BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Sektor pendidikan merupakan sektor yang sangat penting dan strategis, sebab sumber daya manusia yang sehat akan berpengaruh terhadap bidang lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga berpengaruh terhadap kelanjutan dan kemajuan bangsa, serta indikator majunya suatu bangsa dapat terlihat dari tingkat pendidikan penduduk. Pembangunan yang telah direncanakan sesempurna apapun tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, hal ini dikarenakan subyek daripada pembangunan adalah manusia. Pendidikan merupakan salah satu proses pendewasaan. Masyarakat berharap melalui pendidikan menjadikan kehidupan lebih baik. Berbagai cara dilakukan dalam proses belajar – mengajar agar mendapatkan hasil yang optimal, mulai dari penyusunan program sampai evaluasi dan perbaikan. Masyarakat atau pengguna dari hasil pendidikan umumnya hanya melihat dari satu sisi bahwa keberhasilan pendidikan ditentukan oleh hasil ujian nasional. Padahal jika dikaji lebih lanjut, hampir sebagian besar materi ujian nasional hanya mengevaluasi aspek kognitif (Danim, 2005). Terlepas apakah ujian itu bisa mewakili secara keseluruhan atau sebagian bagi penilaian siswa, yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah ujian nasional itu perlu dilaksanakan atau tidak dalam kajian peningkatan kualitas pendidikan. Siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut? Berdasarkan sejarah, penilaian pada akhir jenjang pendidikan selalu dilakukan dengan ujian akhir, baik bersifat nasional atau lokal.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil
ujian tersebut siswa ditentukan bisa lulus atau tidak, bahkan bisa untuk
melanjutkan atau tidak. Masyarakat memandang bukan masalah ujian nasional atau lokal, tapi lebih banyak berharap bagaimana pendidikan bisa membawa
putra-putrinya
menjembatani kehidupan masa datang. Tidak sedikit orang tua masih mempercayakan anaknya kepada negara khususnya Departermen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk mendidik dan mengantarkan masa depan. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi. Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang, menurut pendapat saya, merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus.
Universitas Sumatera Utara
Sejak Indonesia merdeka telah mengalami beberapa kali perubahan sistem ujian akhir untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional, yakni: a. Perubahan pertama: Ujian Sekolah. Sistem ujian akhir diatas yang diterapkan sejak awal kemerdekaan ternyata menuai protes dari masyarakat. Sejumlah provinsi, terutama diluar Jawa, merasakan adanya ketidakadilan. Materi ujian sama dengan siswa di Pulau Jawa, tetapi tenaga pengajar dan sarana pendukungnya amat berbeda. Sistem ujian diatas akhirnya diubah. Pemerintah mengubah ujian negara menjadi ujian sekolah, yang dilakukan pada 1964. Pemerintah hanya memberikan pedoman dan arahan, sekolah yang menentukan lulus atau tidaknya siswa dalam ujian akhir itu. Perubahan ini tentu mengubah tingkat kelulusan, yang meningkat. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan peningkatan proses belajar. Para pengajar tidak serta merta meningkatkan mutu, baik dalam metode mengajar maupun dalam penguasaan materi pelajaran. Akibatnya, banyak siswa yang sudah dinyatakan lulus pada jenjang tertentu, tetapi mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran pada jenjang yang lebih tinggi. Juga timbul masalah ketika siswa yang lulus memasuki lapangan pekerjaan. Padahal, banyak siswa yang tidak bisa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi karena alasan ekonomi atau juga kemampuan diri yang kurang. Evaluasi yang dilakukan sekolah dianggap terlalu longgar sehingga hampir tidak ada anak yang tidak lulus dalam ujian akhir. Maka, akhirnya kembali muncul protes dari masyarakat yang mengeluhkan menurunnya mutu pendidikan. Pemerintah menyadari kekeliruan sehingga model pengujian kemabli diubah. Sistem ujian
Universitas Sumatera Utara
sekolah yang sudah berjalan 17 tahun diubah menjadi evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas), sejak 1982. b. Perubahan kedua: Ebtanas. Dalam ebtanas, peranan sekolah menentukan dalam kelulusan siswa. Ujian dilakuka sekolah tetepi dikombinasikan dengan ujian yang diselenggarakan negara. Semua mata pelajaran diujikan, nilai akhirnya dikombinasikan dengan nilai ebtanas lalu dibagi dua. Bagaimana hasilnya? Tingkat kelulusan tetap sama dengan metode sebelumnya, yaitu hampir 100%. Sulit menghindari kesan bahwa terjadi mark-up atau pengatrolan nilai hasil evaluasi di sekolah. Ada yang memperoleh nilai ebtanas amat rendah (konon ada yang angkanya dibawah 2), tetapi bisa lulus ujian karena angka dari sekolah dikatrol tinggi. Realitas ini tentu saja tetap berdampak pada rendahnya mutu pendidikan secara nasional. Akhirnya juga berimbas pada kemampuan anak didik yang akan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi atau yang akan memasuki lapangan kerja. Sementara itu jumlah lapangan kerja tidak bertambah. Maka mau tidak mau, model evaluasi diatas mengundang banyak kritik bahkan kecaman. Dianggap bahwa model seperti itu tidak mendorong siswa untuk belajar sungguh-sungguh. Guru pun demikian pula. Sokolah tidak terdorong untuk meningkatkan mutu guru. Mutu pendidikan kita makin terpuruk. Maka, akhirnya model ebtanas diubah lagi menjadi ujian akhir nasional (UAN) pada tahun 2002. c. Perubahan ketiga: UAN/UN UAN diterapkan pada ajaran 2002/2003 – 2003/2004. Konsepnya tidak berbeda jauh dengan ujian negara tahun 1945-1965. Bedanya, sebagian besar pembuatan soal untuk mata pelajaran yang diujikan ditangani oleh sekolah. Dalam UAN,
Universitas Sumatera Utara
kewenangan negara dalam menentukan kelulusan siswa lebih sedikit dibandingkan dengan kewenangan pihak sekolah. Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional hanya mengeluarkan soal untuk tiga mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Dalam UAN ada batas minimum angka untuk bisa lulus. Tahun pertama angka minimum itu 3,01, lalu naik menjadi 4,01, dan tahun ini menjadi 5,01. Karena itu, cukup banyak siswa yang tidak lulus. Mungkin angka minimum itu akan ditingkatkan lagi pada tahun mendatang. Bisa saja siswa mencapai angka minimum untuk tiga pelajaran itu, tetapi tidak lulus kalau nilai mata pelajaran lain banyak yang jelek. Pro-kontra tentang UAN tentu akan terus terjadi. Hal itu tidak bisa dan tidak perlu dilarang. Debat atau unjuk rasa menolak UAN tentu akan memicu pihak berwajib untuk memperbaiki diri. Tampaknya pemerintah akan meneruskan kebijakan itu, tetapi harus berupaya keras untuk memperbaiki mutu penyelenggaraan UAN. Jumlah mata pelajaran harus ditambah, mungkin dengan mata pelajaran IPA atau IPS
dan
Sejarah. Mutu guru harus ditingkatkan secara merata, secara geografis dan lintas batas kepemilikan lembaga pendidikan. Maksudnya, sekolah swasta, terutama yang lemah keuangan, harus dibantu dalam peningkatan mutu. Bahkan, kalau perlu diadakan subsidi untuk kesejahteraan guru swasta. Permainan dan kecurangan dalam pengawasan UAN yang masih terjadi harus ditindak tegas. Modal utama kita adalah manusia Indonesia. Hanya pendidikan yang bisa membuat mereka sebagai aset. Tanpa pendidikan, mereka akan menjadi beban (liabilities). Maka, pendidikan adalah prioritas utama dan pertama dari pembangunan kita. Tentu itu akan menimbulkan konsekuensi biaya. Pemerintah harus meningkatkan porsi APBN
Universitas Sumatera Utara
untuk pendidikan sesuai dengan UUD. Keefektifan dan efisiensi penggunaan anggaran harus ditingkatkan. Pendidikan tentu tidak hanya melingkupi aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik. Dua aspek itu selama ini tidak terjamah. Karena itu, dimasa depan harus mendapat perhatian penuh dari masyarakat pendidikan nasional (Kompas, 16 Agustus 2007). Kebijakan yang berlaku di negara kita, standar keberhasilan belajar siswa pada suatu jenjang pendidikan berdasarkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan pada jenjang pendidikan tersebut, yang saat ini diasumsikan terlihat nilai test hasil belajar yang diperoleh siswa dalam ujuian nasional (UN). Oleh karena itu, semua sekolah berjuang keras untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), standar UN telah dimulai dari 3,01 pada tahun 2002/2003, 4,01 pada tahun 2003/2004, 4,25 pada tahun 2004/2005, dan pada tahun 2006/2007 ditetapkan, bahwa peserta UN dinyatakan lulus UN jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut: (1) memiliki nilai rata-rata minimum 5,0 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan (termasuk nilai uji kompetensi untuk SMK), dengan tidak ada nilai bawah 4,25; atau (2) memiliki nilai minimum 4,00 pada salah satu mata pelajaran, dengan nilai mata pelajaran lainnya yang diujikan pada UN masing-masing minimum 6,00. Angka tersebut masih jauh dari standar Internasional. Berdasarkan standar kelulusan UN yang telah ditetapkan itu banyak dari mereka yang kecewa karena gagal lulus ujian ini kemudian ada yang berunjuk rasa. Ada yang menuntut ujian ulangan, dan bahkan ada yang meminta agar ujian nasional ini dihapuskan
Universitas Sumatera Utara
saja karena dianggap bukan menjadi ukuran keberhasilan suatu pendidikan (Kompas, Agustus 2007). Tidak mudah untuk memberikan nilai terhadap perolehan pendidikan. Bukan karena kaidah metodologis pengukuran dan penilaian yang sangat rumit tetapi penilaian merupakan pertanggungjawaban moral terhadap seluruh stakeholder pendidikan. Bagi guru, penilaian merupakan ukuran kinerja yang digunakan untuk memperbaiki dan merefleksi proses pembelajaran. Bagi siswa nilai merupakan ukuran tingkat keberhasilan dalam mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan sekaligus indikator pemula akan masa depannya dan bukti pengabdiaannya terhadap orangtuanya, bangsa dan negara. Bagi orang tua, nilai siswa merupakan bagian dari bukti akurat untuk memantau dan mengikuti perkembangan anaknya di sekolah. Bagi sekolah, nilai merupakan ukuran keberhasilan segenap proses yang terjadi di sekolah tersebut yang berakibat terhadap eksistensi dan keberlajutan sekolah tersebut. Bagi pengguna produk pendidikan, nilai merupakan indikator tentang kompetensi untuk melakukan sebuah pekerjaan yang dikenal dengan aspek relevansi produk pendidikan. Singkatnya, jalinan kebutuhan dan kepentingan para stakeholder pendidikan akan tarik menarik dalam dimensi yang berbeda-beda. Akibatnya sangat mungkin muncul berbagai interpretasi yang berbeda pula terhadap proses pengukuran dan penilaian termasuk Ujian Nasional yang diselenggarakan setiap tahunnya. Paparan singkat di atas menunjukkan bahwa, adalah hal yang sangat wajar apabila banyak pihak yang mengkritisi penyelenggaran Ujian Nasional yang diekspresikan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan posisi, kepentingan dan kemampuan yang dimilikinya. Evaluasi berbentuk UN yang diterapkan seharusnya dapat menjawab pertanyaan tentang ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk mengingat kembali,
Universitas Sumatera Utara
tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 (pasal 3) bahwa pendidikan "bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Konsekuensinya adalah evaluasi yang diterapkan harus mampu melihat sejauh mana ketercapaian setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut. Disadari, bahwa UN bukan satu-satunya parameter mutu pendidikan, sebab produk pendidikan berkualitas sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang berkualitas pula. Namun demikian kita juga harus jujur mengakui, bahwa betapa sulitnya menemukan pola yang benar-benar handal untuk melakukan penilaian secara nasional apabila dihadapkan dengan dimensi biaya, waktu, geografis, kualitas, efektivitas, efisiensi dan varians lainnya yang terkait dengan penyelenggaran UN. Hingga kini tampaknya UN adalah satu-satunya alat yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pemetaan kualitas tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Standarisasi Ujian Nasional Dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan di Kota Medan”.
1.2. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimanakah Standarisasi Ujian Nasional (UN) dalam meningkatkan kualitas pendidikan di kota Medan?”
Universitas Sumatera Utara
1.3. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana proses implementasi standarisasi ujian nasional (UN) di kota Medan. 2. Untuk mengetahui sejauh keberhasilan standarisasi ujian nasional (UN) dalam peningkatan kualitas pendidikan di kota Medan.
1.4. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara subjektif adalah sebagai suatu tahap untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis dan teoritis dalam memecahkan suatu permasalahan secara objektif dan kritis melalui suatu karya ilmiah sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bersifat teruji dan berguna. 2. Sebagai bahan masukan bagi para pembuat kebijakan pemerintah, khususnya bagi para pembuat kebijakan Ujian Nasional (UN) dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana telah ditetapkan dan sebagai bahan pertimbangan dalam menanggapi isu-isu yang terjadi di tengah masyarakat salah satunya menyangkut pelibatan masyarakat. 3. Bagi FISIP-USU khusunya Depatemen Ilmu Administrasi Negara sebagai bahan referensi, bahan kajian, dan bahan perbandingan bagi mereka yang memerlukannya dan orang-orang yang tertarik dengan masalah ini.
Universitas Sumatera Utara
1.5. KERANGKA TEORI Teori adalah serangkaian konsep, defenisi dan konstruksi definisi dan preposisi yang menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan merumuskan konsep. Kerangka teori merupakan landasan pemikiran untuk melaksanakan penelitian dan teori digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi obyek penelitian. (Singarimbun, 1995:37). Berdasarkan rumusan diatas maka, penulis akan mengemukakan beberapa teori, pendapat, ataupun gagasan yang akan dijadikan sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam penelitian ini.
1.5.1. Standarisasi Ujian Nasional 1.5.1.1.Standarisasi Di dalam Surat Keputusan Gubernur tentang tugas dan fungsi Dinas Pendidikan Sumatera Utara, standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan sesuatu kegiatan. Jadi, standarisasi adalah kriteri minimal untuk mengukur sesuatu. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa standar adalah ukuran tertentu yang dijadikan sebagai patokan; sesuatu yang dianggap memiliki nilai tetap/baku. Dan yang dimaksud dengan standarisasi adalah pembakuan, penstandaran, penyesuaian bentuk (ukuran, kualitas, dsb) dengan pedoman (standar) yang telah ditetapkan. Mutu memang memerlukan suatu standar yang berlaku secara nasional demi upaya pencapaian “high standar”. Standar tidak saja dibutuhkan untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan, tetapi juga penting bagi stakeholder pendidikan untuk memperoleh gambaran
Universitas Sumatera Utara
yang jelas tentang posisi relatif individu peserta didik dalam populasinya. Standar tersebut dapat membantu pemerintah daerah untuk mengetahui posisi relatifnya terhadap capaian di tingkat nasional.
1.5.1.2.Ujian Nasional Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 34 tahun 2007 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2007/2008, pasal 1 ayat 1, bahwa ujian nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa ujian nasional bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Di dalam pasal 3 dikatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: a. b. c. d.
Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; Seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pedidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Dalam pasal 4 diutarakan mengenai persyaratan mengikuti UN, yaitu:
1. Setiap peserta didik yang belajar pada tahun akhir SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, dan SMK berhak mengikuti UN. 2. Untuk mengikuti UN, peserta didik harus memehuhi persyaratan: a. Memiliki laporan lengkap penilaian hasil belajar pada satuan pendidikan mulai semester I tahun pertama hingga semester I tahun terakhir; dan b. Memiliki ijazah atau surat keterangan lain yang setara, atau berpenghargaan sama dengan ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat lebih rendah, atau memiliki bukti kenaikan kelas dari kelas III ke kelas IV untuk siswa
Universitas Sumatera Utara
Kulliyatul-Mu’alimin Al-Islamiyah (KMI)/Tarbiyatul-Mu’alimin AlIslamiyah (TMI) yang pindah ke SMA, MA, dan SMK. 3. Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN di satuan pendidikan yang bersangkutan, dapat mengikuti UN di satuan pendidikan lain pada jenjang dan jenis yang sama. 4. Peserta didik yang karena alasan tertentu dan disertai bukti yang sah tidak dapat mengikuti UN utama dapat mengikuti UN susulan. 5. Peserta didik yang belum lulus UN berhak mengikuti UN pada tahun berikutnya. Dari data diatas dapat diketehui bahwa UN susulan hanya diberikan pada peserta didik yang kebetulan berhalangan sehingga tidak dapat mengikuti UN pada jadwal yang telah ditetapkan dengan memberikan bukti yang sah. Dan UN susulan tersebut dilaksanakan satu minggu setelah UN utama. Sedangkan bagi peserta UN yang gagal tidak ada UN susulan, tapi dapat mengikuti UN pada tahun berikutnya.. Dalam pasal 15 Permendiknas RI No. 34 tahun 2007 tentang UN dinyatakan bahwa: 1. Peserta UN dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut: a. Memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai dibawah 4,25 dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimun 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN; atau b. Memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00, dan khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran Kompetensi Keahlian Kejuruan minimum 7,00 dan digunakan untuk menghitung rata-rata UN. 2. Pemerintah daerah dan/atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Peserta UN diberi Surat Keputusan Ujian Hasil Ujian Nasional (SKHUN) yang diterbitkan oleh sekolah/madrasah penyelenggara. Selain itu diatur juga mengenai ketentuan tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan/atau lembaga yang berkaitan dalam penyelenggaraan UN, yang diatur dalam pasal 17, sebagai berikut: 1. Perorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan UN wajib menjaga kerahasiaan, kejujuran, keamanan, dan kelancaran penyelenggaraan UN.
Universitas Sumatera Utara
2. Perorangan, kelompok, dan/atau lembaga yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan dalam penyelenggaraan UN dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 3. Peserta didik yang terbukti melakukan kecurangan dalam mengerjakan soal UN dinyatakan gagal dalam UN oleh satuan pendidikan penyelenggara UN, duta besar RI, bupati/walikota, gubernur, Kepala BSNP, atau Menteri. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa Standarisasi Ujian Nasional berarti pembakuan kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peseta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan.
1.5.2. Implementasi Kebijakan Publik 1.5.2.1. Konsep Implementasi Kebijakan Publik Konsep Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini, dikarenakan Implementasi merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, sebagaimana yang dikemukakan Grindle (1980) berpendapat bahwa Implementasi Kebijaksanaan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Implementasi merupakan salah satu bagian dari tahap-tahap pembuatan kebijakan, secara keseluruhan tahapan tersebut berupa ; penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. (William N. Dunn, 1999 :hal. 24).
Universitas Sumatera Utara
Dari kelima tahapan pembuatan kebijakan di atas, implementasi memegang peran yang sangat penting. Bahkan Udoji dengan tegas menyatakan bahwa " the execution of policies is as important if not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented" artinya pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan (Solichin A. Wahab, 1997: hal.59). Senada dengan Udoji, Edward II (1980 : hlm. 1) mengatakan " without effective implementation the decisions of policymakers will not be carried out successfully". Dua pendapat tersebut, tidak berarti menyepelekan posisi yang lain dari keseluruhun tahapan kebijakan itu sendiri, akan tetapi mestilah disadari bahwa biarpun formulasi atau perumusan kebijakan telah dilakukan dengan begitu baik dan kemudian akan bermuara pada dikeluarkannya satu kebijakan, tanpa diimplementasikan dalam suatu program atau kegiatan, kebijakan tersebut tidak berarti apa-apa. Sama halnya disket di dalam kotak, bila tidak digunakan maka disket tersebut hanyalah sebuah benda tak berarti, bila tidak digunakan untuk menyimpan data. Berdasarkan pengertian di atas, maka implementasi merupakan suatu proses melaksanakan kebijakan (baik di tingkatan nasional maupun tingkatan lokal) melalui satu atau serangkaian program atau proyek dengan implikasi pengaturan dan pengalokasian risorsis tertentu serta serta konsekuensi pengaruh atau dampak yang ditimbulkannya. Dalam konteks yang sama Sofian Effendi (2000) menyatakan bahwa "implementasi kebijakan adalah proses pelaksanaan kebijakan atau menerapkan kebijakan setelah kebijakan itu disahkan untuk menghasilkan outcome yang diinginkan". Berarti tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
mengandung maksud terjadinya suatu proses tunggal atau berdiri sendiri, tapi ada proses lain yang dilakukan dalam upaya persiapan implementasi dan proses "yang sebenarnya" dari implementasi kebijakan itu sendiri. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah suatu proses melaksanakan atau menerapkan kebijakan melalui serangkaian tindakan operasional untuk menghasilkan outcome yang diinginkan.
1.5.2.2. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Dalam studi kebijakan, dipahami benar bahwa bukan persoalan yang mudah untuk melahirkan satu kebijakan bahkan untuk kebijakan pada tingkatan lokal, apalagi kebijakan yang memiliki cakupan serta pengaruh luas, menyangkut kelompok sasaran serta daerah atau wilayah yang besar. Pada tatanan implementasi pun, persoalan yang sama terjadi, bahkan menjadi lebih rumit lagi karena dalam melaksanakan satu kebijakan selalu terkait dengan kelompok sasaran dan birokrat itu sendiri, dengan kompleksitasnya masing-masing. Tidak saja dalam proses implementasi, dalam realitas ditemukan juga walaupun kebijakan dengan tujuan yang jelas telah dikeluarkan tetapi mengalami hambatan dalam implementasi (tidak atau belum dapat diimplementasikan) karena dihadapkan dengan berbagai kesulitan atau hambatan. Seperti yang dikemukakan oleh Effendi (2000) dan Darwin (1999) bahwa ada kebijakan yang mudah diimplementasikan, tetapi ada pula yang sulit diimplementasikan, oleh Darwin (1999) ditegaskan "karena itu, salah satu hal yang penting dalam studi implementasi adalah bagaimana mengenali tingkat kesulitan suatu kebijakan untuk
Universitas Sumatera Utara
diimplementasikan, dan bagaimana agar kebijakan tersebut dapat lebih terimplementasi". Pertanyaan yang sama ditegaskan pula oleh Edward II (1980:2) yakni " what are the preconditions for successful policy implementation ?". Prakondisi-prakondisi yang dimaksud dapat berupa hambatan/kesulitan ataupun pendorong agar kebijakan dapat diimplementasikan. Lebih lanjut, Darwin (1999) menyatakan bahwa ada 5 aspek yang menentukan tingkat implementabilitas kebijakan publik, yaitu : a. Sifat kepentingan yang dipengaruhi Dalam proses implementasi satu kebijakan publik seringkali menimbulkan konflik dari kelompok sasaran atau masyarakat, artinya terbuka peluang munculnya kelompok tertentu diuntungkan (gainer), sedangkan dipihak lain implementasi kebijakan tersebut justru merugikan kelompok lain (looser) (Agus Dwiyanto, 2000). Implikasinya, masalah yang muncul kemudian berasal dari orang-orang yang merasa dirugikan. Upaya untuk menghalang-halangi, tindakan complain, bahkan benturan fisik bisa saja terjadi. Singkatnya, semakin besar konflik kepentingan yang terjadi dalam implementasi kebijakan publik, maka semakin sulit pula proses implementasi nantinya, demikian pula sebaliknya. b. Kejelasan manfaat Dalam konteks pemerintahan yang amanah, berarti pemerintah haruslah menyelesaikan persoalan-persoalan walaupun tidak bisa dikatakan seluruh persoalan, karena keterbatasan diri pemerintah sendiri, untuk kemudian memberdayakan masyarakat atau melalui LSM dan organisasi lainnya untuk menyelesaikan persoalan yang muncul dalam masyarakat, dimana upaya intervensi pemerintah haruslah bermanfaat bagi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Jika dilihat dari aspek bermanfaat atau tidak, maka semakin bermanfaat implementasi kebijakan publik, dengan sendirinya dalam proses implementasi nantinya akan lebih mudah, dalam artian untuk waktu yang tidak begitu lama implementasi kebijakan dilaksanakan serta mudah dalam proses implementas, sebaliknya bila tidak bermanfaat maka akan sulit dalam proses implementasi lebih lanjut. c. Perubahan perilaku yang dibutuhkan Aspek lain yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan publik adalah perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat. Maksudnya, sebelum implementasi kebijakan kelompok sasaran atau masyarakat melakukan sesuatu dengan pola implementasi kebijakan terdahulu. Ketika satu kebijakan baru
Universitas Sumatera Utara
diimplementasikan, terjadi perubahan baik dalam finansial, cara atau tempat dan sebagainya. Perubahan tersebut akan menimbulkan resistensi dari kelompok sasaran. Masalahnya, lebih banyak implementasi kebijakan yang menuntut perubahan perilaku, baik sedikit atau banyak, artinya pengambil kebijakan seharusnya memilih alternatif kebijakan yang paling kecil menimbulkan pengaruh pada perubahan perilaku kelompok sasaran atau masyarakat. Oleh Darwin (1999) menyatakan bahwa : Dalam hal ini pengambil kebijakan perlu menghindari pengambilan kebijakan yang menuntut perubahan perilaku terlalu jauh, dan tentunya tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, atau pola hidup masyarakat yang sudah turun temurun. d. Aparat pelaksana Aparat pelaksana atau implementor merupakan faktor lain yang menentukan apakah satu kebijakan publik sulit atau tidak diimplementasikan. Komitment untuk berperilaku sesuai tujuan kebijakan penting dimiliki oleh aparat pelaksana. Oleh Darwin (1999) mengatakan bahwa dalam hal ini diperlukan pengembangan aturan yang jelas dan sistem monitoring dan kontrol yang efektif dan transparan yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya perilaku aparat yang berlawanan dengan tujuan publik tersebut. Selain itu, masyarakat perlu diberdayakan agar lebih kritis dalam mensikapi perilaku aparat yang menyimpang, pilihan proram merupakan upaya mengimplementasikan kebijakan in-built mekanisme yang menjamin transparasi dan pengawasan, hal ini penting untuk mengarahkan perilaku aparat. Selain itu, kualitas aparat dalam melaksanakan proses impementasi pun menjadi kendala yang sering dijumpai. Terutama, menyangkut implementasi kebijakan yang membutuhkan ketrampilan khusus. Dengan demikian memberikan indikasi bahwa aparat pelaksana kebijakan menjadi salah satu aspek untuk menilai sulit tidaknya implementasi kebijakan. Komitmen, kualitas dan persepsi yang baik nantinya akan memudahkan dalam proses implementasi kebijakan dan sebaliknya. e. Dukungan sumber daya Suatu program akan dapat terimplementasi dengan baik jika didukung oleh sumber daya yang memadai, dalam hal ini dapat berbentuk dana, peralatan teknologi, dan sarana serta prasarana lainnya. Kesulitan untuk melaksanakan satu program terkait erat dengan beberapa hal yang disebut terakhir, bila sumber daya yang ada tidak mendukung maka implementasi program tersebut nantinya dalam implementasi program tersebut akan menemui kesulitan. Kelima faktor yang menentukan sulit atau tidaknya proses implementasi kebijakan publik di atas oleh Muhadjir Darwin nampaknya diuraikan secara umum, dalam pengertian tidak dibedakan mana aspek organisasi serta mana faktor lingkungan. Oleh Effendi (2000) dikatakan bahwa perbedaan antara studi implementasi dengan penelitian ilmiah biasa
Universitas Sumatera Utara
terletak di dalam variabel penelitian (khususnya variabel independen). Dimana, penelitian ilmiah biasa bebas menentukan variabel independen, artinya variabel yang secara teoritis penting, dapat dijadikan variabel independen atau dependen sebagai obyek atau topik penelitian. Sedangkan studi implementasi, ada keharusan dimana variabel penelitian (independen) adalah variabel yang comparable (dapat diimplementasikan). disebabkan oleh variabel-variabel independen tersebut digunakan untuk memperbaiki implementasi kebijakan, karenanya tidak semua variabel dapat dijadikan topik untuk studi implementasi. Lebih lanjut Effendi menyatakan bahwa ada tiga variabel independen (faktor pengaruh), yaitu : a. Variabel kebijakan Yang termasuk variabel kebijakan adalah kejelasan tujuan kebijakan, transmisi (penyampaian kebijakan). Tujuan yang tidak jelas dan penyampaian kebijakan kepada implementor menimbulkan perbedaan persepsi. Kondisi ini akan menyulitkan dalam proses implementasi kebijakan nantinya. b. Variabel atau faktor organisasi Satu kebijakan publik harus dilaksanakan melalui sebuah instrumen atau alat serta wahana tertentu, singkatnya tidak ada kebijakan publik tanpa terkait dengan alat tertentu. Instrumen untuk melaksanakan kebijakan publik ini dalam konteks administrasi negara dilasanakan melalui organisasi atau organisasi publik. Organisasi yang dimaksudkan penulis bukanlah struktur organisasi tetapi lebih pada personil (aparat pelaksana). c. Variabel atau faktor lingkungan implementasi Suatu kebijakan yang dilaksanakan oleh organisasi atau sekelompok organisasi tidak terjadi pada ruang hampa, tetapi terjadi pada lingkungan impelemtasi tertentu. Lingkungan implementasi bisa berbentuk kondisi pendidikan masyarakat, kondisi sosial dimana kebijakan itu diimplementasikan serta kondisi politik (Sofian Effendi:2000). Pernyataan di atas mengasumsikan, jika satu kebijakan dilaksanakan dalam dua lingkungan yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Artinya, penerapan kebijakan harus memperhatikan lingkungan kebijakan dimana dia diimplementasikan.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga variabel di atas, walaupun disebut sebagai variabel yang mempengaruhi keberhasilan atau untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan, artinya untuk mengukur sejauh mana kebijakan yang telah diimplementasikan mencapai tujuan kebijakan. Tetapi variabel tersebut dapat dimodifikasi sebagai faktor-faktor yang menghambat implementasi kebijakan, dalam pengertian faktor-faktor yang mempersulit sehingga implementasi kebijakan tidak bisa atau belum dapat direalisasikan. Dari pendapat Effendi dan Darwin di atas, ternyata 5 faktor yang disebutkan orang yang terakhir, dapat dimasukkan ke dalam variabel yang disebutkan oleh Effendi. Dimana, faktor kejelasan manfaat dapat dimasukkan ke dalam variabel kebijakan, yaitu sejauh mana implementasi kebijakan tersebut menetapkan tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat atau kelompok sasaran. Kemudian faktor sifat kepentingan yang dipengaruhi dan perubahan perilaku yang dibutuhkan dapat dimasukkan ke dalam variabel lingkungan implementasi. Sedangkan, faktor aparat pelaksana dan sumber daya termasuk pada variabel organisasi implementasi. Disamping itu, kesulitan-kesulitan lain yang menghambat diimplementasikannya satu kebijakan, dapat pula dipengaruhi oleh orientasi atau interest aparat atau pimpinan organisasi pemerintah daerah terhadap kebijakan yang ada. Banyak persoalan yang harus dikerjakan, prioritas pilihan kebijakan apa yang akan diimplementasikan tergantung pada interest serta orientasi pimpinan daerah.
Universitas Sumatera Utara
1.5.3. Peningkatan Kualitas Pendidikan 1.5.3.1. Pengertian Kualitas Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia defenisi kualitas adalah kadar, mutu, tingkat baik-buruknya sesuatu, derajat atau taraf kepandaian/kecakapan, dsb. Menurut Sallis dalam Danim (2005), kualitas (mutu) dapat diartikan sebagai derajat kepuasan luar biasa yang diterima oleh kustomer sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Ada banyak pendapat mengenai kriteria mutu pendidikan. Engkoswara dalam Danim (2005) melihat mutu pendidikan itu dari tiga sisi, yaitu prestasi, suasana, dan ekonomi. Mutu pendidikan itu ternyata tidak semata-mata diukur dari mutu keluaran pendidikan secara utuh (educational outcomes) akan tetapi dikaitkan dengan konteks dimana mutu itu ditempelkan dan berapa besar persyaratan tambahan yang diperlukan untuk itu. Mutu atau kualitas ialah derajat, ukuran baik-buruk dan tinggi rendahnya sesuatu. Mutu pendidikan menyangkut dapat tidaknya hasil pendidikan bisa dipakai sebagai instrumen yang tepat guna untuk keperluan hidup. Mutu ini mengenai silabus, materi ilmu pengetahuan, tata nilai, hal-hal normatif dan estetis, unsur yang efektif dan ekonomis, keterampilan sosial dan manajerial, keterampilan teknis, standarisasi atau pembakuan, tenaga guru dan pelatih dengan kualifikasi tinggi, dan lain-lain. Semua itu perlu dibakukan untuk menjamin kualitas manusia hasil pendidikan, dan untuk menunjang harkat bangsa. Sebab segala sesuatu yang rendah mutunya akan mudah lapuk, dan tidak banyak gunanya bagi manusia dan kehidupan. Sebaliknya sesuatu yang bermutu dalam pendidikan adalah awet, berguna, dan fungsional bagi manusia (Kartono, 1997: 69)
Universitas Sumatera Utara
1.5.3.2. Pengertian Pendidikan Dua istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yang hampir sama bentuknya dan sering digunakan dalam dunia pendidikan yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie berarti pendidikan, sedangkan paedagogiek artinya ilmu pendidikan. Dalam pengertian yang sederhana dan umum, makna pendidikan yaitu sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan kata lain pendidikan dapat diartikan sebagai hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan pernyataan tujuan pendidikannya (Djumransjah, 2004:21). Dalam Dictionary of Education (Sa’ud, 2005:6) Pendidikan merupakan; (1) Proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat dimana dia hidup, (2) Proses sosial dimana orang dihadadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh dan mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individual yang optimum. Bertrand Russell menyatakan bahwa ciri pendidikan ada pada nilai-nilai kejujuran dan keberanian. Seperti tertuang dalam pernyataannya: “Pendidikan dimaksudkan supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuannya yang diperoleh dengan kecerdasan supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan, dan keadilan pada sesama. Akhirnya, supaya ia mengembangkan kehendak dan
Universitas Sumatera Utara
kemampuannya untuk proyek-proyek kemanusiaan dan tidak mengalami kendala chauvinisme sempit. Untuk itu menurut Russell, perlu diciptakan sisterm pendidikan yang bebas dari represi. Hal senada diungkapkan Schumacher dalam bukunya, Small is Beautiful (1973), yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha penyebaran nilai-nilai kehidupan sehingga pendidikan harus dapat memberikan kemampuan hidup dan menginterpretasikan dunia. (Murtiningsih, 2006:1-2) Freire (1972) menyatakan bahwa pendidikan adalah arena pembebasan. Di dalam pendidikan itulah manusia dapat menemukan dirinya. Melalui pendidikan pula seseorang mempunyai sikap kritis terhadap dunia dan kenyataan- kenyataan disekitarnya yang menindas, kemudian secara progresif mengubah dunia ini lewat tindakan dan aksi. Pendidikan merupakan pembentukan manusia-manusia baru yang akan menciptakan dunia baru. (Murtiningsih, 2006: 97-98). Freire merumuskan pendidikan sebagai suatu latihan kebebasan, tindakan mengetahui, pendekatan kritis terhadap realitas, serta dorongan untuk merubahnya. (Murtiningsih, 2006: 113). Paulo Freire adalah seorang pemikir pendidikan yang berada pada jalur kritisprogresif. Metode pendidikan Freire berpola dialog. Freire sangat menekankan aktifitas dan kreatifitas, yang mengharuskan partisipasi penuh dalam metode pendidikannya. Metode Freire adalah metode yang aktif, artinya mencakup refleksi dan aksi manusia terhadap dunia. Pendidikan bukanlah wujud dari penindasan. Pendidikan selalu bertujuan membina kepribadian manusia. Diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk mendukungnya. Dimana pendidik dan anak didik secara bersama-sama mendunia. Artinya, bersama-sama menghadapi realitas sebagai persoalan yang harus dihadapi secara bersama dan tidak bisa dilakukan secara terpisah. Disini hubungan yang dialogis sangat diperlukan sehingga baik
Universitas Sumatera Utara
pendidik maupun anak didik akan tumbuh harga diri, kepercayaan diri sendiri, rasa tanggungjawab dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung. (Murtiningsih, 2006: 6) Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan peningkatan kualitas pendidikan adalah kemampuan lembaga pendidikan yakni sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku.
1.5.3.3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan. Menurut Dr. Redja Mudyahardjo (2004:62) dalam bukunya Filsafat Ilmu Pendidikan mengatakan bahwa tujuan pendidikan dalam arti sempit yakni ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan terbatas pada pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu. Tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup di masyarakat. Sedangkan dalam arti yang luas, tujuan pendidikan merupakan perpaduan antara perkembangan pribadi secara optimal dan tujuan sosial dapat memainkan peranan sosial secara tepat. Tujuan pendidikan mencakup tujuan-tujuan setiap bentuk kegiatan pendidikan (bimbingan/pengajaran/latihan) dan satuan-satuan pendidikan (sekolah/luar sekolah).
Universitas Sumatera Utara
Tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB II Pasal 3 menyebutkan: “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Pendidikan terkait dengan nilai-nilai, sehingga mendidik berarti memberikan, menanamkan, menumbuhkan nilai-nilai pada peserta didik. Pendidikan berfungsi membantu peserta didik dalam pengembangan dirinya, yaitu pengembangan semua potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadinya ke arah yang positif, baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan atau nilai-nilai atau melatih keterampilan. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan apa yang secara potensial dan aktual telah dimiliki peserta didik, sebab peserta didik juga memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang sendiri. Perbuatan mendidik diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Tujuan ini bisa menyangkut kepentingan peserta didik itu sendiri, kepentingan masyarakat dan tuntutan lapangan pekerjaan, ataupun ketigatiganya sekaligus. Proses
pendidikan
terarah
pada
penguasaan
pengetahuan,
kemampuan,
keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan diri peserta didik. Sasaran dan perbuatan pendidikan selalu normatif dan menuju ke arah yang baik. Karena tujuannya yang positif maka proses pendidikannya juga harus positif, konstruktif dan normatif. Tujuan normatif tidak mungkin dapat dicapai dengan perbuatan yang tidak normatif pula. Oleh karena itu kepada guru sebagai pendidik
Universitas Sumatera Utara
dituntut untuk selalu berbuat, berperilaku dan berpenampilan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.(Sukmadinata, 2005:3). Menurut Djumransyah (2004:10), fungsi dari sebuah proses pendidikan ialah untuk meningkatkan perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan. Hasil dari proses tersebut adalah kepribadian seseorang. Setiap perubahan-perubahan dalam tingkah laku merupakan perubahan dalam kepribadian. Agar pendidikan bermanfaat bagi kehidupan maka harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: 1.
Berfungsi dalam realitas nyata di tengah masyarakatnya; misalnya masyarakat yang rural, urban, primitif, paska-tradisional, modern dan seterusnya, sehingga dapat menggugah vitalitas hidup dan kemajuan masyarakatnya.
2.
Dapat ikut menjawab memecahkan masalah-masalah lokal, regional maupun nasional.
3.
Merefleksikan tuntutan lingkungan ekonomi, sosial budaya dan politik di dalam negara sehingga rasa patriotisme dan nasionalisme modern tidak menjadi fanatik, chauvinistis dan tidak sempit. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dari proses pendidikan juga dapat digunakan untuk pembangunan.
Pendidikan disebut bermutu dari segi proses jika proses belajar-mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami proses pembelajaran yang bermakna, ditunjang oleh sumber daya (manusia, sarana, dan prasarana) yang wajar. Secara logis, proses yang berkualitas akan menghasilkan produk yang berkualitas pula. Hasil pendidikan disebut bermutu dari segi produk jika mempunyai salah satu atau lebih ciri-ciri berikut (Soetopo, 2005: 93): 1. Pesera didik menunjukkan tingkat penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar sesuai dengan tujuan pendidikan, antara lain dengan nilai standar UN. 2. Hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, tidak hanya “mengetahui” tetapi “dapat melakukan sesuatu” yang fungsional dalam kehidupan. 3. Hasil pendidikan sesuai dan relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Universitas Sumatera Utara
1.5.3.4. Faktor-Faktor Peningkatan Kualitas Pendidikan. Di sekolah, banyak faktor yang perlu dicermati agar kualitas pendidikan di sekolah dapat ditingkatkan (Soetopo, 2005: 94), antara lain: 1. Kepemimpinan sekolah yang positif dan kuat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor kepemimpinan yang diterapkan di sekolah sangat menentukan peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Apalagi di Indonesia yang banyak menganut ajaran Ki Hajar Dewantoro: “ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani”. Kepemimpinan “directive” (memberi pengarahan), “collaborative” (penuh kerjasama), dan “non-directive” (memberi kebebasan) dari Sergiovani dapat diterapkan disekolah. Ketepatan penerapan gaya dan orientasi kepemimpinan di sekolah sangat berpengaruh terhadap keefektifan sekolah. Pada gilirannya, hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. 2. Harapan yang tinggi: Tantangan bagi berfikir siswa. Mutu pendidikan dapat diperoleh jika harapan yang diterapkan kepada peserta didik memberikan tantangan kepada mereka untuk berkompetisi mencapai tujuan pendidikan. Harapan yang rendah hanya akan menurunkan prestasi belajar peserta didik. Harapan tinggi disini bukan berarti tujuan yang terlalu muluk yang sulit dicapai oleh siswa, tetapi harapan tinggi untuk meraih prestasi bagi peserta didik. 3. Monitor terhadap kemajuan siswa. Aspek monitor menjadi penting karena keberhasilan siswa di sekolah tak akan terekam dengan baik tanpa adanya aktivitas monitoring secara kontinu. Monitor bertahap dan pemberian balikan akan meningkatkan kualitas pendidikan anak. Disinilah program perbaikan dan pengayaan bisa diterapkan. 4. Tanggung jawab siswa dan keterlibatannya dalam kehidupan sekolah. Pendidikan akan berkualitas jika menghasilkan lulusan yang bertanggungjawab, disiplin, kreatif, dan trampil. Aktivitas organisasi siswa di sekolah perlu digalakkan. Siswa dilatih untuk bertanggungjawab atas tugasnya sebagai siswa, dan berani menanggung resiko atas perbuatannya. 5. Insentif dan hadiah. Penerapan pendidikan yang memberikan hadiah dan insentif bagi keberhasilan pendidikan akan meningkatkan usaha belajar siswa. 6. Keterlibatan orang tua dalam kehidupan sekolah. Faktor ini telah menjadi klasis sebagai realisasi tanggungjawab pendidikan. Namun faktor ini akan meningkatkan mutu pendidikan jika dirancang secara terstruktur dan peran aktifnya tampak secara nyata. Hal ini menuntut kedewasaan kedua belah pihak (sekolah di satu pihak dan orang tua dan masyarakat di lain pihak). 7. Perencanaan dan pendekatan yang konsisten. Kualitas pendidikan akan tertingkatkan jika semua aktivitas pendidikan direncanakan dengan baik dan menggunakan pendekatan yang tepat dalam merancang dan melaksanakan pendidikan. Perencanaan dan pendekatan dilakukan berdasarkan kajian heuristik terhadap situasi dan kondisi yang ada disekolah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III di Ujung Pandang, telah dirumuskan beberapa upaya peningkatan mutu pendidikan, yang secara singkat disebutkan sebagai berikut (Soetopo, 2005 : 97): 1. Pengembangan Tatanan Strategis Pendidikan Menjelang tahun 2020. a. Peningkatan hubungan pendidikan dengan dunia kerja. b. Pengembangan dan pemantapan isi pendidikan. c. Pemantapan sistem tenaga kependidikan. d. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pendidikan dan upaya menggali sumber daya masyarakat. e. Profesionalisasi dalam pengelolaan pendidikan. f. Pembinaan pendidikan mulitkultural dan wawasan kebangsaan. 2. Pembinaan Manusia Indonesia yang Beriman dan Taqwa Kepada TYME dengan Memperhatikan Budaya dan Lingkungan Bangsa yang Religius. a. Pembinaan dan pemantapan kepribadian Indonesia sedini-dininya dan seoptimal-optimalnya. b. Pembinaan manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, serta pendidikan keluarga dan kehidupan keagamaan yang menunjang terciptanya manusia dan masyarakat bangsa yang sejahtera, modern dan berkepribadian Indonesia. 3. Pengembangan Fungsi LPTK Menjelang tahun 2020. a. Perluasan fungsi IKIP menjadi Universitas. b. Pengembangan profesional tenaga kependidikan. c. Pengembangan ketenagaan pada LPTK. 4. Implementasi Wajib Belajar Dikdas 9 Tahun dalam Upaya Pemerataan dan Peningkatan Mutu Pendidikan. a. Pimpinan Daerah (provinsi, dan kodya/kab.) sebagai penanggungjawab Tim Koordinasi Wajar perlu mengambil inisiatif. b. Sekolah/Madrasah swasta perlu mendapat bantuan. c. Profesionalisasi manajemen pendidikan, kerjasama dengan LPTK ditingkatkan. d. Peningkatan mutu guru, proses belajar dan sumber pembelajaran. e. Penggalangan potensi masyarakat dalam menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun. 5. Pemantapan Pengelolaan Pendidikan di Daerah Terpencil dan Desa Tertinggal. a. Mengkaji model Wajar Dikdas 9 tahun untuk daerah terpencil dan desa tertinggal. b. Menghimpun dana dari masyarakat mampu. c. Perlu SMP kecil di daerah terpencil. 6. Teknologi Informasi dan Pembangunan Pendidikan. a. Pengembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
b. Pemahaman fungsi dan tata kerja internet dalam informasi global serta pengembangannya dalam penyelenggaraan pendidikan. c. Pemanfaatan teknologi dan pengembangan mutu media dalam proses pembelajaran. d. Pengendalian dampak teknologi informasi terhadap pendidikan: perangkat hukum, lembaga khusus, program terkoordinasi dari berbagai instansi dan lembaga sosial, peningkatan fungsi pembimbing di sekolah, pengawasan dan kewaspadaan orang tua. 7. Penelitian dan Inovasi Pendidikan. a. Pengembangan mutu penelitian. b. Pengembangan penelitian disiplin ilmu. c. Penyebarluasan hasil penelitian. d. Pengembangan jaringan penelitian di bidang pendidikan. e. Pengembangan kolaborasi penelitian antara LPTK dengan sekolah. 8. Efisiensi dan Efektivitas Manajemen Nasional Pendidikan Indonesia. a. Profesionalisasi manajemen sistem pendidikan. b. Pemanfaatan internet dan komputer untuk manajemen. c. Perlu gerakan moral untuk menumbuhkan nurani para pemimpin dan manajer pendidikan. d. Pemantapan sistem pengadaan, pendayagunaan dan pembinaan tenaga kependidikan. e. Pemantapan sistem evaluasi pendidikan.
1.5.3.5. Proses Belajar-Mengajar Sebagai Sistem. Proses belajar-mengajar sebagai suatu sistem yang komponen-komponennya terdiri atas (Soetopo, 2005: 144): 1. Siswa Teori didaktik metodik telah bergeser dalam menempatkan siswa sebagai komponen proses belajar-mengajar (PBM). Siswa yang semula dipandang sebagai objek pendidikan bergeser sebagai subyek pendidikan. Sebagai subyek, siswa adalah kunci dari semua pelaksanaan pendidikan. Tiada pendidikan tanpa anak didik. Untuk itu, siswa harus dilayani dan dipahami sesuai dengan hak-hak dan tanggungjawabnya sebagai siswa. Siswa adalah individu yang unik. Mereka
Universitas Sumatera Utara
merupakan kesatuan psiko-fisis yang secara sosiologis berinteraksi dengan teman sebaya, guru, pengelola sekolah, pegawai administrasi, dan masyarakat pada umumnya. Mereka datang ke sekolah telah membawa potensi psikologis dan latar belakang kehidupan sosial. Masing-masing memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Potensi dan kemampuan inilah yang harus dikembangkan oleh guru di sekolah. 2. Guru Komponen guru mempunyai peranan penting dan merupakan kunci pokok bagi keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan. Untuk itu kemampuan profesional guru perlu ditingkatkan dan dikembangkan dengan berbagai upaya, antara lain melalui pendidikan, pelatihan, dan pembinaan teknis yang dilakukan secara berkesinambungan di sekolah dan di wadah-wadah pembinaan profesional seperti Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), dan Kelompok Kerja Penilik Sekolah (KKPS). Peningkatan dan pengembangan kemampuan profesional tersebut meliputi berbagai aspek, antara lain kemampuan guru dalam menguasai kurikulum dan materi pengajaran, kemampuan dalam menggunakan metode dan sarana dalam proses belajar-mengajar, melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar, dan kemampuan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar, disiplin dan komitmen guru terhadap tugas (Danim, 2005: 90). 3. Tujuan Tujuan yang harus dipahami oleh guru meliputi tujuan berjenjang, mulai dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan umum
Universitas Sumatera Utara
pembelajaran, sampai tujuan khusus pembelajaran. Proses belajar-mengajar tanpa tujuan bagaikan hidup tanpa arah. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan secara keseluruhan harus dikuasai oleh guru. Tujuan disusun berdasarkan ciri karakteristik anak dan arah yang ingin dicapai. 4. Materi Materi pembelajaran dalam arti luas tidak hanya yang tertuang dalam buku paket yang diwajibkan, akan tetapi mencakup keseluruhan materi pembelajaran. Setiap aktivitas belajar-mengajar pasti harus ada materinya. Anak yang sedang field-trip di kebun raya menggunakan materi jenis tumbuhan dan klasifikasinya. Anak yang praktikum di laboraturium menggunakan materi simbiose katak. Semua materi pembelajaran harus diorganisasikan secara sistematis agar mudah dipahami oleh anak. Materi disusun berdasarkan tujuan dan karakteristik siswa. 5. Sarana atau Alat Agar materi pembelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa, maka dalam proses belajar-mengajar digunakan alat pembelajaran. Alat pembelajaran dapat berupa benda yang sesungguhnya, imitasi atau tiruannya, gambar, bagan, grafik, tabulasi dan sebagainya yang dituangkan dalam media. Media itu dapat berupa alat elektronik, alat cetak dan tiruan. Menggunakan sarana atau alat pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan, anak, materi, dan metode pembelajaran. 6. Evaluasi Evaluasi dapat digunakan untuk menyusun gradasi kemampuan anak didik, sehingga ada penanda simbolik yang dilaporkan kepada semua pihak. Evaluasi
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan secara komprehensif, obyektif, kooperatif, dan efektif. Evaluasi dilaksanakan berpedoman pada tujuan dan materi pembelajaran. 7. Lingkungan Lingkungan pembelajaran merupakan komponen PBM yang sangat penting demi suksesnya belajar siswa. Lingkungan itu mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lingkungan psikologis pada waku PBM berlangsung. 8. Kurikulum Dalam suatu lembaga pendidikan, kurikulum memegang peranan paling penting. Orang akan dengan cepat mengira-ngira kemampuan lulusan apabila diberi tahu materi apa saja yang akan diberikan kepada siswa selama mengikuti pendidikan dilembaga tersebut. Di dalam kurikulum masih dipertimbangkan lagi: luasnya materi, urutan penyajian, komponen pelengkap misalnya pedoman-pedoman, tambahan sumber buku (Arikunto, 2005: 229). 9. Kegiatan Belajar Mengajar Didalam kegiatan ini tampaknya guru merupakan faktor paling dominan yang menentukan kualitasnya. Bagaimana guru mampu memilih metode atau pendekatan yang tepat, bagaimana guru mampu memilih dan menggunakan alat-alat pelajaran, bagaimana guru mampu memilih dan menggunakan alat evaluasi, mengelola kelas, menguasai materi yang akan diajarkan, memahami siswa secara individual, semuanya itu harus dijadikan indikator bagi sasaran penilaian terhadap komponen kegiatan belajar mengajar (Arikunto, 2005: 230).
Universitas Sumatera Utara
SISTEMATIKA PENULISAN BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, dan sistematika penulisan.
BAB II
: METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, informan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisi gambaran umum mengenai lokasi (objek) penelitian, batasbatas wilayah, penduduk, dan sebagainya.
BAB IV
: PENYAJIAN DATA Bab ini berisikan penyajian data-data yang diperoleh dari lapangan kemudian mentabulasikannya.
BAB V
: ANALISA DATA Bab ini berisikan analisa data dari setiap data yang disajikan yang diperoleh setelah melakukan pengumpulan data selama masa penelitian.
BAB VI
: PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara