BAB II GURU PAI DAN PEMBENTUKAN MORAL
A. Guru PAI 1. Pengertian Guru PAI Guru merupakan salah satu komponen penting dalam system pendidikan, guru dituntut harus menjalankan tugas profesionalnya. Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.1 M. Uzer Usman menyatakan “Guru adalah jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru”.2 Sedangkan Saiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa “Guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik”. Masyarakat memandang guru adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus formal. Guru juga dapat diartikan sebagai orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina peserta didik baik secara individual maupun klasikal di sekolah maupun di luar sekolah.3 Disebutkan dalam UU RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
1
Syaiful Bahri Djamaroh, Guru dan Peserta Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 31. 2 M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung:Rosda Karya, 2001), hlm. 5. 3 Syaiful Bahri Djamaroh, Op. Cit, hlm. 51.
17
18
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.4 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Guru merupakan komponen dari belajar mengajar. Dimana peranan, tugas, dan tanggung jawabnya adalah ganda. Guru dapat juga dijadikan suri tauladan yang nantinya akan ditiru oleh anak didiknya. Guru agama adalah guru yang mengajarkan tentang mata pelajaran agama.5 Dimana mata pelajaran agama merupakan mata pelajaran yang bertujuan dalam rangka pembentukan mental dan spiritual. Adapun hakekat pendidik (guru) dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik afektif, kognitif maupun psikomotori. Sehingga pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain.6 Adapun pengertian guru PAI adalah seorang yang mempunyai tugas memberikan Pendidikan Agama Islam. Tugas itu merupakan usaha dasar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati pengajaran atau memperhatikan tuntunan untuk menghormati
4
Undang-Undang Republik Indonesia no. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 2. 5 W.J.S Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 309. 6 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 85-86.
19
agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk menjadikan persatuan nasional.7 Dari uraian diatas, maka pengertian Guru PAI mengarah pada pengertian khusus yaitu subyek yang memberikan pengajaran tentang pengetahuan keislaman dan memberikan pendidikan pada peserta didik sebagai individu yang Islami dan mempunyai potensi untuk mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pemahaman untuk saling menghormati agama lain guna mewujudkan persatuan sosial. 2. Syarat guru PAI Prof. Dr. Zakiyah Darajat dkk, sebagaimana dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah bahwa syarat guru adalah: a. Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa Tidak mungkin seorang guru mengajarkan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa jika ia sendiri tidak melaksanakannya. Karena guru merupakan suri tauladan bagi siswanya. Sebagaimana Rasulullah menjadi tauladan bagi umatnya. b. Berilmu Dengan memiliki ijazah, maka pemiliknya sudah terbukti mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan diperlakukannya suatu jabatan.
7
hlm. 1.
Depag RI, Petunjuk Pelaksanaan Kurikulum PAI, (Jakarta: Dirjen Birbaga Islam, 1997),
20
c. Sehat Jasmani Kesehatan jasmani sering kali dijadikan syarat bagi mereka yang akan melamar sebagai seorang guru. Pepatah mengatakan: “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. d. Berkelakuan Baik Salah satu tujuan pendidikan adalah membentuk akhlak yang mulia bagi peserta didik. Jadi di sini guru harus bisa menjadi tauladan yang baik bagi peserta didiknya.8 Sebagaimana yang dikutip oleh Soejana dari Ahmad Tafsir menyatakan syarat guru adalah sebagai berikut: 1) Umur harus dewasa 2) Sehat jasmani dan rohani 3) Mampu dan ahli dalam bidangnya 4) Harus berdedikasi tinggi9 Dengan penjelasan ini tampak bahwa guru PAI dituntut memiliki persyaratan yang lengkap yang tidak dimiliki oleh guru lainnya. Dalam UU tentang guru dan dosen disebutkan tentang persyaratan guru dalam pasal 8, yaitu guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.10
8
Ibid, hlm. 32-34. Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Rineka Rosda Karya, 1992, hlm. 80-81. 10 Undang-Undang Repulik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 7. 9
21
3. Peran dan Fungsi Guru PAI Menurut
Al-Ghazali
tugas
pendidik
yang
utama
adalah
menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk berta’aruf kepada Allah. Sejalan dengan ini Abdur Al-Rahman AlNahlawi menyebutkan tugas pendidik yang pertama adalah fungsi penyucian, yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara, dan pengembang
fitrah
manusia.
Kedua,
fungsi
pengajaran
yakni
menginternalisasikan dan menginformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agama kepada manusia.11 Guru PAI disamping membina, membimbing, mengarahkan, dan membantu kedewasaan siswa juga untuk memberikan suri tauladan yang baik bagi siswa. Berkaitan dengan tugas, peran, dan tanggung jawab guru, M. Uzer Usman menyatakan bahwa setidaknya ada tugas yang harus diemban oleh guru, yaitu: a. Tugas profesi guru adalah mendidik, mengajar, dan melatih untuk mengembangkan mengembangkan
nilai-nilai ilmu
belajar,
pengetahuan
meneruskan serta
dan
mengembangkan
keterampilan pada diri siswa. b. Tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan maksudnya bahwa seorang guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya orang tua kedua, ia harus menarik simpati sehingga bisa menjadi idola para siswanya, sehingga pelajaran yang diberikan juga
11
Ramayulis, Op. Cit, hlm. 88.
22
dapat dijadikan sebagai motivasi siswa dalam belajar. Disamping itu profesionalitas guru dalam masyarakat juga dituntut agar menjadi tuntunan yang baik dalam ranah sosial kemasyarakatan.12 Dengan demikian tugas seorang guru tidak sederhana hanya memberikan pengajaran di dalam kelas saja tetapi di luar kelas guru dituntut untuk bisa jadi panutan atau suri tauladan bagi siswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Menurut Drs. Syaiful Bahri Djamarah, peranan guru adalah sebagai berikut: a. Korektor Di sini guru harus bisa membedakan antara nilai yang baik dengan nilai yang buruk dalam kehidupan masyarakat. b. Inspirator Guru dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana cara belajar yang baik. Dari sejumlah teori-teori belajar, petunjuk ini tidak harus ditolak, tapi juga bisa dijadikan pengalaman dalam melepaskan masalah yang dihadapi oleh peserta didik. c. Informator Guru harus dapat memberikan informasi perkembangan IPTEK kepada peserta didik. d. Organisator Guru hendaknya mempunyai pengelolaan kegiatan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akaemik dan sebagainya, semua diorganisasikan sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri peserta didik. e. Motivator Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong peserta didik agar bergairah dan aktif belajar. Dalam upaya memberi motivasi, guru dapat menganalisa motif-motif yang melatarbelakangi anak. f. Inisiator Dalam peranannya sebagai inisiator, guru harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran. g. Fasilitator Sebagai fasilitator, guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan memudahkan kegiatan belajar peserta didik.
12
M. Uzer Usman, Op. Cit, hlm. 6.
23
h. Pembimbing Peranan guru yang tidak kalah pentingnya dari semua peranan yang telah disebutkan di atas, adalah sebagai pembimbing. Peranan ini harus lebih dipentingkan, karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing peserta didik menjadi manusia susila yang cakap, tanpa bimbingan peserta didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangann dirinya. i. Demonstran Dalam interaksi edukatif, tidak semua bahan pelajaran dapat peserta didik pahami. Apalagi peserta didik yang memiliki intelegensi yang sedang. Untuk bahan pelajaran yang sukar dipahami guru harus berusaha membantunya dengan cara memperagakan apa yang menjadi pelajaran pada waktu itu. j. Pengelola kelas Sebagai pengelola kelas, guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena kelas yang tidak dikelola dengan baik akan menghambat kegiatan pengajaran. k. Mediator Sebagai mediator, guru hendaknya memilik pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media non material maupun materil. Media berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses interaksi siswa. l. Supervisor Sebagai supervisor, guru hendaknya dapat membantu, memperbaiki dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran. m. Evaluator Sebagai evaluator, guru dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik. Guru juga harus melihat proses (jalannya pengajaran) sehingga dapat mengetahui hasilnya. Dari situlah timbul umpan balik tentang pelaksanaan edukatif yang telah dilakukan.13 Dengan demikian dapat tegaskan bahwa peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar khususnya PAI meliputi guru sebagai korektor, pengajar, pembimbing, pemimpin, supervisor, dan motivator, sedangkan peranan guru yang paling dominan yaitu guru sebagai demonstator, pengelola kelas, mediator, fasilitator, dan evaluator.
13
Syaiful Bahri Djamarah, Op. Cit, hlm. 43-49.
24
4. Ruang Lingkup Kompetensi Guru PAI Kompetensi dalam pengertian dasarnya adalah kemampuan dan kecakapan.14 Dalam pengertian lain, kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap melaksanakan tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.15 Dalam UU RI tentang Guru dan Dosen pasal 8, Kompetensi adalah seperangkat sepengatahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Kompetensi seorang guru sendiri terdiri dari empat ruang lingkup, meliputi kompetensi pedagogig, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 UU Republik Indonesia nomer 14 tahun 2005, meliputi kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.16 Empat kompetensi guru sebagaimana di atas dapat di deskripsikan sebagai berikut: a. Kompetensi Pedagogis Merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi: pengetahuan 14 15
Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 62. Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.
6. 16
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 3.
25
wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, serta pengembangan kurikulum atau silabus. b. Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian ini sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang: mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, serta berwibawa. c. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya meliputi kompetensi untuk: berkomunikasi dengan lisan dan tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, serta bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. d. Kompetensi Profesional Kompetensi profesional merupakan kemampuan menguasau materi pelajaran secara luas dan mendalam.17
B. Moral 1. Pengertian Moral Kata moral berasal dari bahasa latin, yaitu mores yang berarti kebiasaan . sinonimnya adalah kata etika (bahasa latin) yang berarti juga kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut akhlak bentuk jamak dari khulak yang berarti budi pekerti. Istilah lain yang identik dengan 17
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 20.
26
moral adalah budi pekerti yang merupakan kata majemuk dalam bahasa Indonesia. Kata budi berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti yang sadar atau yang menyadarkan atau alat kesadaran. Budi berarti yang disadarkan. Budi adalah berhubungan dengan kesadaran manusia, yang didorong oleh pemikiran, rasio, yang disebut karakter. Sedangkan pekerti berasal dari bahasa Indonesia yang berarti kelakuan. Pekerti adalah yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behaviour. Dengan demikian, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.18 Moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar atau salah, baik atau buru. Pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Learne’s Distionary of Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut: a. Prinsip-prinsip
yang berkenan dengan benar dan salah, baik dan
buruk. b. Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah. c. Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik dan buruk, benar atau salah. Jika
18
Rahmat Djatmika, Sistem Etika Islam (Jakarta; pustaka Panjimas, 1992), hlm, 26.
27
dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik.19 Menurut Muhaimin, moral adalah Islam (akhlak), termasuk moral keagamaan, yakni moral yang berdasarkan aqidah (rukun iman) yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Pertimbangan moral (baik buruk) yang melibatkan unsur kognitif selalu berada dalam petunjuk dan pengarahan Allah sebagai mana terkandung dan tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Berbeda halnya dengan moral tanpa agama atau moral sekuler, yang tidak mengenal Tuhan dan akhirat sama sekali, menolak bimbingan Tuhan atau tidak menerima ajaran agama. Definisi diatas tentang moral memberikan penjelasan bahwa moralitas mengandung hal-hal sebagai berikut: a. Penjelasan nilai baik, buruk, benar dan salah b. Proses muamalah (pergaulan, komunikasi) antara sesama manusia c. Ada tujuan yang hendak dicapai dalam perbuatan moralitas d. Ada cara (uslub) untuk mencapai tujuan moralitas.20
19
Abbudin Nata, Akhlal Tasawuf, Cet. Ke-10 ( jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 92-93. 20 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 209
28
2. Ruang Lingkup Moral a. Moral terhadap Allah SWT 1) Mencintai Allah melebihi cinta kepada apa dan siapapun juga dengan mempergunakan firman-Nya dalam Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan kehidupan. 2) Melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. 3) Mengharapkan dan berusaha memperoleh keridhaan Allah SWT. 4) Mensyukuri nikmat dan karunia Allah SWT. 5) Menerima dengan ikhlas semua qadha dan qadhar illahi setelah berikhtiar dengan maksimal. 6) Memohon ampun kepada Allah SWT. b. Moral Terhadap sesama Dalam kehidupan manusia tak lepas dari kegiatan sosial karena manusia merupakan makhluk sosial. Oleh karena dalam bersosialisasi sangat dibutuhkan sebuah moral yang baik. Sehingga dengan moral yang baik akan tercipta sebuah suasana yang damai dan nyaman. c. Moral terhadap diri sendiri 1) Memelihara kesucian diri 2) Menutup aurat 3) Jujur dalam perkataan dan perbuatan 4) Ikhlas 5) Sabar 6) Rendah hati
29
7) Malu melakukan perbuatan jahat 8) Menjauhi dengki 9) Menjauhi dendam 10) Berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain 11) Menjauhi dari perkataan dan perbuatan sia-sia d. Moral terhadap lingkungan Lingkungan merupakan tempat dimana kita tinggal yang harus dijaga kebersihan dan kelestariannya. Sehingga sangat diperlukan moral terhadap lingkungan. Dengan dimilikinya moral terhadap lingkungan, seseorang itu akan sadar betapa pentingnya lingkungan untuk keberlangsungan hidup mereka. Moral terhadap lingkungan antara lain: 1) Sadar dan memellihara kelestarian lingkungan hidup 2) Menjaga
dan
memanfaatkan
alam,
terutama
hewan
dan
tumbuhan.21 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi moral Mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi moral, al-ghozali mengambil semboyan dari tasawuf yang benar dan terkenal. Adapun maksud semboyan yang benar adalah agar manusia sejauh kesanggupan yang benar meniru-niru perangai dan sifat-sifat yang benar dan yang disukai Tuhan, yaitu sabar, jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, bersyukur menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala laranganNya.22
21
M. Dawud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.
356-358. 22
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (jakarta: PT Raja Grafido,2006), hlm.39-40.
30
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi moral diantaranya: a. Kebiasaan Suatu
kebiasaan
seseorang
yang
sudah
kebiasaan
hidup
dilingkungan yang baik, maka ia akan menyesuaikan dirinya dalam lingkungan tersebut sehingga sikap yang dihasilkan adalah sikap yang bermoral. Namun sebaliknya apabila seseorang berada dalam lingkungan yang keras maka sikap yang dihasilkan adalah sikap yang tidak baik. b. Pengaruh Pendidikan Pendidikan akan membawa dan membina mental seseorang menjadi baik, cerdas dan bermoral. Namun apabila pendidikan yang lahir tanpa memberikan aspek budi pekerti maka hasil yang diperoleh adalah menjadi manusia yang tidak bermoral. c. Pengaruh Agama Seseorang yang sama sekali tidak mendapatkan pendidikan pelajaran agama, maka langkah-langkah dan kebiasaannya tidak dilandasi oleh ajaran agama. Namun sebaliknya apabila seseorang melandasi hidupnya dengan ajaran agama, maka langkah-langkah dan kebiasaannya akan dilandasi oleh ajaran agama. d. Kesadaran Kesadaran
jiwa
timbul
sebagai
akibat
dari
pengalaman,
pertimbangan akal untuk kesadaran yang dikuatkan oleh keimanan. Seseorang yang mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya akan
31
memiliki kesadaran yang mulia sehingga orang tidak mungkin bersifat maupun bertingkah laku sombong.23 4. Tahap Perkembangan Moral Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.24 Perkembangan
moral
menurut
Kohlberg
sejalan
dengan
perkembangan nalar sebgaimana yang dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang, makin tinggi pula tingkatan moralnya. Dengan penekanannya pada penalaran ini, berarti Kohlberg inigin melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun perbuatanperbuatan moral.25 Menurut Kohlberg, ada enam tahap dalam perkembangan moral dapat dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) demikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu berturut-turut antara lain: a. Tingkat prakonvensional26 Pada tingkat ini, peserta didik mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan
23
Fran Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 141. 24 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 258. 25 Ibid., hlm.206. 26 K. Bertens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum,1993), hlm. 80
32
(hadiah) atau menyakitkan (hukuman), peserta didik tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman hukuman dari otoritas.27 Pada tahap prakonvesional dapat dibedakan dua tahap, yaitu: Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan28 Pemahaman peserta didik tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas. Tahap 2 : Orientasi hedonistik instrumental Suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri.29 b. Tingkat Konvensional Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa biasanya anak/ peserta didik memulai beralih ketingkat ini antara umur 10-13 tahun. Tingkat ini disebut “konvensional”, karena disini anak mulai menyesuaikan penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang berlaku dalam kelompok sosialnya.30 Tingkat kedua ini mencakup juga dua tahap: Tahap 3 : penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi anak manis”. Tindakan berorientasi pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang lain.
2727
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, op. cit., hlm. 261 K. Bertens, op. cit., hlm. 81. 29 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, loc. cit. 30 K. Bertens, op. cit., hlm. 82 28
33
Tahap 4 : orientasi hukum dan ketertiban (law and order) Perilaku yang dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial.31 c. Tingkat Pascakonvensional Pada tingkat pascakonvensional, hidup moral dipandang sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan pribadi.32 Tingkat ketiga ini pun mempunyai dua tahap: Tahap 5 : Orientasi kontrak-sosial legalitas Ada semacam perjanjian anatara dirinya dan lingkungan sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku Tahap 6 : Orientasi prinsip etika yang universal Kebenaran ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia. 5. Tujuan Pendidikan Moral Pendidikan moral bertujuan membuat terbentuknya perilaku moral yang baik bagi setiap orang, artinya pendidikan moral bukan sekedar memahami tentang aturan benar dan salah atau mengetahui tentang 31
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, op. cit., hlm. 262. K. Bertens, op. cit., hlm. 83.
3232
34
ketentuan baik dan buruk tetapi harus benar-benar meningkatkan perilaku moral seseorang.33 Menurut Athiyah Al-Abrasyi sebagai mana dikutip Abdurrahman Abdullah mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan moral ialah untuk menjadikan orang-orang yang baik akhlaknya, keras kemauannya, sopan dalam berbicara, perbuatan mulia dalam tingkah laku dan bersikap bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas dan suci.34 Tujuan pendidikan moral adalah merangsang perkembangan tingkat perkembangan moral siswa. Tinggi rendahnya moralitas siswa dapat
dilihat
dari
tingkat
pertimbangan
moralnya.
Kematangan
pertimbangan moral jangan diukur dengan standar regional, tetapi hendaknya diukur dengan pertimbangan moral yang benar-benar menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berdasar prinsip keadilan, persamaan dan saling terima.35 Tujuan pendidikan moral secara khusus untuk berkembangnya siswa dalam penalaran moral (moral reasoning) dan melaksanakan nilainilai moral.36 Pandangan salam tentang tujuan pendidikan moral adalah: membimbing para generasi muda untuk memahami dan menghayati Pancasila secara keseluruhan dan setiap sila. Tujuan akhirnya adalah agar dapat 33
menumbuhkan
manusia-manusia
pembangunan
yang
dapat
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 38. Abdurrahman Abdullah, op, cit., hlm. 43. 35 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 134. 36 Burhanudin Salam, Etika Individual Pola Dasar (Jakarta: Rineka Cipta. 2000), hlm. 76. 34
35
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan.37 Tujuan utama pendidikan moral adalah untuk meningkatkan kapasitas berpikir secara moral dan mengambil keputusan moral. Koyan mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan moral ditekankan pada metode pertimbangan moral dan untuk membantu anak-anak untuk mengenal apa yang menjadi dasar untuk menerima suatu nilai. Selain itu tujuan pendidikan moral adalah untuk mengusahakan perkembangan yang optimal bagi setiap individu.38
37
Ibid., hlm. 80. I Wayan Koyan, Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 15. 38