9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Vaksin dan Vaksinasi Vaksin adalah merupakan bahan antigenik yang dilemahkan atau dimatikan seperti virus, bakteri atau bagian struktur dari suatu mikroorganisme misalnya protein, peptida, dan partikel serupa virus
yang
bertujuan
untuk
merangsang
terbentuknya
respon
kekebalan humoral dan selular sehingga dapat melindungi dari patogen yang berbahaya tetapi tidak menyebabkan infeksi. Terdapat beberapa jenis vaksin yaitu vaksin inaktif, vaksin aktif yang dilemahkan (attenuated), toksoid, dan vaksin sub-unit. Vaksin inaktif
merupakan
jenis
vaksin
aktif
yang
mengandung
mikroorganisme yang telah diinaktifkan dengan cara menggunakan bahan kimia tertentu atau panas. Jenis vaksin yang lain yaitu vaksin yang kandungan mikroorganismenya telah dilemahkan, jenis vaksin
ini
antigenitasnya
tetap
dipertahankan
hanya
saja
virulensinya yang dihilangkan. Jenis vaksin yang lainnya adalah vaksin sub-unit yang dibuat dengan cara mengambil sebagian protein tertentu saja, misalnya protein yang ada pada bagian permukaan dari virus atau bakteri (Cichocki, 2007).
10
Pada saat ini telah berkembang jenis vaksin
rekombinan yang
vektornya berupa virus. Beberapa vektor vaksin rekombinan yang digunakan untuk dapat mengekspresikan antigen asing langsung ke target
sel
individu
yang
terinfeksi
sehingga
terjadi
ikatan
antigen dengan Mayor Histocompatibility-2 (MHC-2) dalam bentuk peptida ke permukaan sel untuk pengenalan bersama dengan T Cell
Reseptor (TCR) dari limfosit T 9helper (CD4+).
Beberapa vektor
yang digunakan pada vaksin rekombinan dan dilaporkan mampu untuk mengaktifkan sistem kekebalan di antaranya virus pox, virus adeno, dan virus influenza. Ketiga virus ini lebih cepat dan efektif untuk digunakan pada vaksinasi (Rocha et al., 2004). Pengembangan jenis vaksin baru harus disertai penetapan pedoman untuk menghindari bahaya yang ditimbulkannya. Pedoman tersebut antara lain penentuan dosis, perlakuan waktu booster, rute terbaik, dan pembawa vaksin (adjuvan) (Sharma dan Kuller, 2001).
Suatu jenis vaksin diberikan lisensi, jika faktor keamanan
(safety) dan faktor kemujaraban (efficacy) telah terpenuhi (Begg dan Muller, 1990). Masa imunitas harus diperhatikan, karena jika lebih pendek akan mudah terserang penyakit (Abbas Tabel 2.1 Perbandingan Vaksin Aktif dan Inaktif
et al., 2000).
11
Vaksin aktif Harus dilemahkan dengan cara pasase dalam media buatan Diberikan dosis tunggal Diperlukan lebih sedikit mikroorganisme Dapat menyebarkan penyakit pada individu yang tidak divaksinasi Sumber: Berata (2007).
2.1.1
Vaksin inaktif Dapat dibuat dari mikroorganisme virulen penuh Diberikan dosis multiplek Diperlukan lebih banyak mikroorganisme Tidak dapat menyebarkan penyakit pada individu yang tidak divaksinasi
Vaksin rekombinan Inovasi bioteknologi terutama rekombinan DNA telah membuka
kemungkinan baru untuk memproduksi vaksin hidup dengan mudah. Untuk melakukan itu dibutuhkan organisme vektor yang sesuai, dan virus vaccinia merupakan vektor yang paling terkenal saat ini di samping cytomegalovirus sebagai calon vektor yang potensial. Virus vaccinia sudah lama dikenal dan digunakan untuk vaksinasi smallpox. Selama digunakan, virus vaccinia lebih efektif, relatif aman, stabil, serta mudah cara pemberiannya. Virus vaccinia mempunyai beberapa karakteristik yang khas sehingga terpilih sebagai vektor untuk menghasilkan vaksin rekombinan hidup. Virus vaccinia merupakan virus DNA, manipulasi genetik dapat dilakukan relatip mudah, mempunyai genome yang dapat menerima banyak DNA asing, mudah ditumbuhkan dan dimurnikan serta mempunyai range host yang lebar
12
pada manusia dan hewan. Sifat virus vaccinia memungkinkan dilakukan rekayasa genetika dan mampu mengekspresikan informasi antigen asing
dari
berbagai
patogen.
Apabila
vaksin
hidup
hasil
rekombinan ini digunakan untuk vaksinasi pada hewan, maka hewan tersebut akan memperlihatkan respons imunologis terhadap antigen patogenik
yang
diberikan.
Beberapa
laporan
percobaan
telah
memperlihatkan bahwa vaksinasi hewan percobaan dengan menggunakan virus
rekombinan
telah
berhasil
melindungi
hewan
percobaan
terhadap berbagai macam penyakit. Beberapa laporan memperlihatkan bahwa virus rekombinan telah mampu mengekspresikan berbagai macam penyakit, seperti glikoprotein virus herpes simplex, hemaglutinin virus influenza, antigen permukaan virus hepatitis B, glikoprotein virus rabies, plasmodium knowlesi sporozoite antigen, dan sebagainya.
Rekombinan ini
telah memperlihatkan reaksi kekebalan terhadap patogen-patogen tersebut (Rocha et al., 2004).
2.1.2
Vaksin oral jenis SAG2 Vaksin oral adalah merupakan modified live virus vaccine yang rute
pemberiannya melalui oral. Vaksin oral pada anjing adalah merupakan pendekatan baru yang secara signifikan untuk meningkatkan cakupan vaksinasi khususnya pada daerah free roaming dan miskin pengawasan terhadap anjing.
13
SAG2 (Street Alabama Gif) 2 adalah vaksin yang telah dipilih berasal dari SAD Berne strain yang telah dua kali berturut-turut mengalami mutasi pada kodon 333 asam amino arginin yang penggunaannya untuk seleksi monoklonal antibodi. Tidak memperlihatkan efek samping pada pemberian oral vaksinasi sepuluh kali dosis lapangan. Hal ini telah dilaporkan pemberiannya pada target hewan seperti serigala, anjing, rakun, dan serigala kutub; demikian juga pada hewan yang bukan sebagai target seperti: avian, tikus, babi hutan, badgers (burung perkit), kambing, musang, landak, diurnal, dan nocturnal prey birds. Uji coba yang telah dilakukan di India pada Indian Stray dogs tidak menunjukkan efek samping dan telah diuji coba pada beberapa anjing, walaupun diberikan pada anjing yang mengalami imunosupresif yang telah memperoleh vaksin jenis SAG2 kering beku yang telah di kombinasikan dengan umpan (Cliquet et al., 2007). Studi tentang efficacy pada jenis serigala dewasa, anak serigala, anjing, dan anjing-anjing yang telah divaksinasi dengan strain virus SAG2 dosis tunggal bersama dengan umpan, kemudian dilakukan uji tantang dengan menggunakan virus rabies yang virulensinya masih tinggi, tidak ditemukan virus di dalam saliva anjing tersebut. Vaksin tersebut telah digunakan di negara-negara yang kasus rabiesnya tinggi pada anjing. Vaksin oral SAG2 di dalam umpan dikemas dalam bentuk kapsul suspensi virus atau dicampur dalam umpan dalam bentuk kering beku (WHO, 2005a). 2.1.3
Vaksin parenteral Untuk memproduksi vaksin inaktif dibutuhkan sejumlah virus dalam
konsentrasi yang tinggi. Pertama kali vaksin inaktif dibuat dengan cara menanam
14
strain virus (CVS-11, Pitman Moore (PM)-NL 2, dan strain Pasteur Virus (PV)BHK-21) pada jaringan otak kelinci, sel baby hamster kidney (BHK), suckling mouse brain (SMB), sel otak marmut, cell chick embryo (CEO), vero cells serta substrat yang lainnya. Anak tikus yang baru lahir bisa juga digunakan hanya saja kurang imunogenik atau bahkan dapat menimbulkan reaksi alergi pada lapisan mielin dan menyebabkan ensepalomielitis, hal ini pernah terjadi pada saat vaksinasi pertama kali dengan menggunakan vaksin inaktif yang virusnya ditumbuhkan pada suckling mouse brain (SMB) (Jackson et al., 2007). Metoda inaktivasi virus vaksin yang digunakan untuk memproduksi vaksin rabies yaitu beta propiolactone (BPL), sinar ultra violet, acetylethylamine, phenol, dan formaldehyde, untuk phenol dan formaldehyde tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam inaktivasi virus vaksin. Pada saat ini bahan untuk inaktivasi virus vaksin yang umum digunakan adalah beta propiolakton. Untuk meningkatkan respons kekebalan maka ditambahkan adjuvan seperti aluminium hidroksida, aluminium posfat, dan saponin (biasanya vaksin pada sapi). Stabilitas vaksin inaktif dapat ditingkatkan dengan cara menggabungkan vaksin rabies dengan vaksin lain serta bakterin. Vaksin lain yang digabungkan terdiri atas vaksin untuk mencegah penyakit distemper, adenovirus tipe 1, leptospira, dan parvovirus pada anjing, sedangkan pada kucing vaksin rabies dikombinasikan dengan vaksin untuk mencegah penyakit panleukopenia, parvovirus, dan calcivirus. Untuk mencegah penyakit rabies pada sapi, kambing, dan domba maka vaksin rabies dikombinasikan dengan vaksin untuk mencegah penyakit mulut dan
15
kuku. Potensi dan keamanan vaksin rabies inaktif sudah dijamin lebih baik (Jackson et al., 2007).
2.2 Epidemiologi Rabies Ada dua siklus epidemiologi penularan rabies, yaitu siklus silvatik (sylvatic cycle) dan siklus urban (perkotaan, urban cycle) atau kalau di negara yang sedang berkembang siklus rural (pedesaan). Di negara maju, seperti di Amerika Serikat, dimana pemahaman masyarakat terhadap rabies sangat tinggi dan pemeliharaan HPR sangat bagus, maka jarang dijumpai adanya siklus penularan urban yaitu antar hewan domestik. Serangan rabies umumnya terjadi melalui siklus silvatik, HPR liar (seperti musang, raccoon, skunk, coyote) keluar dari hutan masuk ke kota menyerang hewan domestik atau manusia (Putra, 2009). Umumnya yang ditemukan di lapangan adalah siklus urban/rural, yakni melalui anjing, kucing, dan monyet. Diantara HPR ini, yang paling berperan utama menularkan rabies (lebih dari 95%) adalah anjing (Putra, 2009). Beberapa kajian epidemiologi yang telah dilakukan di beberapa Laboratorium Balai Penyidiikan dan Pengujian Veteriner di Indonesia memperlihatkan tingkat protektifitas, dan cakupan vaksinasi yang masih jauh dari yang diharapkan. Seperti kajian epidemiologi yang telah dilakukan oleh (Marfiatiningsih et al., 2006) di wilayah kerja Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Lampung di Propinsi Bengkulu, bahwa persentase anjing yang mempunyai kemampuan melindungi diri terhadap serangan virus rabies, hanya berkisar 12% sampai dengan 33%. Dengan kata lain, angka tersebut belum sesuai dengan harapan yaitu tingkat proteksi terhadap serangan virus rabies pada
16
suatu populasi yang lebih besar dari 70%. Marfiatiningsih et al., (2006) menyatakan bahwa kemungkinan besar penyebabnya adalah rekaman vaksinasi oleh vaksinator yang belum optimal. Selain itu, interval waktu antara sampling dan waktu vaksinasi yang memegang peranan penting dalam interpretasi hasil uji ELISA rabies juga tidak diperhatikan dalam sampling. Menurut Hakim et al. (1988) bahwa dari spesimen yang diperiksa di Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1987 dan 1988 sebanyak 100 spesimen. Dari jumlah tersebut yang didiagnosa positip rabies sebanyak 72 ekor (72%) yang terdiri dari 61 ekor anjing (84,72%), 8 ekor kucing (11,11%), dua ekor kera (2,77%), dan satu ekor sapi (1,38%). Berdasarkan jenis kelamin diperoleh informasi bahwa terdapat 46 ekor hewan berjenis kelamin jantan (63,88%) dan 16 ekor berjenis kelamin betina (22,22%) dan sisanya sebanyak 10 ekor tidak dilaporkan jenis kelaminnya. Dari 72 ekor spesimen yang didiagnosa positip rabies tersebut hanya dua ekor (2,77%) yang sudah divaksinasi, 33 ekor (45,83%) belum pernah divaksinasi, dan 37 ekor (51,38%) tidak diketahui status vaksinasinya. Dari data yang lainnya (Hakim et al., 1992) bahwa status vaksinasi dari hewan penular rabies adalah sebagai berikut: dari 1313 hewan penular rabies dari populasi yang ada di Sumatra Utara dan Daerah Istimewa Aceh hanya 91 ekor (6,93%) yang diketahui telah mendapat vaksinasi, 856 ekor lainnya belum divaksinasi, sedangkan sisanya sebanyak 366 ekor yang tidak diketahui status vaksinasinya. Hewan yang tidak diketahui status vaskinasinya adalah hewan yang diliarkan oleh pemiliknya atau hewan yang tidak diketahui pemiliknya. Jumlah
17
keseluruhan anjing yang belum divaksinasi dan anjing yang status vaksinasinya tidak diketahui adalah 1222 ekor (93,07%). Data tentang vaksinasi yang telah dilakukan di empat kabupaten dan kota di wilayah kerja Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional II Bukittinggi empat minggu pasca vaksinasi menunjukkan bahwa hanya 47,50% sample serum yang mengandung titer antibodi rabies yang protektif, sedangkan 25% sisanya mengandung antibodi rabies dengan titer yang tidak protektif dan 27,50% sisanya tidak mengandung antibodi karena belum divaksinasi (Sosiawan et al., 2000).
2.3 Karakteristik Virus Rabies 2.3.1
Klasifikasi Virus
rabies
termasuk
Rhabdoviridae, termasuk dalam
dalam
ordo
Mononegavirales,
famili
tiga generasi: Lyssavirus, Ephemerovirus,
Vesiculovirus (Metlin, 2008). Saat ini Genus Lyssavirus dibagi menjadi tujuh genotipe berdasarkan pada kesamaan genetik. Genotipe-1 serotipe-1 umumnya lebih menyebar dan yang lebih berperan adalah rabies klasik secara umum pada mamalia dan pada kelelawar di Benua Amerika dan sebagai penyebab utama kematian pada manusia di seluruh dunia. Genotipe-2 Lagos bat virus (LBV), genotipe-3 Mokola virus (MOKV), genotipe-4 Duvenhage virus (DUVV), genotipe-5 European bat lyssavirus type-1 (EBLV-1), genotipe-6 European bat lyssavirus type-2 (EBLV-2), dan genotipe-7 Australian bat lyssavirus (ABLV). Selain itu, telah ditemukan empat genotipe baru yang menginfeksi kelelawar di Asia Tengah dan Tenggara yaitu virus Aravan, virus Khujand, virus Irkut, dan
18
kelelawar Kaukasia Barat (Delmas et al., 2008). Untuk genotipe-3 dan 4 hanya ditemukan di Afrika (Markotter et al., 2006).
2.3.2
Struktur virion Virion virus rabies memiliki bentuk seperti batang peluru (Gambar 2.1),
diameter 75 nm dan panjangnya sekitar 100 nm sampai dengan 300 nm (Matsumoto, 1962). Virion memilki dua subunit yang utama. Subunit yang pertama adalah ribonukleoprotein (RNP) yang bentuknya seperti silindris dan tersusun rapi letaknya pada bagian tengah virion, bentuk subunit yang kedua dikelilingi oleh envelop lipid bilayer.
Gambar 2.1 Virion Virus Rabies (http://www.bio.davidson.edu/courses/immunology/Students /spring2006/Jameson/Rabies.html).
19
2. 4 Interaksi Virus Rabies dengan Host 2.4.1
Patogenesa Virus rabies menginfeksi hewan ataupun manusia secara umum melalui
gigitan hewan penular rabies yang pada air liurnya mengandung virus rabies dengan cara kontak langsung dengan kulit, kemudian masuk kedalam otot dan jaringan subkutaneus. Selama masa inkubasi virus bereplikasi secara lokal di dalam sel otot atau langsung menginfeksi ujung saraf. Virus rabies bermigrasi melalui saraf perifer menuju saraf pusat membutuhkan waktu sekitar 50 sampai dengan 100 mm perhari (Warrel et al., 2004). Menurut (Jameson, 2006) bahwa virus pertama kali masuk melalui saraf perifer dan diproses melalui mekanisme retrograde axonal transport. Replikasi virus terjadi di badan primer sel saraf, proses infeksi akan menyebar melalui transinaptik ke badan sekunder sel saraf, sebelum menyebar ke sel-sel aciner yang terletak pada kelenjar ludah (glandula salivary), sampai ditemukan virus di dalam air liur (saliva). Pada hewan yang telah terinfeksi virus rabies di dalam kelenjar air liurnya (glandula salivary) mengandung titer virus rabies yang lebih tinggi dibandingkan pada organ otak (Charey dan McLean, 1983). Selama dalam perjalanan penyakit dapat berbeda antara spesies hewan misalnya pada periode morbiditas pada serigala lebih pendek dibandingkan dengan skunks (Sikes, 1962). Daerah gigitan pada bagian kepala atau leher lebih cepat muncul gejala klinisnya dibandingkan gigitan di daerah kaki belakang. Pada saat virus telah masuk ke dalam saraf perifer, selanjutnya akan berkembang di dalam badan saraf sampai jumlah virus menjadi banyak di saraf tulang belakang dan akhirnya sampai
20
ke otak. Dari otak virus akan menyebar ke jaringan lain secara sentrifugal, misalnya ditemukan pada otot skelet, otot jantung, kelenjar aderenal, ginjal, retina, kornea, pancreas dan saraf disekitar folikel rambut, dan kelenjar air liur (Warrel et al., 2004). Gejala klinis rabies sudah diketahui sejak zaman dahulu kala (Blancou, 1994). Lama waktu dari tergigit sampai muncul gejala klinis sangat bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa bulan. Gejala klinis terlihat hanya setelah jumlah saraf yang terserang sudah banyak dan kematian terjadi pada saat virus sudah sampai ke susunan saraf pusat (Schneider, 1975). Terdapat tiga fase gejala klinis rabies yaitu: fase prodromal mulai hari pertama sampai dengan hari ke tiga virus rabies dapat menjangkau otak. Pada fase eksitasi selama dua sampai tiga hari fase ini disebut furious rabies. Hewan masih terlihat jinak tapi tiba-tiba menjadi galak, menyerang hewan dan manusia setelah itu pergi mengembara dan berkelana. Pada fase paralisis akan mengikuti fase eksitasi, pada fase ini gejala klinis utama yang terlihat adalah tenggorokan dan otot-otot penguyah lumpuh, hewan tidak mampu menelan, terjadi hipersalivasi, rahang bawah terkulai. Pada fase ini sangat berbahaya apabila kontak dengan manusia dan hewan-hewan yang lain serta hewan-hewan domestik seperti sapi dan kuda (Metlin, 2008).
21
Gambar 2.2 Penyebaran Virus Rabies dari Daerah Gigitan ke Susunan Saraf Pusat (Bacon dan Macdonald, 1980).
2. 5 Respons Kekebalan Respons kekebalan atau sistem kekebalan adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbagi dua berdasarkan perolehannya atau asalnya yaitu: sistem imun non spesifik (sistem imun alami) dan sistem imun spesifik (sistem imun yang didapat/hasil adaptasi). Berdasarkan mekanisme kerjanya, sistem imun terbagi dua yaitu: sistem imun humoral (sistem imun jaringan atau di luar sel, yang berperan adalah sel B untuk menghasilkan antibodi) dan sistem imun seluler (sistem imun yang bekerja pada sel yang terinfeksi antigen, yang berperan adalah sel T yaitu sel T helper (Th-1 dan Th-2), sel T cytotoxic, dan sel T suppressor). Respons kekebalan seluler maupun humoral pada hewan timbul lebih cepat jika sebelumnya telah terpapar antigen, karena telah terbentuk sel memori.
Sel
22
memori umumnya bersifat spesifik antigen, sesuai dengan antigen yang dipaparkan sebelumnya (Berata, 2007). Sistem imun alami (sistem imun nonspesifik) merupakan sistem pertahanan garis depan yang akan melawan agen patogen yang masuk ke dalam tubuh inang. Sitokin yang dilepaskan berkaitan dengan proses tanggap kebal yaitu interferon tipe 1 (interferon alfa dan beta) dan kemokin, selanjutnya komponen yang terdiri dari komplemen menjadi aktif untuk menarik makrofag, neutrofil, dan sel Natural Killer (NK) sehingga komponen tersebut akan menghancurkan sel-sel yang terinfeksi virus. Sistem imun nonspesifik yang akan merespons pertama kali patogen yang masuk ke dalam tubuh, agen patogen dapat berupa patogen alami atau patogen yang berasal dari vaksin (Jackson et al., 2007). Sistem imun adaptif (sistem imun spesifik) tidak langsung melawan patogen yang masuk ke dalam tubuh inang, tetapi akan mentoleransi agen patogen yang masuk. Sistem imun spesifik membutuhkan beberapa hari untuk bekerja melawan patogen yang masuk ke dalam tubuh inang. Sel dilengkapi oleh mekanisme yang bervariasi untuk mengenal komponen-komponen virus yang menginfeksi agar supaya dapat secara cepat merespons agen patogen. Komponen patogen akan dikenali melalui reseptor-reseptor seperti Toll Like Receptor (TCRs). Sinyal yang pertama kali untuk mengenal agen patogen adalah dengan cara menghasilkan tipe 1 interferon (interferon alfa dan beta), sitokin inflamasi (IL-6, IL-1α, TNF-α, dan kemokin (CCL-5, CXCL-10, CCL3, CCL-4) yang akan memulai proses tanggap kebal sehingga mengendalikan proses peradangan respons terhadap antivirus (Jackson et al., 2007), di samping itu antivirus juga
23
memiliki mekanisme seperti yang telah disebutkan. tipe 1 interferon merupakan pengatur yang penting karena memiliki efek sistem pleiotropic pada sistem respons imun nonspesifik dan spesifik. Tipe 1 interferon efektif dalam promoting survival dan akan mengaktifkan sel-sel dendritik (DCs). Sel-sel dendritik akan mempresentasikan antigen ke sel limfosit respons imun spesifik agar supaya dapat mulai bekerja. Efesiensi vaksin dan pertahanan terhadap serangan agen patogen tergantung pada kekuatan respons sistem imun spesifik, sehingga sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik dapat bekerjasama dalam melakukan proses tanggap kebal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah efektifitas adjuvan yang digunakan yang fungsinya untuk membantu dalam proses menghasilkan antibodi yang lebih baik (Jackson et al., 2007). Setelah
antigen
berikatan
dengan
molekul
kompleks
Major
Histocompatibility (MHC) akan dipresentasikan ke permukaan sel-sel dendritik melalui proses pemecahan antigen menjadi fragmen peptida, fragmen peptida tersebut berasal dari antigen asing yang masuk atau antigen yang masuk akibat vaksinasi. Pada respons imun spesifik melakukan proses tanggap kebal dengan cara sel limfosit T helper (CD4+) mengenali antigen asing dan antigen spesifik yang berasal dari vaksin hanya sekali dan langsung diproses dan dipresentasikan ke eksogenus MHC-2 oleh sel-sel dendritik dan sel limfosit B. Secara sederhana antigen asing yang berada ekstraseluler akan diproses di intraseluler dan akan langsung dicerna oleh molekul MHC-2 (Jackson et al., 2007). Respons kekebalan seluler dimulai dengan proses pemecahan antigen oleh makrofag dan sel-sel dendritik menjadi fragmen peptida. Fragmen peptida ini
24
dipresentasikan oleh MHC-2 ke permukaan sel untuk pengenalan bersama dengan TCRs dari sel Limfosit T helper (CD4+) (Abbas et al., 2000; Jackson et al., 2007). Sinyal melalui TCRs dan sel Limfosit T helper (CD4+) akan merangsang proses aktivasi sel T untuk berdeferensiasi menjadi dua subset yaitu sel T helper-1 (Th-1) dan sel T helper-2 (Th-2). Perbedaan kedua subset tersebut tergantung pada jenis sekresi sitokin yang dihasilkan. Sel T helper-1 (Th-1) menghasilkan sitokin berupa IFN-gamma, sedangkan sel T helper-2 (Th-2) menghasilkan sitokin IL-4. Turunan sel T helper-1 (Th-1) dikontrol oleh IL-12 yang diproduksi oleh makrofag dan sel-sel dendritik. Sel T helper-1 (Th-1) akan berhenti berdeferensiasi setelah menghasilkan sitokin berupa IFN-gamma dan akan membantu limfosit B untuk menghasilkan antibodi (Jackson et al., 2007). Sel-T cytotoxic (CD8+) mengenali antigen asing setelah diproses di sel-sel endogenus kemudian dipresentasikan ke molekul MHC-1. Sel-sel yang terinfeksi peptida patogen akan dikirim dan diletakkan pada alur molekul MHC-1 ke permukaan sel. Peptida patogen yang telah menginfeksi sel akan mengaktivasi sel T untuk pengenalan bersama dengan TCRs dari sel-T cytotoxic (CD8+). Sel-T cytotoxic (CD8+) yang telah teraktivasi akan menghasilkan sitokin IFN-γ dan akan membunuh sel-sel yang terinfeksi melalui sel-T cytotoxic.
Pematangan sel
limfosit T terjadi pada organ limfoid sekunder seperti: nodus limfa dan limpa (Jackson et al., 2007). Keseimbangan respons antara sel limfosit T helper (CD4+) dan sel-T cytotoxic (CD8+) terhadap antigen yang masuk tergantung pada kemurnian dan perlawanan terhadap antigen asing, mikroorganisme hidup akan menggertak
25
respon sel-T cytotoxic (CD8+), oleh karena itu pengenalan terhadap peptida akan lambat untuk menarik sel limfosit T helper (CD4+) untuk menginduksi protein. Vaksin yang komponen virusnya mengandung virus hidup yang dilemahkan akan menggertak sel T yang berperantara sel sehingga mencegah virus bereplikasi di dalam sel. Vaksin DNA dan vaksin virus rekombinan akan menginduksi produksi antigen virus pada sel-sel yang hidup. Mekanisme ini juga terjadi pada vaksin hidup yang dilemahkan. Kedua vaksin tersebut merupakan turunan utama sel-T cytotoxic (CD8+). Berbeda halnya pada vaksin inaktif atau vaksin subunit maka partikel virus secara sederhana berikatan dengan molekul MHC-2. Sel-sel dendritik menggertak sel limfosit T helper (CD4+) untuk teraktivasi sehingga membantu sel B menghasilkan antibodi (Jackson et al., 2007). Pada saat ini semua vaksin rabies baik untuk manusia maupun untuk hewan adalah jenis vaksin inaktif yang komponennya mengandung protein lengkap dari virus rabies yaitu: G, N, NS, P, M, dan L, semuanya diharapkan dapat menggertak sel Limfosit T helper (CD4+) dan sel B (respons humoral). Penggunaan vaksin virus hidup seperti strain virus rabies yang dilemahkan atau virus rekombinan seperti virus vaccinia yang mengekspresikan glikoprotein virus rabies (Jackson et al., 2007) hanya terbatas pada vaksinasi untuk hewan-hewan liar. Vaksin hidup diharapkan dapat menggertak lebih cepat respons sel T cytotoxic (CD8+). Untuk lebih mengetahui dengan jelas perbandingan analisis antara formulasi antara vaksin aktif yang dilemahkan, Vaksin DNA, vaksin rekombinan, dan vaksin inaktif dapat disajikan pada Tabel 2.2 di bawah ini.
26
Tabel 2.2 Analisis Perbandingan Formulasi Beberapa Jenis Vaksin Vaksin akatif yang dilemahkan
Vaksin DNA
Vaksin rekombinan
Vaksin inaktif
++
++
+++
Sel B
+++
Sel T helper (CD4+)
+/- Th1
+++ Th1
+
+/-Th1
Sel T cytotoxic (CD8+)
+++
++
+++
-
Kelas MHC
I dan II
I dan II
I dan II
II
Sumber: Jackson and Wunner (2007). 2.5.1
Mekanisme tanggap kebal infeksi virus rabies Secara alami virus rabies bersifat tropisme menginfeksi sistem saraf.
Setelah virus masuk atau melalui gigitan hewan yang menderita rabies, virus akan tinggal dalam beberapa lama pada tempat masuknya virus (Fekadu, 1988). Infeksi lebih lanjut partikel virus rabies memperbanyak diri pada jaringan otot sebelum virus bertambah banyak di sistem saraf, dengan demikian menggertak sistem kekebalan di bagian permukaan (perifer). Oleh karena itu, virus rabies tidak dapat menggertak sistem kekebalan primer berperantara antibodi yang spesifik pada susunan saraf, sehingga virus rabies dapat memperbanyak diri di susunan saraf pusat. Hal ini membuat limfoid tidak mampu untuk melakukan tanggap kebal dan Antigen Presenting Cell (APC) juga tidak dapat bekerja secara sempurna di dalam sistem syaraf tersebut (Jackson et al., 2007). Di samping itu selama perjalanan virus secara sentripetal ke otak, secara spesifik antbodi neutralisasi tidak dapat dideteksi sebelum gejala klinis terlihat, oleh karena antigen yang dipresentasikan
27
tidak cukup untuk menggertak sistem tanggap kebal. Respons tanggap seluler secara mudah distimulir oleh protein virus rabies, tetapi mekanismenya belum pernah diteliti (Fekadu, 1988). Bukti-bukti tersebut di atas menerangkan bahwa virus rabies menggertak pertama kali respons nonspesifik dan diatur menurut patogenitas strain virus rabies (Jackson and Wunner et al., 2007). 2.5.2
Respons kekebalan humoral Respons kekebalan humoral adalah respons kekebalan yang diperantarai
oleh antibodi. Sistem kekebalan humoral bekerja lewat MHC-2 melalui sel CD4+ (sel T helper) (Abbas et al., 2000). Sel B akan mengidentifikasi patogen sewaktu antibodi berada di bagian permukaan untuk berikatan dengan antigen asing yang spesifik. Kompleks antigen-antibodi diambil alih oleh sel B dan diproses oleh enzim proteolitik di dalam peptida. Sewaktu sel B mempersembahkan peptida antigenik pada bagian permukaan molekul MHC-2 maka kombinasi MHC-2 dan antigen akan menarik sel T helper yang akan mengeluarkan limfokin dan selanjutnya sel B diaktivasi. Sel B yang telah aktif maka akan menghasilkan sel plasma yang akan mensekresikan berjuta-juta antibodi yang selanjutnya akan mengenali antigen. Antibodi akan beredar di dalam darah dan cairan limfe, selanjutnya berikatan dengan antigen dan dihancurkan oleh aktivitas komplemen atau dengan cepat dihancurkan melalui proses fagosit. Antibodi dapat juga secara langsung menetralisir dengan cara berikatan dengan toksin bakteri atau dengan cara berikatan dengan reseptor yang terdapat pada virus dan bakteri yang biasanya digunakan untuk menginfeksi sel (Abbas et al., 2000).
28
2.5.3
Respons kekebalan seluler Respons kekebalan seluler adalah kekebalan yang diperantarai oleh sel
limfosit T helper (Th) dan sel limfosit T cytotoxic (Tc) sebagai sel efektor. Kekebalan seluler berperan dalam menghancurkan mikroorganisme intraseluler seperti virus dan beberapa jenis bakteri intraseluler. Sistem kekebalan seluler bekerja melalui dua mekanisme yaitu: 1. Mengaktifkan sel-sel penyaji antigen antara lain makrofag, sel dendrit atau sel limfosit B. 2. Melisiskan sel-sel terinfeksi virus dengan sel sitotoksiknya. Masuknya antigen ke dalam tubuh ditangkap oleh makrofag. Antigen dalam vesikel sel penyaji antigen (makrofag) di proses menjadi fragmen peptida. Peptida dari protein ekstraseluler ini disajikan oleh makrofag dalam bentuk molekul MHC-2 di bagian permukaannya, baru dapat dikenali oleh limfosit T melalui reseptor yang disebut T-cell receptor (TCR). Limfosit T tidak mengenali peptide bebas. Walaupun terbentuk satu ikatan TCR dengan kompleks peptidaMHC, sudah cukup mampu untuk merangsang aktivasi signal dua (produksi limfokin). Pada proses proliferasi dan diferensiasi limfosit T, makrofag merupakan sel utama yang berperan menangkap antigen dalam sirkulasi yang sekaligus memproses dan menyajikan dalam bentuk kompleks peptida-MHC pada limfosit T. Sel penyaji yang bersifat stasioner terutama pada jaringan limfoid adalah sel dendrit, yang dilaporkan sebagai sel penyaji antigen yang lebih baik dari pada makrofag, terbukti sel dendrit dapat lebih meningkatkan efektifitas vaksin Human Imunodefesiensi Virus (HIV). Respons kekebalan seluler secara
29
umum dipengaruhi oleh interaksi dua faktor yaitu hospes dan antigen. Respons kekebalan seluler ditandai adanya proliferasi sel limfosit dan produksi limfokin (Berata, 2007).
2.6 Limfosit T Sel limfosit T berdiferensiasi di timus (kelenjar limfoid primer), kemudian 25% di antaranya pindah ke kelenjar limfoid sekunder terutama limpa dan limfonodus. Kelenjar timus berperan dalam pengaturan perkembangan limfosit. Limpa dan limfonodus merupakan tempat interaksi limfosit dengan antigen. Limpa menangkap antigen dari darah, sedangkan limfonodus menangkap antigen dari cairan limfe. Sel limfosit pada limpa banyak terdapat di daerah parafolikel (Abbas et al., 2000). Sel limfosit T di limfonodus terutama berlokasi pada daerah parakortek, sehingga daerah ini disebut daerah tergantung timus (Berata, 2007). Ukuran sel limfosit bervariasi dengan diameter 8 um sampai dengan 12 um. Sel pembunuh alami (NK cell) bersifat membunuh benda asing lebih cepat dari sel sitotoksik tanpa adanya pemaparan antigen sebelumnya (Abbas et al., 2000). Sel limfosit T terdiri dari dua subpopulasi utama yaitu sel limfosit T helper (Th) sel limfosit T cytotoxic (Tc) (supressor/sel pembunuh/killer cells). Selain itu ada sekelompok kecil sel pembunuh alami (NK cell) yang mampu membunuh sel-sel tumor tanpa tersensitisasi lebih dahulu. Sel pembunuh alami sulit dibedakan dengan sel limfosit yang belum pernah kontak dengan antigen. Sel limfosit Th memiliki reseptor Fc untuk IgM, sedang sel limfosit Tc memiliki reseptor Fc untuk IgG. Sel limfosit Th berperan mensintesa sitokin dan faktor-
30
faktor pertumbuhan kelompok sel limfosit tertentu, sedangkan sel limfosit Tc mengenali antigen asing pada MHC-1 (Abbas et al., 2000). Sel limfosit Th dibagi dua subset Th-1 dan Th-2, Th-1 untuk respon kekebalan seluler termasuk aktivitas makrofag dan NK cell. Sel limfosit Th-1 mensekresi IL-2 dan interferon gamma (IFN-gamma), sedangkan Th-2 sekresi IL-4, IL-5, dan IL-10 yang berperan dalam kekebalan humoral. Selain IL-2 dan IFN-gamma, limfosit Th-1 juga produksi IL-5, IL-12, dan IL-18 (Abbas et al., 2000). Sitokin yang dihasilkan oleh limfosit Th-1 dan Th-2 bersifat saling menghambat secara mutualisme. IFN-gamma menghambat proliferasi sel limfosit Th-2, sementara IL-4 dan IL-10 menghambat produksi sitokin oleh limfosit Th-1 (Berata, 2007). Fungsi MHC-1 dalam proses sitotoksisitas antigen yang dilakukan bersama sel limfosit sitotoksik (CD8+), sedangkan MHC-2 berperan dalam proses respon kekebalan baik seluler maupun humoral. Pada respon kekebalan seluler dimulai dengan proses pemecahan antigen oleh makrofag menjadi fragmen peptida. Fragmen peptida ini dipresentasikan oleh MHC-2 ke permukaan sel untuk pengenalan bersama dengan TCR dari sel limfosit T helper (CD4+) (Abbas et al., 2000). Klasifikasi sel limfosit berdasarkan susunan protein membran dengan uji penanda (marker) yang menggunakan MoAb, diketahui ratusan subset limfosit T. Nomenklatur dari subset limfosit tersebut diambil berdasarkan kelompok antigen membran yang disebut cluster of differentiation yang disingkat CD. Berdasarkan perkembangan sejak dari sel stem limfoid, ekspresi CD pada pemukaannya juga
31
mengalami perkembangan.
Dalam sel stem limfoid, ekspresi permukaannya
adalah CD34, kemudian dalam sinus berkembang CD1, CD4, CD5, CD7, CD8. Jika limfosit telah dewasa, baru terekspresi menjadi 2 limfosit mayor yaitu sel limfosit T CD4+ dan sel limfosit T CD8+ (Berata, 2007). Kebanyakan sel limfosit T sitotoksik adalah sel T limfosit CD8+ yang mengenali antigen yang disajikan MHC-1, tetapi 10% sel limfosit sitotoksik merupakan sel limfosit T CD4+ dan mengenali antigen yang disajikan MHC-2 (Berata, 2007).
2.7 Diagnosa Laboratorium Rabies Diagnosa laboratorium rabies harus cepat dan dapat dipercaya untuk mengevaluasi resiko dari infeksi rabies pada individu yang telah tergigit (Zimmer et al., 1990), dan juga penting tetap mempertahankan kesehatan dengan melaksanakan surveilan dan mengontrol epidemik dan epizootik (Perrin et al., 1986). Teknik untuk diagnosa rabies telah distandarisasi secara internasional dan beberapa pengujian yang dapat digunakan yaitu: deteksi negri bodi pada sediaan apus otak dan histologik, metoda tersebut pertama kali yang digunakan untuk mendiagnosa rabies, tetapi untuk saat ini tidak digunakan secara luas oleh karena metoda tersebut di atas sensitifitasnya rendah. Menurut Shankar (2009) bahwa metoda histologi, khususnya metoda pewarnaan Seller dalam jangka waktu lama tidak direkomendasikan untuk digunakan karena sensitifitasnya sangat rendah dan sebaiknya tidak digunakan lagi pada diagnosa rabies. Pada saat ini terdapat beberapa metoda diagnosa rabies yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang sangat tinggi yang sudah distandarisasi baik secara nasional maupun internasional.
32
Standar nasional metoda diagnosa rabies seperti isolasi dan identifikasi yaitu: uji biologis dan Flourescent Antobody Technique (FAT), deteksi antibodi yaitu: Virus Netralization (VN), Flourescent Antibody Virus Neutralization (FAVN) (Putra dan Soegiarto, 2009). Standar international metoda identifikasi virus rabies dengan metoda immunokimia yaitu: Flourescent Antobody Technique (FAT) dan tehnik imunohistokimia, metoda untuk mendeteksi replikasi virus rabies yaitu: Mouse Inoculation Test (MIT). Deteksi secara serologi, metoda yang digunakan berupa netralisasi virus dengan menggunakan kultur sel yaitu: Florescent Antibody Virus Neutralization (FAVN), Rapid Flourescent Focus Inhibition Test (RFFIT) yang tujuannya untuk menguji kemampuan antibodi dalam menetralisir virus rabies, Virus Neutralization in Mice merupakan metoda yang sudah lama tidak digunakan karena OIE dan WHO tidak merekomendasikan untuk dilanjutkan penggunaannya dalam diagnosa rabies, dan metoda yang lain yaitu Enzyme Linked Immonosorbent Assay (Shankar, 2009). Menurut WHO (1992), diagnosis untuk menemukan antigen, virus, atau Negri bodies dari rabies dapat dilakukan dengan Flourescent Antobody Technique (FAT), rapid rabies enzyme immunodiagnosis (RREID), isolasi virus pada sel neuroblastoma atau suckling mice (umur kurang dari tiga hari), penggunaan antibodi monoklonal atau dengan polymerase chain reaction (PCR). Sementara untuk deteksi antibodi dilakukan dengan mouse serum neutralization test (MNT), rapid flourescent focus inhibition test (RFFIT) atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
33
2.7.1
Deteksi antigen virus Tehnik Flourescent Antobody Technique (FAT) telah digunakan secara
luas
untuk
mendiagnosa
penyakit
rabies.
Tehnik
diagnosa
ini
telah
direkomendasikan oleh OIE dan WHO. Tehnik ini secara langsung digunakan untuk preparat ulas dan langsung dapat digunakan untuk konfirmasi keberadaan virus rabies pada cell culture atau pada jaringan otak tikus yang telah diinokulasikan virus rabies yang bertujuan untuk diagnosa rabies. Diagnosa rabies dengan menggunakan FAT pada spesimen yang masih segar sensitivitasnya 95% sampai dengan 99%. Hal ini tergantung pada kondisi spesimen (sudah autolisis atau belum), pengetahuan seseorang, tipe daripada lyssavirus, kemampuan diagnosa daripada staf yang ada di laboratorum tersebut. Sensitivitas FAT akan menurun apabila sampel yang diperoleh berasal dari hewan-hewan yang telah divaksinasi dengan vaksin rabies, karena hewan-hewan tersebut antigennya telah dilokalisasi dan hanya terbatas di daerah batang otak.
Pada diagnosa rabies
dengan menggunakan teknik FAT spesifik mendeteksi agregat protein nukleokapsid yang terlihat berflouresen (berpendar) apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop berflouresen. Untuk meningkatkan sensitifitas dan spesifisitasnya maka konyugat flouresen antirabies sebaiknya diuji terlebih dahulu dengan menggunakan virus yang berbeda sebelum digunakan (Shankar, 2009). Teknik FAT dapat diaplikasikan pada spesimen yang menggunakan gliserin sebagai bahan pengawet. Jika spesimen yang telah diawetkan dengan menggunakan
larutan
formalin
maka
diproses
terlebih
dahulu
dengan
menambahkan enzim proteolitik. Akan tetapi apabila sampel-sampel yang telah
34
disimpan di dalam larutan formalin kemudian diproes dengan menambahkan enzim proteolitik maka hasilnya kurang bagus dan kurang praktis dibandingkan dengan spesimen yang masih segar (Shankar, 2009). Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA) merupakan teknik yang cepat untuk evaluasi sampel dalam jumlah besar secara simultan, yang menggunakan mikroplet yang sebelumnya telah dipekakan dengan imunoglobulin antirabies. Suspensi dari material dihomogenkan kemudian dimasukkan ke dalam lubang mikroplet yang secara spesifik akan berikatan, selanjutnya dapat direaksikan dengan menambahkan konyuget berupa peroksidase (Perrin et al., 1986). Sebagai tambahan metoda kuantitatif ELISA (N- ELISA) untuk deteksi rabies pada nukleoprotein (N) pada virus rabies yang akan ditangkap oleh antibodi poliklonal spesifik virus rabies pada plate ELISA dapat dipakai untuk deteksi secara kuantitatif partikel virus rabies (Katayama et al., 1999). Latex agglutination test (LAT) merupakan teknik yang cepat dan sederhana telah digunakan secara luas pada laboratorium diagnosa rabies di masa yang akan datang. Teknik ini digunakan untuk deteksi antigen virus rabies pada air liur dengan spesifisitas 99% dan sensitifitas 95%. Hal yang perlu diperhatikan pada pengujian Latex agglutination test (LAT) adalah adanya proses aglutinasi pada slide yang bahannya berupa polystyrene latex beads yang dicoating dengan Ig G antirabies (Kasempimolporn et al., 2000, 2007). 2.7.2
Isolasi virus Metoda untuk deteksi replikasi virus rabies setelah diinokulasi virus rabies
terdiri dari MIT dan cell culture test. Kedua metoda ini digunakan jika hasil
35
pengujian dengan menggunakan metoda FAT negatif, terutama kasus gigitan pada manusia (Shankar, 2009). Pada metode MIT menggunakan tikus umur tiga sampai dengan empat minggu dengan berat 12 g sampai dengan 14 g yang berjumlah empat sampai dengan sepuluh ekor tikus yang disuntik secara intraserebral. Inokulumnya adalah homogenasi supernatan organ otak tikus (korteks, Ammon’s horn, serebellum, medulla oblongata) 20% (w/v) di dalam larutan buffer isotonik yang mengandung antibiotik. Untuk mengurangi rasa sakit maka tikus sebaiknya dianastesi terlebih dahulu sebelum penyuntikan. Tikus diobsevasi selama 28 hari dan setiap hari diamati. Apabila selama waktu pengamatan ditemukan tikus mati maka otaknya diuji dengan metoda FAT. Pada strain street fox rabies biasanya kematian terjadi pada hari ke-9 setelah penyuntikan. Untuk memperoleh hasil yang lebih cepat maka otak tikus pada hari ke-3, 7, 9, dan 11 setelah penyuntikan otaknya diambil kemudian diuji dengan metoda FAT (Shankar, 2009). Pada cell culture test menggunakan Neuroblastoma cell line (ATCC CCL131) digunakan pada diagnosa rabies secara rutin. Sel ditumbuhkan dengan menggunakan media penumbuh berupa Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM) dengan 5% Foetal Calf Serum (FCS), diinkubasikan pada 36oC dengan CO2 5%. Sensitivitasnya telah dibandingkan dengan jenis sel line baby hamster kidney (BHK-21). Sel line ini sensitif pada isolat lapangan tanpa perlu diadaptasikan terlebih dahulu, tetapi sebelum digunakan sebaiknya diuji terlebih dahulu dengan FAT. Hasil pengujiannya dapat diperoleh setelah 18 jam. Secara umum masa inkubasi dilanjutkan sampai 48 jam, sedangkan dibeberapa
36
laboratorium masa inkubasi dilanjutkan sampai empat hari. Metoda cell culture test sensitivitasnya sama dengan MIT (Shankar, 2009). 2.7.3
Deteksi serum netralisasi Deteksi antibodi netralisasi virus anti rabies (VNA) secara luas digunakan
untuk mengevaluasi potensi vaksin antirabies karena titer minimal dari VNA dibutuhkan untuk melindungi hewan. Titer minimal yang dapat melindungi hewan dari rabies yaitu lebih besar atau sama dengan 0.5 IU/µl (OIE,2004). Pengujian netralisasi juga telah digunakan untuk monitoring lyssa virus pada kelelawar (Arguin et al., 2002; Lumlertdacha et al., 2005). Metode ini mampu untuk menentukan level antibodi oleh netralisasi dari virus rabies yang telah diketahui (umumnya strain CVS). Sampel serum diuji dan dibandingkan dengan netralisasi dari referensi serum standar pada level antibodi 0,5 atau 1,0 IU/µl. Pada pengujian ini menggunakan mikroplet dan hasilnya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop berflouresen. Rekaman hasil pengujian dapat dilihat secara langsung namun dapat menimbulkan interpretasi yang berbedabeda, sedangkan apabila menggunakan mikroskop flouresen dihubungkan dengan kamera video
inverted yang
dan dianalisis langsung dengan system
komputer tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda (Peharpre et al.,1999) konyugat peroksidase yang berflouresen dapat juga digunakan pada metode ini. Latex Aglutination Test juga digunakan untuk mendeteksi antibodi spesifik rabies. Latex beads dicoating dengan glikoprotein rabies yang telah dimurnikan untuk deteksi antibodi glikoprotein sampel serum. Aglutinasi mampu dilihat pada
37
serum positif yang diobservasi dan titernya menunjukkan lebih besar atau sama dengan dua IU/µl selama dua menit sampai dengan tiga menit setelah dicampur, apabila serum sampel titernya kurang dari dua IU/µl maka tidak terlihat adanya aglutinasi (Madhusudana dan Saraswati, 2003). Serum Mouse Neutralization Test merupakan metode dasar secara serologi untuk mempelajari suatu virus, metode ini memiliki spesifisitas yang sangat tinggi. Prinsip kerja dari metode ini adalah: (1) Mencampur antara serum dan virus, (2) Campuran virus dan serum diinkubasikan pada suhu yang tepat yaitu 370C, dan (3) Menyuntikkan campuran virus dan serum ke dalam hewan peka dimana keberadaan virus yang tidak dapat dinetralisasi dapat dideteksi. Pada Serum Mouse Neutralization Test dapat menentukan antibodi rabies perorangan atau hewan pada tingkat dan jumlah tertentu pada serum yang diuji. Minimal titer antibodi rabies Serum Mouse Neutralization yang dapat dideteksi adalah 16 (Velleca and Forrester, 1981).
2. 8 Strain Fixed Virus Rabies 2.8.1
Strain laboratorium Terdapat dua strain laboratorium yaitu Challenge Virus Standar (CVS)
atau
strain
virus
37tatist
dan
PMPV
(Pitman-Moore
Pasteur
Virus)
penggunaannya telah meluas. Kedua strain tersebut merupakan turunan asli asal virus strain Pasteur (Smith et al., 1993). Strain CVS punya dua strain yang stabil yaitu CVS-B2C dan CVS-N2C keduanya berbeda dalam hal patogenitas untuk tikus, dan punya kemampuan untuk menginfeksi saraf (Morimoto et al., 1999). Pada strain laboratorium digunakan untuk melihat perbedaan dalam pengujian
38
antibodi seperti netralisasi virus dan tes inhibisi, kedua jenis uji ini sama baiknya pada pengujian terhadap tes potensi pada vaksin antirabies di laboratorium kesehatan hewan. 2.8.2
Vaksin antirabies dan strain vaksin Sejak vaksinasi rabies pertama pada tahun 1885 oleh Louis Pasteur
(Pasteur, 1885), penanganan terhadap pemberian vaksin pada manusia baik yang belum terinfeksi rabies maupun yang sudah terinfeksi rabies menjadi lebih baik (Dietzschold et al., 2003). Beberapa macam tipe vaksin yaitu: live attenuated, inactivated (killed), DNA-based, dan vector vaccines. Untuk memproduksi vaksin antirabies terdapat sejumlah attenuated vaccine strains
yang dibuat oleh
pemerintah Perancis yaitu Pasteur Virus (PV), Evelyn Rokitniki Abelseth (ERA), Street-Alabama-Dufferin (SAD), 3aG, Fuenzalida S-51 dan S-91, Ni-Ce, SRV9, PM, Nishigahara, RC-HL, Kelev, Flury, “Shelkovo-51”, “O-73 Uz-VGNKI”, “RV-71”, “Krasnopresnenskii-85”, dan the RV-97 strain (Steck et al., 1982; Fodor et al., 1994; Gruzdev dan Nedosekov, 2001; Ito et al., 2001b; Borisov et al., 2002). Pada tahun 1882 telah berhasil diisolasi strain virus Pasteur pertama kali pada sapi yang digunakan sebagai vaksin. Proses atenuasinya melalui pasase berkali-kali pada kelinci. Strain SAD diisolasi dari anjing gila di Alabama (USA) pada tahun 1935 dan diadaptasikan dengan cara ditanam pada otak tikus dan pada baby hamster kidney cell culture. Strain ini memiliki dua turunan yaitu ERA dan Vnukovo-32. Beberapa varian strain SAD yaitu: SAD-Berne, SAD B19, SADP5/88 dan lain-lain., dan terdapat dua jenis mutan yang tidak bersifat virulen
39
yaitu SAG1 dan SAG2. Strain vaksin yang dimiliki oleh kelompok SAD penggunaannya telah meluas di seluruh dunia. Satu dari beberapa penggunaan untuk vaksin oral anti rabies disiapkan berasal dari strain SAD-19. SAD 19 memiliki imunogenisitas yang tinggi dan aman. Strainnya telah dicoba melalui suatu eksperimen (Vos et al., 2000; Neubert et al., 2001). Vaksin aktif yang mengandung virus rabies yang dilemahkan dengan rute pemberian melalui suntikan, sampai sekarang
masih digunakan di beberapa
39tatis yang sedang berkembang untuk mencegah rabies pada hewan dan manusia. Vaksin aktif tersebut ditanam
pada kultur jaringan atau pada hewan hidup,
contohnya pada domba. Vaksin aktif yang lain yang dilemahkan yang penggunaan hanya terbatas pada hewan-hewan liar yang rute pemberiannya melalui oral. Beberapa strain vaksin yang digunakan untuk memproduksi vaksin oral, diantaranya adalah: SAD19 dan SAD yang lainnya. SAG1 dan SAG2 yang tidak patogen yang telah mengalami mutasi delesi, Vnukovo-32, dan strain VRG (Brochier et al., 1991; Vos et al., 2000). Strain vaksin RV-97 digunakan di Rusia untuk memproduksi vaksin oral antirabies (sinrab), strain diperoleh dari FGI (Federal Centre for Animal Health) (Vladimir, Russia) dari strain RB-71. Strainnya berasal dari dua sumber strain pada domba, turunan dari strain PV (Moscow) juga turunannya dipercaya berasal dari strain PV (Gruzdev and Nedosekov, 2001), digunakan di negara USSR untuk memproduksi vaksin antirabies. Strain RV-97 diadaptasikan pada kultur sel BHK-21 (Borisov et al., 2002). Vaksin inaktif merupakan vaksin yang berasal dari partikel virus rabies
40
yang masih utuh bersifat sangat imunogenik. Vaksin ini digunakan untuk imunisasi pada manusia dan hewan (Dietzschold et al., 2003). Vaksin DNA tergantung pada jenis vektor plasmid yang dapat mengekspresikan glikoprotein virus rabies. Vaksin-vaksin tersebut sudah diuji efesiensinya pada beberapa spesies hewan (tikus, anjing dan pada primata non human). Hasil diperoleh berdasarkan penelitian dasar yang telah dilakukan pada tikus dengan pemberian dosis tunggal, paling sedikit lima suntikan dari vaksin yang berasal dari kultur jaringan (Bahloul et al., 2003). Vektor vaksin merupakan dasar pada virus rekombinan, dan beberapa virus yang telah diuji untuk tujuan tertentu, Vaksin V-RG telah didesain pada poxvirus (vaccinia virus) ekspresi strain SAD glikoprotein dan digunakan untuk vaksin oral pada hewan liar (Wiktor et al., 1984; Brochier et al., 1990, 1991; Winkler et al., 1992; Meslin et al., 1994). Adrab.gp vaccine merupakan dasar ekspresi adenovirus strain ERA glikoprotein dan ditemukan mampu menginduksi respons imun pada anjing (Tims et al., 2000). Canine herpesvirus (CHV) yang mampu mengekspresikan glikoprotein virus rabies dan telah berhasil digunakan sebagai vaksin antirabies (Xuan et al., 1998).
Raccon Poxvirus (RCNV)
merupakan vektor virus vaksin rekombinan yang digunakan untuk melawan feline panleukopeni telah dikembangkan dan diuji pada kucing (Hu et al., 1997). Vaksin virus rekombinan memiliki dua glikoprotein yang identik (SPBNGA-GA) telah dibuat (Faber et al., 2002). Strain virus vaksin tergantung pada vektor yang sudah memperlihatkan kemampuan vaksin untuk melawan penyakit-penyakit akibat
41
virus seperti HIV tipe 1 dan hepatitis C, tetapi masih perlu mempertimbangkan sisa patogenitasnya untuk pemakaian yang lebih luas (McGettigan et al., 2003). Pada saat sebelum penggunaan vaksin oral, satu-satunya cara yang digunakan untuk mengontrol rabies pada satwa liar adalah dengan cara mendepopulasi hewan-hewan yang berperan sebagai vektor rabies (Aubert, 1994). Saat ini untuk mengontrol kejadian rabies pada hewan liar hanya dengan menggunakan vaksin oral. Ide untuk melakukan vaksin oral pada hewan liar adalah dihubungkan dengan imunisasi aktif pada hewan liar pada abad yang lalu (Baer, 1975), tetapi sangat sulit aplikasinya karena dilihat dari bentuk vaksin, metode distribusinya, bagaimana cara mengendalikan, dan kemungkinan sisa-sisa patogenitasnya melampaui batas ambang yang dipersyaratkan. Sejak itu, uji coba dilakukan di beberapa laboratorium dan di lapangan (Wandeler et al., 1988). Kantong wadah plastik vaksin ditempelkan pada kepala ayam (Steck et al., 1982), tetapi baru-baru ini perbedaan tipe umpan vaksin modern dan perbedaan campuran tepung untuk memproduksi umpan telah dikembangkan dan diuji (Linhart et al., 1997). Vaksin strain SAD B19 adalah salah satu dari beberapa strain vaksin yang digunakan secara luas di Eropa bersama-sama dengan umpan yaitu sekitar 70 juta umpan dalam kurun waktu antara tahun 1983 dan 1988 (Vos et al., 2000). Studi pada imunogenisitas dan efficacy pada SAD B19 vaksin virus rabies yang dilemahkan pada serigala telah diuji coba dibawah pengawasan kondisi laboratorium (Neubert et al., 2001). Vos et al., (1999) telah melakukan studi tentang keamanan vaksin SAD B19 pada 16 spesies hewan dengan rute yang berbeda dan memperlihatkan bahwa
42
sisa patogenitasnya rendah pada hewan jenis pengerat. Akan tetapi transmisi virus vaksin untuk mengontrol hewan mekanismenya belum terlalu jelas. Sejak tidak ditemukannya virus pada air liur pada enam spesies hewan telah diuji, maka dapat dikatakan bahwa vaksin tersebut aman untuk digunakan. Selanjutnya stabilitas genetik vaksin SAD B19 telah diuji lewat pasase pada jaringan syaraf anjing, serigala dan tikus dan hasilnya memperlihatkan bahwa vaksin SAD 19 tidak merusak dan bersifat stabil.
Dapat disimpulkan bahwa Vaksin rabies strain
SAD19 bisa digunakan untuk vaksin oral pada jenis karnivora untuk melawan rabies (Vos et al., 1999). Walaupun demikian beberapa kasus yang terjadi disebabkan oleh virus vaksin yang berasal dari vaksin virus hidup yang dilemahkan
(Pastoret et al., 1999; Wandeler, 2000),
dengan demikian para
ilmuwan terus mengembangkan metode yang baru, khususnya keamanan strain vaksin, karena hal tersebut adalah merupakan hal yang paling penting. Strain vaksin dua mutan diperoleh dengan langsung melalui mutagenesis dari strain SAD. SAG1 mengandung satu nukleotida yang digantikan sampai SAG2 memiliki dua nukleotida digantikan pada posisi asam amino 333 dari virus rabies glikoprotein (Follmann et al., 1996). Strain vaksinnya tidak patogen pada tikus dewasa yang diinokulasikan secara intraserebral (Flamand et al., 1993). SAG2 merupakan jenis vaksin yang diuji keamanan dan efektifitasnya untuk vaksin oral pada anjing (Fekadu et al., 1996; Masson et al., 1996; Bingham et al., 1997, 1999; Lambot et al., 2001). Vaksinasi oral pada hewan liar telah sukses di beberapa negara seperti Austria, Kroasia, Swiss, Itali, German, Slovenia, Czech Republic, Slovakia, Israel,
43
USA, Canada, Belgia, Prancis, dan lain lain (Steck et al., 1982; Westerling, 1989; Gram, 1996; Separovic, 1996; Schluter, 1996; Svrcek et al., 1996; Matouch, 1996; Mutinelli, 1996; Linhart et al., 1997; Olson et al., 1999, 2000; Hostnik, 2000b; MacInnes et al., 2001). silvatik
Epidemik rabies pada siklus hewan-hewan
dari tahun 1988 sampai dengan 1989 sukses dalam eradikasi rabies
dengan menggunakan vaksin oral di Finlandia pada anjing-anjing liar, demikian juga digunakan dibeberapa negara di Rusia (Nyberg et al., 1992).