BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Penelitian Pertengahan dekade 90-an penonton teater di kota Padang dikejutkan oleh hadirnya dua pertunjukan teater dengan bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟. Kedua pertunjukan itu mengganti penggunaan bahasa verbal berupa dialog dan kata-kata dengan bahasa tubuh sebagai media utama dalam menyampaikan pesanpesan
pertunjukannya.
Pertunjukan
pertama
berjudul
Lini,
disutradarai oleh Zurmailis dan dipentaskan oleh Kelompok Studi Sastra dan Teater (KSST) Noktah pada tahun 1996, sementara pertunjukan kedua berjudul Menunggu, disutradarai oleh Yusril dan dipentaskan oleh Teater Plus pada tahun 1997. Zurmailis dan Yusril sendiri adalah dua sutradara muda yang baru saja mengawali kerja kreatifnya bersama dua kelompok yang mereka dirikan beberapa tahun sebelumnya. Dua pertunjukan yang dipentaskan dalam jarak satu tahun itu kemudian menjadi pembicaraan hangat di kalangan pemerhati dan pekerja teater di kota Padang. Pembicaraan pertama berkisar pada tafsir atas pesan-pesan yang disampaikan pertunjukan,
1
sementara pembicaraan kedua menyangkut konsep dan bentuk pertunjukan yang „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ itu sendiri. Pembicaraan atas tafsir dan pesan pertunjukan diawali oleh Alfian Zainal yang menyebutkan bahwa secara tematis Lini berusaha “menghadirkan suasana kegelisahan zaman”.1 Penulis lain, Ivan Adilla, menafsirnya sebagai “deskripsi tentang orangorang yang berusaha memperoleh dan mempertahankan kesucian di
tengah
belantara
kekotoran”.2
Sementara
Yusrizal
KW,
menafsirnya sebagai pertunjukan yang menyuguhkan “sebuah potret dari kecenderungan manusia yang memangsa sesamanya, yang menggambarkan panorama di mana kita tidak lepas dari kekerasan dan penindasan.”3 Pertunjukan kedua, Menunggu, ditafsir oleh Nasrul Azwar sebagai potret dari realitas yang terjadi dalam
kehidupan
sosial-politik
masyarakat
Indonesia
dan
merupakan “potret pers kita yang selalu ditekan hegemoni”.4 Pembicaraan
kedua,
yang
lebih
menarik,
adalah
pembicaraan atas konsep dan bentuk dari kedua pertunjukan. Ivan
Adilla
misalnya,
memberikan
komentar
atas
bentuk
pertunjukan Lini: 1 2 3 4
Alfian Zainal, “Catatan Pementasan Lini Teater Noktah; Kalau Lilik mau Bersabar”, harian Singgalang, 30 September 1996. Ivan Adila, “Pementasan „Lini‟ KSST Noktah, Sebuah Pencariaan penuh Ketegangan, harian Singgalang, 27 Oktober 1996. Yusrizal KW, “Srigala Bagi Sesamanya Dalam Lini” yang terbit di harian Haluan tanggal 15 oktober 1996. Nasrul Azwar, “‟Memboyong‟ Indonesia ke Atas Pentas”, harian Singgalang, ? April 1997.
2
“Berbeda dari pementasan-pementasan teater pada umumnya, pementasan Lini berlangsung tanpa dialog. Bahkan juga tanpa suara pemain. Tidak ada jeritan, keluhan maupun desahan. Cerita disampaikan melalui gerak, sehingga dapat dikatakan pementasan ini adalah sebuah teater gerak.”5 Sementara
atas
pertunjukan
Menunggu,
Nasrul
Azwar
mencatat bahwa bentuk pertunjukan itu: “...merupakan penggarapan teater tanpa diikat oleh suatu batasan yang lazim dipakai. Artinya, naskah bukan lagi menjadi sentral untuk melahirkan sebuah pertunjukan teater. Cerita hadir ketika proses berteater itu sendiri berlangsung”.6 Kedua tanggapan atas konsep dan bentuk pertunjukan tersebut mengindikasikan adanya perbedaan bentuk dramaturgi yang telah dilakukan oleh kedua sutradara, terutama jika dihubungkan dengan bentuk-bentuk pertunjukan teater di kota Padang pada masa itu yang umumnya menggunakan kata-kata dan bahasa verbal sebagai penyampai pesan pertunjukan. Bentuk pertunjukan sebagaimana disebutkan terakhir terutama diwakili oleh pertunjukan-pertunjukan yang disutradarai Wisran Hadi, seorang teaterawan terkemuka di kota Padang yang turut meramaikan Pertemuan Teater Indonesia pada tahun-tahun „80-an hingga „90-an bersama kelompoknya Bumi Teater.
5 6
Ivan Adilla, “Pementasan „Lini‟ KSST Noktah: Sebuah Pencarian Penuh Ketegangan”, Harian Singgalang, 27 Oktober 1996. Nasrul Azwar, “‟Memboyong‟ Indonesia ke Atas Pentas”, Harian Singgalang, ? April 1997
3
Sekilas, dalam konteks lokal, kedua pertunjukan yang dipentaskan itu seperti sedang mengawali semangat „dramaturgi baru‟ dalam arena kehidupan teater moderen di kota Padang. Asumsi demikian sangat beralasan ketika kedua pertunjukan juga dibandingkan dengan bentuk-bentuk pertunjukan serupa pada masa
selanjutnya.
Hal
itu
terlihat
antara
lain
pada
penyelenggaraan Pekan Seni III Sumatera Barat oleh Dewan Kesenian Sumatera Barat tahun 2002, di mana enam pertunjukan teater dari enam kelompok teater yang berpartisipasi merupakan pertunjukan dengan bentuk „tanpa-kata‟. Hal itu mengundang beberapa tanggapan „miring‟ para pemerhati seni pertunjukan di kota Padang. Rusli Marzuki Saria misalnya, berpendapat bahwa teater-teater dengan bentuk yang demikian memperlihatkan sisi buruk dari generasi muda pekerja teater di Padang dan Sumatera Barat yang „kurang merenung‟.7 Selain Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi juga turut memberikan komentarnya dengan nada peyoratif, sebagaimana diingat Sahrul N., bahwa teater-teater dalam bentuk itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang bisu karena „ketiadaan kata‟-nya.8 Jika ditarik lebih tegas, hadirnya kedua pertunjukan yang „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ sebagaimana diuraikan di atas 7
8
Rusli Marzuki Saria, Seorang penyair dan budayawan, berpendapat demikian sebagaimana dikutip di harian Kompas. Lihat: “Seni Tanpa Kata Padangpanjang”, harian Kompas, 2 November 2002. Sahrul N, Wawancara, Desember 2012.
4
seperti menyiratkan satu momen penting dalam arena kehidupan teater moderen di kota Padang dan Sumatera Barat, yakni upaya „pembedaan‟ dramaturgi dan, lebih jauh, „gugatan‟ atas bentukbentuk dramaturgi pertunjukan dominan di masa itu. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa kehidupan teater di kota Padang merupakan sebuah medan pertarungan dan kontestasi, dalam hal ini kontestasi bentuk pertunjukan dan dramaturginya. Pada sisi lain, pilihan bentuk yang „tanpa-kata‟ dan „minimkata‟ tersebut tentu mengingatkan banyak orang pada serial pertunjukan „mini-kata‟ yang pernah dipentaskan W.S. Rendra pada akhir dekade 60-an. Beberapa pengamat memberikan penilaian beragam atas pertunjukan „mini-kata‟ W.S. Rendra tersebut. Fuad Hassan misalnya, memberikan penilaian bahwa pertunjukan „mini-kata‟ pada masa itu merupakan sebuah upaya W.S. Rendra untuk: “mendramatisasikan penghayatan konflik pada manusia di abad moderen ini, dan tanpa elaborasi intelektual yang sadar (yang memang tidak mutlak perlu) ia telah berhasil mengkonstantir suatu pola konflik yang khas dalam abad moderen ini, yaitu: individuasi versus massifikasi, atau lebih mendesak lagi, humanisasi versus dehumanisasi.”9 Sementara, mengenai bentuk dan konsep pertunjukannya yang „mini-kata‟ itu, Arifin C. Noer menduga bahwa hal tersebut 9
Fuad Hassan, “Beberapa Catatan Buat Eksperimen W.S. Rendra „Bip-Bop‟”, dalam Rendra dan Teater Modern Indonesia (ed. Edi Haryono), Yogyakarta: Kepel Press, 2000. hh. 35-46. hal. 42.
5
dilakukan W.S. Rendra sebagai upaya untuk mengembalikan teater pada kemurniannya dan membebaskannya dari tirani kesusasteraan
dan
amanat-amanat.
Arifin
C.
Noer
juga
menghubungkan dan memadankan proses kreatif W.S. Rendra tersebut
dengan
„teater
primitif‟-nya
Eugene
Ionesco
yang
mempergunakan “bahasa sunyi dalam bentuknya yang pertama dan secara serempak menggunakan unsur musik, tari, dan gerak yang masih sangat murni.”10 Pengamat
lain,
Goenawan
Mohamad,
membenarkan
anggapan Arifin C. Noer tersebut seraya menambahkan bahwa apa yang dilakukan W.S. Rendra sebagai upaya untuk menolak teater literer, teater yang mendasarkan dirinya terutama pada dialogdialog verbal, dialog dengan kata-kata, di mana terdapat suatu tema tertentu dengan terkadang dibubuhi „fatwa‟ atau amanat tertentu pula.11 Goenawan Mohamad bahkan memadankan karya „mini-kata‟ W.S. Rendra dengan karya-karya Eugene Ionesco dengan menyebutkan bahwa bahwa karya-karya tersebut adalah karya-karya yang berisi ungkapan suasana hati, tidak bertendensi ideologis, serta lebih merupakan “impuls” ketimbang “program”.
10
11
Arifin C. Noer, sebagaimana dikutip dari: Goenawan Mohamad, “Tentang BipBop Mengapa Teater Mini Kata”, dalam Rendra dan Teater Modern Indonesia (ed. Edi Haryono), Yogyakarta: Kepel Press, 2000. hh. 47-53. hal. 48. Goenawan Mohamad, “Tentang Bip-Bop Mengapa Teater Mini Kata”... 2000: 49.
6
Lantas apakah bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ yang dipilih oleh Zurmailis dan Yusril memiliki alasan dan semangat yang sama, misalnya, dengan apa yang dilakukan W.S. Rendra? Adakah
kemungkinan
pembacaan
yang
berbeda
mengingat
konteks arena dan ruang historis yang berbeda, termasuk waktuantara yang cukup panjang pula? Juga bukankah ada pertanyaan yang cukup penting untuk diajukan atas hadirnya dua bentuk pertunjukan teater „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ di kota Padang, sebuah kota di mana latar kultur yang membayanginya adalah latar kultur yang demikian mengagungkan kata dan bahasa?12 Beberapa hal tersebut menjadi landasan yang cukup kuat kiranya untuk mengajukan pertanyaan tentang alasan dan latar dari digunakannya bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ oleh kedua sutradara pertunjukan tersebut. Pada titik ini pertanyaan penelitian dapat diajukan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada pengantar di atas, penelitian ini bermaksud untuk menjawab dua pertanyaan, yakni:
12
Khaidir Anwar pernah menyebutkan bahwa konsep tentang keindahan dikenali oleh orang Minangkabau terutama melalui keindahan bahasa. Lihat: Khaidir Anwar, “Minangkabau, Background of the Main Pioneers of Modern Standard Malay in Indonesia”, Archipel, Année 1976, Volume 12, Numéro 1, pp. 77 – 93.
7
1. Mengapa konsep dan bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ tersebut dipilih oleh kedua sutradara dan hadir dalam arena kehidupan teater di kota Padang pada masa itu? 2. Bagaimanakah
konstruksi
dramaturgi
dari
kedua
pertunjukan tersebut sehingga dianggap berbeda dengan dramaturgi
pertunjukan-pertunjukan
dominan
di
kota
Padang pada masa itu?
C. Tujuan Penelitian Menimbang dua pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian dapat dikemukakan pula di sini: Pertama penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan dan latar dari hadirnya bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ yang mengganti bahasa verbal dengan bahasa tubuh dan penggunaan simbol-simbol dalam arena teater di kota Padang sebagaimana tampak secara khusus pada pertunjukan Lini dan Menunggu. Kedua, penelitian ini bertujuan pula untuk mengetahui perbedaan-perbedaan
seperti
apakah
yang
terdapat
dalam
dramaturgi pertunjukan Lini dan Menunggu dengan pertunjukan yang dominan di masa itu, sehingga dapat diketahui strategi dramaturgi seperti apa yang digunakan kedua pertunjukan
8
tersebut dalam arena teater di kota Padang dan sumbangannya pada perkembangan dramaturgi di kota Padang dan Sumatera Barat.
D. Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap dinamika teater moderen di kota Padang dan Sumatera Barat. Berikut beberapa hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan atas kehidupan dan pertunjukan teater moderen di kota Padang dan Sumatera Barat: Pertama adalah buku Sahrul N. Berjudul Kontroversial Imam Bonjol, diterbitkan oleh penerbit Garak, Padang, pada tahun 2005. Buku ini berasal dari tesis S-2 Sahrul N. pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas
Udayana,
tahun
2002,
yang
berjudul
“Interkulturalisme Teater Indonesia; Studi Kasus: Teater Imam Bonjol Karya Wisran Hadi”. Buku ini secara khusus menguraikan tentang interkulturalisme dalam pertunjukan Imam Bonjol yang disutradarai Wisran Hadi pada acara Festival Istiqlal tahun 1995. Pertunjukan yang menuai kritik dari budayawan, ulama, dan pejabat
daerah
di
tempat
dan
asal
budayanya
sendiri,
Minangkabau dan Sumatera Barat, oleh Sahrul N. dibedah untuk melihat kontestasi ranah budaya „universal‟ yang terdapat dalam lakon dan pertunjukan itu dengan harapan pemangku kearifan
9
budaya „lokal‟ yang diwakili oleh beberapa kalangan pejabat dan cendekia di masa itu. Buku yang ditulis Sahrul N. ini membantu menjelaskan tentang konstruksi artistik pertunjukan Imam Bonjol yang digelar pada tahun 1995, beberapa tahun sebelum kedua pertunjukan yang menjadi objek material penelitian ini juga digelar. Deskripsi Sahrul juga memberi informasi sosok Wisran Hadi dan, pada level tertentu, posisinya dalam arena kehidupan teater di kota Padang pada masa itu. Penelitian Dede Pramayoza atas festival-festival yang pernah diadakan di kota Padang dan Sumatera Barat berjudul “Catatan Festival Teater Sumatera Barat; Tinjauan Terhadap Isu, Peserta dan Modus Pelaksanaan Festival Teater di Sumatera Barat 19752009” menjadi rujukan berikutnya dalam penelitian ini. Penelitian Dede ini memberikan gambaran tentang dinamika yang terjadi dalam arena teater di kota Padang, terutama melalui festivalfestival yang diselenggarakannya. Deskripsi atas isu, peserta, dan modus dari festival-festival teater yang diselenggarakan menjadi informasi yang cukup penting atas arena kehidupan teater kota Padang dalam penelitian ini. Tulisan berikutnya adalah tulisan Afrizal Harun, “Bahasa Tubuh Aktor Sebagai Tafsir Terhadap Dualisme Kekuasaan di Minangkabau dalam Pertunjukan Teater Tangga Sutradara Yusril
10
Produksi Komunitas Seni Hitam-Putih Sumatera Barat”, tesis S-2 di Institut Seni Indonesia Surakarta tahun 2011. Penelitian Afrizal Harun merupakan penelitian yang relatif memiliki kedekatan objek dengan penelitian ini terutama berkaitan dengan sutradara dari pertunjukan Tangga (2007) yang ditelitinya dengan pertunjukan Menunggu (1997) yang dikaji dalam penelitan ini. Tesis ini terutama
membantu
memahami
bagaimana
Yusril
telah
mempergunakan bahasa tubuh dalam pertunjukan berjudul Tangga sebagai media untuk membicarakan sistim kelarasan masyarakat Minangkabau yang dualis. Sosok sutradara Yusril juga dideskripsikan dalam tesis ini. Pada pustaka yang lebih luas, terdapat tulisan tentang pertunjukan „mini-kata‟ yang berjudul “Makna Kehadiran Rendra dan Mini Kata di dalam Teater Moderen Indonesia di Yogyakarta”, disertasi doktoral pada Program Studi Ilmu Budaya Universitaas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2007. Yudiaryani menjelaskan perihal posisi penting W.S. Rendra dan teater „Mini Kata‟-nya bagi perkembangan teater moderen Indonesia di Yogyakarta. Disertasi ini juga menyertakan analisis tekstual atas pertunjukan Bip-Bop, satu nomor yang cukup terkenal dari serial nomor-nomor „Mini Kata‟ yang disutradarai W. S. Rendra.
11
Berkaitan
dengan
serial
pertunjukan
„mini-kata‟
yang
dipertunjukkan W.S. Rendra terdapat beberapa esai dan artikel populer yang membicarakannya seperti, antara lain: Fuad Hasan, “Beberapa Catatan Buat Eksperimen W.S. Rendra „Bip-Bop‟”; Goenawan Mohamad, “Tentang Bip-Bop Mengapa Teater Mini Kata”; Dick Hartoko, “Teater Murni”; Sudigdo Sastroasmoro, “Sebuah Pandangan Psikiatrus Schizophrenia dan WS Rendra”; dan tulisan Subagio Sastrowardoyo, “Unsur-unsur Tidak Sadar di Balik Teater Rendra”; yang seluruhnya dirangkum dalam buku Rendra dan Teater Modern Indonesia (ed. Edi Haryono) yang diterbitkan Kepel Press, Yogyakarta, tahun 2000. Masing-masing artikel memberikan pembacaannya atas pertunjukan „mini-kata‟ W.S. Rendra, terutama Bip-Bop, yang berguna dalam membantu memahami alasan dan latar dari penggunaan bentuk „mini-kata‟ dalam konteks akhir dekade 60-an. Tulisan berikutnya adalah buku Godot di Amerika dan Indonesia: Suatu Studi Banding yang ditulis Bakdi Soemanto diterbitkan mengupas
oleh perihal
penerbit
Grasindo
keunikan
teks
tahun lakon
2002.
Buku
ini
Waiting for Godot,
pengaruh dan interteksnya dengan lakon-lakon setelahnya di Amerika
dan
Indonesia,
serta
perbandingan
resepsi
pementasannya. Berkaitan dengan teks lakon, Bakdi Soemanto mengupasnya dengan pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan
12
pragmatik yang menghasilkan deskripsi lakon itu sebagai karya tulis, cerminan filsafat pada masa itu, cerminan pengalaman Samuel Beckett sebagai pengarang, dan hubungan teks dengan penanggapnya. Lakon Waiting for Godot menginspirasi lahirnya lakon The Zoo Story karya Edward Albe dan The Connection karya Jack Gelber di Amerika, sementara di Indonesia lakon itu memberi pengaruh pada lakon Aduh karya Putu Wijaya. Selain itu lakon Waiting for Godot juga disebut Bakdi Soemanto merangsang tumbuhnya teater eksperimental dan lakon bergaya avan-garde. Buku
ini
menjadi
rujukan
mengingat
adanya
kesamaan
penggunaan kata “menunggu” yang boleh jadi memiliki relasi intertekstual-tematiknya dengan salah satu pertunjukan yang menjadi objek penelitian ini. Penelitian
berikutnya
adalah
disertasi
Nur
Sahid,
“Dramaturgi Teater Gandrik Yogyakarta dalam Lakon Orde Tabung dan Departemen Borok”, pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2012. Disertasi ini membicarakan dramaturgi dua pertunjukan Teater Gandrik,
Departemen
menggunakan
tinjuan
Borok
dan
pendekatan
Orde estetik
Tabung, dan
dengan semiotik.
Dramaturgi kedua pertunjukan tersebut dinilai Nur Sahid sebagai hasil paduan unsur-unsur teater realisme Barat dengan unsurunsur teater rakyat Jawa, khususnya dagelan Mataram dan
13
ketoprak. Dari unsur tematiknya, kedua pertunjukan juga dinilai Nur Sahid terkait dengan masalah peminggiran kaum minoritas dan marjinal, demokratisasi, dan pemberantasan korupsi. Analisis semiotik yang digunakan Nur Sahid menjadi panduan berharga dalam
upaya
memahami
bagaimana
pesan-pesan
dalam
pertunjukan dapat dimaknai. Sebagaimana dapat dilihat dari uraian tinjauan pustaka di atas maka penelitian ini dapat dikatakan menempatkan posisinya sebagai sebuah penelitian awal atas fenomena bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ di kota Padang sehingga memiliki bobot orisinalitasnya secara spesifik pula.
E. Kerangka Teoretik Penelitian ini berupaya mengungkap alasan dan latar dari digunakannya bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ oleh dua sutradara pada pertunjukan Lini dan Menunggu serta konstruksi dramaturginya dalam arena kehidupan teater di kota Padang pada pertengahan dekade 90-an. Melalui bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ itu kedua pertunjukan juga diasumsikan melakukan kontestasi
dan
„pembedaan
dramaturgi‟
atas
pertunjukan-
pertunjukan dominan yang ada di masa itu. Oleh sebab itu, tinjuan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
14
tinjauan sosiologi seni dan tinjauan dramaturgi. Mengingat bentuk-bentuk pertunjukannya yang simbolis dan sarat dengan tanda-tanda, penelitian ini juga menggunakan tinjauan semiotika teater guna mengungkap pesan dan tema dari kedua pertunjukan. Berikut penjelasan kerangka teoretik yang digunakan dalam penelitian ini: Untuk dapat menjawab dua pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan hadirnya kedua pertunjukan dengan bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ di kota Padang yang diasumsikan melakukan kontestasi dan „pembedaan dramaturgi‟ sebagaimana telah
diuraikan
pada
bagian
latar
belakang,
penelitian
ini
menggunakan “pembacaan arena” sebagaimana diusulkan Pierre Bourdieu dalam tulisannya “Principles for a Sociology of Cultural Works”.13 Pembacaan arena adalah sebuah antitesa dari apa yang disebut Bourdieu sebagai „efek hubungan-singkat‟, yakni adanya kecenderungan dari penjelasan sosiologi seni yang timpang dan parsial dalam menjelaskan karya seni.14 Umumnya ketimpangan itu berasal dari kecenderungan untuk memberikan perhatian 13
14
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”, dalam The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (ed. Randal Johnson), Columbia: Columbia University Press, 1993. hh. 176-191. (Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Perancis tahun 1986. Untuk lebih jelas lihat keterangan sumber karangan dalam lembar-lembar pertama buku tsb.) Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”,…, 1993. hh. 176-191. h. 181.
15
secara eksklusif hanya pada salah satu penjelasan dari dua penjelasan berikut, yakni: 1). Penjelasan terhadap fungsi saja; atau 2). Penjelasan terhadap logika internal sebuah karya seni saja.
Padahal,
menurut
Bourdieu,
penjelasan
seharusnya
diberikan kepada keduanya secara bersamaan dan relasional. Penjelasan atas pentingnya pemahaman relasional ini juga telah dikemukakan Bourdieu dalam tulisan lainnya berjudul “The Intelectual Field: a World Apart” dalam bukunya In Other Words. Dalam buku itu Bourdieu menjelaskan posisi teoritis dari teori arena: “The theory of the field does lead both to a rejection of the direct relating of individual biography to the work of literature (or the relating of the „social class‟ of the origin work) and also to a rejection of the internal analysis of an individual work or even of intertextual analysis. This is because what we have to do is all these things at the same time.”15 Pada
titik
ini
dapat
disimpulkan
bahwa
teori
arena
mensyaratkan adanya dua tinjauan, yakni tinjauan eksternal, berupa tinjauan karya seni dengan kondisi-kondisi di luarnya; dan, tinjauan internal, berupa tinjauan atas struktur karya seni tersebut. Untuk itu perlu dijelaskan lebih lanjut atas apa yang dimaksud sebagai tinjauan eksternal dan tinjauan internal oleh Bourdieu. 15
Pierre Bourdieu, “The Intelectual Field: a World Apart” dalam In Other Words, Essays Toward a Reflexive Sociology, California: Stanford University Press, 1990: 140-149. p. 147.
16
Sebagaimana telah disinggung di awal, tinjauan eksternal atas karya seni umumnya adalah upaya untuk mencari kaitan sebuah karya seni dengan kondisi-kondisi yang terjadi di luar karya seni itu sendiri. Akan tetapi perlu ditetapkan terlebih dahulu atas apa yang dimaksud sebagai kondisi-kondisi eksternal itu. Menjawab hal itu, Bourdieu menawarkan definisi atas apa yang dimaksudnya sebagai „kondisi-kondisi eksternal‟, yakni adalah situs di mana karya seni itu hadir. Situs itu kemudian disebutnya
sebagai
„arena
produksi
kultural‟.
Bourdieu
menegaskan: “The notion of field of cultural production (which is specified as artistic field, literary field, scientific field, etc.) allows one to break away from vague references to the social world (via words such as „context‟, „milieu‟, „social base‟, „social background‟) with which the social history of art and literature usually contents it self. The field of cultural production is this altogether particular social world referred to in the traditional notion of a republic of letters.”16 Apa yang dijelaskan oleh Bourdieu di atas menegaskan bahwa
konsep
„arena
produksi
kultural‟
bertujuan
untuk
menghapuskan kekaburan atas apa yang selama ini kerap disebut „kondisi objektif‟ dan dengan tegas menggantinya dengan sebuah situs berupa ruang historis kongkrit, yakni arena di mana karya seni diproduksi (contoh yang digunakan Bourdieu adalah arena 16
Pierre Bourdieu, “The Intelectual Field: a World Apart” dalam In Other Words, Essays Toward a Reflexive Sociology…, 1990: 140-149. p. 140.
17
sastra, namun istilah “republic of letters” dalam kutipan di atas dapat diganti sesuai bidang-bidang spesifik lainnya). Bourdieu juga menjelaskan lebih lanjut atas apa yang dimaksudnya sebagai arena kultural tersebut, yakni: “...spaces of possibles is what causes producer of a particular period to be both situated and dated (the problematic is historical outcome of the specific history of the field) and relatively autonomous in relation to the direct determination of the economic and social environtment.”17 Pemahaman
Bourdieu
tersebut
dengan
demikian
menegaskan bahwa sebuah arena teater pada satu masa dan satu struktur masyarakat tertentu pada dasarnya adalah sebuah mikrokosmos atau jagat tersendiri yang memiliki aturan-aturan, relasi-relasi, serta otonomi relatifnya sendiri pula. Merujuk konsep arena dan arena kultural tersebut maka kehidupan teater di kota Padang pada pertengahan dekade 90-an, yang menjadi ruang dari hadirnya kedua bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ tersebut juga dapat dibaca sebagai sebuah arena produksi kultural (sebuah arena teater) di mana di dalamnya juga terdapat agen-agen tertentu yang melakukan pergulatan untuk mendapatkan posisi-posisi tertentu. Prinsip otonomi
relatif
pada
tiap
arena
sebagaimana
ditandaskan
Bourdieu juga menjadi panduan dalam melakukan pembacaan 17
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”, dalam The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (ed. Randal Johnson), Columbia: Columbia University Press, 1993: 176.
18
atas praktik-praktik dari setiap agen, semisal agen-produser seperti sutradara dan agen-pelegitimasi seperti kritisi; dan mesti dilakukan pertama kali dalam arena kota Padang secara spesifik dan otonom. Bourdieu juga mendefinisikan struktur arena sebagai: “Structure of the distribution of the capital of specific properties which governs success in the field and the winning of the external or specific profits (such as literary prestige) which are at stake in the field.” 18 Sampai di sini jelas kiranya atas apa yang dimaksud dengan pembacaan eksternal, yakni sebuah pembacaan atas ruang posisiposisi agen dalam arena dan distribusi dari modal-modal spesifik yang dimiliki oleh agen-agen di dalamnya. Atas dasar itu maka amatan atas praktik-praktik tertentu (seperti penciptaan karya seni) dari para agen mesti diletakkan dan dibaca pertama kali di dalam
“ruang
posisi-posisi”
spesifik
yang
ditempatinya
berdasarkan modal-modal spesifik yang dimilikinya. Pembacaan dan amatan dengan cara demikian terutama dilandaskan pada keyakinan bahwa di dalam ruang itulah sebenarnya para agen mempertaruhkan diri dan modal-modal spesifik yang dimilikinya pertama kali. Namun begitu, praktik spesifik agen-agen di dalam arena tidak dapat dipahami sebagai suatu tindakan „ideasional‟ dan 18
Pierre Bourdieu, “The Field of Cultural, or: The Economic World Reversed”, dalam The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (ed. Randal Johnson), Columbia: Columbia University Press, 1993: 30.
19
„voluntaris‟ semata, melainkan harus dimaknai sebagai sebuah praktik yang memiliki tujuan utama memenangkan pertarungan, -dengan
asumsi
positif
bahwa
tidak
ada
agen
yang
mau
mengalami kekalahan dalam pertarungan dalam arena tersebut. Hal itu merupakan habitus utama yang dimiliki oleh setiap agen di dalam arena, yakni semangat dan niatan untuk memenangkan pertarungan. Habitus sendiri didefinisikan oleh Bourdieu sebagai: “the durably installed generative principle of regulated improvisations, produces practices which tend to reproduce the regularities immanent in the objective conditions of the production of their generative principle, while adjusting to the demands inscribed as objective potentialities in the situations, as defined by the cognitive and motivating structures making up the habitus.”19 Tujuan utama untuk memenangkan pertarungan tersebut membuat setiap agen melakukan pembacaan-pembacaan tertentu saat memasuki arena guna dapat melihat ruang kemungkinankemungkinan yang ada di dalam arena. Tujuan (dan habitus) itu, secara inheren, mengarahkan para agen untuk menentukan acuan tertentu dan rujukan yang tertentu pula. Acuan dan rujukan tersebut
selanjutnya
akan
membantu
para
agen
dalam
merumuskan strategi pemenangan. Bourdieu menjelaskan lebih lanjut bagaimana habitus membimbing praktik para agen: 19
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (trans. Richard Nice), Cambridge: Cambridge University Press, 1977: 78.
20
“agents, writers, artists or intellectuals construct their own creative project according, first of all, to their perception of the available possibilities afforded by the categories of perception and appreciation inscribed in their habitus through a certain trajectory and, secondly, to their predisposition to take advantage of or reject those possibilities in accordance with the interests associated with their position in the game.”20 Penjelasan
Bourdieu
tersebut
menerangkan
bahwa
keputusan untuk melakukan pengambilan strategi yang dilakukan para agen umumnya berpedoman pada dua hal, yakni: 1). pembacaan seorang agen atas posisinya sendiri; dan 2). yakni pembacaan
atas
kecenderungan-kecenderungan
yang
dapat
diambil atau ditolaknya berdasarkan posisinya di dalam arena; suatu hal yang juga dapat diartikan sebagai pembacaan atas kemungkinan atau ketidakmungkinan legitimasi atas karyanya. Kedua pedoman strategi tersebut dengan demikian juga adalah habitus yang umum dimiliki seorang agen dalam memasuki sebuah arena. Hasil pembacaan dari dua pedoman itu selanjutnya akan memandu para agen dalam mengorientasikan riset dan tujuantujuan
proses
kreatif
mereka
sehingga
membuat
mereka
mengetahui akan adanya ruang-ruang kemungkinan tertentu untuk kemudian dapat mengambil keuntungan dari satu posisi tertentu dalam arena. Ruang-ruang kemungkinan ini pulalah yang 20
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 184.
21
menjadi acuan umum dan kerap kali membuat para agenprodusen
saling
merujuk
satu
sama
lain
hingga
memiliki
hubungan objektif dengan agen-produsen lain serta, pada taraf tertentu, saling berkaitan secara intelektual dan memiliki titik rujukan dan bahkan tujuan artistik yang sama.21 Uraian di atas memberi pemahaman bahwa praktik seni, strategi-strategi, dan habitus seorang agen di dalam arena pada dasarnya
merupakan
hasil
dari
dinamika
arena
yang
menstrukturkannya (dalam lintasan tertentu), sebelum kemudian juga memiliki potensi untuk menstrukturkan arena tersebut kembali. Uraian di atas juga memberi pemahaman bahwa arena spesifik tidak terpisah dengan habitus spesifik yang diproduksinya dan karenanya pembicaraan tentang habitus adalah pembicaraan tentang habitus sebuah arena dan, juga sebaliknya, pembicaraan tentang arena adalah pembicaraan tentang arena dari habitushabitus. Hal lain yang juga penting dicatat dalam memahami habitus adalah sifatnya yang tidak serta-merta secara ketat mengikat dan mengekang agen. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, bahwa saat seorang agen memutuskan memasuki arena maka mereka akan “mensituasikan” dan “mengkondisikan” dirinya dengan
21
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 176177.
22
arena.
Apa
yang
dimaksud
dengan
mensituasikan
dan
mengkondisikan diri tersebut tidak hanya dapat dimaknai sebagai upaya untuk sekedar mengikuti aturan-aturan main yang ada, namun dapat pula dimaknai sebagai sebuah strategi untuk memenangkan pertarungan.22 Pada titik inilah kiranya bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ dapat dibaca pula sebagai
sebuah
„strategi‟,
yakni
upaya
untuk
melakukan
„pembedaan‟, dan juga upaya pengambilan posisi dalam arena kehidupan teater di kota Padang pada masa itu. Untuk
memberi
terang
lebih
jauh,
Randal
Johnson
mengutarakan definisi strategi Bourdieu sebagai berikut: “Agents' strategies are a function of the convergence of position and position-taking mediated by habitus.” 23 Dan juga: “Strategy may be understood as a specific orientation of practice. As a product of the habitus, strategy is not based on a conscious calculation but rather results from unconscious dispositions towards practice.”24 Hal tersebut pula kiranya yang menjadi landasan bahwa kerangka pemikiran teori arena merupakan sebuah kerangka 22 23
24
Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 184. Randal Johnson, “Editor's Introduction: Pierre Bourdieu on Art, Literature and Culture”, kata pengantar buku The Field of Cultural Production: Essays on Art and Literature (ed. Randal Johnson), Columbia: Columbia University Press, 1993: 17. Randal Johnson, “Editor's Introduction: Pierre Bourdieu on Art, Literature and Culture”..., 1993: 17-18.
23
pemikiran yang berguna untuk mencapai „objektifitas subjektif‟, di mana agen “disituasikan dan dikondisikan” oleh arena secara objektif
untuk
kemudian
memiliki
potensi
subjektifnya
memengaruhi arena.25 Pada titik inilah maka hal yang mesti ditinjau pertama kali dalam “pembacaan arena” adalah kondisikondisi objektif arena dan ruang-ruang posisi di dalamnya yang telah melahirkan subjektifisme agen dalam menciptakan karya seni. Hal lain yang juga disinggung Bourdieu dalam teori arenanya tersebut, yakni adanya kemungkinan „bias‟ determinan eksternal seperti peristiwa politik, revolusi, atau krisis ekonomi dalam karya seni yang biasanya terlihat saat struktur arena berubah.26 Uraian panjang di atas dengan demikian telah menjelaskan mengenai apa yang dimaksud sebagai tinjauan eksternal dalam penelitian ini. Berikutnya perlu pula dijelaskan mengenai apa yang dimaksud sebagai tinjauan internal atas karya seni di dalam penelitian ini. Sebagaimana telah disebutkan bahwa bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ dapat diletakkan sebagai sebuah „strategi pengambilan posisi‟ yang digunakan oleh kedua sutradara untuk mendapatkan posisinya di dalam arena kehidupan teater kota
25
26
Untuk penjelasan lebih lanjut atas „objektifitas subjektif‟ yang dimaksud Bourdieu, lihat: Pierre Bourdieu, The Logic of Practice (trans. Richard Nice), Cambridge: Polity Press, 1990: 135-141. Pierre Bourdieu, “Principles for a Sociology of Cultural Works”…, 1993: 181182.
24
Padang. Namun begitu uraian tentang fungsi strategi itu secara eksternal tidak secara otomatis menguraikan
strukturnya, yang
dalam hal ini adalah dramaturgi kedua pertunjukan. Oleh sebab itu maka analisis internal dalam penelitian ini terutama ditujukan untuk melihat struktur dramaturgi kedua bentuk pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ dan relasinya dengan fungsi yang diembannya. Tinjauan internal atas struktur dramaturgi bentuk „tanpa kata‟ dan „minim-kata‟ tersebut diharapkan dapat menunjukkan salah satu tujuan dari penjelasan sosiologi seni, yakni membantu menjelaskan
bahwa
setiap
fungsi
(karya
seni)
memiliki
strukturnya sendiri, dan begitu pula sebaliknya, setiap struktur (karya seni) memiliki fungsinya pula secara spesifik. Kerangka relasional dari struktur dan fungsi karya seni dengan demikian dapat dijelaskan. Tepat pada titik ini kiranya tinjauan dramaturgi dibutuhkan. Mary Lukchurst menyebutkan bahwa istilah dramaturgi dapat dipahami dalam dua pengertian. Pengertian pertama adalah: “Internal structures of a play text and is concerned with the arrangement of formal elements by the playwright – plot, construction of narrative, character, time-frame and stage action.”27 Sementara dalam pengertian kedua adalah:
27
Mary Luckhurst, Dramaturgy: A Revolution In Theatre..., 2006: 11.
25
“external elements relating to staging, the overall artistic concept behind the staging, the politics of performance, and the calculated manipulation of audience response (hence the associations with deceit). This second sense marks interpretation of the text by persons like those now known as directors, the underlying reading and manipulation of a text into multidimensional theatre.”28 Berdasarkan kedua pengertian tersebut, maka tinjauan internal
atas
dramaturgi
kedua
pertunjukan
sebagaimana
dimaksud dalam uraian sebelumnya akan difokuskan terutama dalam
pengertian
dramaturgi
yang
kedua,
yakni
sebagai
keseluruhan konsep artistik dan pertunjukan. Pun begitu, setiap bentuk
pertunjukan
pada
dasarnya
adalah
hasil
dari
pertimbangan dan rumusan atas dua hal, yakni aspek dramatik dan aspek artistik. Aspek dramatik adalah sebuah „isi tematik‟ dari pertunjukan, sementara aspek artistik adalah sebuah „bentuk‟ dari pertunjukan itu sendiri. Keduanya secara koheren, dan dalam posisi
bersitegang,
membangun
pertunjukan.
Melalui
dua
konstruksi yang bersitegang tersebut pertunjukan mendapatkan manifestasinya di atas panggung. Berkaitan dengan itu, George Kernodle pernah menyebutkan bahwa dalam membaca sebuah pertunjukan terdapat unsur-unsur dramatik yang mungkin ada, yakni: struktur, “bentuk lakon dalam
28
Mary Luckhurst, Dramaturgy: A Revolution In Theatre (New York: Cambridge University Press, 2006: 10-11.
26
kerangka waktu”; dan tekstur, “apa yang dialami penonton melalui perasaan, pendengaran, dan penglihatannya, serta apa yang dirasakannya sebagai mood melalui seluruh pengalaman aural dan visualnya”.29 Unsur-unsur struktural adalah plot (plot), penokohan (character), dan tema (theme); sementara unsur-unsur tekstural adalah dialog dan spektakle (dialog and spectacle), serta mood dan ritme (mood and rhythm). Apa yang dikemukakan Kernodle tersebut sepertinya merupakan pengembangan dari apa yang dikemukakan Aristoteles atas elemen-elemen tragedi, yakni: plot, karakter, diksi, tema, spektakel, dan musik.30 Untuk
kebutuhan
penelitian
ini,
maka
kedua
uraian
Luckhurst dan Kernodle di atas akan dimodifikasi guna menjadi panduan
dalam
membaca
dramaturgi
kedua
pertunjukan.
Modifikasi dimaksud adalah pembacaan atas dua konstruksi, yakni konstruksi dramatik dan konstruksi artistik. Pembacaan pertama merupakan pembacaan atas konstruksi dramatik, yang mesti dibaca sebagai hasil dari hitungan-hitungan atas pilihan lakon yang dimainkan dan struktur dramatik lakon tersebut; dan pembacaan kedua adalah pembacaan atas konstruksi artistik, yang juga mesti dibaca sebagai hasil dari hitungan-hitungan atas
29 30
George Kernodle, Invitation to The Theatre, New York: Harcourt, Brace & World. Inc. , 1967: 345. Aristotle, Poetics (Trans. Clarence W. Mendell), dalam: Richard Levin, Tragedi: Plays, Theory, and Critism, New York: Harcour Brace Jovanovich, Inc., 1960: 134.
27
pilihan-pilihan bentuk artistik dan bentuk artistik itu sendiri di mana struktur dramatik lakon dimanifestasikan. Untuk memperjelas mengenai struktur dramatik penelitian ini juga mempertimbangkan tawaran Edwin Wilson dan Alvin Goldvarb atas apa yang disebutnya sebagai struktur dramatik, yakni: plot, konflik, kekuatan-kekuatan yang bertentangan, dan keseimbangan
kekuatan-kekuatan.31
Sementara
apa
yang
dimaksud dengan konstruksi artistik dalam penelitian ini adalah sebuah konstruk yang meliputi pilihan-pilihan akting, kostum, pencahayaan, musik, dan setting-properti, sebagai media dimana „struktur dramatik‟ lakon bekerja sebagaimana terangkum dalam apa yang disebut Kernodle sebagai unsur-unsur tekstural dari sebuah pertunjukan. Selanjutnya,
mengingat
bahwa
objek
analisis
dalam
penelitian ini adalah sebuah teks pertunjukan yang sarat dengan bahasa
tubuh
dan
tanda-tanda
yang
dihasilkannya,
maka
tinjauan atas konstruksi dramatiknya tidak pelak lagi akan mensyaratkan pembacaan dan pemaknaan atas bahasa tubuh dan tanda-tanda tersebut. Melalui pembacaan atas bahasa tubuh dan tanda-tanda tersebut maka pesan dan tema pertunjukan dapat dibaca yang dengannya dapat pula dibaca hitungan-hitungan
31
Edwin Wilson dan Alvin Goldvarb, Theatre The Lively Art, New York: Mc Graw – Hill Inc., 1991: 141-143.
28
ideasional seperti apakah yang dikandung oleh lakon sehingga dipilih
untuk mewakili intensi
sutradara saat
menciptakan
pertunjukkannya. Pada titik ini semiotika teater dibutuhkan. Upaya untuk menangani tanda-tanda di dalam pertunjukan teater
mendapatkan
karakteristik
pentingnya
saat
Tadeusz
Kowzan menawarkan 13 sistem tanda khusus yang bekerja di dalam pertunjukan teater, yakni: bahasa, nada, mimik wajah, gestur, pergerakan, make-up, gaya rambut, kostum, properti, dekor, pencahayaan, musik, dan efek-efek suara.32 Tawaran serupa
juga
diajukan
mengkategorisasi
14
dikelompokkannya “akustik/visual”,
oleh
sistim ke
“relatif
Erika tanda
dalam
Fischer-Lichte yang
tiga
berubah/relatif
terlebih
kelompok bertahan
yang dahulu umum: selama
pertunjukan”, dan “berelasi dengan aktor/berelasi dengan ruang”. Sistim-sistim
tanda
itu
adalah:
suara,
musik,
linguistik,
paralinguistik, mimik, gestural, proksemik, penopengan, rambut, kostum, konsepsi panggung, dekorasi panggung, properti, dan pencahayaan.33 Sebagaimana dapat dilihat, kedua kategorisasi
32
33
Untuk melihat sistem tanda yang diajukan Kowzan, lihat: Elain Aston dan George Savona, Theatre as Sign-System, A Semiotics of Text and Performance, New York: Routledge, 1991: 105-8; dan untuk Fischer-Lichte, lihat: Erika Fischer-Lichte, The Semiotics of Theatre (trans. Jeremy gaines dan Doris L. Jones), Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1992. Erika Fischer-Lichte, The Semiotics of Theatre (trans. Jeremy gaines dan Doris L. Jones), Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1992: 15.
29
sistim tanda yang diajukan oleh Kowzan dan Fischer-Lichte tersebut memiliki kemiripan dan kongruensinya satu sama lain. Namun begitu, sebelum dapat melakukan pembacaan atas pertunjukan berdasarkan sistem-sistem tanda tersebut, penting kiranya dipertimbangkan catatan Marco De Marinis tentang apa yang dimaksudnya sebagai „teks pertunjukan‟. Marco De Marinis berpendapat
bahwa
pertunjukan
teaterikal
mesti
dipahami
pertama kali sebagai sebuah “peristiwa diskursif yang kompleks, merupakan hasil dari berbagai gelombang dan elemen ekspresi, serta diorganisasikan ke dalam berbagai kode dan subkode yang bersama-sama membangun sebuah struktur tekstual.”34 Struktur tekstual sendiri, masih merujuk De Marinis, adalah “sebuah sistem yang hadir dari kombinasi berbagai kode dalam sebuah teks pertunjukan dan menjamin koherensi relasi-relasi kode tersebut”, dan karenanya mesti dimaknai sebagai “sebuah sistem yang tidak memiliki eksistensi fisikal, namun lebih merupakan sebuah logika, sebuah prinsip koherensi”.35 Sistem inilah yang kemudian menjadi pusat logika dari teks pertunjukan dan merupakan prasyarat bagi teks untuk menjadi komprehensif. Kedua hal tersebut memberikan karakteristik pertama dari struktur tekstual pertunjukan, yakni kualitas sistematis-nya.
34 35
Marco De Marinis, The Semiotics of Performance (trans. Aine O‟Healy), Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, [1982] 1993: 1. Marco De Marinis, The Semiotics of Performance... [1982] 1993: 83-84.
30
Meskipun
setiap
kode
pertunjukan
juga
memiliki
kualitas
sistematisnya sendiri, namun sebuah dan setiap kode pertunjukan hanyalah sebuah komponen semata dari
pertunjukan, dan
karenanya tidak memiliki karakteristik kedua, yakni keunikan. Jaminan atas keunikan struktur tekstual sebuah pertunjukan didapatkan dari kemampuannya untuk dan dalam menjaga kombinasi kode-kode pertunjukan hanya untuk pertunjukan itu sendiri
dan
dengannya
menjamin
individualitas
dan
ketakmungkinan untuk diulang pada level strukturalnya. Atas dasar itu tanda-tanda yang berada dalam tiap kodekode dalam sebuah pertunjukan mesti diletakkan pertama kali sebagai bagian dari sebuah kesatuan struktur teks untuk mendapatkan kualitas sistematisnya, keunikannya, dan derajat komprehensifnya. Setelah itu pembacaan dan interpretasi baru dapat
dilakukan
untuk
menarik
pesan
dan
makna
dari
pertunjukan. Kerangka pembacaan dan interpretasi tersebut diringkas dengan sangat apik oleh Anne Ubersfeld sebagai sebuah tugas untuk “tidak mengisolasi tanda-tanda, melainkan lebih untuk mengetahui konstruksi penandaan dan memperlihatkan bagaimana tanda-tanda itu diorganisasikan”.36
36
Anne Ubersfeld, dikutip dari, Gay McAulay, “Performance Analysis; Theory and Practice”, dalam About Performance: Performance Analysis, Sydney: Centre for Performance Studies University of Sydney, 1998: 1.
31
Setelah tanda-tanda diorganisasikan dalam satuan-satuan kerangka
sinkroniknya,
maka
pembacaan
atas
relasi-relasi
penandaannya dapat dilakukan. Dalam hal ini tipologi pembacaan relasi indeksikal, relasi ikonik, dan relasi simbolis, sebagaimana diajukan Charles S. Peirce dapat digunakan.37 Pada bagian akhir keseluruhan
pembacaan-pembacaan
sinkronik
tersebut
akan
menghasilkan sebuah pembacaan diakronik yang lebih utuh sesuai dengan prinsip utama struktur teks pertunjukan yang diajukan Marco
de Marinis, yakni sebagai „satu keutuhan
tekstual‟.
F. Metode Penelitian Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian kualitatif, yakni penelitian yang mendasarkan penelitiannya pada kualitas data sebagai sebuah totalitas.38 Secara spesifik, penelitian ini adalah
penelitian
studi
kasus,
yakni
penelitian
yang
mengeksplorasi sebuah “sistem terbatas” atau sebuah kasus (atau beberapa
kasus),
dalam
kerangka
waktu
tertentu,
dengan
pengumpulan data dari berbagai sumber informasi atas sebuah
37 38
Charles S. Peirce, dikutip dari: Keir Elam, The Semiotics of Theatre and Drama, London dan New York: Methuen, 1983: 21. R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Bandung: MSPI, 2001: 33-34.
32
konteks.39 Penelitian studi kasus terutama ditujukan untuk mendapatkan pemahaman atas kasus-kasus tertentu sehingga mendapatkan pelajaran darinya secara lebih intens. Merujuk pada kerangka teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, maka metode penelitian dapat disusun sebagai berikut: Untuk
menjawab
pertanyaan
pertama,
penelitian
ini
melakukan studi pustaka atas kondisi-kondisi dan struktur arena dari kedua pertunjukan, dalam hal ini kehidupan teater di kota Padang. Selain melakukan studi pustaka atas arsip-arsip, catatan, kliping, dan berbagai buku, penelitian ini juga melakukan wawancara guna mendapatkan informasi-informasi lain atas datadata yang didapatkan dari studi pustaka. Hasil dari studi pustaka dan wawancara tersebut akan digunakan untuk melihat latar dan alasan-alasan dari hadirnya kedua pertunjukan pada dekade 90an. Untuk menjawab pertanyaan kedua dalam penelitian ini, hal berikutnya
yang
dilakukan
dalam
penelitian
ini
adalah
merekonstruksi secara imajiner kedua pertunjukan sebagaimana disarankan
Patrice
Pavis.40
Untuk
kebutuhan
„rekonstruksi
imajiner‟ tersebut maka data-data yang dikumpulkan terutama adalah catatan-catatan latihan, naskah lakon, foto pertunjukan, 39 40
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design Chossing Among Five Tradition, London: Sage Publications, 1998: 61. Patrice Pavis, Analyzing Performance (trans. David Williams), Ann Arbor: The University of Michigan Press, [1996] 2003: 9-10.
33
pemberitaan, dan termasuk juga kritik di berbagai media atas dua pertunjukan. Hal tersebut dilakukan guna „menghadirkan kembali‟ kedua
pertunjukan
dalam
bentuk
„deskriptif
tekstual‟-nya
sehingga dapat ditelisik dan dianalisis unsur-unsur dramaturginya Pada tahap selanjutnya, analisis internal berupa tinjauan dramaturgi
dilakukan.
Analisis
ini
berguna
untuk
melihat
persamaan dan perbedaan dari dramaturgi kedua pertunjukan, untuk kemudian dibandingkan dengan konstruksi dramatik dan artistik dari pertunjukan yang diproduksi oleh kelompok Bumi Teater sutradara Wisran Hadi yang dominan pada masa itu di kota Padang. Untuk mendapatkan pesan dan muatan yang terkandung dalam
dua
pertunjukan,
analisis
semiotik
juga
dilakukan
bersamaan dengan analisis atas unsur-unsur dramaturgi lainnya. Untuk memudahkan pembacaan pertunjukan akan dibagi dalam unit-unit pembacaan berupa adegan, sehingga dapat dibaca relasirelasi fungsi penandaannya dalam membangun pesan dan makna sebagaimana diajukan Charles S. Peirce, yakni relasi-relasi ikonis, indeksikal, dan simbolisnya.41 Pembatasan uraian dalam penelitian ini juga penting kiranya dikemukakan di sini mengingat dua pertanyaan yang telah
41
Charles S. Peirce, dikutip dari: Keir Elam, The Semiotics of Theatre and Drama… 1983: 21.
34
dikemukakan dalam bagian rumusan pertanyaan. Uraian dalam penelitian ini hanya akan difokuskan pada dua bagian, yakni uraian mengenai latar produksi kedua pertunjukan dan analisis tekstual
atas
teks
pertunjukan.
Berdasarkan
pembatasan
tersebut, maka penelitian ini tidak memasukkan penjelasan tentang dampak bentuk „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟, resepsi para penontonnya, ataupun pengaruhnya pada masa selanjutnya di
kota
Padang
secara
lebih
luas
dan
mendalam
karena
dibutuhkan data-data lain yang dapat dipastikan lebih luas dan mendalam pula. Jenis informasi yang dikumpulkan guna menjawab dua pertanyaan dalam penelitian ini terutama adalah informasi dan catatan-catatan atas struktur arena kehidupan teater pada dekade 90-an dan agen-agen di dalamnya. Sementara untuk pertanyaan kedua, data utama penelitian terutama bersumber dari „teks pertunjukan‟ berupa hasil „rekonstruksi imajiner‟. Data-data tersebut terutama menyangkut teks pertunjukan yang secara garis merupakan informasi-informasi atas pertunjukan berupa foto dan kritik pertunjukan, ingatan-ingatan para pelakunya dalam hal ini sutradara, penata artistik, ataupun penonton yang didapatkan melalui wawancara.
35
G. Sistematika Penulisan Uraian penelitian ini dibagi menjadi empat bab yang disusun sebagai berikut: Bab masalah,
pertama tinjauan
berisi
tentang
kepustakaan,
pendahuluan,
kerangka
rumusan
teoretik,
metode
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan sosiologis kedua pertunjukan. Dalam uraian bab ini analisis dilandaskan pada perspektif sosiologi
Bourdieusian
sebagaimana
telah
diuraikan
pada
kerangka teori. Tinjauan tersebut terutama diarahkan pada kehidupan teater kota Padang sebagai arena, agen-agen di dalamnya, proses kanonisasi dan dominasi yang ada, termasuk habitus para agen yang mempengaruhi struktur arena tersebut. Pada bagian ini juga dikemukakan hasil tinjauan atas struktur arena tersebut sehingga didapatkan alasan dan latar dari kedua pertunjukan „tanpa-kata‟ dan „minim-kata‟ tersebut. Bab
ketiga
berisi
analisis
struktural
atas
konstruksi
dramatik dan konstruksi artistik kedua teks pertunjukan. Uraian bab ini diawali dengan analisis konstruksi dramatik kedua pertunjukan yang dilengkapi dengan informasi seputar proses penciptaan dan pertunjukan Lini dan Menunggu. Rekonstruksi kedua pertunjukan juga dibaca melalui analisis semiotik untuk mendapatkan pesan dan tema pertunjukan yang kemudian
36
dilanjutkan dengan analisis atas konstruksi artistiknya guna mengurai persamaan dan perbedaannya. Pada bagian akhir bab ini juga diuraikan diskusi perbandingan antara dramaturgi kedua pertunjukan dengan beberapa pertunjukan yang disutradarai Wisran Hadi dalam arena teater di kota Padang sehingga dapat dibaca bentuk kontestasi dramaturginya secara khusus. Bab keempat berisi kesimpulan.
37