilmuan. Keduanya merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antra sign(tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu. Tanda-tanda tersebut akan tampak pada tindak komunikasi manusia lewat bahasa ,
Universitas Sumatera Utara
baik lisan maupun juga bahasa isyarat. Semiotik juga menganut dikotomi bahasa yang dikembangkan De Saussure, yakni karya sastra memiliki hubungan dengan penanda (signifiant) dan petanda (signifie). Penanda adalah asfek formal atau bentuk tanda itu, sedangkan petanda adalah makna atau konsep dari penanda itu. Dengan kata lain, semiotik adalah penelitian sastra yang mendasarkan semiologi . Semiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tanda–tanda bahasa dalam karya sastra. Pada prinsipnya, melalui ilmu ini karya sastra akan terpahami arti di dalamnya. Namun, arti dalam pandangan semiotik adalah meaning of meaning atau disebut juga makna (significance). Substansinya, karya sastra adalah repleksi dari pemikiran, perasaan, dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan bahasa khas. Yakni, bahasa yang memuat tanda–tanda atau semiotik. Bahasa itu akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dan ilmu yang mempelajari masalah ini adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan semiotik, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra(Endraswara, 2008:63). Model ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap kajian srtuktural. Jika struktural sekedar menitikberatkan aspek intrinsik, semiotik tidak demikian halnya, karena semiotik memaklumi bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri. Itulah sebabnya muncul kajian strruktural-semiotik, artinya penelitian ini menghubungkan aspek-aspek struktural dangan tanda-tanda. Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik itu sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Dikemukakan Junus (dalam Wulandari dan
Universitas Sumatera Utara
Jabrohim, 2001:70) bahwa semiotik itu merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme. Alasanya adalah karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda , tanda dan maknanya, dan konvensi tanda , struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal. Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini mengaanggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti-arti.(Pradopo dalam Wulandari dan Jabrohim, 2001:71). Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa penelitian semiotik adalah studi tentang tanda. Karya sastra akan di bahas sebagai tanda–tanda . Tentu saja , tanda tanda itu telah ditata oleh pengarang sehingga ada sistem, konvensi, dan aturan-aturan tertentu yang dimengerti oleh peneliti. Tanpa memperhatikan hal-hal yang terkait dengan tanda-tanda, maka pemaknaan karya sastra tidaklah lengkap. Hoed (2011:3) mengatakan, “ Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna”. Selanjutnya dikatakan bahwa Semiotik pada perkembangannya menjadi perangkat teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia. Jadi, mengacu pada paham semiotika struktural maka semiotik dapat digunakan untuk mengkaji kebudayaan. Kebudayaan dipandang dari susdut semiotik sebagai suatu sistem tanda yang berkaitan satu sama lain dengan
Universitas Sumatera Utara
cara memahami makna yang ada di dalamnya.Namun demikian, keterkaitan itu bersifat konvensional. Semiotika sebagai ilmu terdiri dari semiotika strukturalis dan semiotika pragmatis. Semiotika strukturalis melihat tanda sebagai hubungan dua komponen yang terstruktur . Sedangkan semiotik pragmatis melihat tanda sebagai suatu proses semiosis tiga tahap melalui pancaindra. Kemudian, kedua jenis semiotik ini mengarahkan perhatiannya pada kajian tentang budaya. Dengan demikian, semiotik melihat kebudayaan sebagai tanda yang diberi makna oleh masyarakat sesuai dengan konvensi yang berlaku. Syair Dendang Siti Fatimah ini merupakan hasil budaya masyarakat Melayu Binjai Timur. Untuk itu, tepat sekali jika digunakan ilmu semiotik untuk memberi makna pada syair itu sesuai dengan konvensi yang berlaku pada masyarakat Binjai Timur. Semiotika yang digunakan tentu semiotika budaya sebab objek kajiannya adalah sebuah hasil budaya dari kebudayaan masyarakat Melayu Binjai Timur. Walaupun begitu tentu tidak bisa melepaskan unsur semiotika strukturalis yang dikotomis antara tanda dan petanda. Upaya memahami kebudayaan- Syair Dendang Siti Fatimah- dengan menggunakan semiotika adalah sebuah usaha untuk menjelaskan gejala-gejala dalam kehidupan sosial, dan budaya masyarakat Melayu Binjai Timur itu sendiri ( Hoed, 2011:49). Selanjutnya Hoed (2011:107) juga menjelaskan bahwa, semiotika dan hermeneutika sebagai dua pendekatan dengan cara yang berbeda dari fenomena budaya yang sama. Semiotika memberikan penekanan pada makna fenomena budaya
Universitas Sumatera Utara
sebagai tanda yang bersifat representatif dan interpretatif. Sedangkan hermeneutika memberikan penekanan pada teks sebagai fenomena budaya tidak terlepas dari produksi teks dan lingkungannya. Hal ini menjadi menarik karena kadar interpretasi pembaca diharapkan lebih besar dari penulisnya sendiri (Gedamer dalam Hoed, 2011:107). Hal ini sejalan dengan pendapat Eco (dalam Hoed, 2011: 107) yang mengatakan bahwa teks adalah sesuatu karya yang bersifat terbuka. Hal ini sesuai denga pola kehidupan dan dinamika budaya masyarakat kita. Pendekatan hermeneutika dan pendekatan semotik terhadap gejala budaya adalah sebuah pencarian makna yang terkandung dalam budaya itu. Pencarian makna ini dalam dunia sastra seakan tidak ada akhirnya. Dimulai dari teori konotasi Barthes teori pascastruktural de Sausure hingga foucault dan Derrida. Pemikiran mereka akhirnya tidak hanya ingin mencari makna tetapi lebih dari itu apa ideologi di belakang teks tersebut. Dengan demikian faktor interpretasi peneliti semakin menonjol dalam sebuah penelitian Menganalisis syair yang termasuk genre puisi melayu lama itu bertujuan memahami makna syair. Menganalisis syair adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks syair. Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna. Karya sastra itu merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang mempunyai arti, medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral). Teori yang digunakan dalam analisis makalah ini menggunakan
Universitas Sumatera Utara
teori semiotika menurut Riffaterre (dalam Endraswara, 2008:67) yang menggunakan langkah pembacaan ( heuristik) dan (2) hermeneutik (retroaktif) dalam aplikasinya. Teks atau puisi menurut Michael Riffaterre adalah pemikiran yang dibakukan melalui mediasi bahasa. Dalam semiotik,Riffaterre memperlakukan semua kata menjadi tanda. Langkah-langkah dalam memahami sebuah teks dalam hal ini puisi menurut Michael Riffaterre ada 4, yaitu: 1.
Pembaca harus menemukan kata kunci atau matriks yang terdapat dalam sebuah sajak atau teks.
2.
Pembaca juga harus melakukan pembacaan secara heuristik, yaitu sesuai dengan kompetensi bahasa dan struktur kebahasaannya
3. Seorang pembaca dituntut untuk melakukan pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan pada tingkat makna.
Teori ini digunakan untuk mempertajam analisis dalam upaya menjawab rumusan masalah pertama dan kedua, yaitu bagaimanakah bentuk-bentuk mitos Melayu dan bagaimana bentuk-bentuk ideologi dalam Syair Dendang Siti Fatimah saat ini di Kecamatan Binjai Timur?.
Universitas Sumatera Utara