BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Di negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan keanekaragaman budaya majemuk seperti Indonesia ini, pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralis disadari memang sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan (Ismail, 2005: 1). Dengan pemberian otonomi secara luas kepada daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing daerah dalam rangka
mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat
di
daerahnya,
dengan
memperhatikan salah satunya prinsip keistimewaan dan kekhususan serta potensi daerah, dengan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai dasar implementasi otonomi daerah, menjadi landasan hukum utama bagi daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat
dengan
meningkatkan
pelayanan
publik,
dan
memberdayakan serta meningkatkan peran serta masyarakat. Lebih lanjut mengenai daerah otonom, daerah otonom (yang selanjutnya disebut daerah) adalah kesatuan masyarakat hukum dalam suatu wilayah yang mempunyai batas yang jelas dan tegas dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat dalam wilayahnya dengan prakarsa sendiri, dengan didasari oleh aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka 6 Undang-
1
2
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Daerah diarahkan mampu secara mandiri mengurus rumah tangga daerahnya sendiri dengan kewenangan yang luas, yang pada akhirnya bertujuan agar kesejahteraan masyarakat bisa lebih nyata terwujud. Dalam implementasinya, penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam era otonomi daerah ini, porsi bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan sumber-sumber lainnya) masih relatif besar. Untuk dapat mewujudkan otonomi yang nyata dan mampu membiayai kegiatan-kegiatan baik dalam bidang pemerintahan, pembangunan maupun kemasyarakatan secara mandiri, daerah dituntut untuk dapat menggali potensi pendapatannya sendiri melalui apa yang disebut dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan daerah lainnya yang sah. Syaukani, dkk. (2002: 174) berpendapat bahwa otonomi daerah seharusnya menunjang kelancaran pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional untuk daerah. Otonomi daerah juga membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan dalam mengoptimalkan pendayagunaan ekonomi di daerah, sehingga memungkinkan melahirkan prakarsa daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, kemudahan perizinan usaha, pembangunan infrastruktur, yang kesemuanya menunjang perputaran ekonomi di daerah. Kemampuan daerah dalam berotonomi adalah dengan meminimalkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah pusat yang didasari kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Menurut Simanjuntak (2000),
dalam bidang keuangan, tingkat
kemandirian daerah di Indonesia baru mencapai 30 persen, padahal apabila dilihat
3
dari aspek finansial, rasio untuk dapat melaksanakan otonomi daerah harus mencapai setidaknya sebesar 60 persen atau lebih. Sebagai contoh, daerah-daerah di India mempunyai tingkat kemandirian keuangan sebesar 65 persen dan bahkan di Cina sudah mencapai 100 tingkat kemandirian keuangannya. Dengan demikian upaya daerah untuk meningkatkan PAD-nya agar secara nyata mampu menyelenggarakan otonomi daerah, harus terus diupayakan oleh kabupaten/kota di Indonesia, seiring adanya desentralisasi kewenangan termasuk desentralisasi fiskal (lihat Ismail, 2005: 18). Adanya desentralisasi fiskal memungkinkan masing-masing daerah menentukan sumber-sumber penerimaan bagi daerahnya, sesuai dengan potensinya masing-masing (Ismail, 2005: 12). Kewenangan daerah dalam hal fiskal tersebut diwujudkan oleh daerah dengan memungut salah satu potensi pendapatan daerah yaitu berasal dari pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa salah satu jenis pajak kabupaten/kota adalah Pajak Bea Perolehan Hal atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang menggunakan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagai dasar pengenaan pajak tersebut. Salah satu kabupaten di Indonesia yang melaksanakan pemungutan pajak BPHTB sebagai pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tersebut adalah Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banyumas merupakan salah satu bagian wilayah Provinsi Jawa Tengah terletak diantara 108 39’17”-109 27’15” Bujur Timur dan 7 15’05”-7 37’10” Lintang Selatan. Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 Kecamatan dan berbatasan dengan wilayah beberapa kabupaten, yaitu: 1. sebelah utara dengan Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang;
4
2. sebelah timur dengan Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen; 3. sebelah selatan dengan Kabupaten Cilacap; 4. sebelah barat dengan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Brebes. Letak Kabupaten Banyumas tepat berada di tengah-tengah wilayah Jawa Tengah, sehingga lokasinya sangat strategis dan menjadi persimpangan jalur dari segala arah yang membuat kegiatan perekonomian di daerah tersebut berkembang cukup pesat, dan menarik untuk dijadikan objek penelitian. Wilayah Banyumas sendiri memiliki luas 132.759 Ha atau sekitar 4,08 persen dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah (3,254 juta Ha). Secara administratif wilayah seluas 132.759 Ha tersebut, terdiri dari 27 kecamatan yang terbagi lagi menjadi 301 desa dan 30 kelurahan.
Sumber: BPS Kabupaten Banyumas, 2013 Gambar 1.1 Peta Wilayah Kabupaten Banyumas
5
Kondisi ekonomi secara makro di Kabupaten Banyumas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, setidaknya dapat dilihat dari indikator ekonomi dalam 3 tahun terakhir. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan menunjukkan PDRB per kapita masyarakat Kabupaten Banyumas tahun 2010 mencapai Rp2.994.200,00, dan meningkat menjadi Rp3.137.300,00 pada tahun 2011, dan meningkat lagi menjadi Rp3.257.000,00 pada tahun 2012. Atas dasar harga berlaku, PDRP per kapita masyarakat Kabupaten Banyumas mencapai Rp6.648.000,00 pada tahun 2010, meningkat menjadi Rp7.318.900,00 pada tahun 2011, dan mengalami peningkatan lagi pada tahun 2012 menjadi Rp7.965.200,00. Adapun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyumas mencapai 5,77 persen pada tahun 2010, naik menjadi 5,86 persen pada tahun 2011, dan naik lagi menjadi 5,97 persen di tahun 2012. Kondisi ekonomi makro di Kabupaten Banyumas berdasarkan PDRB dan pertumbuhan ekonomi dalam kurun 3 tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banyumas, 2010-2012 Uraian
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun 2012
4.654,6
4.927,4
5.221,5
10.335,9
11.494,8
12.768,6
PDRB per Kapita ADHK (dalam Ribu Rp)
2.994,2
3.137,3
3.257
PDRP per Kapita ADHB (dalam Ribu Rp)
6.648,0
7.318,9
7.965,2
Pertumbuhan Ekonomi 5,77 (dalam %) Sumber: BPS Kabupaten Banyumas, 2013
5,86
5,97
PDRB ADHK(2000=100) (dalam Miliar Rp) PDRB ADHB (dalam Miliar Rp)
6
Sebagai daerah otonom sebagaimana daerah-daerah lain, Kabupaten Banyumas tentu dituntut untuk mempunyai kemampuan fiskal yang cukup guna membiayai
kegiatan-kegiatan
pemerintahan,
kemasyarakatan
maupun
pembangunan daerah. Kemampuan fiskal daerah otonom yang baik tentunya bersumber dari potensi dan kemampuan daerah itu sendiri, dengan meminimalisir sumber-sumber dari pihak lain. Upaya tersebut diwujudkan dengan menggali berbagai potensi fiskal yang disebut Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Kabupaten Banyumas yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah selama 5 tahun dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada tahun 2009 total PAD yang diterima Pemerintah Kabupaten Banyumas tercatat Rp120.520.361.681,00, dan tahun 2013 meningkat menjadi sebesar Rp308.349.434.319,00 atau mengalami peningkatan sebesar 155,85 persen dibanding tahun 2009. Penerimaan PAD Kabupaten Banyumas selama kurun 5 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.2 PAD Kabupaten Banyumas, 2008-2012 Sumber PAD
Th. 2009 (Rp)
Th. 2010 (Rp)
Th. 2011 (Rp)
Th. 2012 (Rp)
Th. 2013 (Rp)
Pendapatan Pajak Daerah
23.497.797.611
29.101.072.601
45.245.652.699
54.752.317.980
111.290.149.783
Pendapatan Retribusi Daerah
26.893.819.757
34.543.065.671
43.420.190.978
40.751.972.279
35.210.951.606
Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
5.977.416.733
6.511.855.992
7.341.191.014
8.798.974.482
10.578.804.726
64.151.327.580
94.736.431.370
95.892.646.128
137.803.244.577
151.269.528.204
Total PAD
120.520.361.681
164.892.425.634
191.899.680.819
242.106.509.318
308.349.434.319
Total APBD
1.063.750.026.484
1.221.546.292.440
1.593.406.479.067
1.815.453.435.554
2.037.636.075.236
11,33%
13,50%
12,04%
13,34%
15,13%
Lain-lain PAD yang Sah
Rasio PAD terhadap APBD
Sumber : LKPD Kabupaten Banyumas, 2009-2013
7
Untuk rasio PAD terhadap APBD setiap tahunnya selama 5 tahun dari tahun 2009 sampai dengan 2013 juga mengalami kenaikan. Pada tahun 2009 rasio PAD terhadap APBD sebesar 11,33 persen, tahun 2010 meningkat menjadi 13,50 persen, tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 12,04 persen, tahun 2012 rasio PAD terhadap APBD kembali meningkat menjadi sebesar 13,34 persen, serta pada tahun 2013 rasio PAD terhadap APBD telah mencapai 15,13 persen. Peningkatan pendapatan yang terlihat menonjol dalam Tabel 1.2 adalah kenaikan yang sangat tinggi berasal dari pos pendapatan pajak daerah yaitu dari Rp54.752.317.980 di tahun 2012 menjadi Rp111.290.149.783 di tahun 2013. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Banyumas pada tahun 2013 secara resmi memberlakukan PBB yang sebelumnya merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat menjadi pajak daerah yang dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Secara keseluruhan, data yang ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap APBD Kabupaten Banyumas memperlihatkan peranan PAD dalam menyumbang pendapatan daerah masih relatif kecil. Peran PAD yang masih kecil dapat diupayakan
dengan
senantiasa
melakukan
kajian-kajian
dengan
mempertimbangkan hal-hal terkait dengan penggalian potensi PAD. Lebih lanjut mengenai karakteristik Kabupaten Banyumas, pusat kegiatan masyarakat Kabupaten Banyumas berada di wilayah Kota Purwokerto lebih khusus lagi Kecamatan Purwokerto Timur. Kecamatan Purwokerto Timur bisa disebut sebagai Central Bussiness District (CBD) karena pusat pemerintahan, dan pusat kegiatan perekonomian sebagian besar berlokasi di wilayah ini. Dengan luas wilayah mencapai 842 Ha, Kecamatan Purwokerto Timur dibagi dalam 6 wilayah kelurahan yaitu Sokanegara, Kranji, Purwokerto Wetan, Purwokerto Lor,
8
Arcawinangun dan Mersi. Sebagai pusat kegiatan bisnis menjadikan harga properti di wilayah Kecamatan Purwokerto Timur termasuk yang tertinggi di wilayah Kabupaten Banyumas. Bahkan, begitu pesatnya pertumbuhan harga properti di wilayah tersebut sehingga wilayah perkotaan Purwokerto menjadi wilayah dengan angka inflasi bidang properti tertinggi di Jawa Tengah pada tahun 2013 yang lalu, bahkan angka inflasi tersebut lebih tinggi dari angka inflasi Jawa Tengah sebagai provinsi. Hal tersebut ditunjukkan dalam diagram sebagai berikut.
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah, 2014
Gambar 1.2 Inflasi Bidang Properti Provinsi dan 4 Kota Besar Jawa Tengah, 2013 Pesatnya pertumbuhan sektor properti menjadi potensi yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan bagi daerah melalui pemungutan pajak properti seperti Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (pajak BPHTB). Walaupun pada tahun 2013 proporsi Pajak BPHTB terhadap pajak daerah mengalami penurunan, secara lengkap proporsi pajak BPHTB terhadap pajak daerah, PAD dan APBD dapat dilihat dalam tabel berikut.
9
Tabel 1.3 Pajak Daerah Kabupaten Banyumas, 2011-2013 Pendapatan Pajak Daerah
2011 (Rp)
Pajak Hotel
2012 (Rp)
2013 (Rp)
2.366.987.292
2.421.219.638
3.814.325.446
Pajak Restoran
.360.435.776
1.476.463.381
1.881.900.698
Pajak Hiburan
762.438.877
932.632.277
1.380.340.403
Pajak Reklame
1.176.207.256
1.973.696.891
2.354.935.033
24.208.841.877
27.613.759.106
32.793.199.088
Pajak Pengambilan Batuan & Mineral Bukan Logam
385.780.127
172.572.008
219.603.602
Pajak Parkir
115.354.978
96.656.845
120.728.630
Pajak Air Bawah Tanah
262.268.713
414.275.758
1.539.360.181
14.607.337.803
19.651.042.076
20.939.992.143
-
-
46.245.764.559
Total Pendapatan Pajak Daerah
45.245.652.699
54.752.317.980
111.290.149.783
Total PAD
191.899.680.819
242.106.509.318
308.349.434.319
Total APBD
1.593.406.479.067
1.815.453.435.554
2.037.636.075.236
Rasio Pajak BPHTB terhadap Pajak Daerah
32,28%
35,89%
18,82%
Rasio Pajak BPHTB terhadap APBD
0,92%
1,08%
1,03%
7,61%
8,12%
6,79%
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan
Rasio Pajak BPHTB terhadap PAD Sumber : LKPD Kabupaten Banyumas, 2011-2013
Keberadaan Pajak BPHTB sebagai salah satu penyumbang utama PAD yang sangat vital bagi daerah seperti Kabupaten Banyumas dewasa ini masih menemui beberapa masalah, diantaranya adalah penentuan NPOP yang belum sepenuhnya mengacu pada nilai pasar riil properti, sehingga daerah kehilangan potensi/peluang penerimaan pajak yang seharusnya bisa lebih tinggi dari yang diterima selama ini. NPOP yang dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB selama ini hanya didasarkan pada laporan pihak wajib pajak saja, dan sangat rentan manipulasi. Secara umum, yang terjadi di Kabupaten Banyumas adalah pelaporan NPOP oleh para wajib pajak tidak sesuai dengan harga transaksi sebenarnya (untuk kasus jual beli) atau tidak sesuai dengan nilai pasar properti riil (untuk kasus perolehan hak atas tanah dan bangunan selain jual beli). Nilai yang
10
dijadikan dasar pelaporan NPOP adalah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang notabene jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai pasar riil. Dalam kondisi normal, NJOP sebenarnya tidak boleh digunakan sebagai dasar perhitungan NPOP BPHTB karena NJOP merupakan dasar pengenaan PBB. NJOP hanya boleh digunakan sebagai dasar perhitungan NPOP jika harga transaksi atau nilai pasar properti yang dilaporkan lebih rendah dari NJOP. Pada kenyataannya, tidak ada harga atau nilai pasar properti di Kabupaten Banyumas yang lebih rendah dari NJOP, sehingga ketika dalam pelaporan NPOP para wajib pajak menggunakan nilai NJOP, maka dapat dipastikan NPOP tersebut tidak sesuai dengan harga atau nilai pasar propertinya. Ketidaksesuaian NPOP terhadap harga transaksi maupun nilai pasar properti, berpeluang mengurangi maksimisasi potensi penerimaan pajak properti dalam bentuk pajak BPHTB. Pajak BPHTB sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang potensial, sangat diharapkan mampu untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah yang tentunya diarahkan untuk mensejahterakan masyarakat. Tingkat urgensi yang tinggi untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari Pajak BPHTB sebagai sumber pendanaan pembangunan di daerah, menjadi latar belakang dilakukannya penelitian untuk menganalisis akurasi NPOP sebagai dasar pengenaan Pajak BPHTB terhadap nilai pasar properti dengan mengambil studi di Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dimasa mendatang ada upaya pengelolaan Pajak BPHTB yang lebih baik, dan keberhasilan penerimaan Pajak BPHTB yang lebih optimal, yang pada akhirnya mendatangkan benefit yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat Kabupaten Banyumas khususnya.
11
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu masalah dalam penelitian ini yaitu seberapa akurat penetapan NPOP sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB di Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas jika dibandingkan dengan nilai pasar propertinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis akurasi NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB terhadap nilai pasar properti dengan mengukur rasio NPOP terhadap nilai pasar properti menggunakan Assessment Ratio Studi (ASR), dan mengukur variabilitas NPOP menggunakan koefisien dispersi (Coefficient of Dispersion/COD), Price Related Differential (PRD), dan Price Related Bias (PRB), serta menghitung estimasi kehilangan pajak apabila akurasi NPOP terhadap nilai pasar properti adalah rendah.
1.3 Keaslian Penelitian Berbagai penelitian mengenai perbandingan nilai pajak properti terhadap nilai pasar properti telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, baik yang dilakukan di Indonesia maupun di negara lain di luar negeri. Hasil penelitianpenelitian tersebut menunjukkan beberapa hal yang secara umum menunjukkan kesamaan atau terdapat pula perbedaan. Penelitian mengenai akurasi NPOP terhadap nilai pasar properti di Kabupaten Banyumas sampai dengan saat ini belum pernah dilakukan, namun beberapa penelitian mengenai studi assessment ratio telah banyak dilakukan dan dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini antara lain.
12
1. Kurniawan (2005) meneliti tentang analisis penilaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terhadap nilai pasar: studi kasus Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Hasil analisis menunjukkan terjadi under assessment terhadap penetapan NJOP baik di perumahan dan perkampungan sehingga ada potensi kehilangan pajak (tax-loss), terjadinya ketidakadilan (inequity) sehingga terjadi vertical inequity, dan juga terjadi progressivitas baik di perumahan dan perkampungan. 2. Pamungkas (2009) melakukan penelitian tentang analisis assessment ratio NJOP tanah Kota Tegal tahun 2008-2009. Hasil penelitian menunjukan bahwa assessment ratio pada kelompok properti perkampungan dan kelompok properti perumahan tidak ditetapkan secara seragam. Rata-rata assessment ratio di kedua kelompok cenderung terjadi regresivitas dan ditetapkan di bawah nilai pasar atau under assessment. 3. Aleknavicius (2011) menganalisis mengenai masalah pajak real properti di Lithuania. Masalah pajak properti di Lithuania menyebabkan sumbangan pajak properti hanya sebesar kurang dari 0,1 persen dari total PDB negara, padahal di negara Eropa lainnya mencapai 1-3 persen dari PDB negara. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Sistem pajak real properti di Lithuania tidak efisien, tidak fleksibel dan tidak adil, karena ada tiga jenis pajak properti yang dalam perhitungannya menggunakan basis, tarif dan metode penilaian yang berbeda pula. Perubahan nilai kena pajak real properti yang baru dapat meningkatkan pendapatan dari perpajakan dan mendorong kota meningkatkan hidup sekitarnya dan infrastruktur. Perubahan nilai pajak tersebut perlu didasarkan pada nilai pasar properti, sehingga perlu
13
meningkatkan model penilaian massal dan teknik rata-rata pasar agar mendekati harga pasar riil. 4. Arnold (2012) melakukan penelitian mengenai upaya meningkatkan sistem pajak di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumbangan pajak properti di Indonesia adalah kurang dari 0,5 persen dari PDB Indonesia, lebih kecil dibanding rata-rata negara ASEAN yaitu sebesar 1,8 persen dari PDB. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa salah satu tantangan dalam merancang pajak properti adalah dalam hal mengevaluasi kembali nilai jual properti sebagai dasar penetapan pajak, terutama untuk properti yang belum ada dalam pasar selama bertahun-tahun, sehingga pajak properti cenderung didasarkan pada nilai properti “kuno” yang tentunya jauh di bawah nilai pasar. Faktor lainnya adalah bahwa hanya sekitar 40 persen dari potensi pendapatan yang diperoleh dari pajak properti dikarenakan kurang menghargai properti. Dalam hal ini, harus dilakukan up date data mengenai nilai jual kembali atas properti sebagai dasar penghitungan pajak properti. 5. Birškytė (2013) melakukan penelitian tentang Determinants of The Property Assessment Uniformity. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Lithuania perlu mengadopsi pajak properti yang universal pada real estate. Dalam sistem pajak properti, ada kebutuhan untuk penilaian, sebagai penentuan nilai properti untuk tujuan perpajakan. Penelitian ini mencoba menguji model empiris berdasarkan data dari Amerika Serikat, sebuah negara yang memiliki sejarah panjang dalam hal perpajakan properti. Model tes yang dilakukan adalah variasi koefisien dispersi (COD), sebuah ukuran yang diakui secara internasional dalam menilai
14
keseragaman. Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur ekonomi dan pasar perumahan menjadi faktor penentu yang paling penting dari keseragaman penilaian properti, sedangkan variabel yang berhubungan dengan lokasi properti dan tingkat pajak tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penilaian keseragaman. 6. Hodge, et.al. (2013) menganalisis Assessment Inequity in a Declining Housing Market: The Case of Detroit. Penelitian tersebut mengevaluasi ketidakadilan vertikal dan horisontal yang dilakukan oleh para penilai dan pemilik properti di Kota Detroit. Hasil penelitian menunjukan bahwa banyak terjadi praktek penilaian
yang
tidak
akurat
dan
kredibel
sehingga
menghasilkan
ketidaksamaan nilai yang signifikan. Secara substansial terdapat perbedaan yang cukup besar antara harga jual properti yang sebenarnya dengan ketetapan nilai yang dihasilkan oleh para penilai. Hal ini mengakibatkan banyak potensi pajak yang hilang sehingga merugikan pemerintah. 7. Strauss (2013) menulis tentang A Sales Ratio Study of the City of Philadelphia’s 2013 Certified and 2014 Proposed Real Estate Assessments. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji tingkat keseragaman dan regresivitas pajak properti di Philadelphia. Dengan menggunakan teknik evaluasi standar, sejumlah besar perhitungan yang telah dilakukan pada data yang tersedia pada tahun 2013, menyimpulkan bahwa pada tahun 2014 diusulkan penilaian ulang terhadap dasar penetapan pajak properti. Tingkat akurasi berdasarkan hasil penelitian menunjukkan penilaian yang dilakukan sangat tidak seragam, dan sangat regresif atau dengan kata lain terdapat ketidakseragaman yang ekstrim dan regresivitas yang ekstrim pula.
15
Mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu tersebut, maka penelitian ini mencoba untuk mereplikasi penelitian-penelitian tersebut, namun dengan beberapa perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu terletak pada lokasi penelitian, objek penelitian, periode penelitian, dan model yang digunakan. Dalam penelitian ini digunakan variabel Assessment Ratio, NPOP, dan nilai pasar properti, dengan alat analisis yaitu analisis assessment ratio. Perbedaan yang signifikan dalam studi mengenai assessment ratio yang selama ini dilakukan pada hampir seluruh penelitian terdahulu pada level pendidikan yang sama adalah membandingkan antara Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan harga transaksi propertinya (NPOP). Penelitian ini berbeda karena merupakan studi assessment ratio yang membandingkan NPOP sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB dengan nilai pasar properti. Sebelum melakukan assessment ratio, penelitian ini diawali dengan perhitungan nilai pasar properti. Hal inilah yang menjadi salah satu unsur utama yang membedakan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya tidak melakukan penilaian, namun hanya berdasarkan data transaksi saja. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diketahui tingkat akurasi NPOP terhadap nilai pasar properti, yaitu meliputi tingkat penilaian dan tingkat keseragaman atau variabilitas penetapan NPOP, serta mengetahui seberapa besar setidaknya opportunity tax yang hilang apabila tingkat akurasi NPOP terhadap nilai pasar properti masih rendah. Hal ini bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi kebijakan bagi daerah penelitian agar di masa mendatang akurasi penetapan pajak properti dapat di tingkatkan, sehingga penerimaan pajak properti yang salah satunya melalui pajak BPHTB dapat lebih dioptimalkan.
16
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Berdasarkan masalah yang dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini diarahkan pada: 1. mengukur tingkat penilaian NPOP BPHTB terhadap nilai pasar properti sehingga diketahui apakah dalam penetapan NPOP jika dibandingkan dengan nilai pasar properti sudah proporsional, atau terjadi under assessment atau over assessment; 2. mengukur variabilitas atau keseragaman NPOP BPHTB sehingga diketahui tingkat keadilan penetapan NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak properti BPHTB; 3. menghitung potensi kehilangan pajak (opportunity tax) dengan asumsi terjadi under assessment dalam penetapan NPOP jika dibandingkan dengan nilai pasar properti. 1.4.2 Manfaat penelitian Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat akurasi penetapan NPOP terhadap nilai pasar properti, yaitu mengetahui tingkat penilaian NPOP terhadap nilai pasar properti, mengetahui tingkat keadilan penetapan NPOP, serta mengetahui besaran potensi pajak yang hilang apabila terbukti tingkat akurasi NPOP yang rendah. Dengan demikian di masa mendatang diharapkan ada upaya pengelolasan Pajak BPHTB yang lebih baik, dengan keberhasilan penerimaan Pajak BPHTB yang lebih optimal, yang pada akhirnya mendatangkan benefit yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat Kabupaten Banyumas khususnya.
17
1.5 Sistematika Penulisan Tesis ini secara garis besar disajikan dengan menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab I Pengantar, memuat latar belakang, rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, memuat tinjauan pustaka, landasan teori, pertanyaan penelitian, dan alat analisis. Bab III Analisis Data, memuat tentang cara penelitian, daerah penelitian, hasil analisis data dan pembahasan, analisis penyebab dan pemecahan masalah, dan perbandingan dengan hasil penelitian sebelumnya. Bab IV Kesimpulan dan Saran, memuat kesimpulan atas hasil analisis, dan saran berdasarkan kesimpulan.