BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keloid saat ini tidak hanya merupakan masalah bagi penderitanya, tetapi juga merupakan masalah bagi dokter. Bagi pasien-pasien keloid dapat
menyebabkan
tidak
percaya
diri,
keterbatasan
dalam
bergaul/bersosialsasi, perasaan tidak nyaman jika berteman, kehilangan banyak teman, dan pada lokasi tertentu dapat mengganggu pekerjaan. (Bock, et al., 2006, Olaitan, 2009). Hingga saat ini belum ada kesepakatan mengenai
pemilihan
terapi
yang
tepat
dan
optimal
dalam
penanggulangannya, dan bahkan terdapat kecenderungan kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan (Kelly, 1991; Burton & Lovell, 1998; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000; Harting, et al., 2008). Keloid adalah jenis pembentukan parut abnormal pada kulit yang terjadi akibat dari deposisi kolagen yang berlebihan. Mekanisme dan sebab-sebabnya
belum
sepenuhnya
dipahami,
tetapi
dianggap
melibatkan faktor-faktor histologik lokal. Pada keloid dijumpai proliferasi yang berlebihan pada sel fibroblas, dan rendahnya apoptosis fibroblas keloid,
timbunan serabut kolagen, glikosaminoglikan, fibronektin, dan
timbunan kolagenase dengan aktivitas yang rendah. Timbunan tersebut terjadi karena hiperproliferasi fibroblas, peningkatan sintesis kolagen akibat stimulasi transforming growth factor (TGF)-β1 dan vascular endhothelial growth factor (VEGF), serta menurunnya degradasi kolagen
1
Universitas Sumatera Utara
2
akibat inhibitor kolagenase. Transforming growth factor dan VEGF dihasilkan oleh keratinosit dan fibroblas (Burton & Lovell, 1998). Deteksi apoptosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan Tunel
assay dan
pengukuran kadar TGF-β 1 dengan cara Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Saat
ini
terdapat
banyak
pilihan
modalitas
terapi
dalam
penatalaksanaan keloid dan masih terus berkembang, antara lain: Light Amplification by Stimulated Emission Radiation (LASER), pengangkatan secara bedah (eksisi), radio terapi, penempelan dengan gel silikon, cryotherapy, interferon, bleomicyn, 5-fluorouracil, kortikosteroid intralesi atau topikal, ataupun kombinasi di antaranya (Kelly, 1991; Dawber, et al., 1992; Wheeland, 1996; Burton & Lovell, 1998;
Anigbogu & Maibach,
2000; Manuskiatti & Fitzpatrick, 2000, Harting, et al., 2008). Masih banyak pilihan terapi yang potensial yang masih dalam tahap penelitian, antara lain: asam retinoat topikal, putresin topikal, injeksi verapamil, pentoksifilin, vitamin E, anti TGF-β, imiquimod, interferon-α-2b, mitomycin C (Kelly, 1991; Kirton, 1999; Harting, et al., 2008; Chike-Obi, et al., 2009; Berman & Flores, 2010). Untuk mencegah terjadinya keloid secara dini dengan menghindari faktor risiko pencetus ataupun dengan salah satu atau kombinasi modalitas pilihan terapi yang ada (Dufresne, 1998). Selain tindakan operatif dan bahan kimia sebagai bahan pilihan terapi yang potensial, beberapa bahan herbal yang sudah dipasarkan untuk pengobatan keloid adalah yang berasal dari tanaman pegagan
Universitas Sumatera Utara
3
(ekstrak Centella asiatica)(Shetty, et al., 2006,) dan dari gel ekstrak bawang (onions) (Koc, et al., 2008). Alam Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati sehingga merupakan ladang bahan baku bagi penelitian obat-obat herbal. Hampir seluruh daerah memiliki tanaman obat yang telah dibuktikan khasiatnya secara turun temurun (tradisional). Di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 381/MENKES/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional, disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, dan memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah. Dengan demikian obat tradisional dapat bermanfaat secara luas, baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan kesehatan formal. Penggunaan obat tradisional (herbal) di Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa dan pada umumnya efektivitas dan keamanannya belum didukung oleh penelitian yang ilmiah. Pengembangan teknologi pembuatan dan pembuktian khasiat obat tradisional didukung oleh berbagai penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dan lembaga – lembaga penelitian lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Setelah beberapa dekade menggantungkan
pengobatan pada
obat-obat modern, saat ini orang mulai melirik pengobatan tradisional. Kembali ke alam (back to nature) mulai dikumandangkan sejumlah perkumpulan profesi, baik dari kalangan farmasis maupun dokter. Beberapa organisasi profesi didirikan berkaitan dengan maraknya
Universitas Sumatera Utara
4
penggunaan obat tradisional, antara lain Sentra Pengembangan, dan Penerapan
Pengobatan
Tradisional
(SP3T),
Perhimpunan
Dokter
Indonesia Pengembangan Kesehatan Tradisional Timur (PDPKT) dan Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI). Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan semakin mendorong upaya penelitian dan pengkajian terhadap obat tradisional (Pramono, 2010). Pengembangan dan penelitian obat tradisioanal (terutama herbal) tampaknya sejalan dengan kebutuhan pasar nasional yang mulai memberi perhatian besar pada obat tradisional. Permintaan tersebut sewajarnya diikuti dengan ketersediaan. Di sinilah peran penelitian dan pengkajian, baik mengenai khasiat, efek samping, legalitas, maupun pemasaran obat herbal (Pramono, 2010). Kekayaan bahan baku herbal dan permintaan pasar yang besar tidak saja bermanfaat bagi pelayanan kesehatan nasional, tetapi juga bermanfaat bagi perekonomian negara. Bisnis obat tradisional juga dapat mengangkat
nama
Indonesia
sebagai
produsen
obat
tradisional
terkemuka di dunia. Hal itu akan diikuti dengan peningkatan ekspor dan pendapatan negara. Penelitian, pengembangan dan pemasaran yang tepat akan membawa obat herbal Indonesia pada pasar global. Obatobatan Indonesia akan bersaing dengan produk tradisional dari negara lain pada tingkat Internasional (Pramono, 2010). Dalam rangka mewujudkan obat herbal Indonesia yang berdaya saing internasional, kita perlu memasukkan obat herbal yang kita miliki
Universitas Sumatera Utara
5
dalam ranah pengobatan formal. Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah, yaitu adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik (Pramono, 2010). Di antara tanaman yang secara empiris banyak khasiatnya adalah tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L). Saat ini tanaman rosela semakin populer di kalangan masyarakat. Cara penanaman dan pemeliharaan tanaman ini sangat mudah. Karena itu banyak masyarakat yang mulai membudidayakan tanaman yang berbunga merah ini. Di Indonesia, penggunaan rosela di bidang kesehatan memang belum begitu populer, sedangkan di negara-negara lain, pemanfaatan dan khasiat rosela dalam dunia pengobatan sudah tidak asing lagi. Seluruh bagian tanaman mulai buah, bunga, kelopak, dan daunnya dapat dimakan. Tanaman ini juga dimanfaatkan sebagai bahan minuman sari buah, salad, sirup puding, dan asinan. Sebagai tanaman obat tradisional, secara empiris rosela berkhasiat sebagai antibakterial, antiinflamasi, antiseptik, antioksidan, mengobati
luka,
kaki
yang
melembutkan kulit (emolient),
pecah-pecah,
pereda
nyeri,
tonik,
antihipertensi, diuretik, sedatif, antispasmodik, dan antelmintik (Maryani & Kristiana, 2008; Widyanto & Nelistya, 2008). Zat aktif yang berperan dalam kelopak bunga rosela meliputi gossypetin, anthocyanin, dan glucoside hibiscin. Anthocyanin yang
Universitas Sumatera Utara
6
berpengaruh adalah delphinidin 3-sambubioside (Lila, 2004, Wu & Prior, 2006). Anthocyanin merupakan golongan flavonoid yang merupakan pigmen pewarna paling penting pada tumbuhan. Anthocyanin banyak terdapat pada bagian daun, bunga, dan buah yang merupakan penyebab berbagai warna seperti merah, merah jambu, merah senduduk, ungu, dan biru. Anthocyanin merupakan turunan sianidin dengan penambahan dan pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi. Anthocyanin bermanfaat sebagai antioksidan pelindung terhadap sel-sel hati, pencegah kanker, dan penyakit jantung. Anthocyanin hibiscus dapat menginduksi kematian sel apoptosis dalam sel-sel leukimia promielotik manusia (Chang, et al., 2005) Hibiscus safdariffa
dapat menghambat
proliferasi dan migrasi sel otot polos vaskuler yang diinduksi oleh glukosa tinggi, yaitu suatu mekanisme yang melibatkan
Growth factor signals
jaringan ikat (Huang, et al., 2009). Atas dasar tersebut ingin diteliti apakah tanaman rosela dapat bermanfaat (berkhasiat) sebagai pengobatan keloid. B. Rumusan Masalah Apakah ekstrak kelopak bunga rosela dapat berkhasiat sebagai obat antikeloid melalui penghambatan proliferasi sel fibroblas keloid manusia? Apakah ekstrak kelopak bunga rosela tidak menimbulkan efek sitotoksik setelah diuji pada kultur sel fibroblas kulit normal manusia secara in vitro?
Universitas Sumatera Utara
7
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Menghasilkan
ekstrak
kelopak
bunga
rosela
yang
dapat
menghambat proliferasi sel fibroblas keloid manusia secara in vitro. 2.
Tujuan khusus a. Membuktikan
bahwa
ekstrak
kelopak
bunga
rosela
dapat
menghambat proliferasi sel fibroblas keloid manusia melalui peningkatan apoptosis pada kultur sel fibroblas keloid manusia secara in vitro. b. Membuktikan
bahwa
ekstrak
kelopak
bunga
rosela
dapat
menghambat proliferasi sel fibroblas keloid manusia melalui penurunan kadar TGF-β1 pada kultur sel fibroblas keloid manusia secara in vitro. c. Membuktikan
bahwa
ekstrak
kelopak
bunga
rosela
tidak
menimbulkan efek sitotoksik pada kultur sel fibroblas kulit normal manusia secara in vitro. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah dapat menghasilkan suatu ekstrak potensial yang berasal dari kelopak bunga rosela, sebagai tanaman obat yang bermutu tinggi, aman, dan memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, yang diharapkan efektif dalam pengobatan keloid. Selain itu dapat juga memudahkan masyarakat untuk memanfaatkan tanaman rosela sebagai tanaman obat yang dapat mengobati keloid.
Universitas Sumatera Utara
8
E. Orisinalitas Berdasarkan penelusuran secara kepustakaan diketahui bahwa belum ditemukan penelitian tentang pengaruh ekstrak kelopak bunga rosela sebagai pengobatan keloid melalui mekanisme kerja dengan penghambatan proliferasi sel fibroblas keloid manusia yang diperiksa melalui Tunel assay dan penurunan kadar TGF-β1 pada kultur sel fibroblas keloid manusia. Demikian juga halnya dengan uji sitotoksisitas ekstrak kelopak bunga rosela terhadap sel fibroblas kulit normal manusia. Beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah uji efek ekstrak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L) terhadap penurunan kadar gula darah pada tikus putih jantan (Suryawati, 2010), Antibacterial potency of Methanolic Extract of Roselle (Hibiscus sabdariffa L) Calyx Cultivated in Indonesia Against Staphylococcus aureus and Escherichia coli in vitro (Evita, 2009), Hibiscus sabdariffa Inhibits Vascular Smooth Muscle Cell Proliferation and Migration Induced by High Glucose-A Mechanism Involves Connective Tissue Growth Factor Signals (Huang, et al., 2009), dan Hibiscus anthocyanins rich extract-induced apoptotic cell death in human promyelocytic leukemia cells (Chang, et al., 2005). F. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) 1. Ditemukannya suatu ekstrak kelopak bunga rosela yang efektif sebagai obat antikeloid. 2. Ekstrak kelopak bunga rosela dapat menghambat proliferasi sel fibroblas keloid manusia sehinggga dapat meningkatkan apoptosis pada kultur sel fibroblas keloid manusia.
Universitas Sumatera Utara
9
3. Ekstrak kelopak bunga rosela dapat menurunkan kadar TGF-β1 pada kultur sel fibroblas keloid manusia. 4. Ekstrak kelopak bunga rosela tidak menimbulkan efek sitotoksik pada kultur sel fibroblas kulit normal manusia.
Universitas Sumatera Utara