BAB I PENDAHULUAN A. Lantar belakang Pernikahan adalah fitrah manusia yang mana Allah telah menciptakan makluk yang berpasangan dan saling membutuhkan. Dalam rangka pemenuhan untuk memperoleh keturunan, maka timbullah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi kodrat alam bahwa dua orang manusia dengan dua jenis kelamin yang berbeda, seorang laki-laki dan perempuan ada daya tarik satu sama lain untuk hidup bersama.1 Laki-laki dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain dan saling membutuhkan dalam hal ini disatukan dalam bentuk perkawinan. Dengan demikian maka perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan mempunyai kehidupan yang bahagia dunia dan akhirat, atau dengan kata lain, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Artinya, tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan ketenangan dalam hidup. karena adanya iklim cinta, kasih sayang dan kemesraan tujuan itu pula yang melandasi dan menjadi motifasi dan cita-cita seorang disaat memutuskan untuk menikah, disamping keluarga yang bahagia lahir batin merupkan tujuan dari sebuah bangsa, maka tidaklah heran jika ada pepatah yang mengatakan keluarga adalah tiangnya negara dan bangsa.2
1
Ahmad. Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, (Jakarta : Pradnya Pramita, 1979) hal 18 2 ibid,.... 297
1
Meskipun demikian, dalam praktiknya, tidak menutup kemungkinan suatu perkawinan mengalami goncangan yang berdampak pada terciptanya ketidak harmonisan antara suami istri, misalnya percekcokan yang tiada henti-hentinya, silang pendapat yang tidak dapat menghasilkan kesepakatan karena masingmasing pihak masih membawa egonya sendiri sehingga perkawinan yang diharapkan membahagiakan justru berubah menjadi menyengsarakan.3
Aneka faktor yang menyebabkan ketidak harmonisan keluarga, antara lain disebabkan oleh adanya faktor psikologis, biologis, ekonomis, idiologis, organisasi, dan perbedaan budaya serta tinggkat pendidikan antara suami istri.4 Akibat beragam faktor dishamoni itulah sehingga keduanya akhirnya dihadapkan pada persoalan yang tak bisa dihindarkan yaitu perceraian (talak)
yang
merupakan salah satu jalan keluar bila tidak ditemukan dengan cara keduanya (suami istri) untuk berdamai. Talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal yang khusus.5 Lafal untuk talak dapat berupa kalimat yang terang-terangan, misalnya, “Saya talak kamu”, “saya berpisah darimu” yang diucapkan suami kepada istrinya, dapat pula kalimat yang menggunakan sindiran, misalnya, “Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu” dengan syarat disertai niat menceraikan.6
3
Hasbul Wanni Maq, Perkawinan Terselubung Berbagai Pandangan, ( Jakarta : Golden Teragon Press, 1994), hal 2 4 Hasan Basri, Keluarga Sakinah : Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 1995) hlm 3 5 Ibid 6 Ibid hlm 4
2
Menurut aturan fiqh atau hukum Islam yang dirumuskan oleh para ulama, suami yang telah mentalak istrinya boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa iddah istri belum habis.7 Bahkan tidak banyak seorang pasangan suami istri ketika dalam perceraian ingin kembali kepada istrinya lagi. Untuk itulah agama Islam mensyari’atkan adanya iddah8 ketika terjadi perceraian. Hal ini akan memberi peluang bagi keluarga yang mengalami perceraian untuk kembali bersatu. Manfaat iddah salah satunya untuk memberi kesempatan pada keduanya (suami istri) untuk berfikir secara jernih untuk sekali lagi mencoba membangun kembali sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah sebagaimana yang mereka inginkan. Para ulama fiqh sepakat rujuk itu diperbolehkan dalam Islam. Rujuk ini diberikan sebagai alternatif untuk menyambung kembali hubungan lahir batin yang telah terputus, sebagaiman firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqorah ayat 228 sebagai berikut :
.
. .
.
ج
...
7
Ibnu Mas’udi, Edisi Lengkap Fiqh Madzab Syafi’i Jilid II, (Bandung : Pustaka Setia, 2007) hlm 383 8 Sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah iaditinggal mati suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya atau berakhirnya beberapa quru’, atau brakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
3
“Dan suami-suami mereka lebih berhak merujuk mereka (isteri-isteri) dalam masa menanti (iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki islah”.9 Alasan para ulama’ dalam masalah rujuk tersebut tidak memerlukan persetujuan dari seorang isteri dikarenakan perempuan yang ditalak raj’i masih memiliki ikatan zaujiyyah (suami istri) dengan mantan suaminya, oleh karena itu suami masih berhak untuk menceraikannya, mendhihar”10, meng-i’laa11, dan tetapnya hak saling mewarisi serta adanya kewajiban bagi seorang isteri yang masih dalam masa iddah tersebut tidak boleh menerima pinangan dari orange lain, karena yang lebih berhak atas dirinya adalah mantan suaminya tersebut.12 Berbeda dengan yang dirumuskan oleh ulama fiqh, berdasarkan hukum positif Indonesia, suami yang ingin merujuk mantan istrinya yang telah di talak dan dicatatkan pada Pegawai Pecatat Nikah (PPN), tidak boleh seenaknya langsung mencampuri tanpa menghiraukan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi. Dalam hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 163 sampai pasal 169, apabila prosedur-prosedur tidak di penuhi, maka rujuknya dianggap tidak sah atau cacat hukum dan tidak mengikat. Banyak hal yang beda dalam konsep rujuk dan sudah tertulis dengan jelas bahwa dalam hal ini banyak mengalami perbedaan yaitu konsep rujuk menurut fiqih yaitu mutlak ditangan seorang suami tanpa persetujuan mantan istri,
9
Departemen Agama, AL-Quran dan terjemah Hlm 55 Dhihar yaitu mengharamkan isterinya terhadap dirinya sendiri 11 Seorang suami bersumpah untuk tidak menggauli isterinya secara mutlak atau selama jangka waktu lebih dari empata bulan. 12 http://app.Syariahcourt.gov.sg/syariah/front-end/Type Ofa DaiavaoarceaTalakaaa.M.asps.diakses pada tanggal 1 Maret 2013 10
4
sedangkan menurut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu suami boleh merujuk mantan istrinya dan harus dengan persetujuan mantan istrinya dan mantan istrinya juga berhak menolak ajakan suami untuk rujuk kembali. Dengan demikian, istri memiliki hak untuk menerima inisiatif rujuk dari suaminya atau menolaknya. Pemberian hak menerima atau menolak dapat menjadikan istri melakukan tindakan hukum berdasarkan kehendaknya, bukan hanya menjadi pihak yang pasif menerima keputusan suaminya untuk bercerai dan rujuk. Berbicara tentang pemberian hak oleh hukum positif, menarik untuk mengkaitkan dengan wacana Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak asasi perempuan, karena HAM ada, bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.13 Pengakuan atas eksistensinya manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Allah SWT. Yang patut memperoleh apresiasi secara positif. Sedangkan hak asasi perempuan, adalah hak dasar yang melekat karena seseorang itu terlahir dengan berjenis kelamin perempuan. Hak perempuan,
Asasi
Perempuan,
baik karena
perempuan, dalam
ia
yaitu seorang
hak
yang dimiliki
manusia
khasanah hukum hak asasi
maupun manusia
oleh
seorang
sebagai seorang dapat
ditemui
pengaturannya dalam berbagai system hukum tentang hak asasi manusia.14
13
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Kontitusi Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007) hlm, 12 14 Sri Wiyanti Eddyono, Hak Asasi Perempuan Dan Konvensi Cedaw hlm 1
5
Di samping itu, menarik pula melihat pemberian hak menerima atau menolak rujuk ini dari perspektif Maqasid al syariah atau tujuan pemberlakuan hukum. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa pembuat KHI memiliki maksud dan tujuan tertentu ketika memberlakukan ketentuan yang mengatur bahwa istri memiliki hak atas rujuk dari suaminya. Maqasid al syariah secara sederhana dapat diringkas dalam konsep maslahat, atau kebaikan. Artinya, pembuat KHI memiliki tujuan agar istri mendapatkan kemaslahatan dengan memiliki hak atas rujuk. Maqasid Syari’ah yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.15 Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna Dalam permasalahan-permasalhan tersebut peneliti ingin mengkaji lebih lanjut tentang Hak Istri Menolak Atau Menerima Rujuk Dalam Masa Iddah Persepektif Hak Asasi Manusia Dan maqasid syari’ah B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pemberian hak atas rujuk bagi Isri oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tinjauan Hak Asasi Manusia? 15
Al- Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), hlm. 150.
6
2. Bagaimana pemberian hak atas rujuk bagi Isri oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tinjauan Maqasid Syariah?
C. Tujuan penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pemberian hak atas rujuk bagi Istri oleh Kompilasi Hukum Islam dalam Hak Asasi Manusia. 2. Untuk mengetahui pemberian hak atas rujuk bagi Istri oleh Kompilasi Hukum Islam dalam Maqasid Al Syariah. D. Manfaat penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis Bagi peneliti sendiri diharapkan dengan melakukan peneliti ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan masalah hak istri menolak atau menerima permohonan rujuk yang dilakukan oleh suaminya, dan bagi lembaga pendidikan diharapkan bisa menambah referensi
hukum
Islam terutama yang berkaitan dengan hukum Islam terutama yang berkaitan masalah perkawinan,rujuk dan aspek hukumnya. 2. Secara praktis
7
I.
Bagi peneliti, diharapkan dengan menyelesaikan penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini akan memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar sarjana syari’ah (Ssy).
II.
Bagi pasangan suami istri dan konsultan hukum, diharapkan bisa
menjadi
masukan
dalam
memecahkan
problem
perkawinan khususnya masalah rujuk. III.
Bagi lembaga peradilan, diharapkan dapat menjadi masukan atau solusi dalam mengatasi problema perkawinan terutama yang menyangkut masalah rujuk.
E. Penegasan Istilah Untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian, maka diperlukan adanya penegasan istilah. Adapun yang dimaksud dengan penegasan istilah adalah penjelasan beberapa kata kunci yang berkaitan dengan judul atau penelitian, yang terdiri atas: 1. Talak raj’i yang dimaksud dalam penelitian ini adalah talak satu atau talak dua yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya yang berakibat isteri berada dalam masa iddah dan suami boleh merujuki isterinya tersebut apabila suami menghendaki islah. 2. Iddah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut, sebagai akibat perceraian dengan suaminya itu, dalam hal ini iddah yang dimaksud
8
dalam permasalahan ini adalah iddah yang dihitung setelah adanya putusan cerai dari Pengadilan Agama. 3. Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jelmaan dari kitab-kitab fiqh islam dari berbagai madzhab dengan menggunakan undang-undang yang termasuk di dalamnya dalam hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. 4. Hak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yaitu hak asasi manusia, dalam hal ini hak yang dimaksud adalah hak isteri untuk dapat menolak atau menerima kehendak rujuk dari mantan suaminya 5. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dengan akal budinya dan nuraninya, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri
perbuatannya.
kebebasannya
tersebut
Disamping manusia
itu, memiliki
untuk
mengimbangi
kemampuan
untuk
bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. 6. Maqasid as-syar’iyyah
adalah Nilai yang dipertimbangkan syara’
dalam sebuah hukum atau bertujuan akhir dari syari’at dan rahasiarahasia yang diletakkan Allah dalam setiap hukumnya. F. Metodelogi penelitian
9
1. Jenis penelitian Dalam menyusun skripsi ini peneliti mengunakan jenis penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan. Dengan demikian, jika dilihat dari tempatnya, penelitian ini tergolong pada penelitian kepustakaan (library research). Hal ini disebabkan peneliti mengunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai data yang hendak dianalisis 16.yaitu analisia dalam fiqih tentang tidak adanya hak istri menolak rujuk dalam masa iddah dan Kompilasi Hukum Islam analisis terhadap undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan analisis terhadap maqasid syariah yang mengandung nilai falsafah. Selanjutnya peneliti akan memaparkan data-data yang diperoleh dari buku-buku , laporan penelitian, makalah, artikel dan bahan pustaka lainya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas peneliti yaitu hak istri menolak atau menerima rujuk dalam masa iddah. Kemudian dari data data yang diperoleh tersebut akan dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan. 2.
Pendekatan Penelitian Untuk menjawab persoalan tersebut tentu dibutuhkan sebuah pendekatan yang tentu saja haruslah pendekatan yang relevan dengan masalah yang sedang dikaji. Sebagai perangkat Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang datanya berupa teori, konsep, dan ide. Pendekatan deskriptif kualitatif, bertujuan 16
Soerjono Soekanto, Penantar Penelitian Hukum, Cet 3 (Jakarta: Penerbit Uii 2006) hal
63.
10
mengungkapkan atau mendeskripsikan data atau teori yang telah diperoleh.
3. Bahan Hukum a.
Bahan hukum Primer dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku
maupun kitab-kitab yang berhubungan dengan permasalahan rujuk dan juga buku-buku gender , KHI, HAM, Kovensi Wanita, DUHAM, Usul Fiqih, Al-Muafaqat dan buku-buku yang mengenai hal tersebut. b.
Bahan hukum sekunder: adalah berupa informasi-informasi yang
berkaitan dengan pembahasan di atas baik berupa internet, ensiklopedi dan lain-lain. c.
Bahan tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan primer dan bahan sekunder, seperti kamus17. 4.
Tehnik Pengumpulan Data Oleh karena itu penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) maka penelitian ini didasarkan atas studi kepustakaan, teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah secara normatif (studi kepustakaan), yaitu dengan mengumpulkan berbagai bahan hukum primer maupun sekunder yang berkaitan dengan kewenangan penolakan rujuk istri dalam menolak rujuk suami.
17
Lihat. Soerjono Sukanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 29
11
G. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu berguna sebagai pembanding apakah hasil akhir penelitian tersebut sama dengan hasil akhir pada penelitian yang akan kita kerjakan ataukah berbeda. Penelitian yang baik adalah menemukan hasil akhir dan memberikan kesimpulan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam hal ini Peneliti tidak menemukan judul yang sama dengan judul yang akan diteliti oleh Peneliti. Namun ada judul yang berkaitan dengan judul yang akan diteliti oleh peneliti. Yaitu penelitian yang ditulis oleh.
1. Munawwar Khalil, Dengan Judul Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Pandangan Empat Imam Madhab. Hasil penelitianya menyimpulkan bahwa Iman Hambali berpendapat bahwa Rujuk hanya terjadi melalui percampuran. Apabila ada pencampuran, maka terjadilah Rujuk walaupun tanpa niat. Menurut Imam Hanafi, selain melalui pencampuran rujuk bisa terjadi melalui sentuhan, ciuman dan hal-hal sejenisnya. Imam Malik menambahkan harus ada niat rujuk dari suami disamping perbuatan, pendapat ini bertolak belakang dengan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa rujuk bisa terjadi dengan perbuatan saja tanpa adanya niat. Sedangkan Imam Syafi’i rujuk harus dengan ucapan yang jelas bagi orang yang dapat mengucapkannya, dan tidak sah jika dengan perbuatan. Sedang pendapat yang dianggap relavan dengan konteks Indonesia adalah
12
pendapatnya Imam Syafi’i yang mewajibkan adanya saksi dalam permasalahan rujuk.18 2. Penelitian yang ditulis oleh Ujin Ahmad Faizi, skripsi yang berjudul “ Konsep Rujuk Dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah Persepektif Gender”, hasil analisis dari penelitian tersebut addalah imam empat madzhab mempenyuai pandangan yang sama dalam memposisikan istri yang dirujuk, yang mana suami boleh merujuk istrinya selama masa iddah meskipun tanpa persetujuan dan kerelaan istri. Konsep rujuk dalam kitab Fiqh ala Madzahib al-arba’ah telah terjadi ketidak adilan, dimana perempuan harus menerima rujuk suami tanpa berhak untuk menolaknya.19
3. Skripsi, Pada tahun 2011, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Suwandi, M.H.. Dosen UIN Maliki Malang yang berjudul “Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Mazhab”. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa rujuk terjadi melalui percampuran (Hubungan biologis), ketika hubungan tersebut sudah dilakukan, secara sah istri dirujuk kembali walaupun tanpa niat. Dan menurut penelitian tersebut, konsep rujuk yang paling relevan di Indonesia adalah konsep Imam Syafi’I yang menyatakan bahwa rujuk harus dengan ucapan yang jelas dan tidak sah jika hanya dengan
18
Munawwar Khalil,Skripsi Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Pandangan Empat Imam Madhab 19 Ujin Ahmad Faizi, Skripsi Konsep Rujuk Dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib AlArba’ah Persepektif Gender
13
perbuatan. Dan juga diwajibkan baginya untuk mendatangkan dua saksi.20
4. Penelitian yang selanjutnya dilakukan oleh mahasiswa IAIN Semarang yang bernama Purwanto pada tahun 2008 yang berjudul “Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 Tentang Kewenangan Istri Untuk Menolak Rujuk Suami”.
Berdasarkan kajian terhadap beberapa penelitian yang telah ada maka belum terdapat penelitian yang membahas tentang tema yang sedang peneliti kaji. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Suwandi dengan judul “Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Madhab” dalam pembahasannya hanya sebatas mengulas konsep rujuk dari imam-imam mazhab, dan diadakan sebuah analisis dengan mengaitkan konsep tersebut dengan realitas yang sedang berkembang di Indonesia guna mengetahui relevansi dari konsep-konsep tersebut di Indonesia. Kemudian penelitian yang dilakukan mahasiswa IAIN Semarang dengan judul “Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Keharusan Istri Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 Tentang Kewenangan Istri Untuk Menolak Rujuk Suami”. Penelitian 20
Suwandi, Skripsi Relevansi Konsep Rujuk Antara Kompilasi Hukum Islam dan Pandangan Imam Mazhab, (Malang 2011)
14
tersebut berusaha memberikan perbedaan dan persamaan antara konsep KHI dan Fiqih Kontemporer. Adapun penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ini adalah studi tentang pasal dalam pandangan ulama empat madzhab, yang nantinya akan menitik beratkan pada hasil ijtihad atau pandangan dari masing-masing mdzhab dari empat madzhab tersebut tentang kewenangan istri dalam menolak rujuk suami bukan kewajiban istri.21 5. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nur Amaliyah, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2004 dalam Skripsinya yang berjudul “Studi Analisa Pendapat Ibnu Hazm Tentang Mewakilkan Talak” membahas tentang pendapat Ibnu Hazm bahwa talak adalah milik dari pihak suami, maka oleh karena itu tidak ada satu pihakpu yang bisa mengambil alih hak tersebut. Ini juga diperkuat dengan tidak adanya nash (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang membolehkan tentang peralihan hak tersebut.
H. Sistematika Pembahasan Secara global, skripsi ini dibagi dalam lima pembahasan yang satu sama lain saling berkaitan dan merupakan suatu sistem yang urut untuk mendapatkan suatu kesimpulan dalam mendapatkan suatu kebenaran ilmiah.
21
Purwanto, Studi Komparasi Pendapat Imam Al-Syafi'i Tentang Keharusan Istri
Menerima Rujuk Suami Dengan KHI Pasal 164 Tentang Kewenangan Istri Untuk Menolak Rujuk Suami, (Semarang, 2008)
15
BAB I adalah pendahuluan yang dirinci atas beberapa anak bab, yakni: latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Pada dasarnya bab ini tidak termasuk dalam materi kajian, tetapi lebih ditekankan pada pertanggungjawaban ilmiah. Pada BAB II berisi tentang kumpulan kajian teori yang akan dijadikan alat analisis dalam menjelaskan dan mendeskripsikan obyek penelitian. Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tinjauan umum tentang rujuk dalam hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Maqasid Al Syariah. Pada BAB III, berisi deskripsi data hasil penelitian, yakni bagianbagian dalam HAM dan Maqasid al syariah yang relevan dengan pembahasan tentag hak rujuk bagi istri. Pada BAB IV, yakni analisis penelitian dan titik temu Hak asasi manusia tentang hak wanita dalam konsep rujuk serta filosofis dalam Maqasid syariah. Pada BA V, yakni penutup dari penyusunan skripsi ini yang meliputi kesimpulan dan saran-saran, yang diharapkan dapat berguna/bermanfaat baik secara teoritis maupun praktik untuk masyarakat, akademisi maupun praksi.
16
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG RUJUK, HAK ASASI MANUSIA DAN MAQASID AL SYARIAH A. Pengertian Rujuk Menurut bahasa rujuk berasal dari bahasa arab yaitu dari kata roja’a – yarji’u – rujk’an yang berarti kembali, dan mengembalikan.22 Sedangkan dalam istilah hukum Islam, para fuqoha’ mengenal istilah “ruju” dan istilah “raj’ah” yang kedua semakna. Desinisi rujuk dalam pengertian fiqh menurut al-Mahali adalah : kembali kedalam hubungan pernikahan dari cerai yang bukan talak bain, selama masa iddah.23 Ulama’ Hanafiyah memberi difinisi ruju’ sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, yaitu : ruju’ ialah melestarikan pernikahan dalam masa iddah talak (raj’i).24 Sedangkan rujuk menurut para ulama’ madzhab adalah sebagai berikut : a. Hanafiyah: rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya pengganti dalam masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila habis masa iddah. b. Malikiyah: rujuk adalah kembalinya isteri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa akad yang baru, kecuali bila kembalinya
22
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2008), hlm 285 Amir Syarifudin, Pernikahan di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan UndangUndang pernikahan, (Jakarta : Kencana, 2006) hlm 337 24 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat....hlm,285 23
17
tersebut dari talak ba’in, maka harus dengan akad baru, akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk. c. Syafi’iyah: rujuk adalah kembalinya isteri kedalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa isteri diharamkan berhubungan dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun suami berhak merujuknya dengan tanpa kerelaan, oleh karena itu rujuk menurut golongan Syafi’iyah adalah mengembalikan hubungan suami isteri kedalam ikatan yang sempurna. d. Hanabilah: rujuk adalah kembalinya isteri yang dijatuhi talak selain talak ba’in kepada suaminya dengan tanpa akad, baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat atau tidak.25 Pada dasarnya para ulama’ madzhab sepakat, walaupun dengan redaksi yang berbeda bahwa rujuk adalah kembalinya suami kepada isteri yang dijatuhi talak satu atau dua, dalam masa iddah dengan tanpa akad nikah yang baru, tanpa melihat apakah isteri mengetahui rujuk suaminya atau tidak, apakah ia senang atau tidak, dengan alasan bahwa isteri selama masa iddah tetap menjadi milik suami yang telah menjatuhkan talak tersebut kepadanya. Rujuk yang berasal dari bahasa arab telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia terpakai yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (yang selanjutnya disingkat KBBI) adalah:26 kembalinya suami kepada isteri yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika isteri masih di masa iddah. Definisi yang dikemukakan KBBI tersebut secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh, meskipun redaksionalnya sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut terdapat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikatdari perbuatan hukum yang benama rujuk, yaitu:
25
Al-Jaziri, fiqh ala Mazabib al-Arba’ah, hlm. 377-378
26
Amir Syarifuddin, pernikahan di Indonesia... hlm 337
18
a. Ungkapan “kembalinya suami kapada isterinya” mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah terikat dalam pernikahan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk pernikahan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini. b. Ungkapan “yang telah ditalak dalam bentuk talak raj’i” mengandung arti bahwa isteri yang dicerai oleh suaminya itu dalam bentuk yang belum putus. Hal ini mengandung maksud bahwa kembali kepada isteri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk talak raj’i tidak disebut rujuk. c. Ungkapan “masih dalam masa iddah”. Mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selam isteri masih dalam masa iddah. Bila waktu iddah telah habis, mantan suami tidak dapat lagi kembali kepada isterinya dengan nama rujuk. Untuk maksud tersebut suami harus memulai lagi nikah baru dengan akad yang baru.27 Rujuk adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh sang suami setelah menjatuhkan talak terhadap isterinya, baik melalui ucapan yang jelas atau melalui perbuatan dengan tujuan kembali ke dalam ikatan pernikahan, konsep rujuk dalam bahasa fiqh Islam dibicarakan dalam permasalahan talak satu dan talak dua. Dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah mengembalikan status hukum
27
Amir syarifuddin, Pernikahan di Indonesia..... hlm 337-338
19
pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan isterinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu.28 Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya talak antara suami isteri meskipun bersetatus talak raj’i namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya, sebagaimana lakilaki lain juga diharamkan melakukan hal yang serupa itu. Oleh karena itu, kendati mantan suami dalam masa iddah berhak merujuk mantan isterinya itu dan mengembalikannya sebagaimana suami isteri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya itu berdasarkan talak yang diuccapkan oleh mantan suami terhadap mantan isterinya itu, maka untuk menghalalkan kembali mantan isterinya menjadi isterinya lagi haruslah dengan pernyataan rujuk yang diucapkan oleh mantan suami dimaksud. B. Kedudukan Isteri Dalam Rujuk Menurut Kompilasi Hukum Islam Dalam KHI telah memuat aturan-aturan rujuk secara terperinci. Dalam tingkat tertentu, KHI hanya mengulang penjelasan fiqih. Namun berkenaan dangan proses, KHI lebih maju daripada fiqh itu sendiri.29
Mengapa KHI
dikatakan lebih maju karena KHI memberikan hak yang sama anatara laki-laki dan perempuan khususnya permasalahan rujuk. Permasalahan rujuk di dalam KHI diungkapkan pada buku pertama tentang hukum perkawinan dan secara khusus diatur dalam Bab XVIII pasal 163 sampai pasal 169. 28
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm 286-287
29
Amir Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai KHI, (jakarta: kencana, 2006), hlm 269
20
Pasal 163 KHI (1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.30 Isteri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah31, karena dalam masa itu mantan isteri tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain, karena di masa iddahlah masih ada kemungkinan untuk bersatu kembali hubungannya dan rujuk itu sendiri hanya berlaku bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i (talak satu dan talak dua). (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal: a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah terjatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla ad-dukhul. b. putusnya perkawinan berdasar putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.32 Selanjutnya pada pasal 164 dsn 165 KHI ada penjelasan yang sangat signifikan dan berbeda dengan fiqh yaitu: Diantara pasal-pasal yang mengatur rujuk, yaitu pasal 164dan 165 KHI tidak sejalan dengan aturan fiqh, karena rujuk dalam pandangan fiqh tidak memerlukan persetujuan dari pihak isteri dengan alasan, bahwa yang demikian adalah hak mutlak seorang suami yang dapat digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk isteri yang akan dirujukinya 30
.................,Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007) hlm 286 31
Amir Syarifuddin, hukum perkawinan Islam di Indonesia... hlm 322
32
Ibid., hlm 286
21
tersebut.33 Sedangkan dalam KHI rujuk tanpa persetujuan dari mantan isteri tidak sah hukumnya. Sesuai dengan pasal berikut: Pasal 164 KHI Seorang wanita dalam iddah talak raj‘i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari mantan suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi. Pasal 165 KHI Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.34 Dalam pasal ini dijelaskan bahwasannya dalam rujuk selain harus mendapat persetujuan dari isteri juga harus di catat oleh pegawai pencantat nikah (PPN) sebagai bukti bahwa kedua belah pihak telah resmi rujuk. Selanjutnya tentang tatacara pelaksanaan rujuk itu diatur secara panjang lebar dalam pasal 167sampai dengan pasal 169. Dalam kitab fiqh lebih banyak memuat hukum materiil dan hampir tidak membahas tata cara atau hukum acaranya. Jadi kesimpulannya aturan yang terdapat dalam KHI merupakan kemajuan dari aturan yang telah ditetapkan dalam kitab fiqh.35 Berikut adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum formil
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, (jakarta: Kencana, 2006), hlm 347 34
Ibid., hlm 287
35
Amir Syarifuddin, pernikahan di Indonesia,... hlm 347
22
atau tata cara rujuk dalam kompilasi hukum Islam. Dalam pasal Pasal 167 disebutkan bahwa suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami -istri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.36 Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila suami dengan istri setelah bercerai dan ingin rujuk selain harus atas persetujuan dari mantan isterinya juga diharuskan membawa surat keterangan dari pengadilan Agama yang menjelaskan tentang terjadinya perceraian terebut dan dalam hal ini harus masih dalam masa iddah serta melapor ke pegawai pencatat nikah setempat. Selanjutnya diatur bahwa rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. 37 Oleh karena dalam rujuk tanpa adanya persetujuan dari mantan isteri rujuknya tidak sah hukumnya menurut KHI selain itu harus dilakukan dihadapan pegawai pencatan nikah setempat, untuk mengetahui bahwa seorang suami isteri yang telah cerai tersebut benar-benar telah rujuk kembali . Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan itu masih dalam iddah talak raj‘i, apakah perempuan yang akan dirujuk
36
.................,Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam,hlm 288 37
Ibid
23
itu adalah istrinya.38 Jadi menurut poin ini pegawai pencatan nikah sebelum melakukan proses rujuk antara suami dan isteri yang sudah bercerai haruslah memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu niat mantan suami untuk merujuk mantan isteri, isteri tidak keberatan bila diajak rujuk oleh mantan suaminya dan bukti akta perceraian dari Pengadilan Agama guna mengetahui apakah mantan isterinya masih dalam keadaan masa iddah. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.39 Harus ada niat dari mantan suaminya untuk melakukan rujuk selain itu harus atas persetujuan mantan isterinya ketika suami mau merujuknya serta disertai saksisaksi. Minimal ada dua saksi dalam pengucapan rujuk dihadapan pegawai pencatat nikah. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami-istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.40 Dalam hal ini setelah rujuk dilaksanakan maka hubungan antara suami dan isteri yang telah bercerai tadi resmi rujuk dan bisa meneruskan keluarganya lagi beserta kewajibannya sebagai suami isteri yang sah lagi. Dalam Pasal 168 disebutkan bahwa dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi38
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 39 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 40 .................,Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,hlm 288
24
saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan. Selain itu, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambatlambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan. Apabila lembar pertama dari Daftar Rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebabsebab hilangnya.41 Setelah persyaratan dan proses rujuk dijalankan maka tugas dari pegawai pencatat nikah membuatkan surat keterangan mengenai rujuk tersebut untuk memperkuat dan sebagai bukti bahwa kedua belah pihak yang bersangkutan telah resmi rujuk. Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama42. Suami-istri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
41
42
Ibid.,, hlm 288 Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam
25
telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan telah rujuk. Catatan yang dimaksud Ayat (2), berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan panitera.43 Selain itu,
juga sebagai bukti tertulis (dokumen) untuk
memeperjelas bahwa yang bersangkutan telah rujuk secara hukum terhadap isterinya. C. Tinjauan Teoritis tentang Hak Asasi Manusia Hak merupakan unsur hukum normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan terkait dengan interaksinya antara individu atau instansi, hak juga merupakan suatu yang harus diperoleh. Sedangkan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam diartikan sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia.44 HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaanya diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun kemunculan HAM adalah sebagai respons dan reaksi atas berbagai tindakan yang mengancam kehidupan manusia, namun sebagai hak, maka HAM pada hakikatnya telah ada ketika manusia itu ada di muka bumi. Dengan kata lain, wancana HAM bukanlah berarti menafikan eksistensi hak-hak asasi yang sebelumnya memang telah diakuai oleh manusia itu sendiri secara universal.45 Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia 43
Ibid, hlm 289
44
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), hlm 334 45
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 6
26
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia Kini, HAM diperbincangkan dengan intensif seiring dengan intesitas kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Ia menjadi aktual karena seiring dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awah hingga kurun waktu kini. Dalam tataran kontekstual,
HAM mengalami proses perkembangan yang sangat
kompleks. HAM adalah puncak konseptualisasi manusia tentang dirinya sendiri. Karena itu, jika disebutkan sebagai konsepsi, maka itu berarti pula sebuah upaya maksimal dalam melakukan formasi pemikiran strategis tentang hak yang dimiliki manusia. Perbincangan itu sulit dipisahkan dari sejarah manusia dan peradaban. 1.1
Macam-Macam Hak Dalam Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia dari:46 a. Bagian Kesatu Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. 46
Ibid,. , hlm 163
27
b. Bagian Kedua Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui
perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas. c. Bagian Ketiga Hak
mengembangkan
diri.
Setiap
orang
berhak
untuk
memperjuangkan hak pengembangan dirinya. Baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara. d. Bagian Keempat47 Hak memperoleh keadilan. Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh
keadial
dengan
mengajukan
permohonan,
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. e. Bagian Kelima48 Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk Agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. 47
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 164 48
Ibid,. hlm165
28
f. Bagian Keenam49 Hak atas rasa aman. Seriap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tentran serta pelindungan terhadap ancaman ketautan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. g. Bagian Ketujuh50 Hak atas kesejahteraan, setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang laindemi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapat jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memeperjuangkan kehidupannya. h. Bagian Kedelapan51 Hak turut serta dalam pemerintahan. Setia warga negara berhak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantara wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan. i. Bagian kesembilan Hak wanita, seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, prosesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan 49
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 167
50
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 168
51
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 170
29
perlindungan khusus dalam melaksanakan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya. j. Bagian kesepuluh52 Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasanya secara melawan hukum. Secara khusus, dalam hal hak perempuan, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada bagian kesembilan, menyebutkan pada pasal 50 yaitu:53
bahwa perempuan yang telah dewasa dan/atau telah
menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya,”. Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa seorang wanita memiliki hak untuk melakukan “ perbuatan hukum”. Wanita dalam pasal tersebut disebut juga sebagai subyek hukum. 54 Subyek hukum mengandung arti bahwa setiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama dan kebudayaannya mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan wanita yang memepunyai hak dalam pasal tersebut terbatas pula pada wanita yang telah dewasa dan atau yang telah menikah. Telah dewasa di sini dapat diartikan sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Karena manusia sebagai hukum 52
Ibid,.., hlm 172 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (jakarta : kencana,2007), hlm 171 54 Ishaq, Dasar-dasar ilmu Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), hlm 47 53
30
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum apabila manusia telah dewasa serta sehat jiwanya (rohaninya) dan tidak sedang dalam pengampuan. Selanjutnya yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah55 setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat hukum, dan akibat hukum itu memang dikehendaki oleh subjek hukum. Menurut
R. Soeroso, 56
perbuatan hukum adalah setiap subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibatnya itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum. Dalam hal ini penolakan rujuk yang dilakukan oleh isteri dalam masa iddah bisa dikategorikan sebagai perbuatan hukum. Karena penolakan rujuk tersebut berasal dari pihak isteri yang menghendaki penolakan tersebut dan perbuatan tersebut berakibat pada perubahan status isteri, yaitu status menjadi mantan isteri atau status kembali menjadi isteri yang sah dengan adanya akad nikah baru sesuai dengan putusan Pengadilan Agama. Perbuatan hukum terdiri atas tiga jenis, yaitu:57 1. Perbuatan hukum bersegi satu, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja, misalnya pemberian wasiat.
55
http//hukumonline.com yang diakses pada tanggal 7 januari 2011
56
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) hlm 291
57
Ishaq, Ilmu hukum, hlm 125
31
2. Perbuatan hukum bersegi dua, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, misalnya perjanjian yang dilakukan oleh dua orang sebagai subjek hukum. 3. Perbuatan hukum bersegi banyak, yaitu perbuatan hukum yang akibat hukumnyaditimbulkan oleh kehendak dari banyak pihak, seperti perjanjian yang melibatkan banyak pihak. Dalam konteks masalah menolak atau menerima rujukyang dilakukan oleh isteri ini termasuk pada perbuatan huum segi dua.karena rujuk dalam hal ini sama halnya dengan pernikahan. Sedangkan pernikahan termasuk dalam perjanjian antara dua orang yaitu suami dan isteri. Perbuatanhukum yang dilakukan oleh isteri dalam masa Iddah ini memepunyai akibat hukum. Akibat hukum adalah58 akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum. Ada tiga jenis akibat hukum, yaitu: 1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, lenyapna sauatu keadaan hukum tertentu. 2. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua subjek hukum atau lebih di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. 3. Lahirnya sanksi jika dilakukan tindakan yang melawan hukum.
58
Ibid., hlm 86-87
32
Sedangkan dalam masalah menolak atau menerima rujuk termasuk dalam akibat hukum kedua, yaitu lahirnya , berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara suami isteri. Setelah adanya putusan talak satu atau talak dua daru seorang suami kemada isteri maka hubungan suami isteri berada dalam batasan masa iddah, yaitu suami mempunyai hak untuk merujuk i isterinya yang sedang dalam masa iddah tersebut bila suami menghendaki rujuk. Namun apabila rujuk yang dilakukan suami dalam masa iddah isteri tersebut ditolak oleh isteri maka maka tidak akan terjadi rujuk kecuali atas putusan hakim pengadilan Agama. Apabila penolakan rujuk isteri dikabulkan oleh hakim pengadilan Agama maka akan menimbulkan akibat hukum kedua, yaitu berupa lahirnya, berubahnya dan lenyapnya suatu hukum antara dua subjek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain. Artinya, hubungan suami dan isteri
tidak bisa kembali seperti semula dengan
menjadi keluarga. Selanjutnya, dalam pasal 50 tersebut terdapat kata-kata “kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”. Hal ini relavan dengan pasal 165 KHI yang menyebutkan bahwa rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan manta isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan hakim peradilan Agama. Sedangkan yang dimaksud dengan “hukum Agamanya” dalam hal ini adalah KHI. Karena KHI merupakan sumber hukum material pegadilan Agama dalam memutuskan suatu permasalahan hukum. Pembicaraan sebetulnya
hak
asasi
perempuan
sebagai hak
asasi
manusia
bukan hal yang relatif baru. Meskipun demikian, hak asasi 33
perempuan yang sudah mulai terangkat dari beberapa waktu sebelumnya, kelihatannya
semakin
menguat
dari
waktu-ke
waktu.
Seseorang
yang
menjadi korban tidak lagi hanya akan cukup menerima bahwa ia memiliki hak, namun ia akan mulai mencari dimana letak jaminan akan hak tersebut dan bagaimana caranya agar hak tersebut
dapat diperoleh.
Tentu saja
proses ini bukan proses yang sekali jalan, melainkan mensyaratkan hal-hal tertentu. Yang sangat mendasar bagi upaya untuk memperoleh hak adalah pengetahuan
dasar tentang
hak
tersebut
dan
jaminannya
ada dimana.
Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dengan berbagai cara yang antara lain melalui bacaan, berdiskusi secara intens, dan olahan pengalaman. Tulisan ini memberikan
informasi dasar tentang hak perempuan, instrumen-instrumen
yang mencantumkannya dan secara khusus membahas Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hak perempuan,
Asasi
Perempuan,
baik karena
perempuan, dalam
ia
yaitu
seorang
hak
yang dimiliki
manusia
khasanah hukum hak asasi
maupun manusia
oleh
seorang
sebagai seorang dapat
ditemui
pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum dan perangkat pelaksanaan sistem
hukum baik di
tingkat
nasional, regional maupun internasional.
Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui namun juga bagaimana menjamin dan mengakses hak
tersebut. Dalam konteks Indonesia
misalnya, pengaturan hak asasi manusia kaum perempuan dapat
ditemui di
dalam UUD 1945, KUHPidana, KUHPerdata, UU No. 1 tahun 1974 tentang
34
Perkawinan, UU Peradilan HAM dan berbagai peraturan lain. Penegakannya dilakukan oleh institusi negara dan para penegak hukum. Salah satu sumber utama hak asasi perempuan adalah adalah UU No. 7
tahun
1984
tentang ratifikasi
Konvensi
Penghapusan
Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan. UU tersebut secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, yang dibuat pada tahun 1979 dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang muncul pada tahun 1947 dan disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini (selanjutkan akan disebut sebagai DUHAM), merupakan awal kodifikasi tentang standar pengakuan hak manusia yang di dalamnya termasuk hak perempuan. Deklarasi ini diakui sebagai standart umum bagi semua masyarakat
dan semua
bangsa
untuk
berjuang bagi kemajuan martabat manusia.59 Diantara hak-hak yang dideklarasikan adalah hak atas persamaan, kebebasan, dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk berekspresi dan partisipasi politik.60 Disamping pasal-pasal tersebut berbagai hak
yang relevan dengan perempuan misalnya
hak memilih pasangan,
menikah dan mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, dan di saat
59
omen, Law and Development, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan, Langkah
demi langkah, terjemahan dan terbitan LBH APIK (Jakarta, 2001), hal. 13. 60
Ibid, hlm 14
35
perceraian, Pasal 16 DUHAM : (1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perekawinan dan di saat perceraian. (2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai . memiliki harta sendiri, P asal 17 DUHAM (1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, hak atas upah yang sama , Pasal 23 (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. hak perawatan dan bantuan istimewa, Pasal 25 (2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.61 Kewajiban negara dalam hal ini adalah membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan, kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan dan menjamin agar hak-hak tersebut dipenuhi. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan yang perlu termasuk perubahan perundang-undangan
untuk
menetapkan
usia minimum
perkawinan,
dan
mewajibkan pendaftaran perkawinan di kantor Catatan Sipil yang resmi. Dengan demikian
negara akan menyatakan pertunangan dan perkawinan anak
dibawah umur tidak mempunyai akibat hukum (tidak sah). 61
http//elsam.or.id, Hak asasi perempuan dan confensi cendow
36
D. Tinjauan Teoritis tentang Maqasid Syari’ah Secara bahasa Maqasid Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqasid dan Syari’ah. Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqasid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqasid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.62 Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الي الماءartinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.63 Sebagai suatu disiplin ilmu, hukum Islam mengembangkan istilahistilahnya sendiri sebagaimana disiplin ilmu lain. Oleh karena itu dalam Hukum Islam dapat ditemukan beberapa istilah tehnis yang hampir mirip namun berbeda pengertiannya yaitu Fiqih, Syari’ah dan Hukum Islam. Sebagai kajian awal memahami istilah-istilah tersebut dirasa sangat penting. Oleh karena itu istilah– istilah tersebut akan diuraikan secara singkat. Fiqih secara harfiah berarti memahami atau mengerti, dan dalam pengertian terminologi berarti memahami dan mengetahui wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dengan menggunakan penalaran akal dan metode tertentu sehingga diketahui ketentuan hukum perbuatan subyek hukum (mukallaf) dengan dalildalilnya secara rinci.64 Sedangkan pengertian syariah dalam segi bahasa berarti
62 63
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), h. 170. Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, ( Bandung: Pustaka, 1994), h.
140. 64
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia : Pemikiran dan Praktek, hlm.vi.
37
sumber air atau sumber kehidupan, sedangkan syari’ah dalam pengertian ahli hukum mempunyai pengertian ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur’an dan sunnah dengan menggunakan metode tertentu (ushul fiqh). Berdasarkan istilah syari’ah itulah terbentuk istilah hukum Islam yang berarti peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah.65 1.2 Sifat-Sifat Hukum Islam Hukum Islam yang berkembang dan diakui kebenarannya oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang bersumber dari sesuatu yang diyakini mempunyai nilai sakralitas yang tinggi, dan diharapkan dapat menuntun umat ke jalan yang lebih baik. Yaitu dengan berkembangnya hukum Islam ke masyarakat maka hukum Islam bisa menjadi pedoman masyarakat dalam mengambil suatu tindakan dalam bertindak sehari. Proses perkembangan hukum Islam selalu didasari pada kaidah-kaidah hukum yang disampaikan kepada Nabi melalui wahyu Allah diturunkan secara berangsur-angsur antara lain untuk menghindari kegoncangan dalam masyarakat dan sekaligus pula bertujuan untuk mendidik manusia agar mampu meninggalkan (secara bertahap) kebiasaan-kebiasaan buruk ketika itu dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang didasarkan pada prinsip amar ma’ruf nahi mungkar
65
Ibid., h.vi.
38
yaitu:”perintah melaksanakan perbuatan baik dan mencegah perbuatan buruk”. 66 Beberapa sifat karakter hukum Islam yaitu: Pertama. Bidimensional (dua dimensi) yaitu dimensi duniawi yaitu untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia selama ia hidup di dunia ini dan dimensi ukhrowi yang merupakan tujuan terakhir dari perjalanan hidup manusia. setiap ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an selalu mengandung dua dimensi ini, sekalipun ia menyangkut tentang status individu. Misalnya kedudukan suami sebagai kepala keluarga, ia tetap diperintahkan untuk selalu ingat bahwa ia terikat dalam suatu aqad nikah sebagai suatu perjanjian yang kukuh yang dilandasi oleh iman kepada Allah. Kedua. Adil, karena dalam hukum Islam keadilan bukan merupakan tujuan, tetapi ia adalah sifat yang sudah melekat sejak kaidah-kaidah dalam syari’ah ditetapkan. keadilan dapat juga disebut sebagai fitrah hukum Islam. Ketiga. Kemasyarakatan dan Individualistik yang diikat oleh nilai-nilai transendental. Dengan sifat ini Hukum Islam memiliki validitas (kekuatan berlaku) baik bagi perorangan maupun masyarakat. Dalam sistem hukum lainnya sifat semacam inipun ada, tetapi nilai transendental sudah diasingkan. Keempat. Komprehensif (luas). bahwasanya dalam cakupannya Hukum Islam memiliki wilayah yang luas yaitu: ibadah yang meliputi: iman, shalat, zakat, puasa dan haji. Dan cakupan keluasan selanjutnya yaitu dalam urusan hubungan sosial masyarakat yang meliputi: muamalah, munakahat, wiratsah, ukubat 66
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h.45.
39
(pidana), mukhsamat (hukum acara), siyar (hukum interNasional) dan al-Ahkam al-Sultaniah (hukum tata negara). Kelima. Dinamis, karena Hukum Islam selalu dapat bergerak dengan perputaran zaman. salah satu penyebabnya karena dalam Islam terdapat sumber hukum ketiga yaitu ijtihad yang mana ini merupakan suatu metode untuk merumuskan perincian kaidah Hukum Islam yang berkaitan dengan aspek-aspek kemasyarakatan atau menemukan hukum baru dengan syarat tidak menyimpang dari jiwa Al-Qur’an dan sunnah Rosul Allah. 67 1.3 Tujuan Hukum Islam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.68 Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).69
67
Ibid., hal. 47-50.
68
Ibn Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut:Dar al-Jayl, t.th.), Jilid III h.3
69
Al- Syatiby, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo Mustafa Muhammad, t.th.), h.
150
40
Kalau dipelajari dengan seksama, ketetapan Allah dan ketentuan RasulNya yang terdapat dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, dapat diketahui tujuan Hukum Islam yang secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia didunia ini dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat bagi jasmani, rohani, individu dan sosial manusia dan mencegah atau menolak yang mudharat yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqasid al-Syari’ah / Maqasid alKhamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.70 a. Pemeliharaan Agama. Hal ini disebabkan agama merupakan hak dasar, pedoman dan sikap hidup manusia maka oleh karena itu Hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kebebasan setiap orang untuk beribadat menurut
keyakinannya
Menjaga
atau
memelihara
agama,
berdasarkan
kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1. Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti 70
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-mustashfa min ‘Ilm al-
Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),h. 20
41
melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.71 2. memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya. 3. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
b. Pemeliharaan Jiwa. Pemeliharaan jiwa adalah upaya untuk menjaga hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.untuk itu tujuan hukum Islam melarang merusak jiwa seperti: menganiaya, melukai,menyakiti, bahkan pembunuhan (Q.S.17:33):
ي وما فَ َق ْد َج َعلْنَا ليَولييِّيه ُسلْطَانًا فَ ََل ْ س الَّيِت َحَّرَم اللَّهُ إيََّل بي ً ُاْلَ ِّق َوَم ْن قُت َل َمظْل َ َوََل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف ورا ْ يُ ْس ير ُ ف يِف الْ َقْت يل إينَّهُ َكا َن َمْن ًص
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara lalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli 71
Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.),
jilid II, h. 2-3
42
warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.72 (Q.S.17:33).
Sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk dan mempertahankan kemaslahatan
hidupnya.
Memelihara
jiwa,
berdasarkan
tingkat
kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1. memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia. 2. memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya. 3. memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.73 c. Pemeliharaan Akal. karena dengan mempergunakan akalnya manusia akan dapat berpikir tentang tuhannya, alam semesta dan dirinya sendiri dan dengan akal manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan tanpa akal manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan pelaksana Hukum Islam.
72 73
Departemen Agama. Al-Quran dan Terjemah, hlm 429 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), h.128 – 131.
43
Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: 1. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal. 2. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. 3. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.74 d. Pemeliharaan Keturunan Agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat dalam hukum kekeluargaan dan kewarisan sebagai salah satu bagian dari Hukum Islam yang secara khusus diciptakan Allah untuk memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: 1. memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam. 2. memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misal, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis. 3. memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka 74
Ibid.
44
melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.75 e. Pemeliharaan Harta hal ini disebabkan harta adalah pemberian tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya. 76 Dilihat dari segi kepentingannya,Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: 1. memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta. 2. memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. 3. memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.77 Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi
75
Ibid
76
Mohammad Daud Ali,.Hukum Islam, h.55.
77
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam), hlm. 131.
45
dan misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
46
BAB III TINJAUAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAQOSHID AL SYARIAT TENTANG HAK ISTRI DALAM RUJUK A. Perspektif Hak Asasi Manusia Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara. Diantara pasal-pasal yang berkaitan dengan hak perempuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia mengenai menentukan mantan isteri menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yaitu pada pasal 15-16 tentang kovensi wanita yaitu : 1. Pasal 15 Konvensi Perempuan. Pasal ini
mencantumkan
persamaan
hak
antara
laki-laki
dan
perempuan di hadapan hukum. Hak tersebut meliputi hak untuk berurusan dengan instansi hukum, diakui kecakapan hukumnya, kesempatan untuk menjalankan kecakapan hukumnya antara lain dalam hal membuat kontrak, mengurus harta benda, serta perlakuan yang sama pada setia tingkatan prosedur di muka penegak hukum. Selain hak tersebut juga hak untuk berhubungan dengan orang, kebebasan memilih tempat tinggal maupun domisili mereka.
47
Berkaitan dengan hak tersebut, kewajiban negara adalah sepenuhnya hak tersebut membatalkan
kepada
kaum
perempuan. Negara
memberikan juga
wajib
kontrak atau dokumen yang berkekuatan hukum yang ditujukan
untuk membatasi kecakapan hukum perempuan. 2. Pasal 16 Konvensi Perempuan Menjamin tentang hak-hak perempuan di dalam perkawinan. Hak ini sebelumnya sudah diatur di dalam DUHAM, Kovenan
Hak Sipil dan Politik
dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Secara khusus Konvensi Perempuan memberi tekanan hak yang sama dalam : a. Memasuki jenjang perkawinan. b. Memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya. c. Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka dalam urusan yang berhubungan dengan anak. d. Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan. e. Penjarakan kelahiran anak, mendapat penerangan, pendidikan untuk menggunakan hak tersebut. f. Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. g. Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri, termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan. h. Hak sama untuk kedua suami isteri berhubungan dengan pemilikan atas perolehan, pengelolaan, penikmatan dan pemindahan harta benda.
48
B. Perspektif Maqasid al Syariah
Islam sebagai agama samawi, memiliki kitab suci al-Qur’an Sebagai sumber utama, al-Qur’an mengandung berbagai ajaran. Di kalangan ulama ada yang membagi kandungan al-Qur’an kcpada tiga kelompok besar, yaitu aqidah, khuluqiyyah dan ‘amaliah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan. Khuluqiyah berkaitan dengan etika atau akhlak. Amaliah berkaitan dengan aspek-aspek hukum yang muncul dari aqwal (ungkapan-ungkapan), dan af’al (perbuatan-perbuatan manusia). Kelompok terakhir (‘amaliah) ini, dalam sistematika hukum Islam dibagi ke dalam dua besar. Pertama ibadat, yang di dalamnya diatur pola hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua mu’amalah yang di dalamnya diatur pola hubungan antara sesama manusia.78
Secara lughawi (bahasa), Maqasid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni Maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk plural dan Maqasid yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.79
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syathibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan Maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu
78
Abd al-Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Kuwaitiyyah, Kairo, 1968, hlm. 32
79
Fazlurrahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1984, hlm. 140
49
ialah Maqasid al-syari’ah,80 al-Maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah81 dan Maqasid min syar’i al-hukm.82 Pada hemat penulis, walau dengan katakata yang berbeda, mengandung pengertian yang sama yakni tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah swt. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Al-Syathibi sendiri yakni ;
ْ ض َع صاِل َحه ْم ِفى َ فى ِقيَ ِام َم َ ه ِذ ِه ال َّش ِر يْ َعة… َو ِ َْق َمق ِ ع ِ ت لِتَحْ ِقي ِ اص ِد ال َّش ِ ار ال ِّدي ِْن َوالد ْنيَا َمعًا Artinya : “syari’ah ini…bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di akherat dan dunia bersama.”83 Dalam ungkapan Al-Syathibi yang lain adalah ;
لح ْال ِعبَاد َ اَألَحْ َكام َم ْشر ْو َعةٌ ل ِم ِ ِصا Artinya : “Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba.”84 Apabila ditelaah pernyataan Al-Syathibi tersebut, dapat dikatakan bahwa kandungan Maqasid al-syari’ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia. Pemahaman Maqasid al-syari’ah mengambil porsi cukup besar dalam karya Al-Syathibi. Maqasid al-Syari’ah secara tidak langsung dipaparkan hampir dalam ke-empat volume
al-
muwafaqatnya. Pemberian porsi yang besar terhadap kajian Maqasid alsyari’ah oleh Al-Syathibi ini, bertitik tolak dari pandangannya bahwa
80
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2003, Juz I, hlm. 15 81 Ibid. 82 Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,( Beirut, 2003,) Juz II, hlm. 283 83 Ibid
50
semua
kewajiban
(taklif)
diciptakan
dalam
rangka
merealisasi
kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah dalam pandangan AlSyathibi yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tak dapat dilaksanakan). Suatu hal yang tak mungkin terjadi pada hukumhukum Tuhan. Dalam mengomentari pandangan Al-Syathibi ini, Fathi alDaraini memperkuatkannya. Ia mengatakan bahwa hukum-hukum itu tidaklah dibuat untuk hukum itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan lain yakni kemaslahatan.85
Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.86 Ajaran (doktrin) Maqasid al-syari’ah AlSyathibi, menurut Khalid Mas’ud adalah upaya memantapkan maslahat sebagai unsur penting dari tujuan-tujuan hukum.87 Agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Maqasid al-syari’ah Al-Syathibi berupaya mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi.
85
Fathi al-Daraini, al-Manahij al-Ushuliyah fi Ijtihad bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’, Dar al-
Kitab al-Hadits, (Damsyiq, 1975), hlm. 28 86
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum dkk.,
Pustaka Firdaus, (Jakarta, 2005), hlm. 548 87
Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy, Islamic Research Institut,(
Islamabad, 1977), hlm. 223
51
Pada dasarnya tujuan utama disyariatkan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan baik didunia
maupun diakherat. Ia
bertujuan untuk melindungi
dan
mengembangkan perbuatan-perbuatan yang lebih banyak mendatangkan kemashlahatan, dan melarang perbuatan-perbuatan yang membawa pada bahaya dan pengorbanan yang tidak semestinya.iDengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Segala macam kasus hukum baik yang secara eksplisit diatur di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan di dalam kedua sumber utama tersebut, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan maka ia (kemaslahatan) itu harus dijadikan titik tolak penetapan hukumnya. Kemaslahatan seperti ini biasanya disebut dengan al-maslahat al-mu’tabarat. 88 Berbeda halnya jika kemaslahatan itu tidak dijelaskan secara eksplisit dalam kedua sumber itu, maka peranan mujtahid sangat menentukan untuk menggali dan menemukan “maslahat” yang terkandung dalam penetapan hukum .Pencarian “maslahat” ini sangat penting dalammenemukan hukum, karena penemuan maslahat adalah merupakan penemuan jiwa daripada nash. 88
Faturahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.128 – 131.
52
Kemaslahatan yang dikehendaki adalah kemaslahatan yang hakiki dan yang bersifat umum, bukan yang bersifat pribadi. Maslahat inilah yang menjadi hikmah hukum yang dicita-citakan oleh syara’ dalam membina hukum. Dengan demikian, hikmah suatu hukum syara’ adalah untuk mewujudkan maslahat dan menolak kemudharatan. Bahkan menurut Abu zahrah,sebagaimana dikutip Asrafi, bahwa tidak ada satupun hukum yang disyariatkan baik dalam al-Qur’an dan as-Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimiliki oleh manusia dipahami sebagai sesuatu yang relatif, tidak absolut. Karena itu, ketentuan apakah sesuatu itu menguntungkan atau membahayakan adalah relatif, satu sama lain dibedakan oleh besarnya resiko yang ada pada masing-masing perbuatan. Dilain pihak , kemaslahatan dan bahaya tidak harus selalu relatif, kebolehan dan pelarangannya, masing-masing ditentukan oleh sebuah paradigma dan bukan atas dasar pertimbangan kemaslahatan manusia semata di dunia. Pertimbangannya adalah berdasar pada konstruksi dari sebuah sistem hukum yang berkenaan dengan tingkah laku manusia, yaitu menyiapkan seseorang untuk hidup di akherat, dan membawa manusia secara personal untuk melaksanakan perintah Tuhan serta mengendalikan hawa nafsu. Inilah sebenarnya alasan dari diturunkannya syari’ah. Oleh sebab itu, apapun bentuk perbuatan yang hanya didasari pertimbangan pribadi dan bertentangan dengan nash ataupun semangat hukum sama sekali dilarang.
53
Perkembangan hak-hak manusia berjalan secara konstan, mulai dari tumbuh, berkembang, kemudian menjadi luas cakrawalanya, lalu menjadi jelas dengan deklarasinya. Sumber dari seluruh hak-hak asasi manusia akan selalu memperhatikan eksistensi dan martabatnya, sehingga tidak diinjak-injak oleh pihak lain. Karena diatas martabat inilah tegaknya tanggung jawab atau kepribadian manusia
secara
hukum
yang
membuatnya cakap untuk menikmati dan mempergunakan hak-hak asasi yang diikuti dengan berbagai kewajiban.89 . Dalam hal ini penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai falsafah dari seorang wanita (isteri) dalam persoalan rujuk sehingga dengan adanya maqsid syari’ah bisa mendapatkan yang terbaik bagi dirinya yaitu meliputi: 1. Menyelamatkan Agama yang merupakan salah satu ciri khas manusia, oleh karena itu manusia harus berusaha menyelamatkan agama dari rong-rongan.90 Agama harus dimiliki oleh setiap manusia
agar
tumbuh
dan
berkembang
arti
serta
jiwa
dimaksud
inti
kemanusiaannya. 2. Menyelamatkan
dan
menjaga
yang
ialah
memelihara dan menjaga hak hidup yang mulia ini.bentuk pemeliharaan jiwa antara lain dengan menjaganya dari setiap bahaya, disini sesuai dengan apa yang menjadi hak manusia 89
http/Amirsabri,blogspot.com diakses tanggal 28 juni 2013
90
Asmawi,Filsafat Hukum Islam, (surabaya. eLKAF,2006) hlm.48
54
khususnya dalam kasus rujuk dimana dalam fiqih rujuk mutlak milik seorang mantan suami sedangkan menurut KHI rujuk tidak sah tanpa persetujuan dari mantan isteri, serta pendapat KHI dikuatkan lagi oleh Maqasid al syariah yaitu memelihara jiwa. 3. Memelihara akal dalam konteks rujuk, khususnya bagi mantan isteri sangatlah penting untuk memelihara dan menjaga akal dari bahaya yang bisa menjadikan beban dalam hidupnya sehingga bisa menjadi penyakit (depresi) yang berlebihan sehingga bisa merusak akal dan fikiran. 4. Memelihara keturunan dalam hal ini sangatlah penting untuk melanjutkan hubungan keluarga kalau sudah mempunyai anak ketika perceraian terjadi. Disini dianjurkan supaya keturunannya (anaknya) mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. 5. Memelihara harta benda dalam hal rujuk dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penguasaan harta disalah satu pihak,dan pihak satunya terlantar tanpa harta. sehingga orang yang sudah berumah tangga (keluarga) rata-rata mempunyai harta besama. Oleh karena itu pasangan suami istri walaupun sudah cerai tapi harta bendanya masih menjadi milik kedua belah pihak. Untuk menjaga harta bendanya tetap utuh maka sepasang suami isteri kalau sudah bercerai, maka masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki hubungan keluarganya dengan cara rujuk demi menyelamatkan harta bersama, serta hubungannya bisa lebih baik lagi. Apabila
55
dalam kesempatan rujuk tidak ada kesepakatan maka untuk menyelamatkan harta bendanya bisa mengunakan jalur pengadilan supaya bisa di bagi sesuai dengan semestinya. Uraian diatas menunjukan pemberian hak isteri atau menetima rujuk berdasarkan Maqasid syariah, dengan dasar keadilan dan kerelaan (tanpa
paksaan)
dan
ditangani
oleh
orang-orang
yang
dapat
mengembangkan, memelihara dan menjaganya. Di samping itu dalam pemberian hak isteri dalam rujuk dengan maqsid syariah bisa saja terlaksana kelima yaitu mengenai memelihara Agama.memilihara, jiwa, akal, keturunan, harta benda. Sedangkan agama cukup global dalam pembahasan hal rujuk. Bedasarkan maqsa hid syariah menurut penulis benar adanya untuk melindungi manusia khususnya dalam perlindungan hak isteri menerima atau menolak rujuk dari mantan suaminya sehingga ada perlakuan sama antara mantan suami dan isteri dalam mengambil keputusan.
56
BAB IV ANALISIS A. Pemberian Hak Rujuk Menurut Hak Asasi Manusia Berdasarkan tinjauan teoritis tentang hak asasi manusia yang telah dipaparkan dalam Bab II, maka dapat dikatakan bahwa pemberian hak untuk menerima atau menolak rujuk bagi istri, merupakan langkah yang sesuai dengan amanat dokumen-dokumen hukum tentang hak asasi manusia, antara lain DUHAM, Konvensi Wanita, UUD 1945 dan UU HAM, yakni mengakui adanya persamaan harkat dan martabat perempuan sebagai manusia dan mengakui persamaan kedudukan perempuan dengan laki-laki di muka hukum. berdasarkan undang-ungdang no. 7 tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 50 “wanita telah dewasa dan/atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya,” Dalam pasal tersebut mengandung pengertian bahwa seorang
wanita
memiliki hak untuk melakukan “ perbuatan hukum”. Wanita dalam pasal tersebut disebut juga sebagai subyek hukum.91 Subyek hukum mengandung arti bahwa setiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama dan kebudayaannya mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Sedangkan wanita yang memepunyai hak dalam pasal tersebut terbatas pula pada wanita yang telah dewasa dan atau yang telah menikah. Telah dewasa di sini dapat diartikan sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Karena manusia sebagai hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan 91
Ishaq, Dasar-dasar ilmu Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), hlm 47
57
perbuatan hukum apabila manusia telah dewasa serta sehat jiwanya (rohaninya) dan tidak sedang dalam pengampuan. Selanjutnya yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah92 setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum yang mempunyai akibat hukum, dan akibat hukum itu memang dikehendaki oleh subjek hukum. Menurut
R. Soeroso, 93
perbuatan hukum adalah setiap subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur oleh hukum, karena akibatnya itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang melakukan hukum. Dalam hal ini penolakan rujuk yang dilakukan oleh isteri dalam masa iddah bisa dikategorikan sebagai perbuatan hukum. Karena penolakan rujuk tersebt berasal dari pihak isteri yang menghendaki penolakan tersebut dan perbuatan tersebut berakibat pada perubahan status isteri, yaitu status menjadi mantan isteri atau status kembali menjadi isteri yang sah dengan danya akad nikah baru sesuai dengan putusan Pengadilan Agama. Perbuatan hukum terdiri atas tiga jenis, yaitu:94 1. Perbuatan hukum bersegi satu, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja, misalnya pemberian wasiat. 2. Perbuatan hukum bersegi dua, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih, misalnya perjanjian yang dilakukan oleh dua orang sebagai subjek hukum. 92
http//hukumonline.com yang diakses pada tanggal 7 januari 2011
93
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996) hlm 291
94
Ishaq, Ilmu hukum, hlm 125
58
3. Perbuatan hukum bersegi banyak, yaitu perbuatan hukum yang akibat hukumnyaditimbulkan oleh kehendak dari banyak pihak, seperti perjanjian yang melibatkan banyak pihak. Dalam konteks masalah menolak atau menerima rujukyang dilakukan oleh isteri ini termasuk pada perbuatan huum segi dua.karena rujuk dalam hal ini sama halnya dengan pernikahan. Sedangkan pernikahan termasuk dalam perjanjian antara dua orang yaitu suami dan isteri. Perbuatanhukum yang dilakukan oleh isteri dalam masa Iddah ini memepunyai akibat hukum. Akibat hukum adalah95 akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum. Ada tiga jenis akibat hukum, yaitu: 6. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, lenyapna sauatu keadaan hukum tertentu. 7. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua subjek hukum atau lebih di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. 8. Lahirnya sanksi jika dilakukan tindakan yang melawan hukum. Sedangkan dalam masalah interi menolak atau menerima rujuk termasuk dalam akibat hukum kedua, yaitu lahirnya , berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara suami isteri. Setelah adanya putusan talak satu atau talak dua daru seorang suami kemada isteri
95
Ibid., hlm 86-87
59
maka hubungan suami isteri berada dalam batasan masa iddah, yaitu suami mempunyai hak untuk merujuk i isterinya yang sedang dalam masa iddah tersebut bila suami menghendaki rujuk. Namun apabils rujuk yang dilakukan suami dalam masa iddah isteri tersebut ditolak oleh isteri maka maka tidak akan terjadi rujuk kecuali atas putusan hakim pengadilan Agama. Apabila penolakan rujuk isteri dikabulkan oleh hakim pengadilan Agama maka akan menimbulkan akibat hukum kedua, yaitu berupa lahirnya, berubahnya dan lenyapnya suatu hukum antara dua subjek hukum atau lebih dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain. Artinya, hubungan suami dan isteri tidak bisa kembali seperti semula dengan menjadi keluarga. Selanjutnya, dalam pasal 50 tersebut terdapat kata-kata “kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”. Hal ini relavan dengan pasal 165 KHI yang menyebutkan bahwa rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan manta isteri, daat dinyatakan tidak sahdengan putusan hakim peradilan Agama. Sedangkan yang dimaksud dengan “hukum Agamanya” dalam hal iniadalah KHI. Karena KHI merupakan sumber hukum material pegadilan Agama dalam memutuskan suatu permasalahan hukum. 16 DUHAM : (1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perekawinan dan di saat perceraian. (2) 60
Perkawinan
hanya
dapat
dilaksanakan berdasarkan
pilihan
bebas
persetujuan penuh oleh kedua mempelai . memiliki harta sendiri, P asal
dan 17
DUHAM (1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, hak atas upah yang sama , Pasal 23 (2) Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. hak perawatan dan bantuan istimewa, Pasal 25 (2) Ibu dan anakanak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.96 Diantara pasal-pasal yang berkaitan dengan
hak perempuan
yang berkaitan
dengan hak asasi manusia mengenai menentukan mantan isteri menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yaitu pada pasal 15-16 tentang kovensi wanita yaitu: Pasal 15 Konvensi Perempuan97 mencantumkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di hadapan hukum.Hak tersebut meliputi hak untuk berurusan dengan instansi hukum, diakui
kecakapan hukumnya,
kesempatan
untuk
menjalankan kecakapan
hukumnya antara lain dalam hal membuat kontrak, mengurus harta benda, serta perlakuan yang sama pada setia tingkatan prosedur di muka penegak hukum. Selain hak tersebut juga
96
http//elsam.or.id, Hak asasi perempuan dan confensi cendow
97
Ibid.., hlm 15
61
hak untuk berhubungan dengan orang, kebebasan memilih tempat tinggal maupun domisili mereka. Berkaitan dengan hak tersebut, kewajiban negara adalah
memberikan
sepenuhnya hak tersebut
juga
membatalkan
kepada
kaum
perempuan. Negara
wajib
kontrak atau dokumen yang berkekuatan hukum yang ditujukan
untuk membatasi kecakapan hukum perempuan. Pasal 16 Konvensi Perempuan Menjamin tentang
hak-hak
perempuan
di
dalam perkawinan.
sebelumnya sudah diatur di dalam DUHAM, Kovenan
Hak
ini
Hak Sipil dan Politik
dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Secara khusus Konvensi Perempuan memberi tekanan hak yang sama dalam : 1. Memasuki jenjang perkawinan. 1. Memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya. 2. Hak dan tanggung jawab yang samasebagai orang tua, terlepas dari status kawin mereka dalam urusan yangberhubungan dengan anak. 3. Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan. 4. Penjarakan kelahiran anak, mendapat penerangan, pendidikan untuk menggunakan hak tersebut. 5. Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. 6. Hak pribadi yang sama sebagai suami isteri, termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi dan jabatan. 7. Hak sama untuk kedua suami isteri berhubungan dengan pemilikan atas perolehan, pengelolaan, penikmatan dan pemindahan harta benda.
62
Kewajiban negara dalam hal ini adalah membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan, kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan dan menjamin agar hak-hak tersebut dipenuhi. Negara juga berkewajiban untuk mengambil tindakan yang perlu termasuk perubahan perundang-undangan
untuk
menetapkan
usia minimum
perkawinan,
dan
mewajibkan pendaftaran perkawinan di kantor Catatan Sipil yang resmi. Dengan demikian
negara akan menyatakan pertunangan dan perkawinan anak
dibawah umur tidak mempunyai akibat hukum (tidak sah).
B. Pemberian Hak Rujuk Menurut Maqasid al Syariah
Berdasarkan tinjauan teoritis tentang Maqasid al syariah yang telah dipaparkan dalam Bab II, maka dapat dikatakan bahwa pemberian hak untuk menerima atau menolak rujuk bagi istri, merupakan langkah yang sesuai dengan Maqasid al syariah, yakni upaya mencapai kemaslahatan. Adapun rincian kemaslahatan yang dapat dilihat dari pemberian hak ini adalah : Pertama, dalam hal memelihara Agama disini sesuai dengan apa yang menjadi hak manusia khususnya dalam kasus rujuk dimana dalam fiqih rujuk mutlak milik seorang mantan suami sedangkan menurut KHI rujuk tidak sah tanpa persetujuan dari mantan isteri, serta pendapat KHI dikuatkan lagi oleh Maqasid syariah yaitu memelihara Agama jadi apabila terjadinya perceraian dengan alasan suami tidak melaksanakan kewajiban Agama ditakutkan akan merusak
63
keharmonisan kelurga sehingga
memelihara agama disini bertujuan untuk
menjaga dan memelihara agama serta menyelamatkan jiwa dengan beragama bisa membersihkan diri dan untuk menumbuhkan jiwa dan semangat beragama. Kedua, untuk itu, apabila perceraian diakibatkan dengan cek cok (pertengkaran) dan rujuknya itu terjadi menurut hukum fiqh maka akan timbul kekhawatiran bagi mantan isteri jika melanjutkan hubungan dengan mantan suaminya karena mantan isteri takut kalau jiwanya terancam lagi (dianiaya) oleh mantan suaminya. Sehingga dalam hal ini Islam memberi kebebasan yang ditunjukan untuk menegakan kemulyaan kehidupan manusia supaya tetap sehat jiwa dan akalnya. Ketiga, Memelihara akal dalam konteks rujuk, khususnya bagi mantan isteri sangatlah penting untuk memelihara dan menjaga akal dari bahaya yang bisa menjadikan beban dalam hidupnya sehingga bisa menjadi penyakit (depresi) yang berlebihan sehingga bisa merusak akal dan fikiran. Depresi merupakan perasaan sedih dan tertekan yang menetap, perasaan berat sedemikian beratnya sehingga tidak bisa melaksanakan fungsi sehari-hari sebagai orang tua, pegawai, pasangan hidup, dan pelajar.98 Kalau saja terjadi depresi berlebihan dialami isteri maka bisa mengakibatkan jangguan jiwa rendah yang lama kelamaan bisa mengakibatkan gila , oleh karena itu mantan isteri mempunyai hak membela dirinya dengan cara menolak rujuk dari mantan suami kalau saja masih memiliki rasa takut kalau rujuk kepada mantan suaminya tidak menjadi keluarga yang lebih baik lagi justru semakin parah hubungannya dan tidak takut dengan beban yang akan ditanggungnya 98
dan akalnya
tetap terjaga
kesehatannya. Sehingga
bisa
Dadang Hawari D. Manajemen Stress, Cemas dan Depresi,( Jakarta : Gaya Baru 2002.)
hlm. 3
64
menjalankan aktifitas sehari-hari lagi tanpa beban yang berlebihan. Keempat, Memelihara keturunan dalam hal ini sangatlah penting untuk melanjutkan hubungan keluarga kalau sudah mempunyai anak ketika perceraian terjadi. Disini dianjurkan supaya keturunannya (anaknya) mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu dalam rujuk mantan isteri bisa menerima permintaan rujuk dari mantan suaminya demi kepentingan keturunya (anaknya) dan isteri takut apabila tidak rujuk dengan anaknya, anaknya nanti siapa yang membimbing kalau kelurganya tidak bersatu. Serta yakin dengan kembali kemantan suami keluarganya akan lebih baik dengan pengalaman yang sudah terjadi tetapi mantan isteri juga rela kalau dimintai rujuk tanpa paksaan. Oleh karena itu perlindungan anak atau keturunan bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.99
C. Kesesuaian antara Hak Asasi Manusia dan Maqasid al Syariah dalam Pemberian Hak Istri atas Rujuk Perkembangan hak-hak manusia berjalan secara linier, mulai dari tumbuh, berkembang, kemudian menjadi luas cakrawalanya, lalu menjadi jelas dengan deklarasinya. Sumber dari seluruh hak-hak asasi manusia akan selalu 99
A. Syukur Fatahilah, Mediasi Perkara KDRT Teori dan Prektik di Pengadilan
Indonesia. (bandung, mandar maju 2011) hlm. 142
65
memperhatikan eksistensi dan martabatnya, sehingga tidak diinjak-injak oleh pihak lain100. Karena diatas martabat inilah tegaknya tanggung jawab atau kepribadian manusia secara hukum yang membuatnya cakap untuk menikmati dan mempergunakan hak-hak asasi yang diikuti dengan berbagai kewajiban. Hal ini telah disinggung dalam al-Qur’an yang berbunyi:
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka didaratan dan dilautan, kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”(Q.S.alIsra:70)101
Ayat ini mensinyalir bahwa Allah mengangkat derajat manusia. Namun masih banyak kita jumpai praktek-praktek pelanggaran HAM yang berimplikasi pada intervensi satu kelompok kepada kelompok lain. Misalnya imperialisme yang dilakukan Barat terhadap negara terjajah dan bahkan sekarang terhadap negara berkembang, merupakan bukti pelanggaran tersebut. Dr. Muhammad Imarah
100 101
http/Amirsabri,blogspot.com. diakses tanggal 28 juli 2013 Depertemen Agama, Al-Quran dan Terjemah hal 435
66
menilai, maraknya tradisi imperialisme yang menjamah dunia Islam telah melahirkan budaya sekularisme. Gagasan sekularisme ini mengawali terjadinya benturan pemikiran Islam-Barat. Selama Islam dalam hegemoni penjajah, maka peran dalam gelanggang Internasional amat kurang. Oleh karena itu ketika Islam tersosialisasi
dengan
memformulasikan
baik,
cendekiawan
konsep-konsep
Islam
muslim
dalam
tertantang
interaksi
dengan
untuk dunia
Internasional, diantaranya tentang HAM. Permasalahan inti dalam HAM adalah terjaganya hak seseorang dari ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dari pihak lain. Terjaganya eksistensi manusia dari kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pihak luar. John Locke sendiri menamai hak-hak tersebut dengan istilah hak alamiyah, yang tidak boleh di rampas oleh lembaga dan organisasi manapun termasuk negara. Disamping itu karena memang hak ini ada sebelum Negara itu terbentuk. HAM ketika dikomparasikan dengan maqsā hid al syari’ah, ternyata berkaitan sekali. Karena maqāsid sendiri berusaha untuk menjaga kemaslahatan seseorang. Disinilah letak relevansi antara HAM dengan Maqasid Syari’ah . Ketika manusia berhadapan dengan permasalahan yang mendesak, dalam keadaan terpaksa dan dalam kesulitan, maka maqsā hid memberikan alternatif untuk keluar dari jurang kesulitan tersebut, sehingga hak-haknya terjaga dari kerusakan. Berhasilnya taklīf syari’ah akan diperoleh dengan menjaga prinsip-prinsipnya, serta mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat menghambatnya. Kalau kita telaah lebih jauh, alternatif solusi yang dikedepankan oleh maqasid lebih terperinci dibanding dengan deklarasi tentang HAM. Maqsāhid tidak hanya melihat mashlahah
67
manusia secara personal dan duniawi, tetapi juga memperhatikan secara lingkup sosial dan permasalahan ukhrawi. Bagaimana kalau kepentingan manusia tersebut berbenturan dengan agama, jiwa, akal, keluarga dan hartanya. Dalam aplikasinya, hal ini dilandasi dengan skala prioritas, sehingga mashlahah yang diberikan oleh syara’ adalah mashlahah yang paling urgen dan tertinggi dari yang lainnya. Sampai sedemikian rincinya maqsid syari’ah memberikan solusi demi terjaganya hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai falsafah dari seorang wanita (isteri) dalam prsoalan rujuk sehingga dengan adanya hak asasi manusia dan maqsid syari’ah bisa mendapatkan yang terbaik bagi dirinya yaitu meliputi: 1. Dalam hak asasi manusia pada bagian kesatu yaitu, hak untuk hidup adalah setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.102 Hak untuk hidup ini relavan dengan maqasdi syariah tentang menyelamatkan jiwa yaitu Pemeliharaab jiwa adalah upaya untuk menjaga hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.untuk itu tujuan hukum Islam melarang merusak jiwa seperti: menganiaya, melukai, menyakiti, bahkan pembunuhan. Dalam konteks hak rujuk bagi istri hak untuk hidup dan pemelihara jiwa adalah upaya untuk menyelamatkan manusia (isteri) supaya hidup dan jiwanya tidak terganggu. Apabila mantam suami yang akan merujuk 102
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 163
68
mantan isterinya yang sudah cerai dan masih dalam masa iddah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isteri begitu saja dan mantan isteri mempunyai hak menerima atau menolak rujuk yang diatur dalam KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah
tersebut karena dengan
adanya hak bagi mantan isteri dalam persoalan rujuk itu bertujuan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik serta jiwanya tidak terancam oleh kelakuan mantan suminya yang mempunyai perilaku yang anarkis terhadap keluarganya untuk menghindari hal yang semacam itu maka mantan isteri diberi hak untuk menolak rujuk dari mantan suami. 2. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tentran serta pelindungan terhadap ancaman ketautan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.103 Hak atas rasa aman
ini relavan dengan maqasdi syariah
tentang menyelamatkan harta hal ini disebabkan harta adalah pemberian tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya.104 Dalam persoalan rujuk khususnya bagi mantan isteri yang menurut hukum fiqh selalu dirugikan karena dalam fiqh rujuk mutlak milik suami. Akan tetapi dengan munculnya KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami 103 104
Ibid., 167 Mohammad Daud Ali,.Hukum Islam, h.55.
69
yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isterinya tanpa persetujuannya, dalam rujuk pastinya mantan isteri menginginkan hak atas rasa aman baik dirinya maupun harta bendanya. Ditakutkan jika mantan isteri menerima rujuk dari mantan suaminya yang mempunyai sifat boros, seperti: main judi, mabuk sedangkan penghasilanya buat kebutuhan sehari-hari saja pas-pasan, oleh karena itu oleh KHI. HAM dan Maqasid syariah merupakan wujud untuk mencegah terjadinya ketidakadilan mengenai rasa aman dan harta bendanya . 3. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadial dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. 105 Hak memperoleh keadilan relavan dengan Maqasid syariah memelihara akal yang dimaksud ialah memelihara dan menjaganya dari bahaya yang akan membuat seseorang menjadi beban masyarakat dan sumber kejahatan bagi orang lain.106 Dalam persoalan rujuk khususnya bagi mantan isteri yang menurut hukum fiqh selalu dirugikan karena dalam fiqh rujuk mutlak milik suami. Akan tetapi dengan munculnya KHI yang mana mantan isteri mempunyai 105 106
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 163 Asmawi, Filsafat Hukum Islam. () hlm 49
70
kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isterinya tanpa persetujuannya. Karena pemberian hak yang sama antara mantan suami dan mantan isteri bertujuan untuk menyamakan derajat laki-laki dan perempuan dihadapan hukum. Apabila dalam rumah tangga mantan suaminya sering utang-piutang sebelum terjadinya perceraian maka di khawatirkan kalau rujuk terjadi bisa merusak akal dari mantan isterinya. Serta mantan istri yang mau dirujuk oleh mantan suami mempunyai hak keadilan yang sama guna menyalamatkan akalnya dari permasalahan yang telah dihadapi sehingga tidak menyebabkan gangguan jiwanya. 4. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh manjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya. Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba, Setiap orang bebas memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.107 Hak atas kebebasan pribadi relavan dengan Maqasid syariah memelihara Agama merupakan hak dasar, pedoman dan sikap hidup manusia maka oleh karena itu Hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kebebasan setiap orang untuk beribadat menurut keyakinannya Menjaga atau memelihara agama.108
107 108
Ibid., hlm 165 Mohammad Daud Ali,.Hukum Islam, h.55.
71
Dalam persoalan rujuk khususnya bagi mantan isteri yang menurut hukum fiqh selalu dirugikan karena dalam fiqh rujuk mutlak milik suami. Akan tetapi dengan munculnya KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isterinya tanpa persetujuannya. Karena pemberian hak yang sama antara mantan suami dan mantan isteri bertujuan untuk menyamakan derajat laki-laki dan perempuan dihadapan hukum. Dalam hal ini apabila mantan suaminya sebelum bercerai tidak melaksanakan ibadah yang sesuai dengan keyakinannya (Islam) maka dikhawatirkan seandainya terjadi rujuk bisa merusak Agamanya dari mantan isteri, supaya permasalahan seperti itu tidak terjadi maka penting untuk mantan isteri menentukan keputusannya sehingga hak atas kepentingan pribadi dan memelihara Agama bisa tertolong dan diselamatkan. 5. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasanya secara melawan hukum.109 Hak anak
relavan dengan Maqasid syariah
memelihara keturunan maksudnya adalah memelihara jenis manusia dan mendidiknya dengan pendidikan yang dapat menumbuhkan sikap persahabatan atau persatuan diantara sesamanya oleh karena itu anak
109
Ibid,. Hlm 167
72
harus mendapat hak didik, asuh, dipelihara sesuai dengan ajaran agama dari kedua orang tuanya.110 Dalam persoalan rujuk khususnya bagi mantan isteri yang menurut hukum fiqh selalu dirugikan karena dalam fiqh rujuk mutlak milik suami. Akan tetapi dengan munculnya KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isterinya tanpa persetujuannya. Karena pemberian hak yang sama antara mantan suami dan mantan isteri bertujuan untuk menyamakan derajat laki-laki dan perempuan dihadapan hukum. Apabila dalam keluarga sebelum terjadinya perceraian mempunyai anak dan mantan suaminya mempunyai perilaku yang anarkis terhadap keluarga termasuk melakukan kekerasan pada anaknya, dengan kejadian yang semacam itu dalam keluarga maka mantan isteri mempunyai hak untuk melanjutkan atau tidak hubungan keluarganya (rujuk) guna menyelamatkan hak anak dan keturunan supaya tidak terjadi kekerasan walaupun hidup tanpa adanya mantan suami (ayah). 6. Hak wanita, seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, prosesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam melaksanakan pekerjaan atau profesinya
110
Asmawi, Filsafat Hukum Islam, hlm 50
73
terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.111 Hak wanita ini relavan dengan maqasdi syariah tentang menyelamatkan jiwa yaitu Pemeliharaab jiwa adalah upaya untuk menjaga
hak
manusia
untuk
hidup
dan
mempertahankan
kehidupannya.untuk itu tujuan hukum Islam melarang merusak jiwa seperti: menganiaya, melukai, menyakiti, bahkan pembunuhan. Dalam konteks hak rujuk bagi istri hak untuk hidup dan pemelihara jiwa adalah upaya untuk menyelamatkan manusia (isteri) supaya hidup dan jiwanya tidak terganggu. Apabila mantam suami yang akan merujuk mantan isterinya yang sudah cerai dan masih dalam masa iddah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isteri begitu saja dan mantan isteri mempunyai hak menerima atau menolak rujuk yang diatur dalam KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah. Untuk ini dalam hak wanita ini mutlak hak mantan isteri untuk menentukan pilihannya sendiri baik menerima atau menolak rujuk dari mantan suami. Apabila dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran sebelum terjadinya perceraian maka dalam masa iddah mantan isteri mempunyai hak untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suaminya bila suami mengajak rujuk. Untuk mnyelamatkan hak wanita dan memelihara jiwanya maka wanita di beri hak yang sama seperti laki-laki dimuka hukum.
111
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 172
74
7. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah atas kehendak yang bebas.112 Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan relavan dengan Maqasid syariah memelihara keturunan maksudnya adalah memelihara jenis manusia dan mendidiknya dengan pendidikan yang dapat menumbuhkan sikap persahabatan atau persatuan diantara sesamanya oleh karena itu anak harus mendapat hak didik, asuh, dipelihara sesuai dengan ajaran agama dari kedua orang tuanya. 113 Dalam persoalan rujuk khususnya bagi mantan isteri yang menurut hukum fiqh selalu dirugikan karena dalam fiqh rujuk mutlak milik suami. Akan tetapi dengan munculnya KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isterinya tanpa persetujuannya. Karena pemberian hak yang sama antara mantan suami dan mantan isteri bertujuan untuk menyamakan derajat laki-laki dan perempuan dihadapan hukum. 8. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjangkan hak pengembangan dirinya. Baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara. 114 Hak memperoleh keadilan relavan dengan Maqasid syariah memelihara akal yang
112
ibid Asmawi, Filsafat Hukum Islam, hlm 50 114 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 172 113
75
dimaksud ialah memelihara dan menjaganya dari bahaya yang akan membuat seseorang menjadi beban masyarakat dan sumber kejahatan bagi orang lain.115 Dalam persoalan rujuk khususnya bagi mantan isteri yang menurut hukum fiqh selalu dirugikan karena dalam fiqh rujuk mutlak milik suami. Akan tetapi dengan munculnya KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isterinya tanpa persetujuannya. Karena pemberian hak yang sama antara mantan suami dan mantan isteri bertujuan untuk menyamakan derajat laki-laki dan perempuan dihadapan hukum. oleh karena itu, apabila dalam perceraiannya salah satu penyebabnya adalah KDRT maka apabila mantan isteri yang akan dirujuk takutnya akan mendapatkan perlakuan yang sama dan terancam jiwa akalnya. untuk itu mantan isteri juga diberi hak untuk mengembangkan diri dengan mengunakan akal pikirannya sehingga bisa bertahan hidup tanpa adanya kekerasan, 9. Hak atas kesejahteraan, setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang laindemi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapat jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi
115
Asmawi, Filsafat Hukum Islam. () hlm 49
76
melindungi
dan
memeperjuangkan
kehidupannya. 116
Hak
atas
kesejahteraan relavan dengan maqasdi syariah tentang menyelamatkan jiwa yaitu Pemeliharaab jiwa adalah upaya untuk menjaga hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. untuk itu tujuan hukum Islam melarang merusak jiwa seperti: menganiaya, melukai, menyakiti, bahkan pembunuhan. Dalam konteks hak rujuk bagi istri hak untuk hidup dan pemelihara jiwa adalah upaya untuk menyelamatkan manusia (isteri) supaya hidup dan jiwanya tidak terganggu. Apabila mantam suami yang akan merujuk mantan isterinya yang sudah cerai dan masih dalam masa iddah maka mantan suami tidak bisa sewena-wena merujuk mantan isteri begitu saja dan mantan isteri mempunyai hak menerima atau menolak rujuk yang diatur dalam KHI yang mana mantan isteri mempunyai kewenangan untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami yang selanjutkan dikuatkan oleh HAM dan Maqasid syariah. Oleh karena itu, apabila penyebab perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami isteri adalah KDRT maka mantan isteri akan terancam jiwanya bila rujuk kepada mantan suaminya, sehingga untuk menyelamatkan jiwanya dan bisa hidup sejahtera mak mantan isteri memiliki hak untuk menerima atau menolak rujuk dari mantan suami. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan pemberian hak isteri menerima atau menolak rujuk dalam masa iddah oleh KHI berdasarkan hak asasi
116
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, hlm 172
77
manusia dan Maqasid syariah sangatlah diperlukan untuk menetapkan hukum khususnya pada hak wanita (isteri), sebab dengan adanya KHI yang di kuatkan oleh HAM dan maqasid syariah maka akan terwujud hukum yang berkeadilan dan berdasarkan kepada kebenaran, yang semuanya bermuara kepada terwujudnya kemashlahatan khususnya bagi wanita. Terwujudnya kemashlahatan yang ditandai dengan lahirnya putusan yang adil dan benar merupakan tujuan Allah dalam menetapkan hukum. untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hukum Islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
78
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dalam masalah Hak Isteri Menerima Atau Menolak Rujuk Dalam Masa Iddah Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Maqasid Syariah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam kompilsi hukum Islam (KHI) isteri berhak mengajukan keberatan atas rujuk yang dilakukan oleh mantan suaminya (pasal 64 KHI), hal ini menunukan bahwa terdapat perlindungan hak terhadap wanita (mantan isteri yang sedang dalam masa iddah). Perubahan dari konsep fiqh yang tidak memperbolehkan isteri menolak rujuk yang dilakukan oleh mantan suaminya menjadi diperbolehkan mengunakan kaidah fiqhiyah,
تغيير االحكام با الزمنة واالمكنة Bahwa berubahnya suatu hukum itu tergantung oleh berubahnya waktu dan tempat, serta dengan mempertimbangkan
79
درء المفاسد {مقدم علي} جلب المصالح Dengan adanya kaidah-kaidah tersebut maka terjadilah perubahan hukum tersebut menjadi lebih baik dan sesuai dengan zaman dan kondisi di Indonesia. Terdapat relevansi antara KHI dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada bagian kesembilan yang membahas tentang hak wanita pasal 50, yaitu “wanita telah dewasa dan/atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.” Perbuatan hukum yang dimaksud dalam pasal ini adalah penolakan atau menerima rujuk, sedangkan hukum agamanya yaitu konsep hukum Islam
yang relavan dengan KHI yang sama-sama memberi
perlindungan hukum terhadap wanita. Serta dikuatkan lagi pendapat dalam pasal 50 tersebut dalam undang-undang No. 39 Tahun 1999 oleh pasal 16 konfensi wanita yaitu Pasal 16 Konvensi Perempuan menjamin tentang hak-hak perempuan di dalam perkawinan. Hak ini sebelumnya sudah diatur di dalam DUHAM, Kovenan. Semua pemberian hak tersebut khususnya kepada seoarang mantan isteri (wanita) supaya wanita juga mendapatkan perlakuan sama didepan hukum dan mantan isteri juga mendapatkan hak-hak untuk menentukan pilihannya karena mantan isteri mempunyai pengalaman dimana mau melanjutkan atau mengakhiri keluarganya.
80
2. Bahwa Maqasid syariah adalah konsep untuk mengetahui hikmah (nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersurat dan tersirat dalam Alqur’an dan Hadits). Yang ditetapkan oleh al-syari terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu kebaikan dan kesejahteraan umat manusia khususnya dalam permasalahan ini adalah hak wanita (isteri), dalam KHI pemberian hak rujuk yaitu
untuk
mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hukum Islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup. Sehingga dalam mementukan keputusan mantan istri bisa hidup lebih baik dengan pengalaman yang sudah dijalaninya.
B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka peneliti memberi beberapa saran berikut ini: 1. Penelitian ini merupakan sebagian kecil dari hasil penelitian tentang rujuk yang mencangkup dalam Hak Asasi Manusia dan Maqasid Syaiah, oleh karena itu, untuk mengkaji lebih lanjut, dapat dibaca dalam hasil penelitian yang lain atau dengan melanjutkan penelitian yang lebih mendalam. 2. Kepada peneliti lain yang akan datang dapat mengembangkan penelitian ini menjadi lebih bagus dan sesuai dengan hukum Islam di Indonesia masa mendatang. 81
3. Diharapkan penelitian ini tidak hanya diterapkan dalam teoritis, tetapi harus ada aplikatif dalam kegiatan sehari-hari. 4. Penelitian ini diharapkan agar dapat menjadi bahan rujukan perlaksanaan rujuk yang berlaku di Indonesia
82