1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Yayasan dipandang sebagai bentuk idiil atau filantropis untuk mewujudkan keinginan manusia dan keberadaannya dirasakan membawa manfaat positif dari sisi kemanusiaan. Berbagai macam yayasan dengan berbagai karakteristiknya dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah yayasan yang bergerak pada bidang pendidikan. Yayasan yang bergerak pada bidang pendidikan diantaranya ada yang mendirikan sekolah, yaitu mulai dari sekolah dasar, menengah, lanjutan sampai
perguruan tinggi, juga mendirikan pusat pelatihan ataupun training dan
sebagainya. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tidak ada satu peraturan yang secara tegas menentukan status hukum dari yayasan. Pertumbuhan yayasan yang tidak diimbangi dengan pengaturan yang memadai, menyebabkan masing-masing pihak yang berkepentingan memberikan penafsirannya sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Ada kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status institusi yayasan, dengan tujuan komersial dan menghindari pajak yang merugikan Negara.1 Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menegaskan kedudukan yayasan sebagai badan hukum. Undang-undang yayasan tersebut kemudian mengalami perubahan, yakni melalui Undang-Undang Nomor 28 1
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Jakarta : Sofmedia, 2009), h. 67.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Undangundang tersebut diharapkan akan menjadi dasar hukum yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan di Indonesia serta menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat. Yayasan dalam menjalankan usahanya, terutama Yayasan Pendidikan Harapan Medan (Yaspendhar) membutuhkan hak penguasaan atas tanah untuk mendirikan sekolah. Hak penguasaan atas tanah tersebut merupakan hak atas tanah yang bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah yang dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara Indonesia maupun warga asing, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.2 Lahirnya Yayasan Pendidikan Harapan pada awalnya merupakan salah satu manifestasi dari kehendak masyarakat yang merasa tertinggal dalam bidang pendidikan karena selama tiga setengah abad berada dalam hegemoni kolonialisme dan dengan munculnya orde baru yang lahir tahun 1966, maka pendidikan ditempatkan pada posisi utama dalarn proses pembangunan. Sejalan dengan itu beberapa tokoh masyarakat Sumatera Utara baik dari kalangan sipil maupun militer pada waktu itu merasa bahwa lembaga pendidikan yang ada selama ini di Sumatera 2
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah (Jakarta : Kencana, 2005), h. 87.
Universitas Sumatera Utara
3
Utara belum dapat menampung anak-anak sekolah apalagi sekolah yang bersifat umum namun bernafaskan Islam. Para tokoh masyarakat tersebut mempunyai ide pendirian sebagai berikut: 1. Untuk membantu pemerintah menanggulangi pendidikan 2. Perlu adanya pendidikan yang lebih baik bagi anak didik, dengan persyaratan a. Mempunyai corak bernafaskan agama (Islam) b. Mempunyai mutu pendidikan yang berkualitas c Mengusahakan pembayaran yang semurah-murahnya Ide tersebut dituangkan dalam AD Yaspendhar sebagai maksud dan tujuan sebagai berikut: 1. Membentuk manusia susila yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa serta mempunyai keinsyafan bertanggung jawab terhadap usaha mewujudkan suatu masyarakat sejahtera berdasarkan ajaran Pancasila. 2. Membantu pemerintah dalam melaksanakan/ mempertinggi pendidikan, pengajaran dan penyebaran ilmu pengetahuan dikalangan anak didik khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya menuju tertib masyarakat ber-Pancasila, segala sesuatu dalam arti kata seluas-luasnya.”3 Diiringi dengan usaha untuk mewujudkannya, hasil rumusan dari pertemuanpertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat tersebut, akhirnya mengalami kemajuan dan menghasilkan, dengan diserahkannya izin pemakaian gedung/ tanah yang terletak di Jl. Imam Bonjol No. 35 oleh pemerintah c.q Dep. P dan K kepada para tokoh masyarakat tersebut. Gedung inilah yang dipergunakan oleh Yaspendhar dan belakangan diadakan perbaikan dan pembangunan baru. Pada awalnya tanah dan gedung yang dimiliki Yaspendhar merupakan bekas sekolah ORANGE SCHOOL, terdaftar atas nama pemiliknya Medansche School Vereeniging dengan Hak Erfpacht. Kemudian setelah kembali ketangan pemerintah, gedung tersebut diserahkan kepada FKIP Negeri, SHD, SMEA
3
Yayasan Pendidikan Harapan, Perwujudan Visi dan Misi Yaspendhar Membangun Kebersamaan dan Profesionalisme Religius Dalam Menghadapi Tantangan Era Globalisasi, (Medan:Yaspendhar,2007) h.1.
Universitas Sumatera Utara
4
Negeri dan PGSLP Negeri. Pada tahun 1958 gedung ini hanya diberikan pemakaiannya kepada IKIP Negeri Medan dan akhirnya kepada IAIN. Setelah pemerintah memindahkan sekolah-sekolah tersebut ke tempat lain yang lebih baik, pada tanggal 5 Januari 1967 diadakan serah terima kepada pihak Perguruan Harapan (Berita Acara Serah Terima No. 53/Perw/D/Skp/67), masing - masing ditanda tangani oleh Alm. Bapak Moh. Alwi Oemry Kepala Perwakilan P dan K Sumatera Utara waktu itu mewakili pihak pemerintah dan Bapak Raja Syahnan SH mewakili pihak Perguruan Harapan.4 Pada masa itu bangunan bekas Orange School tersebut mempunyai luas tanah 5.533 m2, diatasnya berdiri bangunan yang terdiri dari 18 lokal belajar. Saat itu kelengkapan yang dimiliki oleh Yaspendhar sangat sederhana sehingga perlu perbaikan dan penambahan. Perbaikan dan penambahan segera diadakan oleh para pendiri maupun para simpatisan, dengan dana dari dana simpatisan maupun dari dana pribadi para pendiri. Selain itu ada juga dana bantuan yang diterima dari Bapak A.J. Mokoginta yang pada masa itu menjabat Pangkoanda Sum. Kemudian juga dana dari Perwakilan P dan K serta bantuan dari para dermawan. Maka bertepatan pada tanggal 4 Februari 1967 diresmikanlah perguruan ini oleh Bapak A.J. Mokoginta dengan nama PERGURUAN HARAPAN. Pada awalnya perguruan ini semula membuka sekolah 9 tahun, lalu kemudian dipecah menjadi SD dan SMP. Hingga akhirnya menyusul dibukanya Taman Kanak-Kanak. 5 Kemudian setahap demi setahap areal kampus Harapan diperluas oleh Yayasan. Areal kampus I di Jl. Imam Bonjol yang pada mulanya seluas 5.533 m2, yang diperoleh dari pemerintah pada tahun 1967 dan kemudian pada tahun 1976 dimiliki yayasan dengan Hak Guna Bangunan. Seiring dengan bertambah pesatnya 4 5
Ibid, h.2. Ibid, h.3.
Universitas Sumatera Utara
5
kemajuan Yaspendhar dengan semakin meningkatnya jumlah peserta didik yang menimba ilmu pada Yaspendhar maka mau tidak mau perluasan harus dilakukan untuk mengatasi kekurangan infrastruktur sebagai penunjang dalam proses belajar mengajar. Pada tahun 1993 Yayasan berhasil pula membeli sebidang tanah seluas 1297 m2 yang dibeli dari TAMPAK SEBAYANG terletak tepat dipersimpangan Jl. Imam Bonjol / H. Misbah sehingga sangat strategis dan tepat berada disamping karnpus Harapan yang ada. Akhirnya setelah yayasan membayar tanah negara di sekitarnya, tanah yayasan di Kampus I menjadi 1.1 Ha. Selanjutnya berkenaan dengan areal kampus tidak mungkin lagi untuk pembangunan gedung baru, maka pengurus yayasan mengambil keputusan untuk mengembangkan arealnya di tempat yang lain. Untuk itu diadakan peninjauan / penelitian yang cukup lama serta melalui rapat-rapat badan pengurus yayasan, maka pada tahun 1996 yayasan membeli sebidang tanah seluas 46.742 m2 yang berlokasi di Jl. Karya Wisata Ujung sekitar ± 200 meter dari perbatasan kotamadya Medan. Belakangan areal tersebut diperluas lagi dengan membeli tanah disekitamya sehingga seluruhnya mencapai: 6 ha. Pada tahap pertama dibangun Gedung yang direncanakan untuk pembangunan Taman Kanak-kanak. Yang peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada tanggal 2 September 1996 oleh Almarhum Prof. Dr.A. P.Parlindungan, SH selaku Ketua Harian waktu itu6. Mengenai hak atas tanah yang dimiliki oleh Yaspendhar, hendaknya lebih dahulu mengetahui persepsi mengenai pengertian dari hak atas tanah. Hak atas tanah adalah “hak yang memberikan wewenang untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum. Pada dasarnya, tujuan memakai tanah adalah untuk memenuhi dua jenis kebutuhan, yaitu untuk diusahakan dan tempat membangun sesuatu.”7
6
Ibid, h. 9. Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 29. 7
Universitas Sumatera Utara
6
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu hak bersifat primer dan hak bersifat sekunder. Hak primer adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum dalam waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UndangUndang Pokok Agraria terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer dan ada pula yang bersifat sekunder. Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu: 1. Hak Milik atas tanah (HM), 2. Hak Guna Usaha (HGU), 3. Hak Guna Bangunan (HGB), 4. Hak Pengelolaan (HPL) dan 5. Hak Pakai (HP). Sedangkan hak atas tanah bersifat sekunder : adalah hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, hak dinikmati dalam waktu terbatas, lagi pula hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa atas tanah pertanian.8 Urutan pertama dari hak atas tanah yang bersifat primer tersebut adalah hak milik atas tanah, dikarenakan hak milik atas tanah adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat di punyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial ( pasal 20 jo. Pasal 6 UUPA ). Selain itu hak milik juga dapat dialihkan kepada pihak lain. Selanjutnya dalam Pasal 21 UUPA disebutkan subjek yang dapat memperoleh hak milik antara lain ayat : 8
Supriadi, Hukum Agraria (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 64.
Universitas Sumatera Utara
7
(1). “ Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2). Oleh pemerintah ditetapkan badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya”. Sehubungan dengan perintah pada ayat (2) tersebut diatas maka pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanananya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 (PP Nomor 38/1963) Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. dinyatakan: Badan-badan hukum yang disebutkan dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini: a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara Tahun 1958 No. 139); c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.9 Dalam penjelasan umum dari peraturan pemerintah tersebut dikatakan bahwa hanya warga Negara tunggal saja yang pada asasnya dapat mempunyai hak milik atas tanah, bahwa badan hukum-badan hukum dimaksud yang telah di tunjuk oleh pemerintah merupakan suatu pengecualian. Hak tanah untuk badan hukum adalah hak guna bangunan dan hak guna usaha, tergantung pada peruntukan tanahnya. Sedang bagi badan-badan kegamaan dan sosial disediakan hak pakai, yang dapat diberikan dengan cuma-cuma dan dengan jangka waktu yang tidak terbatas. 9
Pasal 1 PP No.38/1963.
Universitas Sumatera Utara
8
Sebagaimana juga dijelaskan oleh Muhammad Yamin dan Rahim Lubis dalam Hukum Pendaftaran tanah : Menurut peraturan perundang-undangan pada umumnya badan hukum tidak diperkenankan menjadi pemegang hak milik atas tanah, oleh karena itu apabila ada badan hukum yang memperoleh hak milik maka hak itu dengan sendirinya menjadi gugur dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Badan hukum yang bersangkutan kemudian dapat memohonkan hak baru yang sesuai dengan penggunaan dan peruntukan tanahnya.10 Dengan kata lain yayasan tidak dibenarkan untuk memperoleh Hak Milik Atas tanah. Konsekuensinya, jika hak tersebut tidak dialihkan kedalam bentuk hak yang lain sesuai dengan peraturan yang berlaku maka hak tersebut dapat hapus atau gugur. Ketentuan mengenai peralihan tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kepmen Agraria/KBPN) Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna bangunan Menjadi Hak Pakai. Yaspendhar sebagai yayasan yang telah bergerak di bidang pendidikan selama lebih dari 44 tahun memiliki hak atas tanah yang berfungsi sebagai salah satu infrastruktur terpenting penunjang terlaksananya kegiatan belajar mengajar pada yayasan. Diantara hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh Yaspendhar salah satunya berasal dari Hak Milik yang dibeli oleh yayasan dari TAMPAK SEBAYANG, yang bersebelahan dengan Kampus Harapan I tepat dipersimpangan Jalan Imam Bonjol dan Jalan H. Misbah.
10
Mhd. Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah (Bandung : Mandar Maju, 2008), h. 302.
Universitas Sumatera Utara
9
B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik permasalahan yang
dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan? 2. Bagaimanakah kepastian hukum terkait pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan? 3. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan. 2. Untuk mengetahui kepastian hukum terkait pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan padaYaspendhar Medan. 3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan pada Yaspendhar Medan. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengembangan atau kemajuan di bidang ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
Universitas Sumatera Utara
10
2. Secara praktik, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada yayasan yang akan melaksanakan perubahan Hak Milik atas tanah menjadi Hak Guna Bangunan. E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi, data yang ada dan penelusuran lebih lanjut pada kepustakaan Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa belum pernah ada penelitian sebelumnya yang berjudul “PELAKSANAAN PERUBAHAN HAK MILIK ATAS TANAH MENJADI HAK GUNA BANGUNAN PADA YASPENDHAR MEDAN (Studi: Kampus I-Jln. Iman Bonjol No. 35 Medan)”. Adapun judul tesis yang memiliki unsur kemiripan mengenai pokok pembahasan dengan penelitian ini antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Herri Syahputra, Nomor Induk Mahasiswa 087011088, dengan judul: Proses Peningkatan Hak Atas Tanah dari Status Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Milik Pada Perumahan Nasional Martubung Medan, dengan perumusan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana proses pelaksanaan peningkatan status hak atas tanah dari hak guna bangunan menjadi hak milik di Perumnas Martubung Medan? b. Bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan juga peranan Kantor Pertanahan dalam pelaksanaan peningkatan status hak atas tanah dari hak guna bangunan menjadi hak milik di Perumnas Martubung?
Universitas Sumatera Utara
11
c. Apa saja yang menjadi hambatan bagi terlaksananya peningkatan status hak atas tanah dari hak guna bangunan menjadi hak milik di Perumnas Martubung? 2. Penelitian Yang dilakukan oleh Saudara Bukhari Muhammad, Nomor Induk Mahasiswa 097011129, dengan judul : Perlindungan Pemegang Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan PT, Kereta Api Indonesia (Studi Penelitian di Kabupaten Aceh Utara), dengan perumusan masalah: a. Apakah PT, Kereta Api Indonesia (Persero) mempunyai kewenangan dalam memberikan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan miliknya? b. Bagaimana status hak atas tanah dan bangunan yang berdiri diatas Hak Pengelolaan PT, Kereta Api Indonesia (Persero) setelah berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan? c. Bagaimana pelindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan diatas hak pengelolaan PT. Kereta Api Indonesia (Persero)? 3. Penelitian yang dilakukan oleh Saudara Robert Purba, Nomor Induk Mahasiswa 017011054, dengan judul : Konsekuensi Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Dengan perumusan masalah: a.
Bagaimana Pelaksanaan yayasan setelah diberlakukan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ditinjau dari segi pendirian, sruktur
Universitas Sumatera Utara
12
organisasai, tujuan pendidikan,sifat dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh yayasan? b. Apakah yang menjadi konsekuensi hukum terhadap yayasan sebagai badan hukum setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Yayasan? c. Bagaimanakah pandangan para organ yayasan terhadap keberadaan undang undang yayasan tersebut? Akan tetapi baik judul maupun materi/substansi dan permasalahan serta pengkajian dan penelitiannya berbeda sama sekali, dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penelitian.11 Suatu kerangka
teori
mengorganisasikan
11
bertujuan dan
untuk
menyajikan
mengimplementasikan
cara-cara hasil-hasil
untuk
bagaimana
penelitian
dan
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet ke I (Bandung : Bandar Maju, 1994),
h. 80.
Universitas Sumatera Utara
13
menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu.12 Sedang dalam kerangka konsepsional
diungkapkan
beberapa
konsepsi
atau
pengertian
yang
akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.13 Fungsi teori adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14 Dalam menganalisa data yang diperoleh sehubungan dengan pelaksanaan penurunan status sertifikat tanah hak milik menjadi hak guna bangunan pada yayasan menggunakan teori fisik yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Bahwa apa yang dikatakan sebagai Physical person adalah konsep biologis-psikologis, bukan konsep hukum sebagai mana dikutip : Physical person bukan entitas untuk hukum atau kognisi hukum, karena hukum tidak memahami manusia dalam totalitasnya, dengan semua fungsi mental dan fisiknya. Rupanya hukum hanya menetapkan tindakan tindakan manusia tertentu sebagai kewajiban atau hak. Dengan kata lain, manusia menjadi bagian dari komunitas yang dibentuk oleh sebuah sistem hukum tidak secara keseluruhan, tetapi hanya beberapa tindakannya yaitu tindakan yang diatur oleh sistim hukum komunitas tersebut. Oleh karena itu mungkin untuk seorang manusia menjadi bagian dari beberapa komunitas hukum yang berbeda pada saat yang sama, dan mungkin untuk perilakunya diatur oleh sistem hukum yang berbeda.15 Physical person adalah pembawa semua kewajiban dan hak. Dengan kata lain mematahkan
konsep
karakter
biologis-psikologisnya
yang
menyesatkaan.
Menyesatkan karena konsep tersebut menggandakan objek kognisi antara manusia 12
Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cet ke II (Jakarta : Rineka Cipta, 1998),
h. 19. 13
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I Cet ke VII (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 7. 14 Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), h. 35. 15 Hans kelsen, Pengantar Teori Hukum, Penerjemah Siwi Purwandari, (Bandung : Nusa Media, 2008), h. 85.
Universitas Sumatera Utara
14
dalam pengertian biologis dan manusia secara psikologis. Sedangkan Legal person seperti halnya Physical person adalah sebuah sistem hukum yang mengatur perilaku sejumlah manusia, misalnya anggaran dasar sebuah badan hukum, yang merupakan legal person dari badan hukum tersebut. dengan demikian karena Physical person bukan manusia maka Legal person juga bukan supra manusia. Legal person merubah perilaku seorang manusia menjadi kewajiban atau hak tanpa menentukan sendiri subjek individual kewajiban atau hak tersebut, bahwa kewajiban dan hak diberikan kepada manusia secara tidak langsung, yaitu diperantarai oleh sub sistem hukum dalam hal ini yayasan sebagai badan hukum. Esensi dari apa yang dinamakan badan hukum, yang dipersamakan oleh ilmu hukum tradisional dengan orang secara fisik, digambarkan dengan sangat jelas dalam analisis terhadap kasus kasus tertentu dari badan hukum, yakni badan usaha. Badan hukum didefinisikan sebagai komunitas individu yang terhadap mereka tatanan hukum menetapkan kewajiban dan memberikan hak untuk tidak dianggap sebagai kewajiban dan hak individu-individu yang membentuk badan usaha sebagai anggotanya.16 Dapat diasumsikan jika sebuah Yayasan membeli sebidang tanah, hak untuk mengunakan tanah itu, kepemilikan atas lahan tanpa ada campur tangan pihak lain dalam penggunaannya merupakan hak Yayasan, bukan hak para anggotanya. Jika hak ini dilanggar maka Yayasan itulah, bukan anggota perseorangan yang harus mengajukan gugatan ke pangadilan. Begitu juga kewajiban Yayasan sebagai badan
16
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerjemah Raisul Muttaqien, (Bandung : Nusa Media, 2008), h.196.
Universitas Sumatera Utara
15
hukum untuk melaksanakan peralihan hak atas tanah hak milik yang dimiliki oleh yayasam menjadi hak lain yang sesuai dengan peruntukannya yang diberikan oleh otoritas yang berwenang untuk itu. Kewajiban tersebut adalah kewajiban yayasan sebagai badan hukum atau organ, bukan kewajiban individu anggotanya. Menurut Hans Kelsen: Konsep pribadi fisik hanya sebagai konstruksi pemikiran hukum dan sepenuhnya berbeda dari konsep manusia, maka yang disebut pribadi fisik sesungguhnya adalah subjek hukum. Hukum erat hubungannya antara manusia sebagai subjek fisik dengan subjek hukum menurut pengertian teknis. Subjek hukum (dalam pengertian teknis yang sempit) adalah korporasi. Korporasi adalah sekelompok individu yang diperlakukan oleh hukum sebagai kesatuan, yakni sebagai pribadi yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berbeda dari hak dan kewajiban individu yang membentuknya. Korporasi dipandang sebagai pribadi karena peraturan hukum menetapkan hak-hak dan kewajiban tertentu menyangkut kepentingan anggota korporasi, tetapi tidak merupakan hak dan kewajiban dari para anggota, dan oleh sebab itu ditafsirkan sebagai hak dan kewajiban korporasi itu sendiri. Hak dan kewajiban itu diciptakan terutama oleh tindakan organ korporasi.17 Konsep mengenai Hak dan Kewajiban korporasi tersebut juga berlaku bagi yayasan, dimana hak dan kewajibannya diciptakan oleh tindakan organ yayasan. Bahwa Perbuatan hukum yayasan, misalnya dalam transaksi hukum berupa penandatanganan kontrak atau mendaftarkan hak atas tanahnya, bahwa yayasan tersebut memenuhi kewajiban hukum atau tidak mematuhi kewajiban hukum, hal ini menegaskan bahwa yayasan adalah subyek dari kewajiban hukum dan hak hukum, karena tatanan hukum menetapkan hak dan memberikan kewajiban kepadanya. Melalui perilaku dari individu/organ yayasan itulah badan hukum dalam hal ini yayasan bertindak. 17
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Alih Bahasa Drs. Somardi (Jakarta : BEE Media Indonesia, 2007), h. 122.
Universitas Sumatera Utara
16
Menurut ajaran Yuridis-Dogmatis: Tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Menurut aliran ini meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian.18 Selanjutnya Van Kan mengatakan, bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.19 Kepastian hukum yang bersifat Rechtscadaster merupakan tujuan tunggal dari pendaftaran tanah yang juga merupakan kewajiban dari pemerintah20. Rechtscadaster ini artinya hanya untuk pendaftaran tanah saja dan juga hanya menyangkut apa haknya dan siapa pemiliknya. Dengan kata lain bukan untuk kepentingan perpajakan.21 Oleh karena itu
negara wajib memberi jaminan kepastian hukum
terhadap hak atas tanah tersebut sehingga lebih mudah bagi yayasan untuk mempertahankan haknya terhadap gangguan pihak lain. Karena dalam kenyataannya sampai dengan saat ini baru kurang lebih dua puluh persen bidang tanah yang 18
Achmad Ali, Menguak Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis) (Jakarta : Gunung Agung, 2002), h. 83. 19 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), h. 44-45. 20 Mhd. Yamin dan Rahim Lubis, Op Cit, h. 167. 21 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Maju,1994), h.13
Universitas Sumatera Utara
17
terdaftar, seyogianya tetap dipertahankan asas bahwa ketiadaan alat bukti tertulis menjadi penghalang bagi seseorang untuk membuktikan hak atas tanahnya melalui tata cara berdasarkan penetapan pemerintah maupun berdasarkan undang-undang. pengakuan hak berdasarkan penguasaan secara de facto selama jangka waktu tertentu dan diperkuat dengan kesaksian masyarakat serta lembaga yang berwenang, baik berdasarkan penetapan pemerintah maupun berdasarkan undang-undang. Pengakuan hak ini dapat menjadi alas untuk pendaftaran tanah, yang kemudian dapat menjamin kepastian hukum atas tanah bagi setiap pemilik tanah (sesuai Pasal 19 UUPA).22 Jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah penting bagi kepentingan semua warganegara Indonesia, dan badan-badan hukum Indonesia. Kepastian hukum yang dapat memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari bagi orang yang memerlukan penyediaan dan penguasaan tanah. Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak penguasaan
22
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi (Jakarta: Buku Kompas, 2001), h. 160.
Universitas Sumatera Utara
18
itulah yang menjadi kriterium atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.23 Dalam UUPA ditetapkan tata jenjang atau hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, yaitu: 1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik; 2. Hak menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik; 3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik; 4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas: a. Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam Pasal 16 dan 53; b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 49. c. Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51.24 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) UUPA menyatakan: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.” Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa: Dalam UUPA diadakan perbedaan antara pengertian “bumi” dan “tanah”, sebagai dirumuskan pasal 1 ayat 3 dan pasal 4 ayat 1 . Yang dimaksud dengan “tanah” ialah permukaan bumi. Perluasan pengertian “bumi” dan “air” dengan ruang angkasa adalah bersangkutan dengan kemajuan teknologi dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dalam waktu
23 24
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1 (Jakarta : Djambatan, 2007), h. 24. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
19
yang akan datang. Menurut A.P.Parlindungan untuk menghilangkan keragu-raguan maka sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 45, disebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Adanya penambahan kata-kata ruang angkasa tidak berarti menambahkan pasal 33 ayat 3 UUD 45, maka dapat dikatakan bahwa penambahan tersebut hanya bersifat deklaratif, dan bukan bersifat konstitutif.25 Sedangkan dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan sebagai berikut : “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.” Dengan demikian, yang dimaksud istilah tanah pada Pasal 4 UUPA tersebut adalah permukaan bumi.26 Dengan maksud permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat diberikan hak atasnya oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu hak-hak yang timbul diatas hak atas tanah (permukaan bumi), adalah termasuk didalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnya. Menurut Budi Harsono, dalam hukum tanah Negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas perlekatan, yakni bahwa bangunan atau benda-benda yang terdapat diatasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah
25
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 2008), h. 42. 26 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (1960) dan PeraturanPeraturan Pelaksanaannya (1996), Cetakan Kesepuluh (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), h. 94.
Universitas Sumatera Utara
20
yang bersangkutan.27 Sehingga pengertian hak atas tanah meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah yang dihaki kecuali apabila ada kesepakatan lain dengan pihak lain.28 Sedangkan Dalam UUPA kita
menganut asas
pemisahan
horizontal
(horizontale scheiding), dimana bangunan dan tanah bukanlah merupakan bagian dari tanah, dapat diartikan hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanah yang ada di atasnya.29 Dalam pasal 4 itu juga disebutkan salah satu subjek pemegang hak atas tanah tersebut badan hukum. Diantara badan hukum yang dimaksud pasal tersebut salah satunya termasuk Yayasan. sebagai badan hukum, yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, maka terhadapnya berlaku hukum Negara Indonesia. Pada saat sebelum berlakunya undang-undang tentang yayasan tahun 2001 tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang yayasan, hanya terdapat dalam beberapa ketentuan KUHPerdata, istilah yayasan dapat dijumpai dalam Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680, dan Pasal 1954. Selain yayasan yang dikenal dalam KUHPerdata, dalam praktek dikenal juga seperti misalnya yayasan Tionghoa (Chineeshe Stichting) dan yayasan dalam bentuk wakaf.30
27
Boedi Harsono, Op.cit, h, 20. A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria (Bandung : Mandar Maju, 1993), h. 124. 29 Boedi Harsono, Loc.cit, h.20. 30 Gunawan Widjaja, Suatu Panduan Komprehensif Yayasan di Indonesia (Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2002), h. 2. 28
Universitas Sumatera Utara
21
Barulah kemudian pada tahun 2001 keluar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang kemudian dirubah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, undang-undang ini diharapkan dapat menciptakan selain keseragaman juga dapat menciptakan kepastian hukum mengenai sifat badan hukum, keberadaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pengelolaan yayasan, penggabungan yayasan, hingga pembubaran yayasan. Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 dinyatakan bahwa yayasan baru memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendirian yayasan harus dilakukan dengan akta notaris yang memuat anggaran dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu. Kemudian dalam Keputusan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C-26.HT.01.10 tahun 2004, Pasal 1 juga menentukan bahwa akta pendirian yayasan adalah akta yang dibuat dihadapan notaris yang berisi keterangan mengenai identitas dan kesepakatan para pihak untuk mendirikan yayasan beserta anggaran dasarnya. Notaris yang membuat akta pendirian yayasan harus bertanggung jawab penuh terhadap materi akta yang telah dibuat dihadapannya.
Universitas Sumatera Utara
22
Dengan demikian untuk dapat menjadi suatu badan hukum, yayasan harus memenuhi kriteria dan persyaratan, antara lain: 1. Kriteria; a. Yayasan terdiri atas kekayaan yang dipisahkan; b. Kekayaan yayasan diperuntukkan untuk mencapai tujuan yayasan; c. Yayasan mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan; d. Yayasan tidak mempunyai anggota. 2. Persyaratan; pendirian yayasan sebagai badan hukum harus mendapat pengesahan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.31 2. Konsepsi Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan relitas.32 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.33 Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang menjadi pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.34
31
Alvi Syahrin, Op.cit, h. 64. Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989), h. 34. 33 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta : Raja Grafindo, 1998), h. 3. 34 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 5.
32
Universitas Sumatera Utara
23
Untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian tentang konsep yang dipakai dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai pengertian konsep yang dipakai, sebagai berikut: 1. Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan melaksanakan rancangan35 penurunan hak milik menjadi hak guna bangunan. 2. Perubahan hak adalah penetapan Pemerintah mengenai penegasan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan suatu hak atas tanah tertentu, atas pemohon pemegang haknya, menjadi tanah Negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah jenis lainnya.36 3. Hak Milik adalah hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang (wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu), kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.37 4. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan keadaan bangunan-bangunannya, jangka 35 Departemen Pendidikan Nasional, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 17 Maret 2011. 36 Pasal 1 angka (13) Permeneg Agraria/ Kepala BPN No.9/1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. 37 Boedi Harsono, Op. cit, h. 24.
Universitas Sumatera Utara
24
waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. (Pasal 35 UUPA). 5. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. (Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan). Yayasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Yayasan Pendidikan Harapan Medan.
G. Metodelogi Penelitian Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.38
38
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), h. 43.
Universitas Sumatera Utara
25
1. Spesifikasi Penelitian Dalam kaitannya dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi dilapangan serta mengaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi dilapangan. Mengungkap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.39 Sehingga penelitian ini dapat mengungkapkan data dan menganalisa pelaksanaan penurunan hak milik menjadi hak guna bangunan pada Yayasan Pendidikan Harapan Medan. 2. Metode Pendekatan Penelitian ini untuk menganalisa yayasan sebagai badan hukum terhadap status hak atas tanah pada yayasan. Metode pendekatan pada penelitian ini adalah melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer dilapangan karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat
39
H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 105 -106.
Universitas Sumatera Utara
26
artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta prilaku masyarakat yang terkait dengan lembaga hukum tersebut.40 Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.41 Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku mengenai yayasan dan hak atas tanah. Meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat mengimplemantasikan dalam praktek dilapangan.42 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian diperlukan bagi penelitian hukum terutama bagi penelitian hukum empiris, dan lokasi penelitian harus disesuaikan dengan judul dan permasalahan penelitian.43 Oleh karena itu maka lokasi penelitian ini dilakukan di Propinsi Sumatera Utara, yaitu pada Yayasan Pendidikan Harapan Medan. 4. Teknik Pengumpulan Data Bahan hukum yang dikelompokkan ke dalam: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,44 bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.45 Dalam penelitian ini bahan hukum
40
Ibid. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), h. 47. 42 Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya : Bayumedia, 2006), h. 14. 43 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op Cit, h. 170. 44 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Op Cit, h. 50. 41
Universitas Sumatera Utara
27
primer tersebut berupa : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada BPN, Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Pedoman Penetapan Uang Pemasukan Dalam Pemberian Hak atas Tanah Negara, Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Keputusan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Negara Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan, dan peraturanperaturan lainnya.
45
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 140.
Universitas Sumatera Utara
28
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, karya ilmiah, pendapat para ahli hukum, buku-buku teks, surat kabar (Koran), pamphlet, lefleat, brosur, dan berita internet, yang berkaitan dengan penelitian. c. Bahan hukum tersier, merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.46 5. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi dokumentasi yaitu dengan mempelajari serta menganalisa data yang berkaitan dengan
objek
penelitian
dan
peraturan
perundang-undangan,
menelaah
pelaksanaannya dan kemudian mengambil kesimpulan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen, yaitu dengan membaca,
mempelajari
dan
menganalisa
literatur/buku-buku,
peraturan
perundang-undangan dan bahan-bahan lain, untuk memperoleh data sekunder. 2. Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada nara sumber, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.
46
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op Cit, h. 157-158.
Universitas Sumatera Utara
29
6. Analisa Data a. Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teoriteori yang telah didapat sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan yang memberikan telaah yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasai.47 b. Mensistemasi data. Dimana peneliti mengadakan pemeriksaan terhadap informasi yang didapat dari responden dan narasumber, terutama kelengkapan jawaban yang diterima dan memperhatikan adanya keterhubungan antara data primer dengan data sekunder, dan diantara bahan-bahan hukum yang dikumpulkan satu hal
yang perlu diperhatikan adalah data harus
diklasifikasikan secara sistematis.48 c. Menganalisa data kualitatif. Semua data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisa secara kualitatif, yaitu analisis terhadap data-data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, dan menganalisa bahan-bahan hukum.49 Karena metode kualitatif ini adalah metode yang mengungkapkan fakta-fakta secara mendalam berdasar karakteristik ilmiah dari individu atau kelompok untuk memahami dan 47
Ibid, h. 183. Ibid, h. 181. 49 Ibid, h. 192. 48
Universitas Sumatera Utara
30
mengungkapkan sesuatu.50 Kemudian peneliti harus dapat menentukan data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data atau bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan, dan data atau bahan hukum mana yang tidak relevan dan tidak ada hubungannya dengan materi penelitian, sehingga dalam analisis dengan pendekatan kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data.51 d. Penarikan kesimpulan. Dalam pengolahan data peneliti menarik kesimpulan bahwa peneliti menggunakan cara induktif, yaitu cara berfikir yang bertolak dari hal-hal yang khusus yang kemudian dicari generalisasinya yang bersifat umum, sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan objek yang diteliti.
50 51
Ibid, h. 53. Ibid, h. 192.
Universitas Sumatera Utara