BAB II BAHAN RUJUKAN
2.1
Pajak
2.1.1
Pengertian Pajak Definisi atau pengertian pajak menurut Mardiasmo (2009:1) adalah : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Sedangkan pajak menurut P.J.A. Andriani, seperti yang dikutip oleh Siti
Kurnia Rahayu (2010:22) dalam buku “Perpajakan Indonesia”. Definisi atau pengertian pajak adalah: “Pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran yang dikeluarkan dari masyarakat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat imbalan yang digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
2.1.2
Unsur-unsur Pokok Pajak Dalam buku “Perpajakan” Mardiasmo (2009:1), dari kesimpulan
definisi pajak tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terdapat unsur pokok yang terdapat dalam pengertian pajak, yaitu : 1. Iuran Rakyat kepada Negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa Jasa Timbal Balik atau Kontraprestasi Dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk Membiayai Rumah Tangga Negara Yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.3
Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2009:1) ada dua fungsi pajak, yaitu :
1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran pengeluarannya.
2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk indonesia dipasaran dunia.
2.1.4
Pengelompokkan Pajak Menurut Mardiasmo (2009:5) pengelompokkan pajak dibagi menjadi 3,
yaitu: 1. Menurut golongannya a. Pajak langsung merupakan pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung merupakan pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya a. Pajak subjektif merupakan pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. b. Pajak objektif merupakan pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut lembaga pemungutannya a. Pajak pusat merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Pajak Bea Materai. b. Pajak daerah merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : -
Pajak Propinsi contoh : Pajak kendaraan bermotor dan pajak kendaraan di atas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
-
Pajak kabupaten/kota contoh : Pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan pajak reklame dan pajak penerangan jalan.
2.1.5
Tata Cara Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009:6) tata cara pemungutan pajak dibagi
menjadi 3, yaitu : 1. Stelsel Pajak Dalam hukum pajak dikenal tiga macam yang memungut pajak atas suatu penghasilan atau kekayaan yaitu yang dinamakan stelsel nyata, stelsel fiktif dan stelsel campuran. Sistem tersebut harus dengan nyata-nyata disebutkan dalam undang-undang masing-masing pajak. Fiskus dan Wajib Pajak harus mentaatinya dan tidak dibenarkan memilih cara yang menyimpang. Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel : a. Stelsel nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang undang misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel
ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan Pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. 2.
Asas Pemungutan Pajak a. Asas Domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri. b. Asas Sumber Negara berhak mngenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak. c. Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.
3.
Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assessment System. Merupakan suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. 2) Wajib pajak bersifat pasif. 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. b. Self Assessment System. Merupakan suatu sistem pemungutan
yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya : 1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri. 2) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System. Merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga pihak selain fiskus dan wajib pajak.
2.1.6
Tarif Pajak Menurut Mardiasmo (2009:9) ada 4 macam tarif pajak, yaitu :
1.
Tarif Sebanding/Proporsional Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh : Untuk penyerahan Barang Kena Pajak didalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.
2.
Tarif Tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh : Besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp 1.000,00. 3.
Tarif Progresif Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. Contoh : Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan. a. Wajib pajak orang pribumi dalam negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp 25.000.000,00 Di atas Rp 25.000.000,00 s.d Rp 50.000.000,00 Di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00 Di atas Rp 100.000.000,00 s.d Rp 200.000.000,00 Di atas Rp 200.000.000,00
Tarif Pajak 5% 10% 15% 20% 35%
b. Wajib pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Berdasarkan perhitungan tarif PPh Pasal 17 ayat (2b) tahun 2009 pada wajib pajak badan. -
Pajak penghasilan yang terutang, jika kurang dari 4 miliar, menggunakan rumus perhitungan = (28% - 5%) x sisa hasil usaha.
-
Pajak penghasilan yang terutang, jika lebih dari 4 miliar, menggunakan rumus perhitungan = (50% x 28%) x sisa hasil usaha.
Berdasarkan perhitungan tarif PPh Pasal 17 ayat (2b) tahun 2010 pada wajib pajak badan. -
Pajak penghasilan yang terutang, jika kurang dari 4 miliar, menggunakan rumus perhitungan = (25% - 5%) x sisa hasil usaha.
-
Pajak penghasilan yang terutang, jika lebih dari 4 miliar, menggunakan rumus perhitungan = (50% x 25%) x sisa hasil usaha.
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi : a.
Tarif Progresif progresif : Kenaikan persentase semakin besar.
b.
Tarif Progresif tetap : Kenaikan persentase tetap.
c.
Tarif Progresif degresif : Kenaikan persentase semakin kecil.
Dengan demikian tarif pajak menurut pasal 17 undang-undang pajak penghasilan tersebut di atas termasuk tarif progresif. 4.
Tarif degresif Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenal pajak semakin besar.
2.2
Pajak Penghasilan
2.2.1 Pengertian Penghasilan Penghasilan merupakan jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi serta mengkonsumsi dan menimbun serta menambah kekayaan.
2.2.2 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan merupakan suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atas penghasilan yang diterima dan diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam
hidup
berbangsa dan
bernegara sebagai
suatu
kewajiban
yang
harus
dilaksanakannya. Undang-undang pajak penghasilan ini dilandasi falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan-ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
2.2.3 Subjek dan Non Subjek Pajak Penghasilan A. Subjek Pajak Penghasilan Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Secara umum, subjek pajak adalah: 1. Orang Pribadi 2. Warisan yang belum terbagi 3. Badan seperti PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN, Yayasan atau Organisasi sejenis, Lembaga, Dana Pensiun, Bentuk Badan Usaha Lain. 4. Bentuk Usaha Tetap (BUT) Subjek pajak dapat dibedakan menjadi : a.
Subjek Pajak Dalam Negeri : Yang dimaksud sebagai sebagai subjek Pajak Dalam Negeri, yaitu : 1) Subjek Pajak Orang Pribadi -
Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan.
-
Orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
2) Subjek Pajak Badan Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. 3) Subjek Pajak Warisan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. b.
Subjek Pajak Luar Negeri Yang dimaksud Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu : 1) Subjek Pajak Orang Pribadi -
Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan.
-
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.
2) Subjek Pajak Badan Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia : -
Yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
-
Yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
B. Non Subjek Pajak Penghasilan Yang dimaksud dengan tidak termasuk subjek pajak, yaitu : 1. Badan Perwakilan Negara Asing 2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaan serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3. Organisasi internasional (pasal 3 huruf c) Organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan sebagai bukan subjek pajak, apabila memenuhi syarat sebagai berikut : -
Indonesia menjadi Organisasi tersebut, dan
-
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain dari Indonesia selain pemberian pinjaman dari pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan Organisasi Internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.2.4
Objek dan Non Objek Pajak Penghasilan
A. Objek Pajak Penghasilan Bagi wajib pajak dalam negeri yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. Sedangkan bagi wajib pajak luar negeri, yang menjadi objek pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
Yang menjadi objek pajak penghasilan Bentuk Usaha Tetap adalah : 1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai. 2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan penjualan barang-barang atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan BUT di Indonesia. 3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
B. Non Objek Pajak Penghasilan Yang tidak termasuk objek pajak adalah : 1.
a.
Bantuan sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
b.
Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau derajat. Dan oleh badan keagamaan, badan sosial, pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan. 3.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
4.
Penggantian atau imbalan sumbangan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
5.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.
6.
Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : a.
Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan.
b.
Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
7.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dan pensiun sebagaimana dimaksud pada nomor 7 dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
9.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbatas atas saham-saham, persekutuan perkumpulan, firma dan kongsi.
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberi ijin usaha. 11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : a. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. b. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia.
2.2.5
Tarif Pajak Penghasilan Sesuai dengan keterangan Undang-undang No 36 tahun 2008 tentang
pajak penghasilan, besarnya tarif pajak ditentukan sebagai berikut : Tabel 2.1 Tarif Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Serta BUT Tahun 2009 2010 dan selanjutnya PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000
Tarif Pajak 28% 25% 5% lebih rendah dari seharusnya Pengurangan 50% dari seharusnya
yang yang
Sumber : Mardiasmo (2009)
2.2.6 Surat Setoran Pajak (SSP) Surat Setoran Pajak (SSP) merupakan bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara dengan tempat pembayaran yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan antara lain melalui kantor pos atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain. Adapun fungsi dari Surat Setoran Pajak (SSP) ada dua, yaitu: 1.
Sebagai sarana untuk membayar pajak.
2.
Sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak. Surat Setoran Pajak (SSP) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak
apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. Batas waktu pembayaran atau penyetoran pajak: a.
Pembayaran masa 1) PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh pemotong pajak penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 2) PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. 3) PPh Pasal 15 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 4) PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 5) PPh pasal 21 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
6) PPh pasal 23 dan PPh pasal 26 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 7) PPh pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 8) PPh pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan Pabean Impor. 9) PPh pasal 22, PPN atau PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak. 10) PPh pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran
atas penyerahan
barang
yang dibiayai dari belanja negara atau belanja Daerah dengan menggunakan surat setoran pajak atas nama rekaan dan ditandatangani oleh bendahara. 11) PPh pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas dan pelumas kepada penyalur atau agen industri yang dipungut oleh wajib pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan bakar minyak, gas dan pelumas harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
12) PPh pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 13) PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu masa pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 14) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 15) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh pemungutan PPN selain Bendahara Pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 16) PPh pasal 25 bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3b) Undang-undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu surat pemberitahuan masa harus dibayar paling lama pada akhir masa pajak terakhir. 17) Pembayaran masa selain PPh pasal 25 bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3b) undang-undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu surat pemberitahuan masa harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.
b.
Surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusan keberatan, surat keputusan pembetulan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
c.
Kekurangan
pembayaran
pajak
yang
terutang
berdasarkan
surat
pemberitahuan tahunan pajak penghasilan harus dibayar lunas sebelum surat pemberitahuan pajak penghasilan disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional sebagaimana dimaksud termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum yang ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap keterlambatan pembayaran dikenakan bunga sebesar 2% sebulan, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2.2.7
Surat Ketetapan Pajak (SKP) Dalam buku “Perpajakan” oleh Mardiasmo (2009:39) pengertian Surat
Ketetapan Pajak (SKP) merupakan Surat Ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Adapun jenis-jenis dari Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah : 1.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) merupakan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
2.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) merupakan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan atau dikoreksi atas ketetapan pajak sebelumnya.
3.
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) merupakan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah utang pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
4.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) merupakan Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
2.2.8 Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan surat untuk melakukan tagihan pajak dan sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
Adapun fungsi dari Surat Tagihan Pajak (STP) adalah : a.
Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT wajib pajak.
b.
Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga dan denda.
c.
Sarana untuk menagih pajak.
Surat Tagihan Pajak (STP) dikeluarkan apabila: a. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. b. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan salah hitung. c. Wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda atau bunga. d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu. e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap (selain : identitas pembeli, nama dan tandatangan). f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak. g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (6a) undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 dan perubahannya.
2.2.9
Surat Pemberitahuan Surat Pemberitahuan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a.
Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) Merupakan surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak.
b.
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) Merupakan surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan perhitungan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.
2.3
Pajak Penghasilan Pasal 25
2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan pasal 25 merupakan angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan (sisa hasil usaha tahun lalu yang belum diperhitungkan tetapi sudah dibayar dengan cara mengangsur/menyicil dan akan diperhitungan pada tahun berikutnya), angsuran pajak penghasilan pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan.
2.3.2
Cara Menghitung PPh Pasal 25 Cara menghitung PPh pasal 25 adalah sebesar pajak penghasilan yang
terutang menurut surat pemberitahuan tahunan. Pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan pajak penghasilan yang dipotong dan dipungut serta pajak penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan. 1.
Besarnya PPh Pasal 25 untuk Bulan-bulan Sebelum Batas Waktu Penyampaian SPT Tahunan. Mengingat batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan dibagi wajib pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untnk bulan-bulan sebelum surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pajak penghasilan sehingga besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan
disampaikan
sebelum
batas
waktu
penyampaian
surat
pemberitahuan tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu. 2.
Surat Ketetapan Pajak sebagai Dasar Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
3.
Angsuran PPh Pasal 25 untuk Setiap Bulan dan Sesudah Adanya Keputusan Mengenai Kelebihan Pembayaran Pajak. Apabila pajak penghasilan yang terutang menurut surat pemberitahuan Tahunan Pajak penghasilan tahun pajak yang lalu lebih kecil dari jumlah pajak penghasilan yang telah dibayar, dipotong dan dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan dan oleh karena itu wajib pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan utang pajak lain sebelum Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan mengenai pengembalian atau perhitungan kelebihan tersebut maka besarnya angsuran pajak untuk setiap bulan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
2.3.3 Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25 Merupakan
ketentuan
perundang-undangan
perpajakan
mengatur
penyetoran dan pelaporan PPh pasal 25 seperti berikut ini : 1.
Pajak Penghasilan pasal 25 dibayar atau disetorkan selambat-lambatnya tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya.
2.
Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan surat pemberitahuan masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir dalam bentuk Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ketiga.
Beberapa masalah atau kasus untuk menghitung besarnya PPh Pasal 25: 1.
Angsuran bulanan untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT tahunan PPh.
2.
Apabila dalam tahun berjalan, diterbitkan SKP untuk tahun pajak yang lalu.
Hal-hal tertentu untuk penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menyesuaikan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun berjalan apabila: 1.
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
2.
Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
3.
Surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
4.
Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
5.
Wajib Pajak membetulkan sendiri surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak.
2.3.4 Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru, BANK, BUMN, BUMD dan Wajib Pajak Tertentu Lainnya Sesuai pasal 25 ayat (7) Undang-Undang PPh, penghitungan PPh Pasal 25 bagi wajib pajak baru, BUMN, BUMD dan wajib pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Angsuran PPh pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru : 1.
Wajib Pajak Baru adalah wajib pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan.
2.
Besarnya angsuran PPh pasal 25 setiap bulan untuk wajib pajak baru dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan dibagi 12 (dua belas).
3.
Dalam hal wajib pajak baru menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan penghasilan neto fiskal, neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya.
4.
Dalam hal wajib pajak baru hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan norma penghitungan penghasilan neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
5.
Untuk wajib pajak orang pribadi baru jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan dikurangi terlebih dahulu dengan PTKP.