8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Berpikir Kritis Pembelajaran IPA di kelas V Sekolah Dasar a. Karakteristik Siswa Kelas V Sekolah Dasar Pemahaman guru terhadap siswa merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru. Apabila guru mampu mengenal dan memahami siswanya maka guru dapat memberikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Keadaan tersebut akan berimplikasi pada peningkatan kemampuan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus mampu memahami dan mengenal perkembangan fisik, mental, dan intelektual siswanya. Anak pada hakikatnya merupakan makhluk individual yang memiliki karakteristik yang unik, memiliki variasi kelebihan dan kekurangan, memiliki cita-cita, kehendak, perasaan, motivasi, serta kebutuhan yang berbeda-beda satu individu dengan individu lainnya. Perkembangan anak merupakan salah satu sasaran utama dalam kegiatan pendidikan atau pembelajaran pada berbagai satuan, jenis, dan jenjang
pendidikan.
Pelaksanaan
kegiatan
pendidikan
harus
memperhatikan karakteristik perkembangan anak yang menjadi subjek didik. Masa usia sekolah dasar merupakan masa perkembangan anak yang penting bagi kesuksesan perkembangan selanjutnya. Pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki oleh siswa perlu didorong agar dapat berkembang secara optimal. Oleh karena itu, guru di sekolah dasar dituntut untuk memahami dan mengenal karakteristik siswanya. Siswa kelas V SD Negeri 2 Ngasinan berusia antara 11-12 tahun. Pada masa itu siswa masih termasuk tahap operasional konkret. Piaget (Susanto, 2013: 170) menyatakan bahwa pada tahap operasional konkret yaitu 6/7-11/12 tahun merupakan fase yang menunjukkan adanya sikap 8
9 keingintahuan siswa yang cukup tinggi untuk mengenali lingkungan mereka. Dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan IPA, maka siswa sekolah dasar harus diberikan pengalaman serta kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bersikap terhadap alam, sehingga dapat mengetahui rahasia dan gejala-gejala alam. Danim (Herianingtyas, 2010: 8) menyatakan bahwa pada tahap operasional konkret anak memiliki karakteristik mampu menggunakan operasi logika, seperti pembalikan, klasifikasi yang disengaja, serta serialisasi. Karakteristik siswa sekolah dasar usia 11-12 tahun secara umum dikemukakan oleh Bassett, Jacka, dan Logan sebagai berikut: (1) anak secara alamiah memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar mereka, (2) mereka senang bermain dan lebih suka bergembira, (3) mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi situasi dan mencoba usahausaha baru, (4) perasaan mereka bergetar dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka dengan ketidakpuasan dan menolak kegagalan-kegagalan, (5) mereka belajar secara efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi, (6) mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif, dan mengajar anak-anak lainnya (Sumantri dan Permana, 2001: 11). Berdasarkan pembahasan tentang karakteristik siswa usia sekolah dasar, dapat disimpulkan bahwa siswa kelas V yang berusia antara 11-12 tahun termasuk pada fase operasional konkret yang memiliki karakteristik berpikir holistik, senang bermain, menyukai hal-hal yang menyenangkan, memiliki keinginan untuk berprestasi, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Karakteristik siswa tersebut pada umumnya dimiliki oleh siswa kelas V di SD Negeri 2 Ngasinan. Seorang guru harus mengenal dan memahami karakteristik siswanya, agar dapat melaksanakan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang sesuai
dengan
karakteristik
siswanya.
Nilai-nilai
penting
dalam
pembelajaran tidak dapat diperoleh oleh siswa jika guru hanya menggunakan metode ceramah saja dalam mengajar. Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, terutama teman sekelas,
10 keluarga, dan masyarakat. Pengetahuan dapat diperoleh ketika siswa melakukan interaksi dengan masyarakat. Pengetahuan yang diperoleh hendaknya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga meningkatkan kualitas hidup. Oleh sebab itu, pembelajaran perlu didekatkan dengan kondisi lingkungan alam dan sosial. Persoalan nyata yang tejadi di masyarakat dapat dibahas di kelas dan diupayakan penyelesaiannya dengan mengembangkan ide-ide kreatif dari siswa. Pembelajaran
seperti
mengintegrasikan
itu
konsep,
akan
dapat
menerapkan
meningkatkan pengetahuan,
kemampuan meningkatkan
kepedulian, dan menyadari dimensi kemanusiaan dalam diri siswa. Guru seharusnya menyadari pentingnya membentuk nilai-nilai penting dalam diri siswa sehingga mau melakukan inovasi dalam proses belajar mengajar. Penerapan pembelajaran dengan pendekatan saintifik memungkinkan siswa untuk memperoleh nilai-nilai penting pembelajaran. Proses belajar secara saintifik mencakup beberapa aktivitas, di antaranya: mengajukan pertanyaan, melakukan pengamatan (observasi), melakukan penalaran, melakukan eksperimentasi (mencoba), dan mengembangkan jaringan. Guru dapat memanfaatkan penggunaan alat atau media dalam kegiatan pembelajaran untuk menunjang pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Penggunaan media nyata atau biasa disebut media konkret dalam pembelajaran akan memberikan kesan terhadap yang baik terhadap siswa. Dengan menggunakan media konkret dalam proses pembelajaran saintifik dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri siswa serta melatih siswa untuk berpikir kritis dalam pembelajaran IPA kelas V tentang cahaya.
b. Pembelajaran IPA 1) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) a) Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Menurut Susanto (2013: 167) IPA adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat
11 pada sasaran, serta menggunakan prosedur, dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapatkan suatu kesimpulan. Menurut Bundu (2006: 9) IPA merupakan ilmu pengetahuan tentang alam atau yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam. Menurut Rahayu (2012: 64) IPA merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam yang meliputi makhluk hidup dan makhluk tak hidup atau sains tentang kehidupan dan sains tentang dunia fisik. Pengetahuan sains diperoleh dan dikembangkan dengan berlandaskan pada serangkaian penelitian yang dilakukan oleh sainstis dalam mencari jawaban pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana dari gejala-gejala alam serta penerapannya dalam teknologi dan kehidupan sehari-hari. Wisudawati dan Sulistyowati (2013: 22) juga berpendapat mengenai pengertian IPA sebagai berikut: IPA merupakan rumpun ilmu, memiliki karakteristik khusus yang mempelajari fenomena alam yang faktual, baik berupa kenyataan (reality) atau (events) dan hubungan sebabakibatnya. IPA merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya IPA juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Ada dua hal berkaitan yang tidak terpisahkan dengan IPA, yaitu IPA sebagai produk dan IPA sebagai proses. IPA sebagai produk berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Sedangkan IPA sebagai proses yaitu kerja ilmiah. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan ilmu yang mempelajari fenomena alam yang faktual, baik berupa kenyataan (reality) atau (events) dan hubungan sebab-akibatnya yang diperoleh melalui kerja ilmiah. Dalam pembelajaran IPA siswa bukan hanya dituntut memahami konsep-konsep IPA, tetapi juga mampu menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan realisasi jembatan dari pengetahuan ke dalam kemampuan. Metode berpikir ilmiah adalah
12 kunci dalam proses praktik manusia, jika dapat dikuasai, maka akan sangat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan suatu permasalahan, sehingga pembelajaran IPA sangat cocok untuk mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah siswa. Hal ini berarti bahwa IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses yang dapat melatih siswa dalam berpikir kritis dalam menanggapi halhal nyata di lingkungan siswa yang terkait dengan pendidikan IPA di sekolah dasar.
b) Hakikat IPA IPA merupakan rumpun ilmu, memiliki karakteristik khusus yang mempelajari fenomena alam yang faktual, baik berupa kenyataan dan hubungan sebab-akibatnya. Menurut
Wisudawati
dan
Sulistyowati
(2013:
24)
pembelajaran IPA terdiri dari produk IPA, sikap ilmiah IPA, proses ilmiah IPA, aplikasi IPA daam kehidupan sehari-hari, dan kreativitas dalam mempeajari IPA. Objek proses pembelajaran IPA tersebut dapat dicapai dalam suatu proses pembelajaran dengan pendekatan
discovery-inquiry.
Pendekatan
ini
mampu
meningkatkan proses mental peserta didik. Proses mental yang dimaksud adalah kemampuan dalam melakukan pengamatan, mengklasifikasi,
membuat
dugaan,
menjelaskan
mengukur,
bertukar pendapat atau diskusi, memecahkan permasalahan (problem solving), dan membuat kesimpulan. Hubungan pendekatan discovery-inquiry dengan objek pembelajaran IPA adalah proses pembelajaran peserta didik terhadap produk IPA (fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori) dapat diperoleh dengan proses penemuan yang dilakukan oleh peserta didik sendiri. Kemampuan yang ingin dioptimalkan dalam
13 pendekatan discovery-inquiry adalah proses mental kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir deduktif-induktif, kemampuan berkomunikasi, peningkatan motivasi, dan peningkatan daya resitasi peserta didik. Carin dan Sund (Wisudawati dan Sulistyowati, 2013: 24) mendefinisikan IPA sebagai pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen yang IPA memiliki empat unsur utama, yaitu sikap, proses, produk dan aplikasi. Susanto (2013: 167) juga mengklasifikasikan IPA menjadi tiga bagian, yaitu IPA sebagai produk, proses dan sikap. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bundu (2006: 11) berpendapat bahwa secara cara garis besar, IPA memiliki tiga komponen, yaitu: (1) proses ilmiah, misalnya mengamati, mengklasifikasi, memprediksi, merancang dan melaksanakan eksperimen, (2) produk ilmiah, misalnya prinsip, konsep, hukum, dan teori, dan, (3) sikap ilmiah, misalnya ingin tahu, hati-hati, objektif dan jujur. Secara lebih detail, tiga komponen IPA dijelaskan sebagai berikut. (1) IPA sebagai sikap ilmiah Sikap ilmiah merupakan sikap yang dimiliki para ilmuwan dalam mencari dan mengembangkan pengetahuan baru, misalnya (a) rasa ingin tahu terhadap dunia fisik dan biologis serta cara kerjanya, (b) pengakuan bahwa IPA dapat membantu memecahkan masalah individu dan global, (c) memiliki rasa antusiasme untuk menguasai pengetahuan dengan metode ilmiah, (d) pengakuan pentingnya pemahaman keilmuan, (e) pengakuan
bahwa
IPA
adalah
aktivitas
manusia,
(f)
pemahaman hubungan antara IPA dengan bentuk aktivitas manusia lainnya.
14 (2) IPA sebagai produk IPA
sebagai
produk
merupakan
suatu
sistem
yang
dikembangkan oleh manusia untuk mengetahui diri dan lingkungannya. IPA sebagai produk keilmuan akan mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum, dan teori. Fakta merupakan pertanyaan dan pernyataan tentang benda yang benar-benar ada, atau peristiwa-peristiwa yang betul-betul terjadi dan sudah dibuktikan secara objektif. Konsep merupakan suatu ide yang mempersatukan fakta-fakta IPA yang saling berhubungan. Prinsip merupakan merupakan generalisasi tentang hubungan di antara konsep-konsep IPA. Hukum merupakan prinsipprinsip yang sudah diterima kebenarannya yang meskipun sifatnya tentatif (belum pasti) tetapi mempunyai daya uji yang kuat sehingga dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama. Sedangkan teori merupakan kerangka hubungan yang lebih luas antara fakta, konsep, prinsip, dan hukum. (3) IPA sebagai proses Proses IPA merupakan sejumlah keterampilan untuk mengkaji fenomena alam dengan cara-cara tertentu untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu itu selanjutnya. Dengan keterampilan proses siswa dapat mempelajari IPA sesuai dengan apa yang para ahli sains lakukan, yakni melalui pengamatan, klasifikasi, inferensi, merumuskan hipotesis, dan melakukan eksperimen. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen yang mempelajari fenomena alam yang faktual, baik berupa kenyataan atau dan hubungan sebab-akibatnya.
15 c) Tujuan IPA Tujuan pembelajaran sains di sekolah dasar dalam Badan Nasional Standar Pendidikan (2006) dimaksudkan untuk: (1) memperoleh
keyakinan
terhadap
Tuhan
Yang
Maha
Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya; (2) mengembangkan konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; (3) mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat; (4) mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan; (5) meningkatkan peran serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam; (6) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam sebagai salah satu ciptaan Tuhan; (7) memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP (Susanto, 2013: 171-172). Sejalan dengan tujuan IPA di atas, Trianto (2014: 143) memaparkan beberapa tujuan pembelajaran IPA antara lain dapat memberikan: (1) kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi; (3) keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah, dan melakukan observasi; (4) sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitif, obyektif, jujur terbuka, benar, dan dapat bekerja sama; (5) kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam; (6) apresiatif terhadap sains
16 dengan
menikmati
dan
menyadari
keindahan
alam
serta
penerapannya dalam teknologi. Berdasarkan tujuan pembelajaran IPA di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran IPA antara lain: (1) Meningkatkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. (2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. (4) Memupuk sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitif, obyektif, jujur terbuka, benar, dan dapat bekerja sama. (5) Meningkatkan
kesadaran
untuk
berperan
serta
dalam
memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam. (6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhang. (7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP. Tujuan IPA yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatkan keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa terhadap fenomena alam seisinya, mengembangkan konsep dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan rasa ingin tahu terhadap materi tentang cahaya, meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, memupuk sikap ilmiah, memberi bekal sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
17 d) Ruang Lingkup IPA Pembelajaran IPA di SD tentunya mempunyai ruang lingkup yang meliputi semua materi yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang membahas tentang alam. Bundu (2006: 9) mengemukakan ruang lingkup IPA sesuai dengan kurikulum pendidikan di Indonesia adalah IPA (tingkat sekolah dasar), IPA Biologi, IPA Fisika, IPA Kimia, IPA Bumi dan Antariksa (tingkat sekolah menengah). Menurut Mulyasa (2012: 112) ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut: (1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan (2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat, dan gas (3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana (4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 162) ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut: (1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan (2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat, dan gas (3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana (4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. Jadi, pada bahan kajian IPA di SD meliputi mahluk hidup dan proses kehidupan, benda, energi dan perubahannya, serta bumi dan alam semesta. Dalam penelitian ini ruang lingkup yang akan dipelajari adalah energi dan perubahannya yang meliputi: gaya,
18 bunyi, panas, magnet listrik, cahaya dan pesawat sederhana. Fokus materi yang diteliti adalah tentang cahaya pada kelas V SD.
19 e) Silabus IPA Kelas V SD (1) Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas V Semester II Tabel 2.1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas V Standar Kompetensi Indikator Kompetensi Dasar 6. 6.1 6.1.1 Menjelaskan sumber cahaya Menerapka Mendeskrip 6.1.2 Mendemonstrasikan cahaya n sifat-sifat sikan sifatmerambat lurus cahaya sifat 6.1.3 Menjelaskan contoh cahaya melalui cahaya. merambat lurus kegiatan 6.1.4 Membuktikan cahaya dapat membuat menembus benda bening suatu 6.1.5 Menjelaskan contoh cahaya karya/mod menembus benda bening el 6.1.6 Mengelompokkan benda bening dan benda gelap 6.1.7 Mendeskripsikan pemantulan cahaya 6.1.8 Membedakan pemantulan teratur dan pemantulan baur 6.1.9 Mendemonstrasikan sifat-sifat cahaya yang mengenai cermin datar 6.1.10 Membedakan pemantulan cahaya pada cermin cekung dan cermin cembung 6.1.11 Menjelaskan contoh penggunaan cermin cekung dan cembung 6.1.12 Menunjukkan sifat-sifat cahaya yang mengenai cermin cekung dan cembung 6.1.13 Menunjukkan pembiasan cahaya 6.1.14 Menjelaskan contoh pembiasan cahaya 6.1.15 Menjelaskan cahaya dapat diuraikan 6.1.16 Mendemonstrasikan cahaya dapat diuraikan
20 (2) Indikator Materi tentang cahaya akan dibagi menjadi beberapa indikator sebagai berikut: (a) menjelaskan sumber cahaya, (b) mendemonstrasikan cahaya merambat lurus, (c) menjelaskan contoh cahaya merambat lurus, (d) membuktikan cahaya dapat menembus benda bening, (e) menjelaskan contoh cahaya menembus benda bening, (f) mengelompokkan benda bening dan benda gelap, (g) mendeskripsikan pemantulan cahaya, (h) membedakan pemantulan teratur dan pemantulan baur, (i) mendemonstrasikan sifat-sifat cahaya dapat dipantulkan, (j) membedakan pemantulan cahaya pada cermin cekung dan cermin cembung, (k) menjelaskan contoh penggunaan cermin cekung dan cembung, (l) menunjukkan sifat-sifat cahaya yang mengenai cermin cekung dan cembung, (m) menunjukkan pembiasan cahaya, (n) menjelaskan contoh pembiasan cahaya; (o)
menjelaskan
cahaya
dapat
diuraikan,
(p)
mendemonstrasikan cahaya dapat diuraikan.
f) Materi IPA dalam Penelitian (1) Sifat-sifat Cahaya (a) Cahaya merambat lurus
Gambar 2.1 Cahaya Merambat Lurus Berdasarkan dapat tidaknya memancarkan cahaya, benda dikelompokkan menjadi benda sumber cahaya dan benda gelap. Benda sumber cahaya dapat memancarkan cahaya. Sementara itu, benda gelap tidak dapat memancarkan
21 cahaya. Berdasarkan dapat tidaknya meneruskan cahaya, benda dibedakan menjadi benda tidak tembus cahaya dan benda tembus cahaya. Benda tidak tembus cahaya tidak dapat meneruskan cahaya yang mengenainya. Apabila dikenai cahaya, benda ini akan membentuk bayangan. (b) Cahaya dapat menembus benda bening Benda bening adalah benda yang dapat meneruskan sebagian besar cahaya yang diterimanya. Jadi, air yang jernih termasuk benda bening. Benda gelap adalah benda yang tidak dapat ditembus cahaya. (c) Cahaya dapat dipantulkan Pemantulan cahaya ada dua jenis yaitu pemantulan baur (pemantulan difus) dan pemantulan teratur. Pemantulan baur terjadi apabila cahaya mengenai permukaan yang kasar atau tidak rata. Pada pemantulan ini, sinar pantul arahnya tidak beraturan. Sementara itu, pemantulan teratur terjadi jika cahaya mengenai permukaan yang rata, licin, dan mengilap. Permukaan yang mempunyai sifat seperti ini misalnya cermin. Pada pemantulan ini sinar pantul memiliki arah yang teratur.
Gambar 2.2 Cahaya dapat dipantulkan
22
Cermin datar Cermin datar yaitu cermin yang permukaan bidang pantulnya datar dan tidak melengkung.
Gambar 2.2.1 Cermin datar Sifat-sifat pada cermin datar, yaitu ukuran (besar dan tinggi) bayangan sama dengan ukuran benda, jarak bayangan ke cermin sama dengan jarak benda ke cermin, kenampakan bayangan berlawanan dengan benda, bayangan tegak seperti bendanya, bayangan bersifat semu atau maya yang artinya, bayangan dapat dilihat dalam cermin, tetapi tidak dapat ditangkap oleh layar.
Cermin cembung Cermin cembung yaitu cermin yang permukaan bidang pantulnya melengkung ke arah luar.
Gambar 2.2.2 Cermin cembung Cermin cembung biasa digunakan untuk spion pada kendaraan bermotor. Bayangan pada cermin cembung bersifat maya, tegak, dan lebih kecil (diperkecil) daripada benda yang sesungguhnya.
23
Cermin cekung Cermin cekung yaitu cermin yang bidang pantulnya melengkung ke arah dalam. Cermin cekung biasanya digunakan sebagai reflektor pada lampu mobil dan lampu senter.
Gambar 2.2.3 Cermin cekung Sifat bayangan benda yang dibentuk oleh cermin cekung sangat bergantung pada letak benda terhadap cermin. Jika benda dekat dengan cermin cekung, bayangan benda bersifat tegak, lebih besar, dan semu (maya). Jika benda jauh dari cermin cekung, bayangan benda bersifat nyata (sejati) dan terbalik. (d) Cahaya dapat dibiaskan Apabila
cahaya
merambat
melalui
dua
zat
yang
kerapatannya berbeda, cahaya tersebut akan dibelokkan. Peristiwa pembelokan arah rambatan cahaya setelah melewati pembiasan.
medium
rambatan
yang
berbeda
disebut
24
Gambar 2.3 Skema pembiasan cahaya
Apabila cahaya merambat dari zat yang kurang rapat ke zat yang lebih rapat, cahaya akan dibiaskan mendekati garis normal. Misalnya cahaya merambat dari udara ke air. Sebaliknya, apabila cahaya merambat dari zat yang lebih rapat ke zat yang kurang rapat, cahaya akan dibiaskan menjauhi garis normal. Misalnya cahaya merambat dari air ke udara.
Gambar 2.4 Pensil tampak patah
25 (e) Cahaya dapat diuraikan Cahaya terdiri atas beberapa macam warna cahaya yang disebut cahaya polikromatik. Warna-warni pada pelangi terjadi karena cahaya matahari dibiaskan, diuraikan dan dipantulkan oleh tetes-tetes air hujan. Cahaya yang dihasilkan dari peristiwa pembiasan adalah cahaya tunggal. Cahaya ini tidak dapat diuraikan lagi, disebut cahaya monokromatik. Contohnya cahaya berwarna merah, jingga, hijau, biru, nila, ungu pada pelangi.
(2) Pemanfaatan Sifat-Sifat Cahaya dalam Karya Sederhana (a) Periskop Awak kapal selam yang berada di kedalaman laut dapat mengamati
permukaan
laut
menggunakan
periskop.
Periskop menerapkan sifat cahaya yang berupa pemantulan. Cahaya dari atas permukaan laut ditangkap oleh suatu cermin, kemudian dipantulkan menuju mata pengamat di dalam kapal selam. (b) Kaleidoskop Kaleidoskop adalah mainan yang dibuat menggunakan cermin. Dengan alat ini, kamu dapat membuat aneka macam pola yang mengagumkan. Pola-pola ini diperoleh karena
bayangan
benda-benda
dalam
kaleidoskop
mengalami pemantulan berkali-kali. Dengan demikian, jumlah benda terlihat lebih banyak daripada benda aslinya. (c) Lup Lup merupakan alat optik yang sangat sederhana. Alat ini berupa lensa cembung. Lup berfungsi membantu mata untuk melihat bendabenda kecil agar tampak besar dan jelas. Kamu pun dapat membuat lup sendiri.
26 2) Berpikir Kritis a) Definisi Berpikir Kritis Menurut Susanto (2013: 121) berpikir kritis adalah suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang idea tau gagasan yang berhubungan dengan konsep yang diberikan atau masalah yang dipaparkan. Berpikir kritis juga dapat dipahami sebagai kegiatan menganalisis gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara
tajam,
memilih,
mengidentifikasi,
mengkaji,
dan
mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Rusyna (2014: 107) mengungkapkan berpikir kritis merupakan proses berpikir untuk menilai baik buruk, tepat tidaknya suatu gagasan. Dewey (Fisher, 2008: 3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai: (1) Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berbeda dalam jangkauan pengalaman seseorang, (2) pengetahuan tentang metodemetode pemeriksaan dan penalaran yang logis, (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Faiz (2012: 3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau melalui media-media komunikasi. Keuntungan yang didapatkan dari berpikir kritis adalah bisa menilai bobot ketepatan atau kebenaran atau suatu pernyataan. Ennis (Susanto, 2013: 121) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah suatu berpikir dengan tujuan membuat keputusan masuk akal tentang apa yang diyakini atau dilakukan. Berpikir kritis merupakan kemampuan menggunakan logika. Logika
27 merupakan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang disertai pengkajian kebenaran berdasarkan pola penalaran tertentu. Menurut Sani
(2014:
15) berpikir
kritis
merupakan
kemampuan untuk menilai ide seseorang, melihat dari kekuatan (kelebihan) dan kelemahan (kekurangan), serta memberikan usulan perbaikannya (peningkatan). Jadi, dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah proses berpikir yang jelas dan terarah, digunakan dalam memecahkan masalah,
mengambil
keputusan,
menganalisis,
merefleksi
permasalahan secara mendalam, serta memiliki kemampuan dalam melakukan penelitian.
b) Indikator Berpikir Kritis Menurut Cotton (Rusyna, 2014: 109) berpikir kritis terdiri dari berpikir logik dan analitik. Berpikir logik menggunakan alur berpikir alamiah, tetapi dikendalikan oleh mekanisme mengenal dan memberikan label tanpa identitas. Menurut
Ennis
(Rusyna,
2014:
110)
berpikir
kritis
dikelompokkan menjadi 5 aspek, yaitu: (1) Elementary clarification (memberikan penjelasan dasar) yang meliputi: (a) fokus pada pertanyaan (dapat mengidentifikasi pertanyaan atau masalah, dapat mengidentifikasi jawaban yang mungkin, dan apa yang dipikirkan tidak keluar dari masalah itu), (b) menganalisis pendapat (dapat mengidentifikasi kesimpulan dari masalah itu, dapat mengidentifikasi alasan, dapat menangani hal-hal yang tidak relevan dengan masalah itu), (c) berusaha mengklarifikasi suatu penjelasan melalui tanya-jawab. (2) The basis for the decision (menentukan dasar pengambilan keputusan) meliputi: (a) mempertimbangkan apakah sumber
28 dapat
dipercaya
atau
tidak,
(b)
mengamati
dan
mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi. (3) Inference (menarik kesimpulan) yang meliputi: (a) mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, (b) menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi; Membuat dan menentukan pertimbangan nilai. (4) Advanced clarification (memberikan penjelasan lanjut) yang meliputi: (a) mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi tersebut, (b) mengidentifikasi asumsi. (5) Supposition
and
integration
(memperkirakan
dan
menggabungkan) yang meliputi: (a) mempertimbangkan alasan atau asumsi-asumsi yang diragukan tanpa menyertakannya dalam anggapan pemikiran kita. Faiz (2012: 3) juga merumuskan tentang indikator berpikir kritis, yaitu aktivitas-aktivitas kritis berikut: (1) mencari jawaban yang jelas dari setiap pertanyaan, (2) mencari alasan atau argumen, (3) berusaha mengetahui informasi dengan tepat, (4) memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya, (5) memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan, (6) berusaha tetap relevan dengan ide utama, (7) memahami tujuan yang asli yang mendasar, (8) mencari alternatif jawaban, (9) bersikap dan berpikir terbuka, (10) mengambil sikap ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu, (11) mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan, (12) berpikir dan bersikap secara sistematis dan teratur dengan memperhatikan bagian-bagian dari keseluruhan masalah. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa indikator berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1)
memberikan
penjelasan
dasar,
(2)
menentukan
dasar
pengambilan keputusan, (3) menarik kesimpulan, (4) bersikap dan berpikir terbuka, dan (5) berpikir dan bersikap secara sistematis
29 dan teratur. Kelima aspek tersebut merupakan aspek yang cocok untuk diamati dalam penerapan pendekatan saintifik dengan media konkret. Kemampuan berpikir kritis siswa diamati ketika proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, siswa akan diminta untuk mengerjakan soal tes yang sesuai untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa.
c) Ciri-ciri Berpikir Kritis Menurut Susanto (2013: 123) orang yang mampu berpikir kritis memiiki ciri-ciri tidak begitu saja menerima atau menolak sesuatu. Orang yang berpikir kritis akan mencermati, menganalisis, dan mengevaluasi informasi sebelum menentukan apakah mereka menerima atau menolak informasi. Faiz (2012: 5) juga berpendapat mengenai ciri-ciri berpikir kritis dalam hal pengetahuan, sikap, dan kebiasaan adalah sebagai berikut. (1) Menggunakan fakta-fakta secara tepat dan jujur. (2) Mengorganisasi pikiran dan mengungkapkannya dengan jelas, logis atau masuk akal. (3) Membedakan antara kesimpulan yang didasarkan pada logika yang valid dengan logika yang tidak tidak valid. (4) Mengidentifikasi kecukupan data. (5) Menyangkal
suatu
argumen
yang
tidak
relevan
dan
menyampaikan argumen yang relevan. (6) Mempertanyakan
suatu
pandangan
dan
mempertanyakan
implikasi dari suatu pandangan. (7) Menyadari bahwa suatu fakta dan pemahaman seseorang selalu terbatas. (8) Mengenali kemungkinan keliru dari suatu pendapat dan kemungkinan bias dalam pendapat.
30 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis memiliki ciri-ciri: (1) kemampuan mengidentifikasi, (2) kemampuan mengevaluasi, (3) kemampuan menyimpulkan, (4) kemampuan mengemukakan pendapat.
2. Penerapan Pendekatan Saintifik dengan Media Konkret a. Konsep Pendekatan Saintifik 1) Esensi Pendekatan Saintifik Menurut Hosnan (2014: 34) pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar siswa secara aktif mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep atau hukum atau prinsip yang “ditemukan”. Daryanto (2014: 55) menyatakan pendekatan saintifik disebut juga sebagai pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan penalaran induktif ketimbang penalaran deduktif. Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sedangkan penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Menurut Sajidan (Herianingtyas, 2014: 42) pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran yang dirancang agar siswa aktif mampu mengkonstruk konsep, hukum, atau prinsip melalui kegiatan mengamati (untuk mengidentifikasi hal yang ingin diketahui), merumuskan pertanyaan (dan merumuskan hipotesis), mencoba atau
31 mengumpulkan
data
(informasi)
dengan
berbagai
teknik,
mengasosiasi/menganalisis/ mengolah data (informasi) dan menarik kesimpulan serta mengkomunikasikan kesimpulan, untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Gerde, et al. (2013: 317) menyatakan pendekatan saintifik merupakan proses yang bertujuan untuk menanyakan dan menjawab pertanyaan menggunakan suatu langkah atau prosedur yang khusus. Hal-hal yang termasuk dalam pendekatan saintifik yaitu: (a) kegiatan mengamati, (b) menjawab suatu pertanyaan, menimbulkan hipotesis dan prediksi, (c) menganalisis data untuk menarik kesimpulan, (d) melakukan penemuan dan mengolah secara lisan maupun tertulis, (e) mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan yang baru muncul. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang menekankan pada proses ilmiah dengan melaksanakan investigasi terhadap suatu fenomena atau objek konkret melalui proses mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan tentang suatu kebenaran nilai-nilai
sehingga
dapat
mendorong
siswa
agar
dapat
mengembangkan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
2) Langkah-Langkah Pendekatan Saintifik Menurut Hosnan (2014: 37) menyatakan langkah-langkah pendekatan imiah (scientific approach) dalam proses pembelajaran meliputi menggali informasi melalui observing atau pengamatan, questioning atau bertanya, experimenting atau mencoba, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi dilanjutkan dengan menganalisis, associating atau menalar, kemudian menyimpulkan dan mencipta serta membentuk jaringan atau networking. Menurut
Kemendikbud
(2014:
63-71)
langkah–langkah
pendekatan saintifik adalah sebagai berikut: (a) mengamati, (b)
32 menanya, (c) menalar, (d) mencoba, (e) mengolah, (f) menyajikan, (g) menyimpulkan, dan (h) mengkomunikasikan. Daryanto (2014: 59) juga berpendapat “Langkah-langkah pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam proses pembelajaran yang meliputi menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta”. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pendekatan saintifik yaitu: (a) mengamati suatu permasalahan, (b) menanya tentang informasi yang tidak dipahami, (c) mencoba menjawab suatu permasalahan, (d) menalar informasi dari suatu percobaan, dan (e) mengkomunikasikan kesimpulan analisis. Langkah tersebut sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran ilmiah menurut Kemendikbud (2014: 207) yang mencakup kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan, sedangkan aspek mencipta dapat diterapkan dalam pembelajaran apabila terdapat di dalam indikator. Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan siswa dapat
menghubungkan antara
pengetahuan dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
3) Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Saintifik Menurut Daryanto (2014: 54), tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik didasarkan pada keunggulan pendekatan tersebut. Beberapa tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, antara lain: (a) untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa, (b) untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik, (c) terciptanya kondisi pembelajaran di mana siswa merasa bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan, (d) diperolehnya hasil belajar
yang
tinggi,
(e)
untuk
melatih
siswa
dalam
33 mengkomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah, (f) untuk mengembangkan karakter siswa. Kemudian Hosnan (2014: 37), menyatakan bahwa langkahlangkah pendekatan saintifik yang meliputi mengamati menanya, mencoba, menalar dan mengkomunikasikan membuat siswa lebih kritis, aktif, kreatif serta bertanggung jawab terhadap proses belajarnya dalam aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa. Dengan langkah-langkah tersebut dan dilengkapi dengan media pembelajaran yang mendukung proses pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi siswa. Berdasarkan pendapat di atas mengenai tujuan pendekatan saintifik dapat disimpulkan bahwa terdapat kelebihan dari pendekatan saintifik yaitu: (a) menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif serta berpikir kritis, (b) mampu mengarahkan cara belajar siswa, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar giat, (c) pembelajaran berpusat pada siswa, guru bertindak sebagai fasilitator. Kekurangan pendekatan saintifik yaitu: (a) memerlukan waktu yang lama dalam pelaksanaan pembelajaran, (b) siswa yang menjadi pembuat masalah akan mengganggu tahapan kegiatan pada pendekatan saintifik, (c) guru jarang menjelaskan materi pembelajaran karena guru banyak beranggapan bahwa dengan pendekatan saintifik ini guru tidak perlu menjelaskan materinya, padahal kita tahu bahwa untuk mempelajari mata pelajaran IPA siswa tidak cukup hanya belajar sendiri saja.
b. Konsep Media Konkret 1) Pengertian Media Konkret Media konkret dapat diartikan sebagai media nyata, realita atau realia. Asyhar (2012: 54) mengemukakan pendapatnya mengenai benda nyata yaitu benda yang dapat dilihat, didengar atau dialami oleh siswa sehingga memberikan pengalaman langsung kepada mereka.
34 Sanaky (2013: 128) berpendapat “Benda asli adalah benda dalam keadaan sebenarnya”. Pengertian media benda konkret juga dapat diartikan alat peraga seperti yang dikemukakan oleh Subari (Heriyanto, 2014: 19), bahwa “alat peraga adalah alat yang digunakan oleh pengajar untuk mewujudkan
atau
mendemonstrasikan
bahan
pengajaran
guna
memberikan pengertian atau gambaran yang sangat jelas tentang pelajaran yang diberikan”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media konkret merupakan media yang sebenarnya atau media yang membantu pengalaman nyata peserta didik dalam memahami materi pelajaran.
2) Langkah Penggunaan Media Konkret Penggunaan media konkret akan memudahkan siswa dalam pembelajaran karena siswa akan memperoleh pengalaman nyata. Urrohmah (2015: 41) menyatakan langkah-langkah penggunaan media konkret yaitu: (a) mencari metode dalam memperkenalkan media tersebut, (b) menjelaskan proses/kegunaan nyata tersebut, (c) menjawab pertanyaan dari siswa mengenai media konkret yang digunakan tersebut, (d) melengkapi pemahaman siswa tentang media konkret, (e) membimbing siswa menuju unit akhir. Menurut Sudjana dan Rivai (2010: 197) juga mengemukakan langkah-langkah
penggunaan
media
konkret
yaitu:
(a)
memperkenalkan unit, perlu dipilih metode khusus yang akan memikat perhatian para siswa dalam menghadapi kegiatan-kegiatan baru; (b) menjelaskan proses, pengalaman nyata yang hidup tidak hanya dapat menyampaikan informasi secara akurat terhadap penampilan bendabenda atau objek; (c) menjawab pertanyaan-pertanyaan, keterlibatan para siswa terhadap unit bukan hanya sekedar memperoleh jawaban dari pertanyaan orisinil yang diajukan mereka, tetapi berbagai
35 pertanyaan baru akan bermunculan kemudian; (d) melengkapi perbandingan,
sebagian
besar
dari
studi
sosial
mengandung
perbadingan tentang cara hidup kita dengan kehidupan masyarakat yang berbeda tempat tinggal dan waktunya; (e) unit akhir atau puncak, merangkum seluruh materi yang pernah dipelajari siswa. Berdasarkan pendapat tentang langkah penggunaan media benda konkret yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah penggunaan media konkret adalah sebagai berikut. a) Persiapan sebelum menggunakan media konkret Guru mempersiapkan diri dan mempersiapkan media serta peralatan yang mungkin diperlukan dalam penggunaan media konkret dan peralatan lain dengan baik supaya setiap siswa memiliki kesempatan untuk melihat media yang ditampilkan oleh guru. b) Kegiatan selama penggunaan media konkret Guru menjaga suasana atau ketenangan kelas dan menghindari gangguan
yang
dimungkinkan
dapat
menghambat
atau
menganggu konsentrasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Kegiatan dengan menggunakan media konkret dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. (1) Guru menunjukkan beberapa media konkret di depan kelas disertai upaya menjaga ketenangan kelas dan siswa diminta memperhatikan benda secara seksama. (2) Guru bertanya jawab dengan siswa tentang nama benda-benda dan membimbing siswa untuk memahami ciri-ciri benda tersebut. (3) Guru menjelaskan materi dan bertanya jawab dengan siswa tentang cara berbicara yang baik dalam mendeskripsikan benda yang telah diamati. (4) Guru memberikan contoh berbicara yang baik dalam mendeskripsikan media konkret yang diamati.
36 (5) Guru meminta siswa untuk mencoba membuat deskripsi benda dan menjaga ketenangan kelas. (6) Guru meminta beberapa siswa untuk berbicara di depan kelas secara individu untuk mendeskripsikan salah satu benda yang telah diamati sebelumnya. c) Kegiatan tindak lanjut Pada kegiatan tindak lanjut, guru menjajagi apakah tujuan pembelajaran telah tercapai apa belum dengan melaksanakan evaluasi.
3) Kelebihan dan Kekurangan Media Konkret Asyhar (2012: 55) berpendapat “Kelebihan dari media nyata ini adalah dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa sehingga pembelajaran bersifat lebih konkret dan waktu retensi lebih panjang.” Sudjana dan Rivai (2013: 196) menyatakan bahwa belajar dengan menggunakan benda-benda asli memegang peranan yang penting dalam upaya memperbaiki proses pembelajaran. Menggunakan bendabenda nyata dalam pembelajaran sering kali paling baik, dalam menampilkan benda-benda nyata. Berdasarkan uraian di atas, pada dasarnya media konkret memiliki kelebihan yaitu memberikan pengalaman nyata kepada siswa sehingga
pembelajaran
bersifat
lebih
konkret
dalam
upaya
memperbaiki proses pembelajaran. Menurut Sumantri dan Permana (Heriyanto, 2014: 24), kekurangan media konkret antara lain: memerlukan tambahan anggaran biaya pendidikan, memerlukan ruang dan tempat yang memadai jika media tersebut berukuran besar, apabila media yang diperlukan sulit didapat di tempat tersebut, maka akan menghambat proses pembelajaran, baik guru atau siswa harus mampu mengguakan media pembelajaran tersebut. Sanaky (2013: 129) menyatakan jika
37 belajar dengan menggunakan media konkret memerlukan biaya yang cukup besar. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kekurangan media konkret adalah memerlukan biaya yang cukup besar dan memerlukan ruang dan tempat yang memadai.
d) Pendekatan Saintifik dengan Media Konkret Pendekatan saintifik dengan media konkret merupakan suatu proses pembelajaran yang meliputi kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, mengkomunikasikan dan mencipta dengan memanfaatkan media konkret yang membantu pengalaman nyata peserta didik. Media konkret yang dipakai peneliti dalam proses pembelajaran tentang cahaya termasuk dalam media tiga dimensi yang diartikan sebagai media benda asli yang masih dalam keadaan utuh, dalam ukuran yang sebenarnya dan dikenali sebagai wujud aslinya untuk memudahkan konsep yang akan disampaikan kepada siswa, sehingga siswa akan merasa tertarik dengan materi yang dipelajari. Berdasarkan uraian tersebut, lebih detail lagi langkah-langkah penerapan pendekatan saintifik dengan media konkret dalam penelitian ini sebagai berikut. 1) Mengamati dengan media konkret Kegiatan mengamati merupakan kegiatan mengutamakan pada kebermaknaan proses pembelajaran (meaningful learning). Siswa dapat terlibat langsung mengamati media konkret yang berupa objek secara nyata terkait materi cahaya sehingga siswa menjadi senang, tertantang,
dan
timbul
rasa
ingin
tahu
yang
tinggi
untuk
mempelajarinya. Kegiatan mengamati merangsang kemampuan siswa dalam berpikir kritis. Siswa tidak begitu saja menerima atau menolak informasi yang mereka peroleh jika belum benar-benar memahaminya. Siswa berusaha menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi tentang cahaya. Sedangkan guru
38 memfasilitasi siswa untuk melakukan pengamatan, melatih siswa untuk memperhatikan (melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari media konkret. 2) Menanya dengan media konkret Pada kegiatan menanya, guru harus dapat merangsang siswa untuk menanya dan menjawab pertanyaan terkait pengamatan tentang cahaya yang telah dilaksanakan siswa terhadap media konkret yang ditampilkan oleh guru. Kompetensi yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk siswa dalam berpikir kritis. Pada saat guru bertanya, artinya guru menciptakan rasa ingin tahu kepada siswa dengan baik sehingga memiliki keinginan untuk bertanya, ketika guru menjawab pertanyaan siswa, guru mendorong siswa untuk menjadi penyimak yang baik. Di dalam pembelajaran, seluruh siswa sebaiknya didorong untuk bertanya dan menjawab pertanyaan, agar pembelajaran tidak didominasi oleh siswa tertentu saja. 3) Mencoba dengan media konkret Dalam rangka memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, siswa melakukan percobaan atau mencoba untuk membuktikan teori yang siswa dapatkan melalui kegiatan sebelumnya terkait materi tentang cahaya. Kegiatan mencoba dilaksanakan siswa melalui bimbingan dari guru dan dilaksanakan dengan memanfaatkan media konkret. Kegiatan ini mampu menunjang siswa dalam kemampuan berpikir kritis, karena siswa melakukan percobaan dengan cermat dan teliti agar dapat menemukan fakta-fakta yang sesuai dengan teori yang ada terkait materi tentang cahaya. 4) Menalar dengan media konkret Pada tahap ini, guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas faktafakta yang diperoleh. Siswa melakukan penalaran dengan cara
39 mengasosiasikan antara pengetahuan yang telah diterima siswa sebelumnya dengan pengetahuan baru yang diperoleh siswa melalui media konkret terkait materi cahaya yang disampaikan oleh guru. 5) Mengkomunikasikan dengan media konkret Pada kegiatan ini, siswa mengkomunikasikan hasil pekerjaan yang telah disusun baik secara bersama-sama dalam kelompok dan atau secara individu dari hasil kesimpulan yang telah dibuat bersama terkait materi cahaya yang telah dipelajari sebelumnya secara lisan maupun tertulis.
Kompetensi
yang
dikembangkan
melalui
kegiatan
mengkomunikasikan adalah sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir siswa khususnya berpikir kritis, mengungkapkan pendapat dengan singkat serta mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.
Tabel 2.2. Hubungan antara Pendekatan Saintifik menggunakan media konkret dengan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa No. Pendekatan Saintifik Berpikir Kritis 1. Mengamati dengan media - Menentukan dasar konkret pengambilan keputusan 2. Menanya dengan media - Memberikan konkret penjelasan dasar 3. Mencoba dengan media - Berpikir dan bersikap konkret secara sistematis dan teratur 4. Menalar dengan media - Bersikap dan berpikir konkret terbuka 5. Mengkomunikasikan dengan - Menarik kesimpulan media konkret
3. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh peneliti relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gerde, Schachter, dan Wasik (2013: 315-323) di Kota New York pada tahun ajaran 2013, dengan judul “Using the Scientific Method to Guide Learning: An Integrated Approach to Early Childhood Curriculum”.
40 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Scachter menunjukkan bahwa The Scientific method provides early educators with a set of guidelines for exploring science with young children, artinya metode saintifik menyediakan pendidikan secara dini sebagai pedoman untuk menyelidiki ilmu pengetahuan sejak kanak-kanak. Persamaan penelitian yang akan dilaksanakan peneliti dengan penelitian tersebut adalah sama-sama menerapkan pembelajaran saintifik, sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian tersebut subjeknya adalah anak-anak yang belum masuk jenjang pendidikan dasar. Pada penelitian ini subjeknya adalah siswa SD khususnya kelas V. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nagl, et al. (2012: 85-89) di Kota Sabac, Serbia pada tahun ajaran 2012, dengan judul “Effective Teaching of Physics and Scientific Method”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tersebut menunjukkan bahwa Modern society requires efficient methods of learning, with emphasis on scientific method, not based primarily on the teaching of scientific findings, but the constructive development of new knowledge based on empiricism and research yang artinya bahwa masyarakat modern membutuhkan metode yang efisien dalam pembelajaran, dengan menekankan pada metode ilmiah, bukan pada pengajaran penemuan-penemuan ilmiah, tetapi perkembangan gagasan pengetahuan baru berdasarkan pada empirisme dan penelitian. Persamaan penelitian yang akan dilaksanakan peneliti dengan penelitian tersebut adalah sama-sama menerapkan pembelajaran saintifik, sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian tersebut subjeknya adalah masyarakat modern. Pada penelitian ini subjeknya adalah siswa SD khususnya kelas V. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astri Wulandari (2014: 1-5) tahun 2014 di SD Negeri 1 Girimarto yang berjudul “Pendekatan Scientific dengan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Materi Sumber Daya Alam”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astri Wulandari adalah penerapan pendekatan scientific dengan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat meningkatkan pemahaman konsep
41 sumber daya alam. Penelitian yang dilakukan oleh Astri Wulandari memiliki persamaan dengan yang dilakukan oleh peneliti, yaitu sama-sama menerapkan pendekatan saintifik. Perbedaannya adalah penelitian Astri Wulandari digunakan untuk meningkatkan pemahaman konsep sumber daya alam pada siswa kelas IV SD Negeri 1 Girimarto dan penelitian. Hal tersebut dibuktikan dengan kenaikan nilai rata-rata kelas, yang pada siklus I nilai rata-rata kelas sebesar 70,38. Pada siklus II mengalami kenaikan menjadi 78,18. Selanjutnya pada siklus III mengalami kenaikan lagi sehingga nilai rata-rata kelas menjadi 85,58. Pada penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti digunakan untuk meningkatkan berpikir kritis siswa kelas V SD Negeri 2 Ngasinan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Agulina (2013: 1-17) di SD Negeri 07 Anjongan pada tahun 2013 berjudul “Peningkatan Hasil Belajar Siswa pada Pembelajaran IPA dengan Menggunakan Media Konkret di Kelas II”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agulina menunjukkan bahwa penggunaan media konkret dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas II. Hal tersebut dibuktikan dengan kenaikan nilai rata-rata kelas, yang pada siklus I nilai rata-rata kelas sebesar 65,77. Pada siklus II mengalami kenaikan sebesar 24,22 yaitu menjadi 91,54. Penelitian yang dilakukan oleh Agulina memiliki persamaan
dengan
yang
dilakukan
oleh
peneliti,
yaitu
sama-sama
menggunakan media konkret dalam pembelajaran. Terdapat perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian Agulina. Pada penelitian yang dilakukan oleh Agulina digunakan untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas II SD Negeri 07 Anjongan pada tahun 2013, sedangkan penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti untuk meningkatkan berpikir kritis siswa kelas V SD Negeri 2 Ngasinan pada pembelajaran IPA.
B. Kerangka Berpikir Pada kondisi awal diketahui bahwa pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas V SD Negeri 2 Ngasinan belum diterapkannya pendekatan ilmiah pada kegiatan pembelajaran. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa yang menggunakan
metode
ceramah
dan
tanya
jawab
saja.
Guru
belum
42 mengembangkan aktivitas siswa untuk mengamati, menanya, mencoba, menalar, mengkomunikasikan. Selain itu, guru juga belum memanfaatkan media konkret yang sesuai dapat mendukung tercapainya tujuan pembelajaran, sehingga kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru. Padahal dalam kegiatan pembelajaran guru bukan merupakan satu-satuya sumber pembelajaran. Pembelajaran sebaiknya berpusat pada siswa (student-centered) untuk mengaktifkan siswa dalam berpikir kritis. Permasalahan tersebut menyebabkan siswa termotivasi untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut materi yang mereka anggap cukup sulit. Kenyataan lain yang membuktikan peserta didik cukup kesulitan dalam mempelajari IPA adalah rendahnya nilai ulangan tengah semester pada semester 1 tahun ajaran 2015/2016. Penggunaan pendekatan saintifik dengan media konkret merupakan pendekatan dan media pembelajaran yang dirasa tepat apabila diimplementasikan pada pembelajaran IPA tentang materi cahaya di kelas V. Pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang menekankan pada proses ilmiah dengan melaksanakan investigasi terhadap suatu fenomena atau objek konkret
melalui
proses
mengkomunikasikan
mengamati,
tentang suatu
menanya,
mecoba,
kebenaran nilai-nilai
menalar, sehingga
dan dapat
mendorong siswa agar dapat mengembangkan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Media konkret merupakan alat atau benda yang sebenarnya, benda atau media yang membantu pengalaman nyata peserta didik. Berdasarkan teori tersebut maka dapat diketahui bahwa kolaborasi antara pendekatan saintifik dengan media konkret dapat diimplementasikan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran sebelumnya. Selain itu, implementasi pendekatan saintifik media konkret juga diharapkan dapat meningkatkan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran tentang cahaya. Berpikir kritis merupakan proses berpikir yang jelas dan terarah, digunakan dalam memecahkan masalah, mengambil keputusan, menganalisis, merefleksi permasalahan secara mendalam, serta memiliki kemampuan dalam melakukan penelitian ilmiah. Pendekatan saintifik dengan media konkret memiliki langkah-langkah pembelajaran yaitu:
43 1) Mengamati dengan media konkret Siswa dapat terlibat langsung mengamati media konkret yang berupa objek secara nyata sehingga siswa menjadi senang, tertantang, dan timbul rasa ingin tahu yang tinggi untuk mempelajarinya. Kegiatan mengamati merangsang kemampuan siswa dalam berpikir kritis. 2) Menanya dengan media konkret Kompetensi yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk siswa dalam berpikir kritis. 3) Mencoba dengan media konkret Dalam rangka memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, siswa melakukan percobaan atau mencoba untuk membuktikan teori yang siswa dapatkan melalui kegiatan sebelumnya terkait materi tentang cahaya. 4) Menalar dengan media konkret Siswa melakukan penalaran dengan cara mengasosiasikan antara pengetahuan yang telah diterima siswa sebelumnya dengan pengetahuan baru yang diperoleh siswa melalui media konkret terkait materi tentang cahaya yang disampaikan oleh guru. 5) Mengkomunikasikan dengan media konkret Kompetensi yang dikembangkan melalui kegiatan mengkomunikasikan adalah sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir siswa khususnya berpikir kritis. Sejalan
dengan
penggunaan
pendekatan
saintifik
media
konkret,
karakteristik siswa kelas V juga menjadi dasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Siswa kelas V yang berusia antara 11-12 tahun termasuk pada fase operasional konkret yang memiliki karakteristik berpikir holistik, senang bermain, menyukai hal-hal yang menyenangkan, memiliki keinginan untuk berprestasi, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Pendekatan saintifik dengan media konkret merupakan pembelajaran yang mengutamakan kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, mengkomunikasikan, dan mencipta dengan
44 memanfaatkan media konkret. Jadi, pendekatan saintifik dengan media konkret sangat tepat apabila diimplementasikan di kelas V sekolah dasar. Langkah-langkah implementasi pendekatan saintifik dengan media konkret yang disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas V, akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran IPA tentang cahaya. Kesalahan dan kekurangan yang terjadi pada saat pembelajaran harus segera direfleksikan untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya. Perbaikan tersebut
diharapkan
mampu
meningkatkan
kemampuan
berpikir
kritis
pembelajaran IPA di kelas V SD Negeri 2 Ngasinan Tahun Ajaran 2015/2016.
45
KONDISI AWAL
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
Guru: (1) Sistem penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan belum dilaksanakan secara optimal; (2) Pembelajaran belum memberikan pengalaman langsung kepada siswa; (3) Pembelajaran belum menerapkan pendekatan yang inovatif; (4) Pembelajaran masih berpusat pada guru; (5) Guru belum memanfaatkan media konkret dalam pembelajaran; (6) Pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran masih rendah; (7) Kemampuan berpikir kritis siswa belum dikembangkan secara optimal.
Siswa: Proses pembelajaran IPA masih belum optimal sehingga berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa dan kemampuan berpikir kritis belum pernah diteliti sebelumnya.
Siklus I Guru menerapkan pendekatan saintifik dengan media konkret pada materi cahaya (timbul antusias pada diri siswa).
Guru menerapkan pendekatan saintifik dengan media konkret dalam pembelajaran IPA.
Penerapan pendekatan saintifik dengan media konkret dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pembelajaran IPA tentang cahaya pada siswa kelas V SD Negeri 2 Ngasinan Tahun Ajaran 2015/2016
Siklus II Guru menerapkan pendekatan saintifik dengan media konkret pada materi cahaya (siswa tidak merasa bosan dengan pembelajaran).
Siklus III Guru menerapkan pendekatan saintifik dengan media konkret pada materi cahaya (siswa akan aktif dalam pembelajaran dan kemampuan berpikir kritis akan berkembang dengan optimal.
Gambar 2.5 Bagan Kerangka Berpikir
46 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan pustaka, penelitian relevan, dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “Jika penerapan pendekatan saintifik dengan media konkret dilaksanakan dengan langkah-langkah yang tepat, maka dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis pembelajaran IPA tentang cahaya pada siswa kelas V SD Negeri 2 Ngasinan Tahun Ajaran 2015/2016.”
