BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang telah diubah menjadi UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang efisien dan efektif dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Berdasarkan peraturan tersebut, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: 1. meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; 2. menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; dan 3. memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Pelaksanaan otonomi daerah juga merupakan suatu strategi yang memiliki dua tujuan utama. Pertama, pemberian otonomi daerah merupakan suatu strategi untuk merespon tuntutan masyarakat 1
2
daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu shearing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas (Mardiasmo, 2001: 1). Untuk menyelenggarakan otonomi yang luas dan bertanggung jawab, pemerintah daerah mengalami setidaknya tiga perubahan kebijakan dalam pembangunan daerah, yaitu: 1. perubahan kewenangan pengelolaan sumber daya alam; 2. perubahan kewenangan pengelolaan sumber-sumber keuangan (pajak dan retribusi); dan 3. perubahan alokasi anggaran dari pusat ke daerah (Husaeni, 2001: 45). Salah satu unsur penting dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pengelolaan keuangan daerah termasuk di dalamnya pengelolaan barang milik daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang milik negara/daerah meliputi barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yaitu barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis yang dikelola dengan memperhatikan asas-asas sebagai berikut: 1. asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan bupati/walikota sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing; 2. asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;
3
3. asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara/daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar; 4. asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah diarahkan agar barang milik negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal; 5. asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik negara/daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat; 6. asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah serta penyusunan Neraca Pemerintah. Dalam pelaksanaannya, dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat maupun perangkat daerah yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan
pemerintahaan
di
daerah.
Pembinaan
terhadap
pelaksanaan otonomi dapat dibedakan menjadi tiga fungsi pembinaan yaitu, pertama, pembinaan umum yang diberikan oleh instansi Departemen Dalam Negeri dan jajarannya di daerah. Kedua, pembinaan teknis fungsional yang diberikan oleh instansi teknis terkait pusat dan jajarannya di daerah. Ketiga, pembinaan operasional yang diberikan oleh daerah provinsi kepada instansi kabupaten/kota (Siregar, 2004: 266). Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang
4
ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional yang dibentuk oleh pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaran pemerintahan adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK merupakan lembaga pemeriksa eksternal yang independen dan merupakan supreme auditor (Mardiasmo, 2009: 193). BPK bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Pedoman lain adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Terhadap pemeriksaan atas laporan keuangan, BPK akan memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan. Berdasarkan penjelasan pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria: 1. kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan; 2. kecukupan pengungkapan (adequate disclosures); 3. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan 4. efektivitas sistem pengendalian
5
intern. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni: 1. opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion); 2. opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion); 3. opini tidak wajar (adversed opinion); dan 4. pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Tabel 1.1 Perkembangan Opini LKPD, 2006-2011 Opini
LKPD
Jumlah
WTP
%
WDP
%
TW
%
TMP
%
2006
3
1%
327
70%
28
6%
105
23%
463
2007
4
1%
283
60%
59
13%
123
26%
469
2008
13
3%
323
67%
31
6%
118
24%
485
2009
15
3%
330
65%
48
10%
111
22%
504
2010
34
6%
341
66%
26
5%
119
23%
520
2011
67
16%
316
74%
5
1%
38
9%
426*
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK-RI Semester I Tahun 2012 *) Jumlah opini yang diberikan sampai dengan Semester 1 Tahun 2012
6
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK-RI Semester I Tahun 2012 Grafik 1.1 Perkembangan Opini LKPD, 2006-2011 Dari Tabel 1.1 dan Grafik 1.1 terlihat bahwa enam puluh tujuh persen opini yang diberikan oleh BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah adalah wajar dengan pengecualian. Opini wajar dengan pengecualian menunjukkan bahwa sebagian besar pos dalam laporan keuangan telah disajikan secara wajar terbebas dari salah saji material dan sesuai dengan standar akuntansi, namun untuk pos tertentu disajikan tidak wajar (Mahmudi, 2007: 34). Salah satu penyebab tidak maksimalnya opini yang diberikan oleh BPK adalah rendahnya akurasi data aset daerah, sehingga BPK tidak mendapat keyakinan yang memadai terhadap nilai aset yang ditampilkan dalam neraca. Hal ini senada dengan Yusuf (2010: 10) yang menyatakan bahwa kesulitan yang dirasakan oleh pemerintah daerah dalam membuat neraca awal adalah mengumpulkan data aset dan pencatatan aset pada SKPD serta penilaian aset. Hal ini terjadi karena data aset umumnya tidak tercatat dengan baik ketika diperoleh atau ketika dilakukan pembelian maupun ketika terjadi mutasi atau perubahan-perubahan aset, sehingga diperlukan penilaian ulang agar memperoleh nilai wajar. Siregar (2004: 561) mengatakan bahwa salah satu masalah utama pengelolaan barang (aset) daerah adalah ketidaktertiban dalam pengelolaan data barang (aset). Ini menyebabkan pemerintah daerah kesulitan untuk mengetahui secara pasti aset yang dikuasai/dikelolanya, sehingga aset-aset yang dikelola pemerintah daerah cenderung tidak optimal dalam penggunaannya dan akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan pemanfaatan aset pada masa yang akan datang. Kendala lain dalam pengelolaan aset adalah terbatasnya jumlah staf yang tersedia dan tidak adanya ahli di bidang pengelolaan aset serta keahlian yang terbatas dalam sistem database
7
komputer (Hanis, Trigunarsyah and Susilawati, 2011: 9). Dengan kata lain lemahnya penatausahaan barang milik daerah merupakan faktor yang menyebabkan masih banyaknya pemerintah daerah memperoleh opini wajar dengan pengecualian. Penatausahaan barang milik daerah yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan barang milik daerah sangat diperlukan dalam tertib administrasi dan tertib pengelolaan barang milik daerah. Dengan penatausahaan barang milik daerah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku, akan dapat diketahui secara pasti nilai kekayaan daerah, status kepemilikan, pemanfaatan serta pemeliharaan terhadap barang milik daerah yang dikuasai pemerintah daerah. Hal ini akan menghasilkan sinkronisasi antara laporan keuangan pemerintah daerah dengan laporan barang milik daerah, dengan demikian Badan Pemeriksa Keuangan dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian terhadap laporan keuangan pemerintah daerah. Kabupaten Gayo Lues merupakan bagian dari Provinsi Aceh yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
8
Sumber: BAPPEDA Kabupate Gayo Lues 2013 Gambar 1.2 Peta Daerah Administratif Kabupaten Gayo Lues Gambar 1.2 menunjukkan peta administratif Kabupaten Gayo Lues yang secara geografis terletak antara 960 43’ 24” - 970 55’ 24” Bujur Timur dan 30 40’ 26”- 40 16’ 55” Lintang Utara dengan luas wilayah keseluruhan 5.549,95 KM2 yang berbatasan sebelah timur dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Kabupaten Langkat (Provinsi Sumatera Utara), sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat Daya, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Nagan Raya, dan Kabupaten Aceh Timur serta sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Barat Daya (BPS Kabupaten Gayo Lues, 2011: 3). Dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan, Pemerintah Kabupaten Gayo Lues belum menyelenggarakan urusan pemerintahan secara optimal. Hal ini terlihat dari opini wajar dengan pengecualian yang diberikan oleh BPK atas kewajaran
9
informasi keuangan yang disajikan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues untuk laporan keuangan tahun anggaran 2008 sampai dengan tahun 2011. Tabel 1.2 Opini BPK atas LKPD Kabupaten Gayo Lues, 2008-2011 No
LKPD Tahun
Opini
1
2008
WDP
2
2009
WDP
3
2010
WDP
4
2011
WDP
Pengecualian Saldo awal aset tetap tidak didukung dengan daftar inventaris Aset tetap dalam neraca tidak didukung dengan daftar rincian aset yang memadai Aset tetap dalam neraca tidak didukung dengan daftar rincian aset yang memadai Aset tetap tidak didukung oleh rincian aset
Sumber: DPKD Kab. Gayo Lues (diolah) Dari tabel 1.2 di atas diketahui bahwa laporan keuangan yang disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Gayo Lues telah disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi pemerintah, sedangkan pengecualian terletak pada pengelolaan barang milik daerah, di mana BPK tidak dapat meyakini kewajaran angka aset tetap yang disajikan dalam neraca Pemerintah Kabupaten Gayo Lues karena nilai aset tersebut tidak didukung dengan daftar rincian aset yang memadai. Setidaknya terdapat tiga kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gayo Lues dalam mengatasi permasalahan pengelolaan barang milik daerah. Pertama, peningkatan kualitas sumber daya aparatur dengan mengikuti pendidikan, pelatihan dan bimbingan teknis di bidang pengelolaan barang daerah. Kedua, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana dalam pengelolaan barang milik daerah, dan ketiga penetapan pengurus barang di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
10
Penetapan pengurus barang SKPD dianggap perlu dilaksanakan karena untuk memperoleh pengelolaan dan laporan barang daerah yang lebih akurat maka proses awal pelaksanaan penatausahaan dilakukan oleh pengurus barang di SKPD. Penetapan pejabat ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (2) point (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang menyatakan bahwa Sekretaris Daerah selaku pengelola, berwenang dan bertanggung jawab menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan barang milik daerah. Penyimpan/pengurus barang adalah pegawai yang ditugaskan untuk menerima, menyimpan, mencatat, mengeluarkan dan membuat laporan barang milik daerah, yang diangkat oleh pengelola untuk masa 1 (satu) tahun anggaran dan bertanggungjawab kepada pengelola melalui atasan langsungnya dan dapat diangkat kembali pada tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan Keputusan Bupati Gayo Lues Nomor 900/319/2011 tentang Katagori Pengurus Barang dan Pemberian Tambahan Penghasilan Berdasaran Beban Kerja Kepada Pegawai Negeri Sipil yang Ditunjuk Sebagai Pengurus Barang Tahun Anggaran 2011, Pemerintah Kabupaten Gayo Lues memberikan insentif berupa tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil yang ditunjuk sebagai pengurus barang SKPD dengan tiga katagori, yaitu. 1. Katagori A, adalah SKPD yang mengelola aset dalam jumlah besar, jenisnya banyak, bentuknya bermacam-macam, kompleksitas tinggi, dan/atau sistem operasinya canggih. 2. Katagori B, adalah SKPD yang mengelola aset dalam jumlah sedang (tidak terlalu besar), jenisnya tidak terlalu banyak, bentuknya kurang beragam/tidak
11
rumit, tingkat kompleksitasnya sedang, dan/atau sistem operasinya tidak terlalu sulit/canggih. 3. Katagori C, adalah SKPD yang mengelola aset dalam jumlah kecil, jenisnya terbatas, bentuknya sederhana, tingkat kompleksitasnya rendah dan/atau sistem operasinya sederhana. Namun kebijakan yang telah dilaksanakan lebih dari dua tahun ini belum juga mampu mendorong perubahan terhadap opini BPK atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Gayo Lues, sehingga perlu dilakukan analisis terhadap efisiensi penatausahaan barang milik daerah dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengurus barang SKPD di wilayah Kabupaten Gayo Lues. 1.1.1
Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, diketahui bahwa opini yang
diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan dan kinerja Pemerintah Kabupaten Gayo Lues sampai dengan tahun 2011 adalah Wajar Dengan Pengencualian (WDP), di mana permasalahan utama terletak pada pengelolaan aset/barang milik daerah. Terkait hal tersebut, maka penelitian ini menitikberatkan pada analisis efisiensi penatausahaan barang milik daerah pada SKPD yang berada dalam wilayah Kabupaten Gayo Lues dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengurus barang SKPD. Lebih lanjut rumusan masalah dituliskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapakah nilai efisiensi penatausahaan barang milik daerah yang dikelola SKPD pada Pemerintah Kabupaten Gayo Lues? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kinerja pengurus barang SKPD?
1.2 Keaslian Penelitian
12
Penelitian terkait efisiensi dan kinerja telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain. 1. Sampelalong (2007), menganalisis tentang sistem akuntasi keuangan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Tana Toraja, alat analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan metoda descriptive analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor sumber daya manusia terutama keahlian dan ketersediaan fasilitas merupakan penghambat implementasi sistem akuntansi keuangan di Kabupaten Tana Toraja. 2. Wahyudi (2009), meneliti tentang efisiensi relatif kantor cabang Bank Pembangunan Daerah Bali tahun 2002-2007: Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat efisiensi antarkantor cabang bank pembangunan daerah Bali dari tahun 2002-2007 dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) dan mengetahui aspek-aspek yang memberikan kontribusi terhadap pencapaian tingkat efisiensi dan memberikan arah kebijakan perbaikan kinerja efisiensi kantor cabang berdasarkan analisis efisiensi relatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perolehan nilai efisiensi radial seluruh kantor cabang Bank Pembangunan Daerah Bali relatif baik, yaitu rata-rata sebesar 93,55 persen. Kontribusi terbesar terhadap pencapaian nilai efisiensi selama periode penelitian adalah jumlah pegawai untuk variabel input dan jumlah debitur untuk variabel output. 3. Al Aqshar (2012), menganalisis tentang pemungutan pendapatan asli daerah menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA) studi pada Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi pemungutan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menganalisis pengaruh efisiensi
13
pemungutan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Satuan Kerja Perangkat
Daerah
menghasilkan
(SKPD)
pendapatan.
Pemerintah Alat
analisis
Kabupaten
Aceh
Besar
yang
yang digunakan
adalah
Data
Envelopment Analysis (DEA) untuk menganalisis efisiensi pemungutan PAD dan regresi linear sederhana untuk menganalisis pengaruh pemungutan terhadap PAD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah merupakan SKPD yang konsisten efisien dalam melakukan pemungutan PAD dengan efisiensi 100 persen selama periode penelitian, sedangkan efisiensi pemungutan berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD dan mampu menjelaskan PAD sebesar 28,36 persen. 4. Mali (2012), menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Distrik Liquica, Timor Leste. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor internal meliputi umur, pelatihan, masa kerja, gaji atau upah, tempat tinggal, fasilitas dan faktor eksternal meliputi sikap dan pemanfaatan penyuluh pertanian lapangan terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan di Distrik Liquica Timor Leste. Alat analisis yang digunakan adalah regresi berganda untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pelatihan dan sikap penyuluh pertanian lapangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan. 5. Pora (2012), menganalisis efisiensi relatif pelaksanaan anggaran pendapatan dan belaja daerah di Provinsi Maluku Utara tahun 2008-2010. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi relatif kinerja pelaksanaan penyerapan anggaran di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terhadap Anggaran Pendapatan
14
dan Belanja Daerah (APBD) di Provinsi Maluku Utara tahun 2008-2010. Alat analisis yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA). Hasil penelitian dengan menggunakan asumsi Constant Returns to Scale (CRS) hanya satu SKPD yang efisien secara relatif selama tiga tahun pengamatan sedangkan dengan menggunakan asumsi Variable Return to Scale (VRS) terdapat sembilan SKPD yang efisien secara relatif selama tiga tahun pengamatan. 6. Ratnasari (2012), menganalisis tingkat efisiensi bank persero dan bank swasta nasional devisa di Indonesia tahun 2005-2010. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi bank persero dan bank swasta nasional devisa di Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA). Input yang digunakan yaitu biaya tenaga kerja, biaya pendanaan, dan biaya modal fisik dan output yang digunakan adalah kredit yang diberikan kepada pihak terkait bank, kredit yang diberikan kepada pihak ketiga, dan surat berharga yang dimiliki oleh bank. Hasil penelitian menunjukkan bank-bank yang mampu mempertahankan tingkat efisiensi optimal selama masa periode penelitian pada kelompok bank persero adalah Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Mandiri. Dan pada kelompok bank swasta nasional devisa antara lain bank Bukopin, Bank Central Asia, Bank Sinarmas, dan Bank Panin. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu terletak pada objek penelitian, waktu penelitian dan lokasi penelitian. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dalam hal efisiensi organisasi atau satuan kerja dan kinerja aparatur pelaksana.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
15
1.3.1 Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah. 1. Untuk menganalisis nilai efisiensi penatausahaan barang milik daerah pada SKPD di Kabupaten Gayo Lues dengan menggunakan metoda Data Envelopment Analysis (DEA). 2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pengurus barang SKPD di Kabupaten Gayo Lues. 1.3.2 Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah. 1. Dapat memberikan informasi yang tepat bagi pengambil kebijakan yaitu Kepala Daerah Kabupaten Gayo Lues sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah terhadap kinerja SKPD dalam pengelolaan barang milik daerah yang diukur dari tingkat efisiensinya. 2. Dapat memberikan rekomendasi atau langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam upaya meningkatkan efisiensi penatausahaan barang milik daerah di Kabupaten Gayo Lues. 3. Dapat
memberikan
informasi
yang
tepat
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kinerja pengurus barang SKPD. 1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut: BAB I Pengantar memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka Dan Alat Analisis, menguraikan tentang tinjauan pustaka, alat analisis yang digunakan dalam penelitian. BAB III Analisis Data dan Pembahasan, menguraikan tentang cara penelitian, analisis data, dan pembahasan. BAB IV Kesimpulan Dan
16
Saran, memuat kesimpulan penelitian dari analisis data yang dilakukan, keterbatasan penelitian dan saran atau rekomendasi untuk Pemerintah Kabupaten Gayo Lues.