BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pesantren sebagai model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional, selama ini tidak diragukan lagi kontribusinya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual yang siap untuk mengapresiasikan potensi keilmuannya di masyarakat (Tolkhah, 2004: 49). Dalam perjalanan misi kependidikannya, Pesantren mengalami banyak sekali hambatan yang sering kali membuat laju perjalanan ilmiah Pesantren menjadi pasang surut. Hal ini tidak terlepas dari peran dan ketokohan seorang Kyai sebagai pemegang otoritas utama dalam pengambilan setiap kebijakan Pesantren. Sebagai seorang top leader, Kyai diharapkan mampu membawa Pesantren untuk mencapai tujuannya dalam mentransformasikan nilai-nilai ilmiah (terutama ilmu keagamaan) terhadap umat (baca: santri) sehingga nilai-nilai tersebut
dapat
mengilhami
setiap
kiprah
santri
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam sejarahnya Pesantren telah mampu mencetak kader-kader handal yang tidak hanya dikenal potensial, akan tetapi mereka telah mampu mereproduksi potensi yang dimiliki menjadi sebuah keahlian yang layak jual. Seperti halnya di era pertama munculnya Pesantren telah mampu melahirkan kader-kader seperti Sunan Kudus (Fuqoha‟), Sunan Bonang (Seniman), Sunan
1
Gunung Jati (Ahli Strategi Perang), Sunan Drajat (Ekonom), Raden Fatah (Politikus dan Negarawan), dan wali-wali yang lain („Ala, 2006: 17). Mereka telah mampu menundukkan dominasi peradaban Majapahit yang telah berkuasa selama berabad-abad, yang dikenal sebagai suatu kerajaan dengan struktur pemerintahan dan pertahanan negara yang cukup disegani di kawasan Asia Tenggara. Menurut K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, saat ini ternyata Pesantren seolah sudah mulai kehilangan daya kekebalannya untuk membendung arus modernisasi dan westernisasi yang sudah mulai menggejala sejak pertengahan abad ke XX. Banyak sekali Pesantren-Pesantren salaf yang mulai merubah orientasi pendidikannya menjadi pola pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan dari negara Barat (Amerika Serikat maupun Eropa). Menurut beliau bukannya Pesantren tidak boleh menjadi modern, akan tetapi semangat untuk mengakomodir tuntutan zaman atau modernisasi harus disertai dengan konsistensi terhadap nilai-nilai yang dianut, yakni nilai-nilai salafiyah (Syamsul, 2008: 45). Nilai-nilai salafiyah harus tetap menjadi prinsip sebagai benteng utama dalam menyaring aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari dampak modernisasi yang saat ini mulai mempopulerkan diri dalam ranah pendidikan di Indonesia termasuk lembaga pendidikan Pesantren, sehingga Pesantren tidak dikatakan latah dan cenderung menjadi bulan-bulanan peradaban modern yang kandungan nilainya tidak semua sesuai dengan prinsip-prinsip salaf.
2
Adapun orientasi Khithah Pesantren sendiri diharapkan mampu untuk menyegarkan kembali pemahaman konsep salafiyah Pesantren yang mulai kehilangan identitasnya dalam belantara pendidikan Pesantren di Indonesia. Dalam padangan Kyai As‟ad, saat ini Pesantren seolah lebih serius membangun paradigma pendidikan ala modern tanpa diiringi konsistensi terhadap sistem pendidikan salaf yang pada awalnya menjadi platform dari perjuangan pendidikan Pesantren (Syamsul, 2008: 46). Akibatnya pembacaan terhadap produk Pesantren akan mengalami ambiguitas dalam hal kompetensi. Hal ini menjadi sangat logis sekali ketika hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia termasuk sebagian Pesantren yang mulai berlombalomba mencetak teknokrat dan ilmuwan dengan berbagai gelar akademis, sementara di sisi yang lain tugas utama Pesantren untuk mencetak kader-kader Fuqoha‟ dan pemuka agama mulai kurang mendapat perhatian. Akankah Pesantren harus mendukung realitas kehampaan spiritual yang sedang menggejala di masyarakat modern saat ini? Sementara yang terjadi saat ini Pesantren dengan sebagian sederetan argumentasi yang banyak dikemukakan para pengelolanya, berdalih bahwa apa yang dilakukan mereka semata-mata dalam rangka menjembatani nilai-nilai tradisionalisme Pesantren dengan nilainilai modern yang saat ini banyak digandrungi oleh semua kalangan. Hal ni direalisasikan dengan didirikannya sekolah-sekolah umum, laboratorium, dan lain-lain.
Dengan
adanya
fasilitas-fasilitas
tersebut
diharapkan
ada
penyeimbangan antara materi pokok di Pesantren yang berbasiskan kitab kuning dengan materi-materi pelajaran umum (Ala, 2006: 21).
3
Respon Pesantren terhadap gejala-gejala modernisme dapat dilacak dengan berbagai gerakan inovatif yang seringkali mengaburkan idealismenya sebagai pemegang tradisi salaf. Sehingga akar tradisi yang sejak semula menjadi sesuatu yang sakral, saat ini harus tergantikan dengan kultur modern tanpa disertai upaya untuk menetralisir sistem yang cenderung merusak tradisi salaf-nya. Tanpa adanya upaya tersebut, nilai-nilai salafiyah akan menjadi simnbol-simbol formalistik yang terabaikan dalam perilaku masyarakat Pesantren. Untuk itu, merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan pendidikan Pesantren pada nilai hakikinya (kembali ke Khithah). Hal ini didasarkan pada tugas Pesantren yang sejatinya berorientasi pada pemeliharan dan pembinan serta kontekstualisasi nilai-nilai salaf dalam realitas kehidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan semangat Islam sebagai agama yang mengajarkan umatnya untuk melakukan pembebasan secara keseluruhan dari segala belenggu yang akan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan (Ala, 2006: 11). Dari uraian di atas penulis akan meneliti tentang hal tersebut dengan judul “ KHITHAH PESANTREN PERSPEKTIF K.H.R. AS’AD SYAMSUL ARIFIN “.
B. Rumusan Masalah Untuk mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif, perlu adanya sistematika analitik untuk mencapai sasaran yang menjadi obyek kajian, sehingga pembahasan akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini
4
dimaksudkan agar terhindar dari pokok masalah dengan pembahasan yang tidak ada relevansinya dengan tujuan penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep Khithah Pesantren perspektif K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin? 2. Bagaimana upaya K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dalam merealisasikan konsep Khithah Pesantren tersebut? 3. Bagaimana relevansi konsep Khithah Pesantren K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dengan kondisi Pesantren saat ini?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, antara lain : 1. Untuk mendeskripsikan konsep Khithah Pesantren perspektif K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin? 2. Untuk mendeskripsikan upaya K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dalam merealisasikan konsep Khithah Pesantren tersebut? 3. Untuk mendeskripsikan relevansi konsep Khithah Pesantren K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dengan kondisi Pesantren saat ini?
D. Kegunaan Penelitian Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat baik secara teoritik maupun praktis. Teoritik dalam arti pengetahuan tentang sistem
5
pendidikan tradisional dalam tradisi Pesantren yang ada di Indonesia secara umum dan tentu sesuai dengan kaidah Fiqh di lingkungan Pesantren yaitu:
Artinya: “ Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal yang baru yang lebih baik ( Badrun, 2000: 53 ). Secara praktis yaitu institusi Pesantren bisa mengembangkan sistem pendidikan yang tetap mempertahanakan akar tradisi yang telah ada dan mampu mengadopsi sistem pendidikan modern yang mampu membawa Pesantren menghadapi kemajuan zaman yang begitu cepat. Dengan demikian Pesantren mampu merumuskan format Pesantren yang peka terhadap perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap tidak meninggalkan prinsip-prinsip salafiyah. Hasil penelitian ini semoga dapat bermanfaat bagi elemen mahasiswa, calon pendidik atau para pemikir di masa mendatang dan menambah khasanah pemikiran mengenai pendidikan Islam.
E. Penegasan Istilah Agar tidak terjadi salah tafsir dalam memahami judul yang penulis ajukan, maka penulis akan menjelaskan frase pada judul diatas. 1. Khitthah Asal kata dari Khithah adalah ÎóØø yang berarti garis lurus (yunus, 1989: 118). Dalam pengertian ini, yang dimaksud oleh penulis adalah persamaan pandangan yang dimiliki oleh ulama yang mengelola
6
sebuah Pesantren dalam hal pandangan, sikap, dan tata cara pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam sampai kepada tingkah laku sehari-hari (Siddiq, 2005: 1). 2. Pesantren Kata „Pesantren‟ itu berasal dari kata „santri‟, “yang dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri” (Dhofier, 1982: 18). Pengertian yang penulis maksudkan adalah sebuah institusi pendidikan agama Islam yang mempunyai lima unsur, diantaranya adalah Pondok, Santri, Masjid, Kiai, dan Pembelajaran Kitab Klasik atau Kitab Kuning (Martin, 1995: 17-19) 3. Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Kata perspektif adalah tanggapan langsung atas sesuatu (Fajri, tt: 647). Yang dimaksud dengan perspektif K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin adalah tanggapan atau pemikiran dari K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin atas Khithah Pesantren yang dituangkan dalam karya-karyanya baik berupa buku maupun keterangan secara lisan atas Pesantren. Tanggapan yang diberikan bisa muncul dari pemahaman beliau soal kiprah, fungsi dan peranan Pesantren terhadap realita yang terjadi pada Pesantren secara umum.
F. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah studi pemikiran dengan mengambil pemikiran tokoh. Dalam penelitian ini tokoh dijadikan sentral studi adalah
7
K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Jadi literatur-literatur yang diteliti digunakan untuk menggambarkan keseluruhan pemikiran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin (gambaran tentang Khithah Pesantren). Adapun pengertian metode dalam pengertian ini adalah suatu cara untuk memperoleh bahan-bahan penopang dalam penelitian. Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Library Research Untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini, penulis mengunakan library research yaitu penelitian perpustakaan, dengan metode ini peneliti mengambil langkah-langkah sebagai berikut : a
Mengumpulkan buku-buku yang ada relevansinya dengan kajian permasalahan.
b
Mengidentifikasi
semua
permasalahan
yang
berkaitan
dengan
penelitian. c
Menarik suatu kesimpulan sebagai hasil suatu penelitian tentang pokok permasalahan.(Komaruddin, 1988: 145)
2. Teknik Analisis Data Yaitu penanganan terhadap suatu obyek-obyek penelitian ilmiah dengan memilah-milah pengertian yang satu dengan pengertian yang lain (Sujono Sumargono, 1980:31). Dalam proses analisa ini penulis menggunakan dua cara yang saling bergantian, yaitu; a. Proses analisa deduksi, yaitu analisa dari pengertian yang umum yang kemudian dibuat ekplisitasi dan penerapan lebih khusus (Sutrisno Hadi
8
tt:
19).
Yaitu
dengan
cara
mengumpulkan
data-data
dalam
permasalahan umum kemudian mengerucut pada proses pengambilan permasalahan-permasalahan yang bersifat khusus. b. Proses analisa induksi (dari khusus ke umum). Induksi pada umumnya disebut generalisasi, yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar data itu menyusun suatu ucapan umum. Yaitu dengan cara analisa dari data yang bersifat khusus kemudian yang bersifat umum.
G. Telaah Pustaka Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tekstual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran, dan argumentasi yang terdapat dalam literatur yang relevan dengan pembahasan tentang makna dari Khittah Pesantren dalam pandangan K.H.R. As‟ad Syansul Arifin. Oleh karena itu, sumber yang akan diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak kualitatif. Dalam tinjauan pustaka ini penulis sedikit membuat garis besar tentang karya-karya lain yang berkaitan erat dengan Pesantren, serta telaah kritis pemikiran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin tentang Khithah Pesantren yang terdapat dalam buku Kharisma Kiai As‟ad di Mata Umat, Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-Wejangan Dari balik Mimbar, dan K.H.R.As‟ad Syamsul Arifin-Riwayat Hidup dan Perjuangannya.
9
Penulis belum menemukan tulisan yang secara khusus membahas dan mengupas secara komprehensif tentang Khithah Pesantren menurut K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Sejauh yang penulis ketahui, biasanya buku-buku tentang K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin merupakan buku-buku dari sebuah pengalaman realita yang dijalani K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin (Syamsul, 2008: 13), dan bersumber dari para sahabat, orang terdekat beserta santrisantrinya K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin (Syamsul, 2008: 15). Selain itu juga buku yang merupakan kumpulan dari ceramah-ceramah keagamaan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, yaitu Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-Wejangan dari Balik Mimbar. Hal yang perlu dicatat adalah, penelitian tentang pemikiran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin yang dipaparkan di sini merupakan penelitian yang hanya difokuskan pada Khithah Pesantren Perspektif K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, supaya tercipta sebuah Pesantren yang memberikan pelajaran yang lebih obyektif dan rasional untuk menumbuhkan kreatifitas santri (Syamsul, 2008: 14) Sejauh yang penulis ketahui, kajian tentang pemikiran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin sendiri telah dibukukan dengan judul “Percik-Percik Pemikiran Kyai Salaf- Wejangan dari Balik Mimbar“ yang merupakan kumpulan dari tausiah keagamaan beliau (BP2M, 2000:th) Sedangkan sumber yang digunakan penulis bagi dalam dua kategori, antara lain sebagai berikut :
10
1. Sumber Primer Sumber data primer ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa terhadap literatur- literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali kesesuaiannya antara teks dengan realita berdasarkan berbagai macam tinjauan ilmiah. Adapun sumber primer yang penulis gunakan diantaranya adalah: a. Kharisma Kyai As‟ad di Mata Umat. b. Percik-Percik Pemikiran Kyai Salaf : Wejangan dari Balik Mimbar. c. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya. Secara garis besar ketiga buku di atas merepresentasikan perjalanan hidup K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dan pemikiran-pemikiran beliau tentang pengembangan Pesantren yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat atau umat muslim. Dalam pandangan beliau, pola pengajaran dan pembelajaran di Pesantren harus diselaraskan dengan kebutuhan riil umat muslim dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin komplek (Syamsul, 2008: 58). Penafsiran Kitab kuning sebagai materi utama dalam kurikulum Pesantren dikontekstualisasikan dengan realita yang menjadi bagian dari umat. 2. Sumber Sekunder Yaitu yang menjadi pelengkap dalam penelitian ini adalah bahanbahan bacaan yang ada kaitannya dengan permasalahan di atas. Adapun buku-buku yang dimaksud antara lain:
11
a. Pembaharuan Pesantren, ditulis oleh Abd A‟la diterbitkan oleh Pustaka Pesantren Yogyakarta pada tahun 2006. b. Menggerakkan Tradisi, ditulis oleh Abdurrahman Wahid diterbitkan tahun 2007 oleh LKIs Yogyakarta. c. Khithah Nahdliyyah, ditulis oleh KH. Achmad Shiddiq diterbitkan oleh Khalilsta surabaya pada tahun 2005. d. Manajemen Pesantren, ditulis oleh A. Halim diterbitkan pada tahun 2005 oleh Pustaka Pesantren Yogyakarta. e. Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, buku ini merupakan kumpulan dari tulisan dari Andree Feillard yang diterbitkan oleh LKIs pada tahun 1994. f. Buku NU Vis-a-Vis Negara ini ditulis oleh Andree Feillard dan diterbitkan oleh LKIs pada tahun 1999. g. NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, di tulis oleh Badrun Alaena dan diterbitkan oleh PT Tiara Wacana Yogyakarta pada tahun 2000. h. Bodohnya NU apa NU Dibodohi? Jejak Langkah NU Era Reformasi Menguji Khitthah - Meneropong Paradigma Politik, buku in di tulis oleh Bahrul Ulum dan diterbitkan oleh Ar-Ruzz Prees yogyakarta pada tahun 2002. i.
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, buku ini merupakan hasil penelitian dari Clifford Geerts pada masyarakat Jawa di yogyakarta dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya Jakarta pada tahun 1981.
12
j.
Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah - Pertumbuhan dan Perkembangannya, buku ini merupakan terbitan dari Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta pada tahun 2004.
k. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, buku ini merupakan tulisan dari xamakhsyari Dhofier yang diterbitkan pada tahun 1982 oleh LP3ES Jakarta. l.
Praksis Pembelajaran Pesantren, buku ini ditulis oleh Dian Nafi‟ dan diterbitkan oleh LKIs Yogyakarta pada tahun 2002.
m. Dinamika Pesantren, Kumpulan Makalah Seminar internasional “The role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia”. Buku ini merupakan kumpulan dari makalah-makalah hasil seminar tentang pesantren dan pembangunan masyarakat pada tahun 1987 di Berlin, Jerman. Buku ini diterbitkan oleh CV. Guna Aksara Jakarta pada tahun 1988. n. Pesantren Madrasah Sekolah, buku ini ditulis oleh Karel Steenbrink dan diterbitkan oleh LP3ES Jakarta pada tahun 1986. o. Kamus Arab-Indonesia, kamus ini di tulis oleh Mahmud Yunus dan diterbitkan oleh PT. Hidakarya Agung, Jakarta pada tahun 1989. p. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. buku ini ditulis oleh Martin Van Bruinessen dan diterbitkan pada tahun 1995 oleh Mizan Bandung.
13
q. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, buku ini ditulis oleh DR.Nurcholis Madjid dan diterbitkan oleh Paramadina Jakarta pada tahun 1997. r. Pemberdayaan Pesantren, buku ini ditulis oleh Rofiq dan diterbitkan pada tahun 2005 oleh penerbit Pustaka Pesantren Yogyakarta. s. Kharisma Kiai As‟ad di Mata Umat, buku ini ditulis oleh Ahmad Syamsul Hasan dan diterbitkan pada tahun 2008 oleh penerbit Pustaka Pesantren Yogyakarta. t. Filsafat Ilmu Pengetahuan, buku ini ditulis oleh Soegono Sumargono dan diterbitkan oleh Nur Cahaya Yogyakarta pada tahun 1988. u. Profil Pondok Pesantren Muadalah, buku ini merupakan terbitan dari Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Jakarta pada tahun 2004. v. Dinamika Pesantren dan Madrasah, buku ini ditulis oleh Ismail dan diterbitkan pada tahun 2002 oleh Pustaka Pesantren Yogyakarta. w. Sejarah Pendidikan Islam, buku ini di tulis oleh Zuhairini dan diterbitkan pada tahun 1986 oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Agama Islam Jakarta.
H. Sistematika Penulisan Skripsi Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, maka akan untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang bahasan yang dilakukan dalam tulisan ini maka akan penulis susun dalam lima bab yang secara sistematis sebagai berikut :
14
Bab I Pendahuluan, berisi Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian, Telaah Pustaka, dan Sistematika Penulisan skripsi Pada bab II Biografi K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, membahas mengenai Riwayat K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dengan sub bahasan Masa Remaja dan Pendidikan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, kiprah dan perjuangan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Pada bab ini juga membahas karya-karya K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Bab III Deskripsi Pemikiran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, pada bab ini akan dibahas tentang makna Khithah, Pesantren di Indonesia yang meliputi sub bahasan sejarah pesantren di Indonesia, perkembangan bentuk pesantren, unsur-unsur yang ada dalam sebuah pesantren. Dalam bab ini juga membahas mengenai pembaharuan pendidikan di pesantren dengan sub bahasan Reintegrasi Keilmuan Pesantren, Inovasi Sistem Pendidikan dalam Pesantren, dan Reformulasi Model Ideal Pendidikan Pesantren. Bab IV Pembahasan, membahas tentang pandangan Kyai As‟ad Syamsul Arifin tentang Khithah Pesantren, upaya-upaya K.H.R. As‟ad Samsyul Arifin untuk merealisasikan Khithah Pesantren, urgensi peran Pesantren dalam melakukan transformasi sosial perspektif K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, dan relevansi Khithah Pesantren dalam perspektif K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dengan kondisi pesantren saat ini. BAB V Penutup, berisi tentang Kesimpulan, Saran-Saran, dan Penutup.
15
BAB II BIOGRAFI K.H.R. AS’AD SYAMSUL ARIFIN
A. Riwayat Hidup K.H.R. As’ad Syamsul Arifin 1. Masa Remaja dan Pendidikan K.H.R. As’ad Syamsul Arifin K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin lahir di sebuah perkampungan Syi'ib Ali dekat Masjidil Haram, Mekah pada tahun 1897, ketika orang tuanya menunaikan ibadah haji. Lahir dari seorang Ibu yang bernama Siti Maemunah dan bapaknya bernama Ibrahim. Nama “As‟ad“ yang berarti “Sangat Bahagia“ dikaruniakan kepadanya karena saat itu merupakan masa kematangan ilmu bagi kedua orang tuanya yang telah menuntut ilmu selama dua puluh lima tahun di tanah suci dan mereka mendapat karunia seorang anak laki-laki. Satu-satunya adik bernama Abdurrahman juga lahir di kota suci itu ketika As‟ad berusia empat tahun. Bahkan Abdurahman menjadi seorang hakim dan meninggal di Arab Saudi . Raden Ibrahim atau dikenal dengan Kyai Syamsul Arifin, dari jalur Ayah masih keturunan Sunan Ampel. Sedangkan dari pihak Ibu, keturunan dari Tumenggung Tirtonegoro atau Bendoro Saud yang menjadi Bupati Sumenep dan masih keturunan dari Pengeran Ketandur, Cucu dari Sunan Kudus. Pada tahun 1903 beliau diboyong oleh ayahandanya pulang ke kampung, ke Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pemekasan, Madura. Sedangkan adiknya dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu Ibunya
16
yang memang bermukim di Makkah (Syamsul, 2008: 5). Sesampainya di tanah air tepatnya di Kembang Kuning, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Kyai Syamsul Arifin membantu ayahnya, Kyai Ruham, mengajar di Pondok Pesantren. Beberapa waktu kemudian Nyai Siti Maimunah meninggal dunia. Lalu Kyai Syamsul Arifin menikah lagi dengan Nyai Siti Sa‟idah, seorang janda dari Kyai Syarqawi, pendiri Pondok
Pesantren
Guluk-Guluk,
Sumenep.
Tidak
lama
dari
kepulangannya dari Mekkah, Kyai Syamsul Arifin bersama Keluarganya hijrah ke Asembagus, Situbondo dan membuka Pondok Pesantren baru di Sukorejo . Pada masa mudanya, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin menghabiskan masa lajangnya di berbagai Pondok Pesantren di Pulau Jawa. Beberapa Pondok Pesantren yang pernah beliau tempati dalam mencari ilmu agama, antara lain: a. Madrasah Shalatiyah, Makkah. Di samping belajar di Madrasah tersebut, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin juga berguru kepada Ulama-Ulama lain selama di Makkah. Ulama-Ulama tersebut di antaranya adalah Syaikh Hasan alMassad, Sayyid Muhammad Amin al-Kutby, Sayyid Hasan alYamany, dan Sayyid Abbas al-Maliki. b. Pondok Pesantren Banyu Anyar. c. Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, yang diasuh oleh KH. Cholil.
17
d. Pondok Pesantren Buduran, Panji, Sidoarjo, yang diasuh oleh KH. Khozin. e. Pondok Pesantren Tetango, Sampang. f. Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, yang diasuh oleh KH. Nawawi. g. Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, yang diasuh oleh KH. Hasyim As‟ari dan berbagai Pondok Pesantren lainnya di Pulau Jawa dan Madura (Syamsul, 2008: 6). Saat menjadi Santri KH. Cholil Bangkalan, Kyai As‟ad muda menjadi Santri kesayangan gurunya sehingga pada masa dimana terjadi peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite Hijaz “ menjadi “Jam‟iyyah”, Kyai As‟ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyaroh KH. Cholil kepada KH. Hasyim Asy‟ari, Jombang. Beliau diutus oleh Kyai Cholil pada tahun 1924 beliau menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thoha ayat 17 s/d 23, pada tahun 1925 beliau kembali diutus menyampaikan hasil istikhoroh gurunya kepada K.H. Hasyim As‟ari, beliau kembali ke Jombang dengan seuntai tasbih dan bacaan Ya-Jabbar, Ya-Qohhar 3x (Syamsul, 2008: 9-11). 2. Kiprah dan Perjuangan K.H.R. As’ad Syamsul Arifin a. Peran dalam Mengusir Penjajah Pada Awal masa pendudukan Jepang di Indonesia, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin mulai aktif di dunia pergerakan dan mengurangi aktivitasnya di Pesantren. Banyak sumbangsih beliau terhadap perjuangan dalam mengusir penjajah.
18
1) Membentuk laskar Hisbullah dan langsung memimpin pasukan gerilya di daerah Besuki dan sekitarnya (Syamsul, 2008: 12). 2) Melatih dan menggembleng para pejuang dengan ilmu perang, beladiri, dan olah ilmu kanuragan. 3) Membentuk Barisan Pepolor Anggota barisan Pelopor adalah mantan orang-orang yang suka melakukan perbuatan kriminal. Proses perekrutan anggota barisan Pelopor melalui beberapa cara. Pertama, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin langsung mendekati orang-orang yang memang menjadi pimpinan dari gerombolan preman. Dengan pendekatan yang persuasif, cara ini efektif untuk menaklukan mereka sehingga selain menjadi anggota barisan pelopor, para anggota gerombolan kriminal ini pelan-pelan mulai sadar dan bertaubat dari melakukan perbuatan buruk. Cara kedua, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin mengutus orang-orang kepercayaannya untuk terjun di lapangan. Orang-orang kepercayaan yang diutus biasanya tergolong Santri yang “nakal“. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin juga mengutus beberapa tokoh masyarakat yang dikenalnya dan juga anggota barisan pelopor lainnya yang sudah bertaubat untuk mencari anggota baru (Syamsul, 2008: 85-89). 4) Memimpin pengambilalihan wilayah Madura, Jember, Besuki dan Bondowoso dari tentara Jepang.
19
5) Memimpin langsung barisan Pelopor dan laskar Hisbullah dalam pertempuran 10 November 1945 setelah keluar Resolusi Jihad dari K.H. Hasyim Asy‟ari. 6) Bergerilya dengan para pejuang lain setelah terjadinya agresi Militer Belanda I. Peran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dalam perjuangan mengusir penjajah sebenarnya sangat banyak, namun semua itu dilakukan dengan ikhlas sehingga beliau tidak pernah mengharap balas jasa berupa materi (Syamsul, 2008:103-123) b. Kiprah di Politik Praktis Setelah pemilu 1955, Peran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin menjadi anggota konstituante sampai tahun 1959 dari partai NU. Setelah Konstituante di bubarkan oleh Bung Karno beliau tidak banyak beraktivitas di bidang politik (Syamsul, 2008: 13). Pada tahun 1971, Peran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin menjadi DPRD Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukung sebuah organisasi politik yang bernama PPP karena NU saat itu mendukung PPP (Syamsul, 2008: 51). Selain itu, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin merupakan salah satu di antara sekian Ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara pemerintah dan umat Islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas dan tangkas serta bijaksana, beliau mampu
20
memainkan perannya sebagai Ulama NU (pengayom masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif. Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah mata pelajaran PMP yang menjadi kontroversi antara umat Islam dan pemerintah. Tanpa banyak bicara beliau langsung menemui Presiden Soeharto dan menunjukkan beberapa hal yang mestinya dikoreksi, tidak beberapa lama, dalam tahun itu juga PMP yang menuai kontroversi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh pemerintah (Syamsul, 2008: 14). Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik, maupun kemasyarakatan, tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi‟iyah berkumpul ratusan Ulama NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal 18-21 Desember 1983. Ketika semua Ormas Islam banyak menolak azas Pancasila, justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan aqidah Islam.
Munas tersebut memutuskan mengembalikan NU ke Garis
Perjuangan dan landasan asalnya, yang kemudian populer dengan istilah kembali ke Khithah 1926 (Hasan, 1994: 46). inilah sebagian dari peran K.H.R. As‟ad Syamsul dalam memulihkan keutuhan NU dan Umat Islam di Negara ini (Syamsul, 2008: 16).
21
Beliau juga dengan Kearifannya pernah melakukan mufaroqoh pada saat kepemimpinan NU dibawah KH. Abdurrahman Wahid, karena dirasakan sebagai ketua telah melenceng, yang kemudian beliau mengibaratkan Imam Shalat telah “kentut”. Peristiwa ini terjadi pada Muktamnar NU ke-28 di Krapyak, Yokyakarta (Syamsul, 2008: 25). c. Kiprah di Masyarakat Sepanjang hidupnya, K.H.R.As‟ad Syamsul Arifin senanatiasa dekat dengan masyarkat dimanapun Beliau berada, sehingga banyak hal yang sudah Beliau lakukan dalam rangka mengembangkan dan membangun sebuah tatanan masyarakat yang baik. Beberapa hal yang telah beliau lakukan diantaranya: 1) Gemar membangun untuk kepentingan agama dan bangsa. Banyak sekali pondok, masjid, dan madrasah yang dibangun atas prakarsa dan bahkan langsung dibangun oleh K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Dan sampai akhir hayat, beliau masih banyak merencanakan bangunan yang belum sempat diwujudkan, terutama pembangunan di lingkungan pesantren Sukorejo. 2) Ulama pejuang. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin lahir dan dibesarkan dalam masa penjajahan. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin memiliki semangat anti penjajah dan memiliki keberanian yang luar biasa. Ketika meletusnya G. 30. S. PKI, fatwa-fatwa K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin selalu menjadi pegangan kaum Nahdliyin dan juga sebagian pejabat. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pejuang,
22
K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin memiliki keistimewaan tersendiri, misalnya dengan merekrut para residivis yang kemudian tunduk dan patuh pada perintahnya. 3) Disiplin waktu dan istiqamah. Hal ini ditunjukkan dalam kehadirannya dalam setiap undangan, beliau selalu datang lebih awal atau tepat waktu. Bahkan di lingkungan pesantren sendiri, sebagaimana pengakuan santri yang sering bangun untuk shalat malam, mereka mesti bertemu Kiai sedang mengelilingi pondok. Ini dilakukan setiap hari mulai tengah malam (Syamsul, 2008: 56). Setelah lama malang melintang diberbagai kegiatan dan aktivitas kemasyarakatan, terutama dunia Pesantren akhirnya pada tanggal 13 Muharram 1411 tepatnya tanggal 4 Agustus 1990 pukul 07.25 setelah 2 hari dirawat di Rumah Sakit Islam Surabaya Beliau Wafat akibat penyakit yang dideritanya (Syamsul, 2008: 128).
B. Karya-Karya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Selama perjalanan hidupnya, KHR As‟ad Syamsul Arifin tergolong cukup produktif dalam menulis. Dengan gaya bahasa yang sederhana dan disusun dengan ringkas, hal ini menyebabkan kitab atau buku yang ditulis cepat mudah dipahamai dan dimengerti kandungan dari kitab tersebut. Beberapa tulisannya di tulis dalam bahasa madura dengan menggunakan huruf pegon. Materi tulisannya mulai dari Tauhid, Tasawuf, Fiqh, Sejarah, Ekonomi, dan lain-lain. Hasil karyanya sebagian besar merupakan jawaban
23
atas segala permasalahan yang dihadapi beliau untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Hal ini tidak mengherankan karena beliau cukup rajin mengikuti informasi dan perkembangan yang terjadi di masyarakat baik dengan bertatap muka secara langsung maupun mengikutinya dari surat kabar, televisi maupun dari media massa lainnya. Di antara beberapa karya besar beliau yang terdokumentasikan dengan baik ada 10 buku atau kitab, diantaranya sebagai berikut: 1. Al-Tajlib al Barokah fi Fadli as Sa’yi wa al Harakah Buku ini ditulis dalam bahasa Madura dengan huruf arab pegon, berukuran 15 x 21,5 cm, tebalnya 31 halaman. Waktu penulisan buku ini pada malam pemilihan umum yang pertama tepatnya pada tanggal 1 Jumadil Awal 1375 atau 15 Desember 1955. Materi yang terkandung di dalamnya berisi ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits-hadits yang menerangkan Ekonomi dalam Islam. Selain itu, buku ini memaparkan penghidupan manusia telah disediakan oleh Allah dan manusia sebagai Khalifah di muka bumi dianjurkan Allah untuk menggali dan mengelola alam raya ini sebagai sumber perekonomian, baik di daratan, laut, udara ataupun tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Dalam mengelola alam harus disesuaikan dengan hukum yang telah digariskan oleh Allah sehingga tujuan akhir adalah untuk mencari ridho Allah. Dalam bab terakhir dari buku ini mengupas soal hak buruh yang upahnya agar diberikan sebelum kering keringatnya.
24
2. Risalah Sholat Jum’at Ukuran kitab ini 16,5 x 21,5 cm dengan ketebalan 19 halaman dengan rincian 13 halaman membahas Sholat Jumat disertai dengan kutipan-kutipan Ulama dari sebelas kitab di antaranya adalah Al-Umm, Fiqh Ala Al-Madzhabhib Al-Arba‟ah, dan Nihayah Al-Muhtaj tanpa diterjemahkan dan 5 halaman berisi tata cara ziarah kubur dan istighosah yang disertai dengan rujukan dari Al-Qur‟an, Hadits dan qoul beberapa Ulama. 3. Sya’r Madura Proses penulisan buku ini disebutkan selama bulan Ramadhan, akan tetapi tidak mencantumkan tahun pembuatan. Ada sekitar 232 baris syair yang terdapat dalam buku ini. Dilihat dari isinya, ini menunjukkan bahwa K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin merupakan seorang Ulama yang berjiwa seni yang mengupas masalah sosial, khususnya masalah remaja yang disertai dengan petuah-petuah yang dikemas dalam humor sehingga tidak terkesan menggurui. Di antara isinya adalah soal identitas penyair, nasihat buat remaja dalam berguru, anjuran untuk memilih istri yang berakhlaq dan baik hatinya yaitu perempuan yang bertakwa, patuh kepada guru, taat kepada orang tua dan setia kepada suami, menjaga kebersihan dan mampu memimpin anak-anaknya. Dalam tata cara menyantri, dianjurkan sebelum belajar agar orang tua dan anaknya menghadap guru, pasrah dunia akhirat. Dalam pergaulan
25
sehari-hari, seorang santri hendaknya bersikap tenang, berpakaian sederhana, selalu tersenyum, dan sering membaca Al-Qur‟an. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin juga menganjurkan untuk selalu menjaga kesehatan dan mengetahui ilmu kesehatan serta menyediakan obat-obatan karena dalam beribadah membutuhkan raga yang sehat dan kuat. 4. Isra’ Mi’raj Ketebalan buku 15 x 21,5 cm berisi 21 halaman. Ditulis pada 27 Syawal 1391 atau 17 Desember 1971. Kitab ini menjelaskan sebab musabab terjadinya Isro‟ Mi‟roj dan seluruh kejadian yang berkaitan dengan Isro‟ Mi‟roj. 5. Tarikh Perjuangan Islam Indonesia Ukuran buku 15,5 x 21 cm dengan ketebalan 43 halaman. Menjelaskan sejarah Wali Songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di pulau Jawa dan Madura. 6. Hadzihi ar-Risalah li adz-dzikri Bai’ah wa Silsilah Qadariyah wa anNaqsabandiyyah Buku ini mengupas silsilah, tata cara berdzikir, dan tata cara dalam tarekat Qodiriyah wa naqsyabandiyyah yang diperoleh K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dengan tebal 28 halaman dan ditulis pada tanggal 16 Sya‟ban 1403 H bertepatan tanggal 29 Juli 1983.
26
7. Risalah at-Tauhid Tebal kitab ini 42 halaman dan pada awalnya ditujukan untuk membekali Santri yang telah terjun di masyarakat. Isi buku ini mengupas soal Tauhid dan Tasawuf. 8. Al-Aurad Al-Yaumiyyah Kitab berukuran buku saku ini berisi kumpulan wirid-wirid yang berasal dari beberapa haditst-hadits Rasulullah. Sebagian aurad ini, terdapat sanad yang bersambung dengan beberapa Muhaddits terkenal. Misalnya, Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Turmudi, Imam Nasa‟i, Imam Thabrani, Sayyidah Aisyah, dan lain-lain. 9. Ar-Risalah al- Maimunah Fi Ahkam al-Intikhabat al-Ammah Buku setebal 32 halaman, berukuran 16 x 20,5 cm. ditulis pada tanggal 1 Syawal 1437 H dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada tanggal 1 Ramadhan 1408 H. kitab yang dikemas dalam bentuk tanya jawab ini berisi pandangan-pandangan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin untuk menjawab berbagai permasalahan politik seputar partai NU dan pemilu 1955. 10. Wudhuh ad-Dala’il Kitab ini merupakan terjemahan secara ringkas dari kitab Tanbih al-Ghafil wa Irsyad al-Mustafid al-Aqil karangan Sayyid Abdullah bin Sadiq Dahlan. Penerjemahan Kitab ini dilatarbelakangi oleh beberapa keluhan masyarakat terhadap beberapa penganut Tareqat Tijaniyyah. Oleh karena itu K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin menerjemahkan dan memberi
27
kata pengantar pada kitab yang membahas tentang asal-usul Tareqat Tijaniyyah dan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dikakukan oleh para pengikutnya (Syamsul, 2000: 34-45). 11. Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-Wejangan dari Balik Mimbar Buku ini merupakan kumpulan dari ceramah-ceramah semasa hidup K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Namun baru didokumentasikan dengan baik dan akhirnya baru diterbitkan pada tahun 2000 oleh BP2M Pondok Pesantren Salafiyyah Sayafi‟iyyah Situbondo.
28
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN K.H.R. AS’AD SYAMSUL ARIFIN
A. Makna Khittah Kata Khittah berasal dari kata
yang berarti garis lurus (Yunus,
1989: 118). Makna dan pengertian Khithah sering dihubungkan dengan keberadaan salah satu organisasi keagamaan di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Dalam hubungannya dengan Nahdlatul Ulama, kata Khithah berarti garis pendirian, perjuangan, dan kepribadian Nahdlatul Ulama, baik yang berhubungan dengan urusan keagamaan maupun kemasyarakatan, baik secara perseorangan maupun dalam konteks organisasi (‟Ulum, 2002: 86) . Fungsi garis itu dirumuskan sebagai landasan berfikir dan bertindak bagi warga Nahdlatul Ulama. Basis massa dari NU yang merupakan komunitas Pesantren, seringkali terabaikan dan hanya sekedar menjadi basis dukungan menjelang Pemilu maupun suksesi kepemimpinan di daerah. Sehingga tarikulur kepentingan politik selalu mewarnai perjalanan sebuah Pesantren. Pengertian dari Khithah adalah persamaan pandangan yang dimiliki oleh Ulama yang mengelola sebuah Pesantren dalam hal pandangan, sikap, dan tata cara pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam sampai kepada tingkah laku sehari-hari (Siddiq, 2005: 1). Ketika institusi Pesantren konsentrasi penuh pada pengembangan pendidikan dan masalah sosial lain yang terjadi di masyarakat, maka ini akan menjadi sebuah gerakan pembebasan dan
penyadaran
secara
29
menyeluruh untuk
mengangkat
kesejahteraan masyarakat. Dengan catatan bahwa Pesantren mampu melakukan inovasi-inovasi dalam penyusunan kurikulum dengan melihat konteks dan realita yang berkembang di masyarakat di mana Pesantren tersebut berada. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan Khithah adalah garis dan fungsi Pesantren secara utuh dalam pengabdiannya kepada masyarakat untuk melakukan transformasi gagasan, ide, dan ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut ilmu agama. Pemaknaan Khithah Pesantren menurut K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin adalah fungsi dan peran Pesantren yang mampu mencetak generasi dan ilmuwan-ilmuwan Muslim yang tidak hanya berkutat pada masalah ilmu agama saja, namun juga mampu menguasai ilmu-ilmu yang lain. Kaum Pesantren hendaknya menengok kembali Khithah Pesantren pada masa Sunan Ampel. Seperti ungkapan beliau saat malakukan ceramahceramah keagamaan yang kemudian disusun dalam sebuah buku dengan judul “Percik-percik Pemikiran Kyai salaf“ : “Pesantren zaman Sunan Ampel sudah terbukti mampu mencetak kader-kader yang handal. Ada kader Fuqoha (Sunan Kudus misalnya), Kader Seniman (Sunan Giri seumpamanya), kader panglima perang yang tangguh (Sunan Gunung Jati contohnya), kader negarawan ulung (misalnya Raden Fatah), kader waliyullah, dan semacamnya“ (Syamsul, 2008: 13) Menurut K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, makna Khithah yang diajarkan Sunan Ampel adalah Mondok yang baik, niat mengaji, belajar yang rajin, dan mengutamakan kualitas keilmuan, bukan untuk mengejar gelar dan pangkat (Syamsul, 2008: 48). Dengan demikian, berarti Pesantren dituntut untuk
30
memperbaiki kualitas pendidikannya. Dalam pandangan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, pengajian wetonan, suatu majelis taklim yang diikuti oleh ratusan Santri dan biasanya sekedar mencari barokah, kurang efektif dan efisien. Institusi Pesantren dituntut untuk lebih rasional dan objektif dalam menumbuhkan kreatifitas Santri. Mengapa? “Karena sekarang ini tidak ada Kyai yang mampu memberikan barokah seperti dulu“ (Syamsul, 2008: 14). Demikian diungkapkan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Maka, beliau mengembangkan sistem pendidikan dan pengajaran yang berciri khas Pesantren yaitu wetonan, sistem Sorogan, dan klasikal. Dan untuk mencetak Santri yang menguasai ilmu pengetahuan umum, beliau mendirikan sekolah umum, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (Syamsul, 2008: 14). "Cita-cita"
besar
dari
K.H.R.
As‟ad
Syamsul
Arifin
adalah
mengharapkan Santrinya seperti Santri Sunan Ampel yang mempunyai berbagai macam keahlian dan pengetahuan selain ilmu agama (Syamsul, 2008: 48)
B. Pesantren di Indonesia. 1. Sejarah Pesantren di Indonesia Masyarakat Santri merupakan salah satu kelompok yang sangat penting dalam umat Islam di Indonesia. Kepercayaan, sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat Pesantren, terutama cara saling mempengaruhi masyarakat luar Pesantren dan anggapan bahwa Pesantren sebagai “alternatif ideal” membuat kebudayaan Pesantren agak berbeda daripada
31
masyarakat Indonesia pada umumnya, dan juga umat Islam yang lebih luas. Oleh karena itu, menurut Abdurrahman Wahid misalnya, kebudayaan Pesantren bisa dibicarakan sebagai subkultur (Wahid, 2007: 2-3). Pengaruh masyarakat Santri terhadap masyarakat Indonesia masih kuat, baik dalam peran Pesantren sebagai pusat Tarekat maupun Pendidikan anak-anak. Definisi Pesantren sangat bervariasi juga, dari yang seherhana seperti “tempat tinggal seorang Santri”, sampai sebuah sistem yang meliputi bukan semata wujud fisik tempat belajar agama, tetapi juga masyarakat dengan pengertian luas yang tinggal di sekelilingnya, dan membentuk pola hubungan budaya, sosial dan keagamaan, di mana polapolanya kurang lebih sama dengan yang berkembang atau dikembangkan di Pesantren atau berorientasi Pesantren (Ismail, 2002: 53). Bisa dikatakan bahwa Pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pendidikan Islam sekarang di Indonesia begitu luas dan beranekaragam hingga bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang, pasti ada Pesantren atau sekolah Islam yang sesuai. Secara terminologis, Pesantren adalah lembaga Pendidikan dan pengajaran agama Islam. Umumnya, proses Pendidikan Pesantren berlangsung secara non klasikal, dimana seorang Kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada Santri-Santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama abad pertengahan dan para Santri biasanya
32
tinggal di Pondok (asrama) dalam Pesantren tersebut. Kata „Pesantren‟ itu berasal dari kata „Santri‟, “yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para Santri (Dhofier, 1982: 18). Sebagai lembaga, Pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai ke-Islam-an dengan titik berat pada Pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para Santri yang belajar pada Pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keIslam-annya, kemudian mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat di mana para Santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di Pesantren (Raharjdo, 1982:15) Dilihat dari sejarahnya, Pesantren merupakan penerus sistem Pendidikan pra-Islam di Indonesia. Bentuk dari sistem Pendidikan ini diidentifikasikan dengan sistem mandala yang merupakan sistem Pendidikan pada era Majapahit yang berjumlah kurang lebih 200 mandala yang tersebar di seluruh wilayah Majapahit (Wahid, 2007: 121). Menurut Nurcholis Madjid, Pesantren adalah lembaga Pendidikan yang merupakan wujud proses wajar perkembangan dari sistem Pendidikan Nasional yang tidak identik dengan nilai ke-Islam-an, namun mengandung makna keaslian Indonesia (Nurcholish, 1997: 3). Keberadaan Pesantren sebagai lembaga Pendidikan yang diselengarakan oleh masyarakat tinggal meneruskan dan mengIslamkan bentuk bentuk dari lembaga Pendidikan yang telah ada sebelumnya..
33
Sebagai salah satu lembaga Pendidikan Islam yang tertua di Indonesia, Pesantren telah melalui berbagai peradaban dan masih tetap eksis sampai abad ke dua puluh satu ini. Sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang ilmu agama, Pesantren telah menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang tetap kokoh berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan yang bersumber pada Al-Qur‟an, Hadits, dan qoul Ulama yang terepresentasikan dalam, Kitab Kuning. Oleh karena itu Pesantren memiliki nilai-nilai yang tidak sama dengan lembaga Pendidikan lainnya. Masa kejayaan Pendidikan Islam dimulai dengan berkembang pesatnya kebudayaan Islam, yang ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga Pendidikan Islam dan Madrasah (sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat kebudayaan Islam. (Zuhairini, 1986: 87). Dalam perkembangannya Pendidikan informal yang bertujuan untuk memperdalam agama Masjid-Masjid ini akan
yang dilakukan di rumah-rumah ataupun dilanjutkan dalam Pendidikan Pesantren.
Pesantren memiliki nama dan corak yang bervariasi, di Jawa disebut sebagai Pondok Pesantren, di Aceh dikenal dengan Rangkang, di Sumatera Barat dikenal dengan Surau (Depag RI, 2004: 1). Namun, seiring berjalannya waktu sebutan Pondok Pesantren, Rangkang maupun Surau di atas lebih dikenal dengan Pondok Pesantren. Terdapat beberapa pendapat mengenai awal berdirinya Pesantren:
34
a. Pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri (Depag RI, 2004: 2), ada dua versi dalam pendapat pertama ini : 1) Berasal dari zaman nabi Muhammad SAW saat berdakwah Dapat dicermati bahwa Pesantren telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hal ini berarti menolak pendapat bahwa Pesantren mengandung makna keaslian Indonesia (Indegoneus). 2) Pesantren memiliki kaitan yang erat dengan tempat Pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Di mana penyiaran Islam di Indonesia sangat erat hubungannya dengan dzikir dan tarekat yang pengikutnya diwajibkan untuk melaksanakan suluk selama 40 hari dalam 2 tahun dan tinggal di Masjid (Depag RI, 2004: 2). Dari latar belakang di atas maka seorang Kyai harus menyediakan tempat khusus untuk tempat tinggal bagi pengikutnya yang pada akhirnya akan berkembang menjadi Pesantren. b. Secara terminologi, Pendidikan Pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India, karena sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk Pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa (Karel, 1986: 20). Pesantren mulai diadopsi oleh umat Islam saat Islam masuk dan tersebar di Jawa, dan istilah Pesantren sendiri
seperti halnya
mengaji bukanlah dari istilah Arab melainkan dari India, sama halnya dengan mengaji di Pondok, Langgar, Surau dan Rangkang (Karel, 1986: 21).
35
c. Pada awal penyebaran agama Islam di Nusantara, Pondok Pesantren pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M. Kemudian beberapa Sunan yang lain ikut mendirikan Pondok Pesantren. Sunan Ampel Mendirikan Pondok Pesantren di Kembang Kuning kemudian pindah ke Ampel Denta, Sunan Giri mendirikan di Giri, Sunan Bonang mendirikan di Tuban, Raden Fatah mendirikan di Demak dan lain sebagainya (Muhtarom, 2005: 106) Maka dengan akar sejarah yang seperti itu, dapat dikatakan bahwa tradisi Pendidikan Islam di Indonesia tidak sepenuhnya khas Islam, kecuali hanya menambahkan muatan dan corak ke-Islam-an terhadap tradisi Pendidikan yang sudah ada. Bahkan masuknya Islam tidak mengubah format penyelenggaraan yang sebelumya sudah ada dan mentradisi, namun yang paling pokok adalah materi yang dipelajari, bahasa, dan latar belakang. Namun satu hal yang dari Pesantren itu sendiri sudah disepakati bersama adalah sejarah berdirinya Pesantren sangat erat hubungannya dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. 2. Perkembangan Bentuk Pesantren Seiring dengan perkembangan informasi dan teknologi, Pesantren terus mengalami perubahan. Salah satu penyebabnya adalah terjadi persentuhan antara Pesantren dengan Madrasah. Ini terjadi pada akhir abad XIX dan sangat terlihat jelas pada awal abad XX, terbukti dengan banyaknya orang-orang Islam di Indonesia yang menimba ilmu di Timur Tengah (Depag RI, 2004: 6). Hal ini mempengaruhi pola pemikiran yang
36
semakin berkembang di kalangan umat muslim. Banyak ilmu-ilmu yan diadopsi oleh umat Islam di Timur Tengah yang pada selanjutnya akan mempengaruhi bentuk Pesantren yang telah ada. Proses peubahan sistem Pesantren dengan sistem Madrasah membuat beragam variasi bentuk Pesantren. Bentuk Pesantren yang terdata oleh Departemen Agama antara lain: a. Pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab-kitab klasik (salafiyah). b. Pesantren yang tetap melakukan kajian kitab-kitab klasik namun ditambah dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan ketrampilan atau kegiatan lainnya untuk membekali Santri. c. Pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pengajian kitab kuning dan mengarah pada upaya pengembangan tarekat/sufi. d. Pesantren yang hanya menyelenggarakan kegiatan ketrampilan khusus agama Islam, seperti tahfidz (hafalan) Al-Quran dan majelis taklim, adakalanya Santri diasramakan, adakalanya tidak. e. Pesantren yang menyelenggrakan pengajaran pada orang-orang yang menyandang masalah sosial. f. Pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab-kitab klasik dan menyelenggarakan kegiatan Pendidikan formal dalam Pesantren. g. Pesantren yang merupakan kombinasi dari beberapa Pesantren di atas. Bentuk Pesantren dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
37
a. Pesantren Salafiyah Pesantren salafiyah adalah Pesantren yang menyelenggarakan pelajaran
dengan
pendekatan
tradisional,
sebagaimana
yang
berlangsung sejak awalnya. b. Pesantren Khalafiyah Pesantren khalafiyah adalah Pesantren yang menyelenggarakan kegiatan Pendidikan dengan pendekatan modern melalui suatu Pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah. c. Pesantren Campuran Pesantren campuran merupakan percampuran antara Pesantren salaf dengan Pesantren khalaf. Model pembelajaran dalam Pesantren jenis ini menggunakan gabungan antara pendekatan secara tradisional dan pendekatan secara modern (Depag RI, 2004: 16-17). 3. Unsur-Unsur dalam Pesantren Zamakhsyari Dhofier, menjelaskan bahwa untuk berstatus sebagai Pesantren di Indonesia seharusnya ada lima elemen yang pokok, yaitu Pondok, Masjid, Santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan seorang Kyai. Namun kalau kita betul-betul lihat keanekaragaman jenis Pesantren sekarang ini ternyata lima elemen pokok ini walaupun mungkin merupakan unsur dasar komposisi Pesantren, tidak merupakan batasan pada variasi dalam bentuk Pesantren di Indonesia. Ini berarti bahwa suatu lembaga Pendidikan keagamaan yang telah berkembang hingga memiliki kelima unsur tersebut akan disebut sebagai
38
Pesantren. Kelima unsur tersebut akan penulis uraikan dalam pembahasan berikut: a. Pondok Pesantren adalah sebuah asrama Pendidikan Islam tradisional dimana para Santri tinggal bersama dan belajar bersama di bawah asuhan Seorang Kyai atau Ulama. Asrama tersebut biasanya berada dalam lingkungan kompleks Pesantren. Asrama ini yang disebut dengan Pondok (Dhofier, 1982: 44). Istilah Pondok berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) mempunyai arti rumah penginapan atau hotel (Dhofier, 1982: 18). Akan tetapi Pondok di Indonesia khususnya di Pulau Jawa lebih mirip dengan pemondokan dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi Santri. Biasanya Pondok dikelilingi dengan
tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya Santri di lingkungan Pondok. Keberadaan
Pondok
merupakan
ciri
khas
yang
membedakannya dengan sistem Pendidikan tradisional di wilayah negara-negara Islam yang lain. Sistem Pondok ini berbeda dengan Pendidikan surau di Minangkabau dan sistem Pendidikan di Afghanistan di mana guru dan murid yang belum menikah tinggal bersama-sama di Masjid. Di jawa, besar kecilnya Pondok tergantung pada jumlah Santri yang tinggal (Dhofier, 1982: 45-47)
39
b. Masjid Masjid merupakan elemen yang dalam konteks ini sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua dari Pesantren, di samping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat berjamaah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar (Dhofier 1982: 49). Biasanya waktu belajar mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum maupun sesudahnya. Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah Santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk halaqah-halaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruangan-ruangan yang berupa kelaskelas sebagaimana yang terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian, Masjid masih tetap digunakan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagian Pesantren Masjid juga berfungsi sebagai tempat I‟tikaf dan melaksanakan latihan-latihan dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi (Dhofier, 1982:136) c. Santri Santri adalah murid-murid yang sengaja menuntut ilmu di Pesantren, baik ia bermukim di sana ataupun tidak dan merupakan elemen penting dalam kelangsungan Pesantren. Pengertian Santri secara terminologi adalah siswa yang tinggal di Pesantren guna menyerahkan diri untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik
40
Kyai dalam arti sepenuhnya (Wahid, 2007:21). Biasanya Santri terbagi atas Santri mukim yang menetap di asrama Pesantren atau Pondok dan Santri kalong yang berasal dari desa atau wilayah di sekitar Pesantren dan tidak menetap di asrama. Ada dua pendapat yang menerangkan asal-usul kata Santri. Petama, Santri berasal dari kata “sastri”, yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti melek huruf (bisa membaca dan menulis). Hal ini mengacu pada awal mula pertumbuhan kerajaan Islam di Demak. Kaum Santri adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang teksteks agama Islam yang bertuliskan dan berbahasa Arab. Paling tidak seorang Santri bisa membaca Al-Qur‟an dengan sendirinya dan bisa memahami ilmu agama secara komprehensif dan mengamalknnya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Santri berasal dari bahasa Jawa yaitu cantrik, yang artinya orang yang selalu mengikuti kemanapun Guru pergi dan menetap. Tujuan dari orang tersebut adalah untuk belajar suatu ilmu pengetahuan kepada orang yang diikuti (Nurcholis, 1997: 19-21). Clifford Geerts memberikan pengertian lain tentang Santri. Menurut Dia, Santri adalah sekelompok masyarakat yang telah membebaskan diri dari pengaruh sinkretisme Jawa atau tradisi-tradisi yang tidak terdapat dalam ajaran-ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Geerts lebih mempersempit lagi pengertian Santri dengan orang-orang Islam yang membatasi tempat
41
bermukim hanya di kampung sekitar Masjid yang kemudian disebut kampung Kauman (Geerts, 1981: 180). Seorang Santri bisa disebut sebagai seseorang yang “dengan taat melaksanakan perintah agamanya, yaitu Islam. Kata Santri juga ada hubungan atau konotasi dengan seorang yang bukan saja melaksanakan perintah agama Islam dengan taat tapi juga yang belajar mendalami pengetahuan agama Islam biasanya di suatu lembaga Pendidikan Islam seperti Pesantren. Santri merupakan anak didik yang menuntut ilmu agama di sebuah Pesantren. Zamaksyari Dhofier menyatakan bahwa, terdapat dua kelompok Santri: 1) Santri Mukim Santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok Pesantren. 2) Santri Kalong Santri kalong adalah murid-murid yang berasal dari desadesa di sekeliling Pesantren yang biasanya tidak menetap dalam Pesantren, mereka bolak-balik (nglajoe) dari rumahnya sendiri (Dhofier, 1982: 51-52). d. Kitab Kuning atau Kitab Klasik Pengajaran dalam Pesantren tradisional pada umumnya memakai kitab-kitab klasik atau kitab kuning, terutama karangankarangan Ulama yang menganut faham Syafi’iyah. Dewasa ini, meskipun kurikulum di pesantren tradisional telah memasukkan unsur
42
pengetahuan umum namun tetap memakai kitab klasik sebagai bahan utama sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama Pesantren mendidik calon-calon Ulama. Kitab kuning yang diajarkan di Pesantren dan menjadi materi pokok dalam kurikulum Pesantren digolongkan ke dalam delapan kelompok, yaitu Nahwu dan Sharaf, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf atau Etika, Tarikh, dan Cabang-cabang ilmu lain seperti mantiq dan balaghah (Dhofier, 1982: 50). e. Kyai Dalam Islam, orang yang mempunyai ilmu agama yang cukup luas disebut Ulama. Di Indonesia dijumpai beberapa gelar atau sebutan yang diperuntukkan bagi Ulama. Ulama di Jawa Barat disebut dengan Ajengan, di Sumatra Barat disebut Buya, di Aceh dikenal dengan Teungku, di Sulawesi Selatan disebut Tofanrita, di Madura disebut Nun atau Bendara, di Nusa Tenggara disebut Tuan Guru dan di masyarakat Jawa disebut dengan Kyai (Hartono, 2006: 29-30). Sacara harfiah, pengertian Kyai adalah sebutan bagi alim Ulama Islam (Purwodarminto, tt: 505). Di masyarakat Jawa, Pengertian Kyai dibagi menjadi tiga untuk gelar yang berbeda: a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. b. Gelar kehormatan pada orang-orang tua pada umumnya.
43
c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan Pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam Klasik kepada Santrinya. Selain Kyai, Ia juga sering disebut orang „Alim yaitu orang yang pengetahuan agamanya luas (Patoni, 2007: 20-22). Kyai dalam penelitian ini adalah ahli agama yang memiliki dan menjadi pimpinan Pesantren serta mengajar kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan kepada para Santrinya (Dhofier, 1982: 55). Adanya Kyai dalam Pesantren merupakan hal yang mutlak bagi sebuah Pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan pengajaran, karena Kyai menjadi salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu Pesantren. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu Pesantren banyak bergantung pada keahliah dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa dan ketrampilan Kyai yang bersangkutan dalam mengelola Pesantrennya. Gelar Kyai biasanya diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin Pondok Pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para Santri. Kyai di sini adalah seorang guru yang menjadi tokoh sentral dalam Pesantren, yang dari kemampuan pribadinya, pertumbuhan suatu Pesantren tergantung padanya.
44
4. Problematika Pesantren Untuk dapat mengungkapkan suatu konsep yang relevan bagi kebutuhan Pesantren, terlebuh dahulu harus mengetahui garis besar dari situasi yang dihadapi Pesantren. Sistem pendidikan Pesantren didasari, digerakkan, dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada ajaran Islam. Ajaran Islam ini menyatu dengan struktur kontekstual atau realitas sosial yang digumuli dalam kehidupan keseharian. Hal inilah yang mendasari konsep pembangunan dan peran kelembagaan Pesantren. Pesantren mempunyai kriteria yang disebut dalam konsep pembangunan, yaitu pembangunan kemandirian, mentalitas, kelestarian, kelembagaan, dan etika (Rofiq, 2005: 5). Pesantren seperti “ruang bebas pendidikan“ yang mempunyai karakter nilai, yaitu nilai keagamaan. Sedangkan batasan norma yang dimiliki yaitu norma masyarakat, serta bersifat mandiri tanpa uluran tangan lembaga luar. Sepertinya hampir semua sisi pembentukan kepribadian manusia dapat dihubungkan dalam metode pendidikan Pesantren. Di sinilah letak pesona Pesantren yang membuat daya pikat masyarakat yang “haus dengan ilmu“. Kharisma seorang Kyai atau pengasuh Pesantren juga turut menyumbangkan “energi pikat“ pada Pesantren itu sendiri. Ketokohan seorang Kyai mempunyai pengaruh untuk mendongkrak harga diri Pesantren di mata masyarakat. Selain itu, Pesantren juga mempunyai tradisi yang terbuka, egaliter, inklusif, dan mempersilahkan siapa saja untuk mengunjungi Pesantren (Rofiq, 2005: 6).
45
Penjajahan yang dilakukan Oleh Belanda terhadap bangsa ini, ternyata menimbulkan pengaruh yang cukup signifikan terhadap kemajuan Pesantren. Dapat diandaikan bahwa perguruan tinggi yang ada sekarang, misalnya, ITB, IPB, UGM, UI, ataupun yang lain kemungkinan tidak akan ada. Yang ada adalah Perguruan tinggi yang berakar pada Pesantren. Hal ini kita bandingkan dengan sejarah berdirinya perguruan tinggi yang ada di barat, dimana hampir semua universitas yang terkenal berakar pada perguruan tinggi yang semula berorientasi pada ilmu keagamaan, dalam hal ini adalah agama Kristen. Misalnya adalah Unniversitas Harvard yang didirikan oleh seorang Pendeta yang bernama Harvard. Kecenderungan perkembangan kemajuan dewasa ini dipengaruhi oleh pola budaya barat dimana peranan dari universitas semacam universitas Harvard secara tidak langsung mempengaruhi budaya barat yang kemudian diekspor ke hampir seluruh belahan dunia. Harvard tumbuh menjadi kekuatan besar yang menghasilkan dan mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam ranah kekuasaan, Harvard juga memainan peranan penting
dalam
mencetak
orang-orang
yang
berhasil
menduduki
kepemimpinan di Amerika Serikat (Nurcholish, 1997: 4). Ada beberapa hal yang menjadi sebab hal tersebut di atas tidak terjadi di Indonesia. Dimana peran Pesantren-Pesantren besar semacam Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo, Pendok Pesantren Tremas, dan Pesantren yang lain. Kalau ditelisik lebih jauh memang ada kesenjangan dan asumsi dari
46
masyarakat yang sekarang menganggap institusi Pesantren dengan konotasi kolot, konservatif, ketinggalan zaman maupun kuno. Pola pendidikan yang terjadi di Universitas Harvard misalnya, ternyata tidak serta-merta meninggalkan ciri khas jiwa “kepesantrenannya“ (Nurcholish, 1997: 6). Di sana masih terdapat bagian-bagian yang mengajarkan Teologi dan tetap melanjutkan peranan historisnya sebagai penganut paham unitarianisme yaitu paham yang melandasi hubungan antara suatu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya yang saling membutuhkan (Nurcholish, 1997: 23). Situasi yang secara faktual dihadapi oleh Pesantren adalah perkembangan dan kemauan untuk menerima hal-hal baru yang mampu menjawab kebutuhan dasar dari proses pendidikan yang ada di Pesantren. Mengaca pada hal tersebut, Pesantren di Indonesia selayaknya mulai berbenah diri. Dalam penelitian yang penulis lakukan, ada beberapa sebab yang menjadikan Pesantren di Indonesia masih belum mampu memainkan peran yang signifikan dalam sejarah perkembangan bangsa. Hal-hal yang menjadi hambatan bagi terbukanya Pesantren untuk mempersiapkan diri menghadapi dan menjawab tantangan zaman penulis ketengahkan dalam beberapa bagian. a. Manajerial atau Kepemimpinan 1) Kurangnya kemampuan dari pengasuh untuk mengatasi tantangantantangan yang dihadapi terutama kemajuan pengetahuan yang mulai dirasakan oleh bangsa Indonesia.
47
2) Statisnya sarana yang berupa manajemen kepemimpinan yang terampil dan sarana materiil termasuk keuangan. Hal ini membawa kesulitan dalam menyelesaikan pemasalahan secara integral dan menyeluruh. 3) Lemahnya visi dan tujuan yang dibawa pendidikan Pesantren yang kemudian
dituangkan
dalam
tahapan-tahapan
penyusunan
kurikulum pendidikan dan peningkatan kapasitas keilmuan. 4) Keterbatasan pengelola atau pengasuh Pesantren dalam merespon perkembangan masyarakat sehingga produk dari Pesantren kurang siap untuk “lebur“ dan mewarnai kehidupan modern (Nurcholis, 1997: 6-10). 5) Pola kepemimpinan Kyai yang kadang berlindung dibalik “Kharisma“ berdampak pada kepemimpinan yang tidak demokratis karena segala sesuatu yang berkaitan dengan Pesantren terpusat pada Kyai sebagai pengasuh. 6) Kepemimpinan yang bersifat personal berimplikasi pada sulitnya mengadakan peraturan administrasi yang baik dan manajemen modern. 7) Seorang
Kyai
selain
menjadi
pimpinan
agama
sekaligus
merupakan penggerak tradisi dalam masyarakat feodal. Feodalisme yang dibungkus dengan nuansa keagamaan lebih berbahaya dari foedalisme biasa karena Kyai lebih mampu menggerakkan massa
48
untuk mempertahankan kedudukan apabila suatu saat merasa kepentingan pribadinya terusik. 8) Karena kepemimpinan yang kurang demokratis, cenderung feodalistik dan bersifat personal, sehingga kecakapan teknis tidak diperlukan. Maka ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya Pesantren dari perkembangan zaman (Nurcholis, 1997: 95-96). b. Kurikulum 1) Orientasi penyusunan kurikulum masih menitik beratkan pada materi-materi yang berasal dari kitab Kuning semata. Belum mampu mengadopsi dan berdialog dengan kebudayaan modern dan secara aktif mengisinya dengan substansi dan budaya Islam. 2) Budaya menulis dan ilmiah mulai luntur, padahal dunia Pesantren dilahirkan dari generasi yang cukup produktif dalam mengarang kitab-kitab klasik, misalnya Syekh Nawawi al-bantani, KH Mahfudz at-Tarmazy, dan lain-lain. 3) Materi-materi yang diajarkan hanya sekedar mempersiapkan Santri sebagai
Abdullah
daripada
konsep
Khalifatullah.
Sebagai
konsekuensinya Santri lebih dipersiapkan sebagai penerus Islam ritualistik, akrab dengan ibadah mahdhah, individu yang pasif dan melupakan kesalehan sosial (Nafi‟ 2007: 101-103). 4) Tidak adanya sistem pendidikan tradisional yang integral karena perencanaan
yang
terperinci
49
dan
rasional
atas
jalannya
pembelajaran tidak meliputi hubungan antara sistem pendidikan yang dikembangakan. 5) Tidak adanya konsep dalam membuat kurikulum dalam susunan yang mudah dipahami dan dikuasai oleh Santri. 6) Pedoman yang dipakai adalah mengajarkan penerapan hukum syara‟ dalam kehidupan sehari-hari tetapi mengabaikan nilai-nilai pendidikan. Akibatnya adalah tidak adanya filsafat pendidikan yang jelas dan lengkap (Wahid, 2007: 75-76) 7) Ada tiga materi ilmu agama yang utama yaitu Fiqh, Aqaid, dan Tasawuf. Namun untuk materi Tasawuf hanya menjadi hak orangorang tertentu dan untuk Santri umum hanya menjadi sebuah anjuran yang lemah. Mestinya tidak ada diskriminasi pengajaran materi pelajaran. 8) Ilmu gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf) menempati kedudukan yang penting sekali sehingga menuntut waktu dan tenaga yang banyak. Meskipun hal tersebut menjadi awal untuk mempelajari teks-teks kitab kuning, namun melihat pada keadaan sekarang sudah tidak proporsional dan relevan. 9) Semangat, rasa agama (religiusitas), spiritual, dan hakikat dari ilmu syariat
sepenuhnya
diserahkan
terhadap
individu
Santri.
Pemahaman terhadap Al-Qur‟an dan Hadist seolah menjadi pelengkap dalam kurikulum. Pengajaran tentang cara hidup keagamaan dan pandangan-pandangannya melalui tasawuf masih
50
kalah porsinya dengan ilmu nahwu sharaf, fiqh, atau ilmu kalamnya. Padahal justru segi tasawuf yang diperlukan dalam masyarakat modern. 10) Pembelajaran Pengetahuan umum sekedar menjadi syarat formal agar tidak disebut ketinggalan zaman. 11) Sistem pengajaran kurang efisien, efektif, tidak sistematis, dan pemilihan kitab kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. 12) Sistem hafalan pelajaran menyebabkan Santri kurang kreatif melahirkan ide-ide baru (Nurcholis, 1997: 93). Ruang rasio belum diminati sehingga belum mampu melahirkan kreativitas dan rasa ingin tahu pada Santri (Nafi‟, 2007: 102). c. Santri atau Peserta Didik 1) Kurangnya berpengaruh
perhatian terhadap
terhadap proses
kesehatan
Santri,
pembelajaran.
sehingga
Bahkan
yang
memprihatinkan adalah anggapan bahwa seorang Santri yang belum terkena penyakit khas Pesantren “gudhik“, maka ilmunya belum sempurna. Ini tentunya kontra produktif dengan kebutuhan akan tubuh yang sehat dalam proses pembelajaran. 2) Rasa rendah diri sering menghinggapi Santri apabila bertemu dengan orang dari komunitas lain, padahal untuk lingkungan intern seringkali antar Santri bertingkah seenaknya sendiri dalam pergaulan. 3) Cara berpakaian yang kurang baik (Nurcholis, 1997: 92-93).
51
d. Kualifikasi Alumni Pesantren di Masyarakat 1) Alumni Pesantren hanya cocok untuk lingkungan masyarakat yang memang dari semula sudah mengadopsi nilai-nilai dari Pesantren. Namun untuk masyarakat umum seperti masyarakat perkotaan, alumni Pesantren sering kalah berkompetisi dalam kepemimpinan dengan lulusan sekolah formal. 2) Sikap non kooperatif dengan pemerintah dengan slogan tidak mau menjadi pegawai negeri sangat tidak produktif karena ini merupakan sisa dari sikap isolatif dan non kooperatif pada masa kolonial. 3) Lahan perekonomian yang independen, misalnya petani, nelayan, pengusaha maupun wiraswasta lainnya yang diterjuni oleh alumni Pesantren menjadi bukti bahwa kemampuan mereka tidak berasal dari pengetahuan yang didapat selama di Pesantren. 4) Kepemimpinan
alumni
Pesantren
di
masyarakat
sering
kompromistis menuruti kehendak massa. Namun terhadap dunia luar cendreung kurang adaptif, bahkan agresif-reaktif. Ini disebabkan kurangnya keterbukaan dan kelemahan dalam menilai sesuatu secara obyektif. 5) Dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan pemimpin yang sadar akan tanggung jawab, memiliki ketrampilan dan pengetahuan dasar,
dan cepat
beradaptasi dalam
52
berhubungan dengan
masyarakat lain. Namun hal ini tidak dimiliki oleh alumni Pesantren karena beberapa hal di atas (Nurcholis, 1997: 97-98) e. Pandangan Masyarakat 1) Sulitnya mengajak masyarakat tradisional ke arah hidup yang lebih serasi dengan kebutuhan nyata Pesantren, padahal keberadaan Pesantren mutlak memerlukan dukungan nyata dari masyarakat disekitarnya (wahid, 2007: 54). 2) Asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa Pesantren hanya sebagai pencetak Ulama dan mengesampingkan peran lain dari Pesantren
semacam
pemberdayaan
dan
pengembangan
pengetahuan yang lain (Wahid, 2007: 68).
C. Pembaharuan Pendidikan di Pesantren Pada era otonomi daerah sekarang ini, keberadaan Pesantren kembali menemukan momentum relevansinya yang cukup besar untuk memainkan kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses pembangunan sosial. Terlebih lagi otonomi mengandalkan kemandirian tiap-tiap daerah dalam mengatur rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan kemampuan swadaya daerah tersebut tanpa adanya campur tangan pemerintah pusat yang cukup besar. Keberadaan Pesantren menjadi patner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi pelaksanaan transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan berakhlakul karimah.
53
1. Reintegrasi Keilmuan Pesantren Dalam pembahasan ini peneliti akan membahas tentang persoalan krusial yang menyebabkan munculnya dikotomi ilmu pengetahuan dalam dunia Pesantren yang selanjutnya akan menyebabkan pola pengembangan Pesantren menjadi tertutup terhadap dunia keilmuan yang selama ini diyakini secara tekstual yang
mengacu pada pemahaman yang
terepresentasi dalam kitab-kitab klasik. Secara umum dapat dirumuskan bahwa perkembangan Pesantren kontemporer adalah bentuk dari transformasi nilai-nilai salafiyah untuk melakukan reposisi terhadap realitas saat ini. Hal ini dikarenakan tantangan dunia modern lebih menekankan pada beberapa aspek sekuler, pragmatis dan kalkulatif. Sementara di sisi lain konsep salafiyah yang sangat menekankan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan ukhuwah Islamiyah jelas bertentangan dengan nilai-nilai modern di atas. Sehingga persoalan besar yang harus dibenahi Pesantren adalah bagaimana mereka mampu membenahi dua kesenjangan di atas. Untuk menyikapi hal tersebut, selama ini telah dimunculkan berbagai tawaran konsep yang memungkinkan untuk mengkompromikan kesenjangan masalah di atas. Seperti gagasan tentang “Islamisasi Pengetahuan“ yang muncul pada konferensi pertama tentang pendidikan Muslim di Makkah pada tahun 1977. Seperti yang disampaikan Muhaimin, gagasan Islamisasi pengetahuan antara lain dikemukakan oleh Syech Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul ”Preliminary Thoughts
54
on the Nature of Knowledge and the Definition and The Aims of education“, dan Ismail Raji Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing Social Science“. Al-Attas menyatakan bahwa “Tantangan terbesar secara diam-diam dihadapi oleh umat pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban barat“ (Muhaimin, 2004: 90)..
Dan menurut Al-Faruqi, bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak dalam sebuah karikatur barat, sehingga ia dipandang sebagai unit malaise atau penderitaaan yang dialami oleh umat (Muhaimin, 2004: 90). a. Perbedaan Ilmu Agama dengan Ilmu Umum Antara ilmu umum dan agama sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup mendasar yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan upaya reintegrasi antar keduanya (Bambang Sugiharto, dalam, Bagir, 2005: 41). 1) Mind set dasarnya berbeda. Ilmu umum bersandar pada etos otonomi pemahaman, sementara sikap dasar agama bertumpu pada nilai-nilai keimanan dan kepasrahan pada kehendak otoritas Tuhan. Sehingga, jika dalam dunia ilmu pengetahuan ketidakpercayaan sebelum dibuktikan merupakan sebuah keniscayaan, maka dalam dunia keagamaan, kepercayaanlah yang menjadi keutamaan. 2) Ilmu relatif lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru dengan syarat rasional dan ditunjang bukti faktual. Sedangkan agama sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib
55
menggunakan kenyataannya
akalnya agama
untuk
memahami
cenderung
bersifat
wahyu, defensif
dalam terhadap
pemahaman-pemahaman baru. 3) Ranah utama wacana agama adalah ranah misteri dalam kehidupan beserta makna-makna pengalaman, yang sesunggunya di luar jangkuan empirik. Bahasa agama lebih berupa mitos, penuh metafora maupun retorika, sedangkan bahasa ilmu adalah bahasa faktual, lugas, dan literal. Oleh karena itu pola integrasi keilmuan Pesantren (antara ilmu umum dan agama) perlu diangkat guna mencari titik temu antara dua hal
yang
dianggap
saling
berlawanan,
yang
pada
akhirnya
memunculkan asumsi bahwa cabang-cabang keilmuan di luar kitab klasik menjadi sesuatu yang naif untuk dikaji seorang Santri, hal ini jelas sangat bertentangan dengan pola pendidikan pada masa Wali Songo pada masa awal penyebaran agama Islam di Jawa, yang sangat aktif dalam melakukan respon sosial, yang tentunya diawali dengan melakukan kajian secara teoritik maupun praktsis. Banyak sekali kasus kecurigaan Ulama ortodoks terhadap sains, rasional empiris. Ibrahim musa, seorang Ulama Andalusia terkemuka, menganggap
berkesimpulan bahwa
hanya
bahwa
rata-rata
ilmu-ilmu
yang
teolog
ortodoks
bermanfaat
yang
dibutuhkan atau berguna untuk praktik keagamaan (ibadah). Ilmu-ilmu lainnya tidak bernilai dan hanya menjauhkan orang Islam dari jalan
56
yang lurus. Ibnu Thaimiyah menyatakan bahwa ’ilmu hanya menunjuk pada pengetahuan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW., dia menganggap bahwa yang lainnya tidak berguna atau bukan ilmu walaupun ia disebut dengan ilmu (Azyumardi Azra, dalam, Bagir, 2005: 206). Dalam gejolak aktivitas Islam Indonesia, antara Kyai dan pemikir ke-Islaman jelas berada dalam posisi yang berbeda. Kyai adalah orisinilitas spesifik kultural bangsa Indonesia, sebagai pemuka masyarakat sekaligus figur religius yang berpegang teguh pada qoul mu’tabaroh (Opini mayoritas Ulama) dalam mengumandangkan ajaran agama kepada publik, orientasi utamanya adalah maksimalnya Istiqomah (kontinuitas) amaliah ibadah. Kultural “karakteristiknya“, mayoritas kalau tidak disebut sebagian, banyak “menelan mentahmentah“ opini Ulama Mutaqoddimin (Ulama terdahulu) dan dianggap sebagai “teks suci“ yang tidak bisa dikritik apalagi tidak difungsikan. Penokohan Kyai, eksis di tengah-tengah aneka ragam suku, kasta dan pergeseran budaya bangsa kita, walaupun telah banyak “pembajak“ kharisma Kyai untuk melengkapi biodatanya, demi kepentingan individu atau maksimal kepentingan kelompok. Di sisi lain, status pemikir Islam, selama ini digunakan bagi mereka yang mencari titik celah dan titik lemah agama. Bahkan sering menggunakan agama sebagai lahan kritik untuk dijadikan proyek utama kajian, serta kurang memperhatikan orientasi amaliah diniyah
57
(agama) dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok ini bisa berasal dari orang yang pengetahuan tentang agama Islam sangat kurang, bahkan dari komunitas non-muslim, asalkan pola pikirnya berkembang, mempunyai ide cemerlang dan perdebatan agama yang sensasional dan mampu mengundang reaksi (http.www.artikel_Pesantren.html.34., 2004). b. Model Reintegrasi keilmuan Ada beberapa model yang diajukan untuk melakukan reintegrasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum, diantaranya sebagai berikut (Armahedi Mahzar, dalam, Bagir, 2005: 95-98) : 1) Model Monadik Model ini populer dikalangan fundamentalis, religius, maupun sekuler. Kalangan religius menyatakan bahwa agama adalah keseluruhan yang mengandung semua cabang kebudayaan. Sedangkan kaum sekuler berpendapat bahwa agama menjadi salah satu cabang dari kebudyaaan. Di sisi lain, kaum fundamentalis menganggap bahwa kebudayaan adalah ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satusatunya kebenaran. Dengan model ini sangat sulit terjadi koeksistensi antara ilmu agama dan non agama karena keduanya menegasikan eksistensi atau kebenaran lainnya. 2) Model Diadik Ada beberapa variasi dalam model ini, antara lain:
58
a) Ilmu agama dan ilmu umum adalah dua kebenaran yang setara. ilmu non agama membicarakan fakta ilmiah, sedangkan agama membicarakan nilai-nilai Ilahiah. b) Pengetahuan umum dan pengetahuan agama merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. c) Antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama terdapat kesamaan. Kesamaan itulah yang menjadi bahan dialog antara pengetahuan umum dan agama. 3) Model Triadik Dalam model ini ada unsur ketiga dalam menjembatani antara ilmu umum dan ilmu agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini sebagai perluasan dari kedua model sebelumnya dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga di antara ilmu umum dan ilmu agama. 2. Inovasi Sistem Pendidikan dalam Pesantren Proses transformasi sosial di era otonomi mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan. Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas mensyaratkan Pesantren harus meningkatkan mutu sekaligus memperbaharui model pendidikannya. Sebab, model pendidikan Pesantren yang mendasarkan diri pada sistem konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup membantu dalam penyediaan sumber daya
59
manusia yang memiliki kompetensi integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum dan kecakapan teknologis. Padahal ketiga elemen ini merupakan prasyarat yang tidak bisa diabaikan untuk konteks perubahan sosial akibat modernisasi. a. Konsep Inovasi Pendidikan Pesantren Inovasi pendidikan Pesantren dapat diartikan sebagai inovasi pemecahan masalah pendidikan di Pesantren. Inovasi Pendidikan Pesantren sebagai suatu ide, barang metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil penemuan (invention) atau discovery yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendiidkan Pesantren (Sulthon, 2006: 136). Pendidikan Pesantren merupakan sistem pendidikan yang kompleks. Oleh karena itu inovasi di dalamnya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan sub sistem pendidikan Pesantren. Termasuk kurikulum madrasah umum, madrasah diniyah, perguruan tinggi atau komponen pendidikan yang lain. Inovasi pendidikan Pesantren bisa berupa: 1) Bidang Personalia Pendidikan sebagai bagian dari sistem sosial memerlukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personalia misalnya peningkatan kualitas guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebaginya.
60
2) Fasilitas Fisik Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya perubahan tempat duduk (satu anak mendapatkan satu kursi dan satu meja ketika berada dalam proses pembelajaran), perlengkapan peralatan laboratorium, penggunaan media teknologi informasi, dan sebagainya. 3) Pengaturan Waktu Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar (sistem semester), perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan kepada Santri untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan sebagainya (Sulthon, 2006: 137). b. Agenda Inovasi pendidikan Pesantren Dengan mempertimbangkan karakteristik Pesantren, dapat dikemukakan beberapa agenda yang bisa dilakukan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan Pesantren. Agenda-agenda tersebut meliputi: 1) Inovasi Penyusunan Kurikulum Untuk
memenuhi
tuntutan
kebutuhan
Santri
dan
masyarakat, perlu dilakukan pembaharuan kurikulum pada tiga aspek yang penting, yaitu:
61
a) Perencanaan kurikulum dengan melakukan kajian terlebih dahulu terhadap kebutuhan secara akurat agar kurikulum yang disusun dapat berfungsi secara optimal dalam memenuhi kebutuhan Santri dan masyarakat. Kajian tersebut perlu disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman, utamanya pendidikan yang berbasis kecakapan hidup (life skill) yang sesuai dengan dunia Santri. b) Pelaksanaan kurikulum menggunakan pendekatan kecakapan majemuk (Multiple Intelegence) dan pembelajaran kontekstual (Contextual Learning and Teaching). c) Evaluasi dilakukan dengan menerapkan penilaian menyeluruh terhadap semua kompetensi Santri.. 2) Manajemen Sarana dan Prasarana Untuk
mendukung
pelaksanaan
kurikulum
dalam
pembelajaran, Pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar, media pendidikan, dan pengajaran yang berbasis teknologi informasi yang baik. Misalnya penggunaan literaturliteratur dalam bentuk digital yang mencakup berbagai cabang ilmu agama dan umum. Hal ini akan memudahkan para Santri dan Ustadz untuk mempelajarinya.
62
3) Membangun Jaringan dan Kerjasama dengan Pihak di Luar Pesantren Jaringan dan kerjasama antara Pesantren dengan pihak di luar Pesantren diperlukan khususnya dalam mengembangkan kecakapan hidup (life skill) di lingkungan Pesantren. Misalnya melakukan kerjasama dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau Politeknik. Pengembangan koperasi di lingkungan Pesantren bisa bekerjasama dengan dunia industri atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kemajuan Pesantren (Sulthon, 2006: 142). 3. Reformulasi Model Ideal Pendidikan Pesantren Seperti sekilas diungkapkan dalam latar belakang masalah, tampaknya tipe ideal model pendidikan Pondok Pesantren yang dapat dikembangkan saat sekarang ini adalah tipe integrasi antara sistem pendidik klasik dan sistem pendidikan modern. Pengembangan tipe ideal ini tidak akan merubah total wajah dan keunikan sistem pendidikan Pesantren menjadi sebuah model pendidikan umum yang cenderung reduksionistik terhadap
nilai-nilai
yang terkandung dalam sitem
pendidikan Pondok Pesantren. Sementara itu tidak semua Pesantren melakukan pengembangan sistem pendidikannya dengan cara memperluas cakupan wilayah garapannya dan memperbaharui model pendidikannya. Masih banyak Pesantren yang mempertahankan sistem pendidikan tradisional dan konvensional dengan membatasi diri pada pengajaran kitab-kitab klasik dan membina moral keagamaan semata. Pesantren
63
model pure klasik atau salafi ini memang unggul dalam melahirkan Santri yang memiliki keshalehan, kemandirian (dalam arti tidak terlalu tergantung kepada peluang kerja di pemerintahan) dan kecakapan dalam penguasaan ilmu-ilmu ke-Islam-an. Kelemahannya, out put pendidikan pure salaf kurang kompetitif dalam percaturan persaingan kehidupan modern. Padahal, tuntutan kehidupan global menghendaki kualitas sumber daya manusia terdidik dan keahlian dalam bidangnya. Pola pendidikan yang ideal dalam sebuah Pesantren meliputi beberapa hal sebagai berikut: a. Prioritas materi pendidikan Ada dua jenis materi yang seyogyanya menjadi tradisi keilmuan dalam Pesantren, yaitu: 1) Materi Wajib ‘Ain Konseptualisasi terhadap tradisi keilmuan yang telah berkembang di Pesantren akan membawa pada soal-soal klasik tentang ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap pribadi muslim (Wajib „Ain) dan ilmu-ilmu yang bersifat wajib kifayah. Konseptualisasi ini akan mengarahkan pada upaya untuk menemukan dan mengembangkan kerangka pendidikan yang efektif bagi masyarakat. Ada tiga macam ilmu yang termasuk kategori wajib „ain untuk mempelajarinya, yaitu ilmu Tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu akhlak (Nafi‟, 2007: 77).
64
2) Materi Wajib Kifayah Pendalaman Bahasa Arab menjadi ciri khas Pesantren sejak generasi abad ke-17 sampai sekarang. Sebenarnya ilmu gramatika Bahasa Arab menjadi materi yang bersifat wajib kifayah. Bersama dengan ilmu Tsaqafah, ilmu Kedokteran, ilmu Hisab, dan Teknologi (Nafi‟, 2007: 82). b. Prinsip-Prinsip Kurikulum Pesantren dalam Pemberdayaan Masyarakat Kehadiran
Pesantren
dengan
desain
kurikulum
dalam
menyiapkan out put yang mampu memenuhi kebutuhan pemberdayaan masyarakat mempunyai beberapa prinsip yang tetap. 1) Kurikulum yang ditujukan untuk mencetak Ulama. Di dalamnya terdapat paket mata pelajaran, pangalaman, dan kesempatan yang harus ditempuh oleh Santri. Keberhasilan pencapaian tujuan ini tidak ditentukan menghasilkan 100% Santri sebagai seorang Ulama. Hanya ada beberapa Santri saja yang berkualifikasi sebagai Ulama, sedangkan Santri lain yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai Ulama tetap menjadi pelaku kehidupan yang berarti di maysarakat. 2) Struktur dasar kurikulum adalah pengajaran pengetahuan agama dalam semua tingkatan dan layanan pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada Santri
65
3) Kurikulum bersifat fleksibel. Artinya setiap Santri secara partisipatif menyusun kurikulumnya sendiri, minimal separoh muatan kurikulum dapat dirancang oleh Santri sesuai dengan kebutuhan dan minat Santri (Nafi‟, 2007: 85). 4) Prinsip pertautan dengan agama, yaitu semua hal yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk tujuan, kandungan, metode dan lainlain yang berlaku dalam proses pendidikan Islam selalu berdasarkan pada ajaran dan akhlak Islam. 5) Prinsip universal,
yaitu tujuan dan kandungan kurikulum
pendidikan Islam harus meliputi segala aspek yang bermanfaat bagi Santri dan masyarakat, seperti pembinaan akidah, akhlak, akal,
jasmani,
perkembangan
spiritual,
kebudayaan,sosial,
ekonomi,politik, dan lain-lain. 6) Prinsip
keseimbangan
di
dalam
tujuan
kurikulum
dan
kandungannya yang menekankan pentingnya kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang. 7) Prinsip
keterhubungan
kurikulum
dengan
bakat,
minat,
kemampuan dan kebutuhan Santri, serta dengan lingkungan sosial yang menjadi tempat berinteraksi Santri. Tujuannya adalah memelihara kepribadian Santri
yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat. 8) Prinsip memperhatikan perbedaan individu agar memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat.
66
9) Prinsip perkembangan dan perubahan, yaitu kurikulum yang sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum ke arah yang memiliki nilai maslahah bagi masyarakat merupakan suatu keharusan. 10) Prinsip pertautan antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman, dan aktivitas pendidikan yang terkandung dalam kurikulum. Pertautan ini menjadi penting agar kurikulum pendidikan Islam senantiasa mengikuti perkembanan zaman, yang selaras dengan kebutuhan peserta didik dengan masyarakat (Nafi‟, 2007: 98).
67
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pandangan K.H.R. As’ad Syamsul Arifin tentang Khittah Pesantren Asumsi sebagian orang ketika mendengar kata Khithah biasanya akan dihubungkan dengan “Kembali ke Khithah Nahdlatul Ulama 1926“ yang mengemukan antara tahun 1978 sampai berlangsungnya Muktamar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyyah, Situbondo yang di asuh oleh K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin pada tahun 1984 (Mulkhan, 1994: 81). Ini sebagai dampak dari kemelut politik antar fraksi-fraksi yang ada di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terutama persaingan antara fraksi NU dan Faksi Muslimin Indonesia (Andre, 2008: 182). Keterlibatan NU secara langsung dalam politik praktis menyebabkan kelalaian terhadap aktivitas kegiatan sosial-kemasyarakatan karena terlalu tenggelam dalam masalah politik. Akhirnya secara tegas dalam muktamar NU yang ke-24 di Situbondo NU memutuskan kembali ke
Khithah 1926 serta menyusun pola
kepemimpinan dan organisasi yang baru (‟Ulum, 2002: 90). Sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai mediator ilmuilmu keagamaan, Pesantren memiliki sistem pendidikan yang unik dan menarik untuk dikaji. Namun, kritik terhadapnya tertuju pada sistem pengajaran yang mengkondisikan Santri secara pasif karena Santri hanya menerima begitu saja apa yang diajarkan oleh Kiai atau Ustadz. Pola demikian tidak memberi peluang kreatif pada Santri dan terkesan tidak menyiapkan
68
Santri untuk hidup di dunia pengetahuan yang cepat berubah dan meluas dan tidak menyiapkan aspek kognitif Santri. Fenomena ini menempatkan Pesantren dalam situasi dilematis. Di satu sisi fungsi Pesantren adalah memelihara tradisi dan nilai-nilai ke-Islam-an, namun di sisi lain Pesantren harus merespon tawaran-tawaran teori yang berasal dari luar. Konsekuensinya, akan muncul tarik-menarik antara kekuatan yang bertahan pada tradisi dan kekuatan yang menawarkan teori-teori baru (Muhtarom, 2005: 266). Para Santri, misalnya yang hafal teks-teks atau kaidah-kaidah agama semestinya layak mendapat predikat Kiai dari masyarakat, kalau Pesantren tidak mampu mencetak Santri yang demikian ini maka ia dinilai tidak mampu memberikan kontribusi Ulama kepada masyarakat. Kalau fenomena tradisional ini yang dominan mewarnai sistem pendidikan Pesantren, maka Pesantren dinilai sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengembangkan ketrampilan atau kecakapan hidup (life skill). Padahal kemampuan kognitif para Santri akan menjadi modal dasar untuk terjun ke masyarakat yang sarat tradisi dan inovasi. Untuk menjembatani permasalahan ini, Pesantren harus memulai secara intensif memberdayakan paradigma
Artinya: “Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal yang baru yang lebih baik” (www.fiqhislam.com/as-sunnah/11424-adat-dalamislam-.html).
69
Tanpa menghilangkan tradisi pembelajaran model klasik yang sudah mengakar, perlu dikembangkan aspek kognitif Santri dengan belajar “bagaimana belajar yang lebih baik” yang sekiranya signifikan dengan teoriteori belajar. Paradigma tersebut tidak saja diberdayakan pada sistem pembelajaran ilmu agama Islam, melainkan diimplementasikan pada cara merespon budaya global. Globalisasi sejalan dengan proses industrialisasi dan modernisasi di berbagai negara. Teknologi informasi dan sistem perdagangan dunia adalah di antara faktor-faktor yang memberi kontribusi bagi percepatan arus globalisasi di berbagai tempat. Efek globalisasi dan modernisasi terhadap masyarakat tidaklah seragam karena ditentukan oleh tipe masyarakat. Pada dasarnya terdapat dua tipe masyarakat, yaitu masyarakat tradisional yang mengalami proses modernisasi relatif rendah dan masyarakat modern yang mengalami modernisasi yang tinggi (Muhtarom, 2005: 268). Perbedaan tingkat modernisasi di antara masyarakat akan berpengaruh terhadap tata nilai dan pola status sosial. Masyarakat yang relatif modern memandang status sosial berdasarkan pekerjaan dan prestasi yang ia peroleh dibandingkan dengan status bawaan yang diperoleh sejak lahir. Pergeseran ini disertai dengan rasionalisasi. Nilai dalam masyarakat modern lebih ditentukan oleh keberhasilan materiil sehingga moralitasnya akan lebih mengarah pada dunia materi (Muhtarom, 2005: 278). Dalam konteks demikian, Pesantren memerankan fungsi strategis manakala dapat memberikan nilai tambah bagi Santri-Santrinya dan
70
masyarakat, yakni mengupayakan Santri-Santri yang kritis dan berkemampuan menatap arus globalisasi. Untuk itu tradisi belajar yang mempelajari keilmuan Islam yang sifatnya ilmu pengetahuan yang siap pakai disisipkan sebagai bekal di mana Santri akan mengembangkannya di masyarakat. Strategi budaya yang ditekankan adalah dengan menerima kebudayaan universal selama tidak merusak tatanan akidah dan syariat. Tugas, peran dan fungsi Pesantren dalam membentuk karakter dan akhlak serta kepribadian umat Islam diperlukan sebuah konsep pendidikan di dalam Pesantren itu sendiri yang berkembang menurut perkembangan zaman. Namun sering kali peran Pesantren yang seharusnya menjadi tulang punggung gerakan pemberdayaan umat Islam, masih berkutat pada kajian-kajian Kitab Kuning tanpa mencoba dan berusaha untuk mengadopsi ilmu-ilmu lain yang berkembang sangat pesat di masyarakat. Ini akan menyebabkan kejumudan pemikiran yang akan berimbas pada terpinggirnya posisi Pesantren di mata umat. Sehingga perannya akan semakin tergeser oleh lembaga pendidikan lain yang bisa mengadopsi dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh umat itu sendiri. Pesantren dalam fitrahnya sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki posisi strategis dalam pengembangan kebudayaan dan suatu bentuk kehidupan sosial. Proses memperoleh pengetahuan sebagai substansi kebudayaan dan juga pendidikan dapat diartikan sebagai pentahapan yang terpilah dalam satuan ruang dan waktu. Pendidikan Islam harus dikembangkan secara fungsional dan kritis. Sehingga Santri dibimbing untuk mengenal dan
71
memahami hukum dan kaidah Islam yang berasal dari Kitab Kuning semata, namun juga mampu menumbuhkan keteguhan Iman dan ruhul Islam dalam kepribadian Santri (Mulkhan, 1994: 84-87). Dengan demikian diharapkan lahirlah generasi muda muslim yang memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan zaman dengan kritis. Secara bertahap mereka mampu mengarahkan hidupnya di masyarakat secara bijaksana. Sikap yang moderat dalam sistem pengajaran di Pesantren yang ditunjukkan dengan menerima pengetahuan yang berasal dari luar dunia Pesantren, misalnya ilmu-ilmu eksakta dan humaniora yang lain akan meningkatkan kualitas pengajaran agama (Feillard, 2008: 146). Peran Pesantren lebih diupayakan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan negara dengan demikian terciptalah masyarakat yang berkeadilan dan tenang berkemakmuran (Feillard, 2008: 151). Nilai-nilai pendidikan dalam Islam merupakan sumber segala pikiran, tindakan, dan posisi di segala bidang termasuk dalam politik, ideologi, kebudayaan, sosial, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang lain. Yang perlu dilakukan oleh Pesantren hanya mengakomodasi ilmu-ilmu pengetahuan di luar ilmu-ilmu keagamaan. Rekonsiliasi antara dunia keagamaan, syariat dan budaya serta semua aspek kehidupan masyarakat menjadi titik tolak bagi Pesantren untuk mengembangkan diri sebagai pengayom masyarakat (Feillard, 2008: 250). Pesantren mempunyai posisi yang unggul ketika berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Hal ini didukung oleh realitas bahwa Pesantren
72
berakar pada masyarakat secara luas. Dengan demikian, aspek-aspek pengajaran dalam Pesantren harus disinkronkan dengan didaktis modern dengan materi pembelajaran yang berorientasi pada pengetahuan umum. Meskipun jika ditelaah melalui pendekatan psikologis dan historis akan tampak perdedaan dalam hal tujuan pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan umum lebih berorientasi pada kematangan intelektual
dan
cenderung
melahirkan
pola
pemikiran
yang
lebih
mementingkan kehidupan duniawi. Di sisi lain pendidikan dalam Pesantren lahir sebagai kekuatan religius yang menekankan pentingnya aspek ukhrowi sebagai tujuan hidup. Penyatuan dari ilmu umum dan ilmu agama merupakan sebuah proses evolusi Pesantren dan menguji Pesantren untuk bertahan yang bertumpu pada kemampuan melakukan adjustment dan readjustment serta ikatannya yang kuat dengan lingkungan sosial yang ikut memelihara eksistensinya (Muhtarom, 2005: 118). Khittah pesantren dapat diartikan sebagai upaya pengembalian pesantren pada nilai-nilai yang telah digariskan pada awal munculnya pesantren (Arifin, 2000: 46). Sebagai suatu upaya untuk menjembatani kesenjangan realitas dunia pesantren pada masa wali songo dengan realitas pesantren saat ini. Sebagai seorang ulama, sekaligus pengasuh pesantren, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin sangat prihatin dengan kondisi pesantren saat ini, hal ini dilandasi dengan munculnya gejala kebekuan nilai-nilai salafiyah yang selama ini melekat pada identitas pesantren. Untuk itu beliau berpendapat, Pesantren
73
harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu pada masa Wali songo. Menurut beliau, sistem pembelajaran dan pengkaderan pada masa itu sangat memperhatikan nilai-nilai salafiyah sebagai karakter pesantren (Arifin, 2000: 44-47) Sebagaimana kita ketahui, bahwa pola pendidikan pesantren pada masa Wali songo sangat memperhatikan nilai-nilai salafiyah. Hal ini diajarkan tidak hanya dalam bentuk teoritis semata, melainkan juga diaplikasikan dalam tataran praksis. Sentuhan pendidikan yang dilakukan oleh mereka sangat berarti bagi para santri pada waktu itu, guru-guru mereka betul-betul telah mampu menjadi idola bagi para santri dalam segala hal, baik dari sisi keilmuannya, akhlaqnya, ataupun dalam kesederhanaannya. Sehingga nilainilai kepribadian yang terpancar dari sang guru dapat dijadikan teladan oleh santri. Peran vital seorang kiai dalam mengembalikan khittah pesantren sangatlah menentukan, mengingat kebijakan tertinggi dalam dunia pesantren berasal dari figur kiai, selain itu menurut Greg Fealy, peran kiai adalah sebagai cendekiawan, guru dan pembimbing spiritual, hal ini ditunjukkan dengan perannya sebagai penjaga iman, penghibur sekaligus pendekar (Fealy, 2007: 23). Dari rumusan tersebut, peran kiai dalam merumuskan sistem dan metode pembelajaran pada santri diharapkan tidak meninggalkan nilai-nilai salaf, sebagai landasan dalam gerakan kependidikan pesantren. Adapun beberapa rumusan khittah pesantren menurut pemikiran K.H.R As‟ad Syamsul Arifin sebagai berikut (Arifin, 2000: 38-47):
74
1. Pesantren harus berpegang teguh pada nilai-nilai salaf. Sebagai lembaga pendidikan yang didirikan dengan memakai paradigma salaf, sudah merupakan keharusan bagi masyarakat pesantren untuk melestarikan tradisi salaf sebagai identitasnya, baik dalam hal kurikulum, pemikiran, manajemen, dan tingkah lakunya. 2. Niat seorang santri harus diorientasikan pada kepentingan akhirat, bukan untuk meraih kedudukan duniawi. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW yang artinya: “Carilah kehidupan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan carilah kehidupan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati
esok”.
Merupakan
keharusan
bagi
seorang
santri
untuk
memprioritaskan orientasi pengabdian hidupnya pada kehidupan akhirat meskipun tanpa harus mengesampingkan kepentingan duniawi. 3. Niat seorang santri harus murni dalam rangka mengaji dan belajar. Bagi K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, Komitmen untuk al-Thalab al-Ilm (mencari ilmu) perlu untuk diperhatikan, agar dalam memasuki dunia pesantren seorang santri betul-betul serius dalam belajar, dan diharapkan sukses bahkan berprestasi dalam menempuh studi sebagaimana juga menjadi harapan orang tua santri. 4. Dalam belajar, nilai-nilai ikhlas harus tertanam, belajar bukan untuk meraih gelar. Dalam hal ini K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin betul-betul menekankan ikhlas sebagai fondasi dasar seorang santri dalam menuntut ilmu. Sementara gelar bukanlah tujuan pokok untuk dicari, karena yang
75
diutamakan bagi seorang penuntut ilmu adalah kualitas keilmuannya bukan kuantitas gelarnya. 5. Pesantren harus bisa mencetak pemimpin, bukan pegawai. Bagi K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, kebutuhan masyarakat saat ini adalah munculnya kader-kader yang produktif, bisa tampil menjadi pemimpin, dan kreatif. Kelima gagasan di atas diharapkan pesantren tetap eksis dan konsisten dengan prinsipnya, sehingga bisa melahirkan kader-kader handal yang mampu menjawab tuntutan zaman, bukan menjadi budak peradaban. Konsistensi pesantren terhadap nilai-nilai salaf tidak harus dimaknai meninggalkan urusan urusan duniawi. Pesantren tetap dituntut untuk senantiasa peka merespon tantangan zaman tanpa harus keluar dari rel-rel salaf. Ketika hal ini telah menjadi prinsip dan betul-betul diaplikasikan, maka, kader-kader pesantren telah menjadi pemimpin, diharapkan mampu membawa bangsa dan negara sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Sebagaimana disinggung di atas, nilai-nilai salafiah telah menjadi bagian dari pesantren. Sehingga orientasi niat yang terpupuk dalam diri santri betul-betul dalam rangka belajar, bukan untuk mengejar gelar, apalagi untuk menjadi pegawai. Dari sini akan tergambar bahwa orientasi pesantren hendaknya betul-betul diarahkan pada kesuksesan akhirat dari pada kesuksesan dunia yang sifatnya semu. Pendapat senada juga dikemukakan oleh A Syafi‟i Ma‟arif (Muhaimin, 2004: 2), ia menegaskan kegiatan pendidikan di muka bumi haruslah berorientasi ke langit, sebagai orientasi
76
transendental, agar kegiatan itu punya makna spiritual yang mengatasi ruang dan waktu. Pesantren diharapkan tetap eksis dan konsisten dengan prinsipnya, sehingga bisa melahirkan kader-kader handal yang mampu menjawab tuntutan zaman, bukan menjadi budak peradaban. Konsistensi pesantren terhadap nilainilai salaf tidak harus dimaknai meninggalkan urusan duniawi. Pesantren tetap dituntut untuk senantiasa peka merespon tantangan zaman tanpa harus keluar dari rel-rel salaf. Ketika hal ini telah menjadi prinsip dan betul-betul diaplikasikan, maka, kader-kader pesantren diharapkan mampu membawa bangsa dan negara sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Adapun acuan utama khittah pesantren menurut analisa K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, adalah pada masa Wali songo. Produk produk pesantren pada masa itu sangat variatif, ada yang menjadi fuqaha’ (Sunan Kudus), Ekonom (Sunan Drajat), ahli strategi militer (Sunan Gunung Jati), Seniman (Sunan Kali Jaga dan Sunan Bonang), Politikus dan Negarawan (Raden Fatah). Kesemuanya adalah buah didikan Sunan Ampel sebagai ulama senior, sekaligus sebagai rujukan spiritual pada waktu itu (Yatim, 2006: 210-211). Potret realitas pada masa Wali songo mencerminkan kesuksesan para wali dalam melakukan kolaborasi antara prinsip-prinsip salafiyah dengan tantangan realitas sosial. Mereka melakukan kajian empirik atas realitas sosial masyarakat dengan paradigma salaf. Hasil dari elaborasi kedua konsep tersebut telah melahirkan kader-kader intelektual produktif yang ditandai kengan kemunculan ulama fuqaha‟, politisi, seniman, dan ekonom.
77
Sebagai seorang ulama, tentunya kapabilitas keilmuan agama mereka sangat teruji, sementara disisi yang lain mereka juga mampu menampilkan diri mereka
sebagai
seorang
yang
responsif
dengan
melakukan
upaya
pembelajaran dan aplikasi nyata dalam merespon realitas sosial masyarakat pada masanya. Dengan demikian, problematika masyarakat dalam hal ukhrawi ataupun duniawi akan mampu terjawab. Pola tersebut diharapkan mampu mengantarkan pesantren pada sistem yang penuh kelenturan dan memiliki spektrum luas, melampaui batas-batas pesantren itu sendiri. Dengan demikian pesantren akan bebas dari sekolah sebagai institusi dengan aturan-aturan, sistem evaluasi, janji-janji pekerjaan yang diberikan, serta sertifikat yang dikeluarkannya. Pola ini pada gilirannya, menjadikan pesantren tidak membuat batas secara tegas antara santri itu sendiri dengan masyarakat sekitarnya. Demikian pula pesantren tidak membatasi waktu belajar dengan sekat-sekat waktu yang kaku sehingga proses pembelajaran dan pendidikan selama dua puluh empat jam hadir penuh dalam bentuk yang nyata tanpa harus memberatkan siapa yang terlibat didalamnya. Keberadaan keilmuan pesantren sendiri menjadi integral. Integralitas itu dapat dilacak pada pengembangan fiqh dan alat-alat bantunya yang disatukan dalam fiqh Sufistik (istilah Moqsith Ghazali: Post Fiqh). Dengan kata lain, yang diutamakan di dunia pesantren bukan hanya aspek pengalaman hukum atau aspek akhlaq semata, melainkan juga pemekaran pengertian tentang kehidupan dan hakikat manusia serta kehidupan masyarakat. Senada
78
dengan pernyataan tersebut, Paulo Freire (dalam Yunus, 2005: 42), menyatakan bahwa pendidikan merupakan nilai paling vital bagi proses pembebasan manusia “Education as the Practice of Freedom”. Konsep diatas dalapat dilacak dalam perilaku K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin seperti yang dikemukakan Abd. Muqsith Ghazali (Hasan, 2003: ViiViii) semisal: 1. Keberanian K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin untk tidak menyembelih sebagian hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha hinggga hari ketiga dari Ayyam at-Tassyriq. Sebenarnya tindakan seperti ini cenderung liberal. Sebab, jumhur ulama fiqh telah sepakat bahwa penyembelihan hewan qurban pada hari-hari tersebut. Tindakan ini dimaksud bahwa, inti dari pen-syariatan ibadah qurban bukan semata-mata menyembelih binatang, melainkan seberapa jauh distribusi kesejahteraan dapat dilakukan secara merata. 2. Keberanian K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin di saat usia senjanya untuk tidak mengikuti shalat Jum‟at bersama. Hal ini dimaksud, bahwa orang yang sakit dan orang sepuh yang secara fisik sudah lemah, diperbolehkan meninggalkan shalat Jum‟at. 3. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin melarang santrinya untuk melaksanakan puasa sunnah secara berlebih, sebenarnya dalam larangan ini tidak ada masalah, namun akan menjadi problem fiqhiyyah yang krussial ketika melarang hal yang disunnahkan dalam agama. Sebenarnya yang dimaksudkan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin adalah pekerjaan sunnah
79
semisal puasa sunnah tidak boleh mengganggu pekerjaan wajib, yaitu mencari dan belajar ilmu pengetahuan. Sebagaimana kita maklumi bersama, disaat sedang berpuasa maka fisik akan melemah, yang nantinya akan mengganggu konsentrasi santri dalam belajar di pesantren yang durasi waktunya cukup padat. Hal lain yang harus dikembalikan dan dipertahankan adalah penekanannya pada
nilai-nilai
yang dianutnya,
seperti kemandirian,
kesederhanaan, dan keikhlasan. Nilai-nilai dasar ini dibingkai dengan sebuah paradigma yang sangat menekankan kepada apresiasi terhadap segala tradisi yang baik, sekaligus akomodatif terhadap bentuk-bentuk reformasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai-nilai yang cukup kental di dunia pesantren ini pada prinsipnya merupakan nilai-nilai keagamaan otentik yang memiliki benang merah kuat dengan kesejarahan umat dan normativitas islam haqiqi. Hasil dari semua itu, adalah hadirnya pesantren sebagai institusi sebagai institusi yang mampu memberikan sumbangan penting dan krusial dalam proses transmisi ilmu-ilmu Islam, reproduksi ulama, pemeliharaan ilmu, dan tradisi Islam. Sebagaimana telah digagas oleh founding fathers Islam di Indonesia (Wali songo) dalam menyampaikan risalah keislaman.
80
B. Upaya-Upaya KHR As’ad Syamsul Arifin dalam Merealisasikan Khittah Pesantren 1. Mengembangkan Pesantren Sepeninggal ayahnya pada tanggal 15 maret 1951, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin kemudian berkonsentrasi pada pengembangan Pesantren yang dulu didirikan oleh keluarganya setelah beliau keluar dari tahanan politik akibat fitnah yang diterimanya. karena sebelum itu beliau lebih banyak bergerak dan berdakwah di luar Pesantren. Ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1952, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin ikut bergabung dengan partai NU dan aktif dalam politik praktis. Ternyata dunia politik praktis tidak sesuai dengan tujuan hidupnya. Karena itu, pada tahun 1960, beliau kembali untuk lebih berkonsentrasi mengembangkan Pesantrennya dan menarik diri dari kehidupan politik praktis. Dalam mengembangkan Pesantren, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin melibatkan para bekas orang yang terlibat aksi kriminal yang tergabung dalam barisan pelopor yang dipimpinnya. Tugas dari anggota barisan pelopor ini adalah mengumpulkan sumbangan yang berasal dari masyarakat. Meskipun Pesantren yang dipimpin K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin sangat mandiri, namun beliau tidak menolak bila disumbang oleh pemerintah. Sumbangan dari pemerintah ini tetap tidak menghilangkan sifat kritis K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin apabila ada kebijakan pemerintah
81
yang merugikan masyarakat. Bahkan beliau mengecam Kiai yang terlalu “manut” kepada pemerintah. Aktifitas pembelajaran dan suasana sosial Santri sangat beragam. Penempatan Santri di asrama dilakukan dengan pembauran antara Santri yang berasal dari berbagai daerah. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan fanatisme daerah dan mengenalkan Santri pada budaya dari berbagai daerah yang beragam. Ini berdampak pada sikap Santri yang terbuka terhadap pemahaman nilai-nilai budaya yang baru dan berkembang di masyarakat luas ketika mereka sudah keluar dari Pesantren. Sistem dan kurikulum yang diterapkan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan umum yang meliputi ketrampilan, pertanian, disamping juga menumbuhkan mental enterpreneurship atau jiwa kewirausahawan. Menjadi hal yang lumrah ketika alumni dari Pesantren ini sudah siap terjun melakukan perubahan di masyarakat dengan ilmu dan kecakapan hidup yang siap pakai. Hasilnya, Santri pendok Pesantren Salafiyah Syafiiyyah seperti yang dicita-citkan oleh KHR As‟ad Syamsul Arifin yaitu seperti santrinya Sunan Ampel: ada yang menjadi Fuqoha, Seniman, Budayawan, dan pemimpin masyarakat dengan berbagai latar belakang keilmuan. 2. Mendirikan Perguruan Tinggi Problematika dan tantangan yang dihadapi masyarakat setiap hari semakin berkembang. Hal ini membutuhkan tenaga yang terampil, profesional dan berkarakter serta berakhlak mulia. Sedangkan kurikulum
82
yang terdapat di pondok Pesantren selama ini dirasa belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhnan umat yang semakin kompleks. “Terus terang, saya tidak menginginkan Santri yang hanya Doktorandus, namun saya menghendaki Santri yang pandai membaca Fath al-Wahab!. Adalah merupakan kebanggaan tersendiri bagi Pesantren: bila mengeluarkan sepuluh Santri yang menjadi waliyullah daripada ribuan Santri yang menjadi tikus semua!” (Syamsul, 2008: 58). Dari perkataan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin tersebut, tersirat bahwa beliau menghendaki agar mahasiswa jangan sampai kehilangan identitas kesantriannya. Peringatan tersebut disampaikan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin selaku pengasuh dan rektor dalam memotivasi mahasiswa. Sehingga mahasiswa rajin mengkaji ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Latar belakang pendirian perguruan tinggi adalah melihat kenyataan yang berkembang di masyarakat dan kehidupan bangsa yang membutuhkan tenaga terampil dan kompeten dalam berbagai bidang namun tetap memegang teguh ajaran dan akidah agama Islam. Maka pada tanggal 13 Dzulhijjah 1388 atau 14 Maret 1968, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin mendirikan Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy (UNNIB) dengan membuka Fakultas Syariah. UNNIB kemudian berubah menjadi Universitas Ibrahimy (UNIB). Karena peraturan perundang-undangan yang menegaskan bahwa sebutan Universitas adalah untuk perguruan tinggi yang mempunyai fakultas ilmu sosial dan eksakta, maka UNIB kemudian berubah menjadi Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII). Pada
83
tanggal 14 Maret 1974, membuka Fakultas Tarbiyah dan membuka Fakultas Dakwah pada tahun 1988. Konsep dari perguruan tinggi tersebut memisahkan segala jenis kegiatan, baik itu perkuliahan maupun acara kemahasiswaan antara mahasiswa dan mahasiswi. Kecuali untuk acara di lingkungan Institut boleh bergabung bersama, misalnya: seminar, sarasehan dan kegiatan lainnya. Meski demikian, tetap ada tabir pemisah antara mahasiswa dan mahasiswi. Tenaga pengajarnya disamping berasal dari lingkungan Pesantren sendiri, juga berasal dari perguruan tinggi lainnya. Diantaranya adalah IAIN Sunan Ampel Surabaya dan STAIN Jember. Kyai As‟ad juga sangat berkeinginan untuk mendirikan atau membuka Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Eksakta lainnya. Misalnya membuka Fakultas Perikanan, Perekonomian, Pertanian dan lain sebaginya. 3. Mendirikan Sekolah Umum Pada tahun 1980, Pondok Pesantren Salafiyyah Syafiiyyah mendirikan SMP Ibrahimy, setahun kemudian mendirikan SMA dan SMEA Ibrahimy. Sejak saat itu, Sukorejo dikenal dengan semboyan “Menyantrikan Pelajar dan Mempelajarkan Santri”. Selain itu, Pondok Pesantren Salafiyyah Syafiiyyah juga mendirikan TK/RA dan SD. Para pelajar yang merangkap sekolah umum tersebut, juga diwajibkan untuk mengikuti pembelajaran di madrasah diniyyah dan mengikuti beberapa pengajian kitab-kitab klasik yang diadakan pengurus
84
Pesantren. Kalau mereka tidak masuk sekolah umum pada waktu pagi hari dan tidak mengikuti ujian, maka para pelajar tersebut juga tidak diperkenankan untuk mengikuti ujian di madrasah diniyyah. Para pelajar ini tempat belajarnya juga terpisah antara siswa dan siswinya. Organisasi siswanya juga terpisah, jadi aktivitas belajar dan organisasi siswa menempati kompleks Santri Putra. Begitu juga sebaliknya, aktivitas belajar dan organisasi siswi juga menempati kompleks Santri Putri. Sedangkan waktu liburan sekolah mengikuti liburan Pesantren. 4. Mendirikan Ma’had Aly Nama lembaga ini adalah al-Ma’had al-Aly al-Qism al-Fiqh yang berarti lembaga Kader Ahli Fiqh. Lembaga ini didirikan sebagai jawaban dan kekhawatiran untuk mengatasi kelangkaan kader Ulama yang ahli dalam bidang Ilmu Fiqh secara mumpuni. Tujuan dari didirikannya lembaga ini adalah untuk membentuk Kader Fiqh yang mengerti, mampu mengatasi dan menjawab permasalahan di masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga penyusunan kurikulum pelajarannya memadukan antara kemampuan membaca teks-teks klasik secara teliti kemudian mengaktualisasikan sesusai dengan wawasan dan pengalaman serta kondisi riil yang terjadi di masyarakat terutama Fiqh dan Ushul Fiqh. Diantara kitab-kitab yang menjadi rujukan adalah Jami’ al-Jawami’, Ushul al-Fiqh karangan Abdul Wahab Khalaf, Fath al-Wahhab, dan Minhaj atThalibin, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh karangan Wahbah az-Zuhaily.
85
Kajian ekstra perkuliahan Santri Ma‟had ‟Aly ini sangat intensif. Terdapat dua model pendekatan dan daerah sasaran, yaitu model bahts almasa’il dan diskusi lepas. Masalah-masalah aktual sering menjadi bahan diskusi dengan Ustadz-Ustadz senior dan sering juga mengundang pakar dan ahli dalam acara-acara seminar untuk menghadapi persoalan yang amat pelik dan lebih luas. Out put dari Ma‟had ‟Aly ini diharapkan mampu memecahkan problematika umat dengan analisis Fiqh. Pendirian Ma‟had ‟Aly merupakan terobosan baru, sebab Ma‟had ‟Aly merupakan lembaga pendidikan tinggi yang bergaya Pesantren dan merupakan langkah strategis untuk mencetak beberapa calon Ulama secara formal. Ini menunjukkan bahwa K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin mempunyai kepedulian terhadap bidang ilmu pengetahuan.
C. Urgensi Pesantren Dalam Melakukan Transformasi Sosial Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, dalam mengembangkan pesantren yang diasuhnya, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin banyak melakukan berbagai terobosan inovatif sebagai wujud dari respon beliau terhadap tuntutan realitas masyarakat, tanpa harus meninggalkan tradisi salaf pesantren itu sendiri. Adapun beberapa upaya K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dalam mengembangkan pesantrennya dapat dilihat dari beberapa hal: Pertama, dalam mengembangkan sistem kurikulum pesantren, beliau tetap melestarikan
86
berbagai tradisi pesantren salaf yang mengajarkan berbagai kitab klasik (kitab Kuning) dengan metode khas pesantren; sorogan, wetonan, dan bandongan. Kedua,
dalam
mengembangkan
pendidikan
pesantren,
beliau
melakukan upaya untuk melengkapi berbagai tingkatan pendidikan mulai dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi (bahkan sampai pasca sarjana), ditambah dengan sekolah tinggi dalam bidang kader ahli fiqh (Ma’had Aly), dan berbagai upaya lain yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren beliau. Sehingga, pesantren beliau tidak hanya melahirkan kader-kader ulama, melainkan juga bisa melahirkan kader-kader intelektual dalam bidang non agama. Hal ini sesuai dengan semboyan yang seringkali disampaikan beliau; “Menyantrikan Pelajar dan Mempelajarkan Santri”. (Hasan, 2003: 60) Dalam kurikulum Ma’had Aly terdapat perpaduan kemampuan membaca teks klasik secara teliti dengan pengembangan wawasan yang terdapat dalam teks, terutama dalam bidang fiqh dan ushul fiqh. Diantara kitab rujukannya terdapat; Jami’ al-Jawami’, Ushul Fiqhnya Abdul Wahab Khalaf, Fath al-Wahhab, Minhaj at-Thalibin, dan Fiqh al-Islami wa Adillahtuhu karya Wahbah az-Zuhaily. Selain itu, dalam melakukan perbandingan kajian atas proses pembelajaran yang ada, seringkali Ma’had Aly menghadirkan berbagai tokoh yang dianggap liberal seperti: Nashr Hamid Abu Zayd, Alm Nur Cholis Madjid, Ulil Abshar Abdalla, Abdul Muqsith Ghazaly, Masdar Farid Mas‟udi, dll.
87
Secara etimologi, Ma‟had Aly berarti “pesantren tinggi” setingkat dengan perguruan tinggi atau institut. Sedangkan secara terminologi, Ma‟had Aly adalah lembaga pendidikan pasca pendidikan setingkat SLTA sebagai kader-kader ulama. Dari sudut pandang sosiologis Ma‟had Aly dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk institusionalisasi tradisi dan etika pendidikan formal di lingkungan pesantran yang berbasis pada program kajian takhassus (spesifikasi) yang telah berkembang puluhan tahun. (Basyuni, 2007: 218) Ma‟had Aly dipandang sebagai salah satu pendidikan alternatif pendidikan tinggi agama Islam karena kekhususannya itu (dalam penekanan kurikulum Ma‟had Aly yang diasuh K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin lebih mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu fiqh dan ushul fiqh). Dibanding pendidikan kesarjanaan pada umumnya, Ma‟had Aly lebih berkarakter dan penuh kompetensi dalam penguasaan khazanah Islam. Oleh sebab itu, Ma‟had Aly bercita-cita melahirkan ulama di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam melakukan pembaruan kurikulum dan metodologi sehingga alumninya diharapkan mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Perpaduan konsep salaf dan modern di pesantren K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin telah menghadirkan sebuah wajah baru pesantren yang memiliki wawasan salaf tapi peka terhadap realitas sosial, juga sebagai produsen intelektual salaf. Sejalan dengan harapan beliau untuk memiliki Santri dengan karakter salaf namun responsif, beliau juga berharap untuk
88
sedapatnya mencetak santri dengan kapabilitas keilmuan umum namun tetap berkarakter salaf. Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh berkembang dan tersebar diberbagai pedesaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi yang lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan. Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan di kalangan muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap perjalanan hidup (way of live) dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditujukan untuk pengembangan masyarakat terutama di daerah-daerah pedesaan perlu melibatkan pesantren. Secara substansial, pesantren merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertiannya yang transformatif.
89
Dalam konteks ini pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan dan kemudian dikembangkan kepada rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu. Menurut Abdul A‟la, pada awal berdirinya pesantren, pengabdian pesantren terhadap masyarakat, sesuai zamannya, berbentuk sangat sederhana dan sangat alami. Pengabdian tersebut diwujudkan, misalnya, dengan pelayanan keagamaan kepada masyarakat, menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak, dan sebagai tempat para remaja yang datang dari berbagai daerah untuk menjalani semacam “ritus peralihan” dari fase remaja ke fase selanjutnya. Dalam bentuk seperti itu, pesantren terlibat aktif dalam pengkajian keagamaan dan pola-pola sejenis yang dikembangkan di masyarakat luas (Hasan, 2006: 3) Kegiatan pesantren ini merupakan benih sangat potensial yang nantinya menjadikan pesantren sebagai salah satu alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Hal itu terbukti ketika pesantren terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang mengarah kepada kebutuhan riil masyarakat, seperti pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan penggunaan teknologi alternatif. Hasil upaya rintisan itu cukup mengesankan, karena sampai derajat tertentu, pesantren telah mampu membuat masyarakat menyadari tentang arti
90
kehidupan dan mengetahui persoalan konkret yang mereka hadapi, sehingga mereka tidak gamang serta lebih berpotensi dalam menyikapi setiap problematika hidup. Pengabdian masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dianut pesantren, nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri, adalah; seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah. Maksudnya, kehidupan duniawi di-subordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai yang telah dianut sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini, berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian. Nilai-nilai tersebut merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam proses pendidikan dan pengabdian masyarakat, yang pada tahap selanjutnya, dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi anutan masyarakat luas. Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pesantren belum bisa sepenuhnya membumikan nilai-nilai akhlaq sebagai bagian intrinsik keberagaman masyarakat yang memiliki hubungan dengan pesantren. Padahal, sejatinya pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pesantren merupakan upaya pengembangan masyarakat agar mereka menjadi masyarakat yang berperadaban, mandiri, dan sejahtera sesuai nilai ajaran Islam yang menjadi anutan pesantren. (A‟la‟, 2006: 6) Proses trasformasi dan pembangunan sosial bukan saja menjadi milik dan tanggung jawab pemerintah, melainkan milik dan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat (termasuk pesantren). Hanya saja
91
keberadaan pesantren tidak meniliki kewenangan langsung untuk merumuskan kebijakan sehingga perannya dikategorikan sebagai partisipasi. Dalam hal ini, pesantren melalui kiai dan santri didikannya cukup potensial untuk turut menggerakkan masyarakat secara umum. Sebab, bagaimanapun keberadaan kiai sebagai elit sosial agama menempati posisi dan peran sentral dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Fakta saat ini, masih menunjukkan pesantren baru sebatas berupaya memajukan diri, itupun masih dalam taraf tertentu, belum menyeluruh dan bahkan ada beberapa pesantren yang masih menolak untuk mereformasi diri. Sementara untuk memberikan pencerahan (tsaqafah), dan pembangunan budaya (hadlarah) masih membutuhkan waktu yang luar biasa panjang dan perjuangan yang tidak mudah. (Basyuni, 2007: 281) Untuk itu, kehadiran khittah pesantren menjadi sangat urgen sekali, sebagai suatu pola pemberdayaan pesantren yang telah terbukti mampu menjawab berbagai problematika masyarakat. Dalam hal ini realitas pesantren pada masa wali songo harus betul-betul dijadikan pijakan dan cerminan dalam merumuskan setiap arah kebijakan pesantren. Sebagaimana telah disebut di atas, ada lima hal yang tidak bisa dilepaskan untuk merumuskan cita-cita khittah pesantren perspektif K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, yaitu: 1. Pesantren harus berpegang teguh pada nilai-nilai salaf. 2. Niat seorang santri harus diorientasikan pada kepentingan akhirat, bukan untuk meraih kedudukan duniawi.
92
3. Niat seorang santri harus murni dalam rangka mengaji dan belajar. 4. Dalam belajar, nilai-nilai ikhlas harus tertanam, belajar bukan untuk meraih gelar. 5. Pesantren harus bisa mencetak pemimpin, bukan pegawai. Kalau kita menganalisa lebih jauh tentang kelima tawaran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, akan ditemukan berbagai nilai pokok yang menjadi sokoguru tegaknya bangunan eksistensi pesantren pada masa wali songo. Pertama, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin memandang karakter salaf sebagai suatu tradisi utama yang harus dipertahankan oleh pesantren sampai kapanpun. Karena, dari salafisme inilah pesantren dilahirkan dan dibesarkan, sekaligus sebagai benteng pertahanan terakhir dari serangan modernisme. Kedua, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin menegaskan kedudukan ukhrawi di samping duniawi sebagai suatu paradigma berfikir masyarakat pesantren agar tidak terjebak kedalam paradigma materialisme dan pragmatisme, di mana kehidupan ukhrawi jelas lebih utama dari pada kehidupan duniawi. Dengan kata lain, seluruh aktivitas duniawi, hendaknya diarahkan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Ketiga, komitmen belajar santri harus betul-betul dimantapkan dalam rangka al-Thalab al-Ilm, adapun capaian dari konsep ini adalah terbentuknya komitmen belajar santri yang betul-betul kokoh, sehingga cita-cita santri dalam belajar akan tercapai. Dengan komitmen belajar yang tinggi diharapkan terbentuk mental-mental pecinta ilmu sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
93
Keempat, mencari gelar dalam belajar adalah indikasi pragmatisme, sehingga target mencari gelar dalam belajar perlu ditinggalkan. Karena belajar adalah suatu proses pembebasan manusia dari segala belenggu yang mampu memberikan pencerahan (enlightment) hidup. Sementara gelar adalah sebatas kebutuhan formalis untuk menegaskan tingkatan pendidikan dan kapabilitas keilmuan yang dimiliki seseorang, dan tidak masuk pada ranah substansial dalam proses belajar. Kelima, pada point terakhir ini K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin betulbetul menginginkan agar terlahir kader-kader handal yang kreatif dan siap mengapresiasikan segenap
potensi
keilmuan
yang
diperoleh selama
menempuh studi di pesantren. Point ini sekaligus sebagai penegasan terhadap langkah pembaharuan pesantren disegala bidang sebagai respon atas tuntutan zaman. Dimana K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin menginginkan lahirnya kader Sunan
Drajat
(ekonom),
Sunan
Kudus
(fuqaha‟),
Sunan
Kalijaga
(Budayawan), Raden Fatah (politikus), dan sebagainya. Salah satu urgensi riil khittah pesantren yang digagas K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, khususnya bagi masyarakat sekitar pesantren Sukorejo, adalah dirintisnya sekolah maritim untuk mengelola potensi masyarakat sekitar. Pesantren yang nyaris bersebelahan dengan laut ini memang menampung banyak anak-anak nelayan. Kolonialisme Belanda telah berhasil mengikis mereka dari pengaruh laut. Mereka dengan sengaja mengubah dari masyarakat maritim menjadi masyarakat agraris. Belanda berhasil menarik
94
keuntungan dari sifat agraris ini. Rempah-rempah, gula dan sebagainya, diangkut ke Eropa. Ide ini bermula dari masukan Mahbub Djunaidi pada Oktober 1987, yang ditindak lanjuti sendiri oleh K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dengan bertemu langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Fuad Hassan. Tanggapan Mendikbud pada waktu itu adalah; kesulitan terpokok untuk merealisasikan rencana tersebut bukannya masalah peralatan, melainkan pada tenaga pengajarnya (Basri, 1994: 102-104). Rencana sekolah kemaritiman ini baru terwujud ketika K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin wafat, yang kemudian bernama Akademi Perikanan dan Kelautan (APERIK) Ibrahimy yang bernaung dibawah Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) Sukorejo, Situbondo. Termasuk salah satu kepedulian sosial beliau, adalah ketika masyarakat sekitar pesantren membutuhkan tanah untuk tempat tinggal, beliau secara sukarela memberikan tanahnya kepada masyarakat yang membutuhkan. Dari hal inilah hendaknya kita mengambil sebuah pelajaran berharga, bahwasanya dari perjuangan dan kerja keras yang dilandasi dengan sikap ikhlas akan melahirkan sebuah pengaruh besar di masyarakat dalam rangka melakukan sebuah transformasi sosial, dan peran ini telah dilakukan dengan sangat baik oleh K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, sehingga beliau telah mampu mewujudkan
peradaban
pesantren
peroblematika sosial.
95
yang
betul-betul
peduli
terhadap
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kiprah K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dalam berbagai persoalan baik tingkat lokal sampai regional, telah menunjukkan komitmen beliau untuk konsisten dalam merealisasikan khittah pesantren dan juga menunjukkan betapa urgennya peran khittah pesantren dalam melakukan transformasi sosial.
D. Relevansi Khithah Pesantren Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dengan Kondisi Pesantren Saat Ini. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin berwasiat ”Santri saya yang hidup bermasyarakat hendaklah ikut memikirkan Pendidikan Islam, Dakwah, dan Perekonomian Umat, walaupun tidak terlalu pandai, namun jika mereka ikut berperan aktif terhadap salah satu atau bahkan ketiga masalah tersebut; saya yakin Insya Allah akan memperoleh kesempurnaan hidup” (Arifin, 2000: 33). Wasiat K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin di atas seolah merupakan suatu tuntunan sekaligus merupakan pedoman hidup yang harus dilaksanakan oleh santri, sebagai petunjuk untuk mengabdikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat. Ketiga wasiat ini dipandang perlu untuk disampaikan untuk menegaskan arah dan wilayah pengabdian keilmuan para santri dan alumni pesantren. Ketiga wasiat K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin di atas merupakan jalan yang harus ditempuh santri untuk memperoleh kesempurnaan ilmunya, yakni ilmu yang betul-betul bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan menuju kesempurnaan hidup. Menurut K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, dalam proses aplikasinya di lapangan tentunya santri akan dihadapkan pada berbagai ujian
96
dan cobaan, namun jika ia lulus dalam ujian tersebut, maka ia akan lulus mengemban misi pesantren (Arifin, 2000: 34) Ketiga nilai yang diwasiatkan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin di atas sangat sesuai dengan tiga fungsi pesantren yang dikemukakan Mujamil Qomar yaitu sebagai lembaga pendidikan, lembaga, dakwah, lembaga sosial ekonomi (Qomar, 22-26). Berikut ini akan diuraikan secara lebih terperinci tentang ketiga fungsi pesantren dalam perspektif pemikiran K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin; 1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Sebagai lembaga pendidikan pesantren dituntut untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga yang melakukan proses transfermasi ilmu pengetahuan. Dalam melakukan proses transfermasi ilmu, hendaknya ilmu yang diajarkan betul-betul berdasarkan nilai-nilai tauhid, dengan cara mengenalkan aqidah Ahlus`Sunnah wa al-Jama’ah, karena aqidah ini sudah disetujui oleh Imam al-Asyarie dan Imam al-Maturidi (Arifin, 2000: 18). Betapa pentingnya nilai-nilai tauhid untuk ditekankan dalam proses pembelajaran hingga K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin memperbolehkan masalah-masalah yang berhubungan dengan tauhid bisa dilagukan. Sehingga, manusia akan betul-betul sadar akan ”siapa yang membuat dan menciptakan dirinya?”, dengan harapan, seorang manusia tidak akan terpedaya oleh tipuan duniawi. (Arifin, 2000: 15)
97
Bagi K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, setiap ilmu yang tidak dijiwai dengan nilai ketauhidan, tidak akan mendapat hasil yang memuaskan. Bahkan, ilmu yang masuk ke lubuk hati seseorang yang kosong muatan tauhidnya, bisa mencelakakan orang tersebut. Nilai tauhid inilah yang akan menjadi penjaga pertahanan keimanan seseorang untuk terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama. Menurut K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, seorang pengasuh harus memegang penuh tarbiyah al-aulad (pendidikan santri), karena dalam pandangan beliau dinamika pendidikan saat ini masih kabur. Adakalanya suatu lembaga dikatakan lembaga pendidikan umum, ternyata bukan umum. Sebaliknya, disebut bukan umum, ternyata umum. Meskipun ada sebagian yang tergolong lembaga pendidikan umum dan berhasil mencetak kader, namun jumlahnya masih terbatas. Menurut K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, pendidikan pesantren harus betul-betul salaf sesuai dengan karya-karya ulama ahlus sunnah terdahulu. Sehingga, secara otomatis, karya ulama mutaakhkhirin yang tidak mengacu pada karya-karya ulama terdahulu harus ditolak. Dalam analisa K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, karya ulama-ulama terdahulu merupakan hasil karya intelektual yang telah melalui uji kelayakan baik secara ilmiah maupun spiritual. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin juga sangat tidak menghendaki adanya campur tangan orang luar dalam masalah internal pesantren. Artinya kemandirian pesantren harus betul-betul terjaga. Seandainya ada
98
partisipasi pihak luar yang ingin membantu pesantren, tidak akan menjadi masalah, karena pada hakikatnya, bantuan tersebut semata-mata dalam rangka ikhsan atau amal jariyah, sehingga tidak akan berpengaruh terhadap proyek pengembangan pesantren. 2. Pesantren Sebagai Lembaga Dakwah Sebagai lembaga dakwah, pesantren dituntut untuk menampilkan dirinya sebagai lembaga yang memiliki visi dan misi sebagai pembawa syiar Islam, dengan cara menyampaikan dan memperkenalkan syariat Islam kepada masyarakat. Sebagaimana tercermin pada perkembangan Islam di masa walisongo, pada masa tersebut, para wali menjadikan berbagai media sebagai sarana dakwah. Dalam pandangan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, sudah selayaknya civitas pesantren banyak mengambil peran dalam bidang dakwah, mengingat materi dakwah sebenarnya telah banyak diajarkan di pesantren. Sehingga di harapkan dengan banyaknya materi pelajaran keagamaan yang di peroleh dari pesantren, dapat disebarkan di masyarakat. Dengan kata lain, berbagai pelajaran yang telah di peroleh dari pesantren hendaknya diajarkan kembali pada masyarakat. Para pengurus pesantren dan para alumni juga diminta untuk terus memantau sejauhmana perkembangan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap agama, lebih-lebih masalah tauhid. Mengingat masalah ini seringkali ditinggalkan oleh para da’i. Oleh karenanya, para
99
pengurus dan alumni pesantren harus tampil sebagai penjaga aqidah dan moral masyarakat. (Arifin, 2000: 76) 3. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Peran pesantren sebagai lembaga sosial juga menjadi perhatian serius bagi K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin. Dimana salah satu dari tiga wasiat beliau adalah bagaimana santri agar ikut memainkan peran dalam berbagai problematika sosial. Sehingga santri bisa lebih mendekatkan diri ke arah pengabdian masyarakat secara langsung, dengan cara lebih aktif dalam memberikan kontribusi nyata terhadap berbagai problematika sosial masyarakat sebagaimana yang telah dilakukan oleh walisongo. K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin sendiri dikenal sebagai salah satu figur yang berasal dari pesantren yang cukup banyak memberikan kontribusi positif dalam rangka membangun tatanan masyarakat yang beradab, ber-keadilan sosial, dan religius. Sebagaimana telah banyak disinggung dalam pembahasan sebelumnya, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin selalu hadir sebagai sosok yang betul-betul serius memperjuangkan kepentingan agama dan masyarakat. Abdurrahman Wahid menyatakan, pada masa awal kemerdekaan, K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin pernah bertentangan pendapat dengan guru yang sangat di idolakan oleh beliau; Khadharatusy Syaikh K.H. Hasyim Asy‟arie dan K.H.A. Wahid Hasyim. Hal ini dikarenakan kedua guru beliau memutuskan menerima Pancasila, sedangkan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin menolak Pancasila. Hal ini dilakukan oleh K.H.R. As‟ad
100
Syamsul Arifin agar agama Islam tidak sampai luntur dan tergantikan oleh pancasila (Arifin, 2000: 87) Pada tahun 1983, Abdurrahman Wahid menyampaikan kabar K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin, bahwa umat Islam Khususnya warga NU diminta menerima pancasila oleh pemerintah (hal ini sesuai keputusan pendapat para alim ulama yang tergabung dalam panitia kecil tentang asas, pimpinan K.H. Achmad Shiddiq, Jember). Satu-satunya pertanyaan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin kepada Abdurrahman Wahid waktu itu adalah ”Apakah Pancasila nantinya menggantikan Islam?”. Baru kemudian Abdurrahman Wahid menjelaskan kepada beliau bahwa Pancasila tidak akan menjadi pengganti agama Islam dan Pancasila tidak akan dijadikan alat untuk melawan Islam, bahkan sila pertama dalam Pancasila sejalan dengan ajaran utama dalam Islam yakni tauhid, barulah K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin bersedia menerima pancasila. Hal semacam inilah yang menunjukkan cara beliau memandang Islam sangat besar. Tentunya, peran pesantren sebagai lembaga sosial harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan tradisi yang selama ini dianut, agar peran yang ditampilkan pesantren berbeda dengan peran yang ditampilkan oleh lembaga lain.
101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian dan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep Khithah Pesantren dalam pandangan K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin adalah pelaksanaan pembelajaran dan penyusunan kurikulum pada pesantren yang menitikberatkan pada pengembangan sumber daya manusia dari lulusan pesantren yang mampu melakukan pemberdayaan masyarakat dengan kualitas dan berbagai latar belakang ilmu pengetahuan yang dikuasai. Hal ini karena kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan untuk mengatasi berbagai problematika yang dihadapi tidak hanya membutuhkan ilmu keagamaan saja, namun juga berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang lain. 2. Upaya K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin dalam merealisasikan konsep Khithah pesantren adalah dengan mengembangkan pondok pesantren sesuai ciri khas pendidikan tradisional dengan tetap mempertahankan kurikulum dengan mengacu pada kitab-kitab klasik. Selain itu juga mendirikan lembaga pendidikan formal yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum untuk menjawab tantangan dan permasalahan yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan formal yang didirikan terdiri dari berbagai tingkatan, mulai dari TK, SD, SMP, SMU,
102
sampai Perguruan Tinggi. Ini merupakan salah satu perwujudan dari citacita K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin yang menginginkan santrinya mempunyai keahlian diberbagai bidang ilmu pengetahuan. 3. Kondisi pesantren pada umumnya yang masih terpaku pada pembelajaran ilmu-ilmu agama namun kurang fokus dalam mengembangkan ilmu-ilmu umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga lulusan dari pesantren masih tergagap dalam menghadapi perkembangan masyarakat dalam arus globalisasi. Untuk itulah dibutuhkan integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum untuk menjawab kebutuhan tersebut. Agar lulusan dari pesantren dapat menjawab tuntutan perkembangan masyarakat yang semakin modern. Konsep Khithah Pesantren K.H.R. As‟ad Syamsul Arifin yang menekankan pada pengembangan ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum sangat tepat dan relevan bagi dunia Pesantren. Hal tersebut karena lulusan dari pesantren tidak hanya terfokus pada pengamalan dan penguasan dalam bidang ilmu agama saja, namun juga mampu menguasai ilmu-ilmu umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal ini, distribusi lulusan pesantren akan berada di berbagai segmen kehidupan. Hal tersebut untuk menjawab perkembangan dan permasalahan yang ada di masyarakat semakin beragam dan komplek. Sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang siap pakai dan mempunyai dedikasi tinggi terhadap ilmu yang dimiliki untuk diamalkan.
103
B. Saran-saran Dari hasil penelitian yang penulis temukan, maka penulis memberi saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kemajuan dan perkembangan Pesantren agar siap dan mempunyai modal yang cukup untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. 1. Kepada Pengelola Pesantren hendaknya mulai terbuka dengan ilmu pengetahuan selain disiplin ilmu agama. Sehingga Santri tidak hanya menguasai satu bidang keilmuan, namun mampu mempelajari berbagai macam ilmu yang berguna untuk bekal ketika lulus dari Pesantren. Dalam penyusunan
kurikulum
pembelajaran
hendaknya
memperhatikan
perpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum. 2. Santri sebagai subyek dan obyek pembelajaran sebaiknya mulai membuka diri serta berperan aktif dalam menciptakan inovasi-inovasi ilmu pengetahuan. 3. Pemerintah sebagai pengayom dan pembuat kebijakan dan peraturan untuk selalu memperhatikan dan membuat kebijakan yang menuju kepada pemberdayaan
pesantren.
Sehingga
pesantren
mampu
membantu
pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Masyarakat umum juga harus selalu menjadi bagian dari pendukung dan bekerja sama dengan institusi Pesantren karena Pesantren lahir dari masyarakat itu sendiri. Sehingga nantinya ketika Pesantren mempunyai kualitas yang baik, maka masyarakat bisa merasakan dampak positif secara langsung.
104
C. Penutup Dengan mengucapkan Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya, dan dunia pendidikan Pesantren pada khususnya. Kepada semua pihak pembaca penulis mengharapkan saran dan kritik serta tambahan yang
bersifat
membangun
demi
mengucapkan terima kasih.
105
sempurnanya
skripsi
ini,
penulis
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Jaiz, Hartono, dkk, Bila Kyai Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama NU, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2001. A Hasan, Syamsul, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2008. A‟la, Abd, Pembaharuan Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2006. Alaena, Badrun, NU, Kritisisme dan Pergeseran Makna Aswaja, PT Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000. A. Steenbrink, Karel, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1986 Bog & Bliken, dalam, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai oleh Madyo Ekosusilo, Univet Bantara Press, Sukoharjo, 2003. Depag, RI, Profil Pondok Pesantren Muadalah, Jakarta, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2004. ,
Pondok
Pesantren
dan
Madrasah
Diniyah
Pertumbuhan
dan
Perkembangannya, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2003. Dinamika Pesantren, Kumpulan Makalah Seminar internasional “The role of pesantren in education and community development in indonesia, di berlin republik federasi jerman pada tanggal 9-13 Juli 1987, diterbitkan oleh
106
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Madrasah (P3M), CV. Guna Aksara, Jakarta, 1988. Feillard, Andee, dkk, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, LKIS dan Pustaka Pelajar, 1994, yogyakarta. , NU vis-s-vis Negara, pencarian isi, bentuk dan makna, LKIS, 1999, yogyakarta Geerts, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1981. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research Jilid I, Fakultas Psikologi UGM, Jogjakarta, 1981. Halim, A., dkk., Manajemen Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005. Ismail, SM. (Ed). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. . Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia - Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, UMM press, 2002. KHR As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Semarang, Toha Putra, tt. Madjid, Nurcholish, Dr. Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakata, 1997
107
Muhtarom, DR., Reproduksi Ulama di Era Globalisasi Resistansi Tradisional Islam, Pustaka Pelajar, , Yogyakarta, 2005 Munir Mulkhan, Abdul Runtuhnya Mitos Politik Santri Strategi Kebudayaan Dalam Dakwah Islam, Sipress, Yogyakarta, 1994. Nafi, Dian, dkk., Praksis Pembelajaran Pesantren, LKiS, Yogyakarta, 2002. Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf - Wejangan Dari Balik Mimbar, Situbondo, BP2M PP, Salafiyah Syafiiyah, 2000. Rahardjo, M. Dawam, (Ed). Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, 1985 Rofiq A. dkk., Pemberdayaan Pesantren, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2005 Salam, Burhanudin, Logika Formal Filsafat Berfikir, Bina Aksara, Jakarta, 1988. Siddiq, Achmad, KH., Khitthah Nahdliyyah, Khalista, Surabaya, 2005. Turmudi, Endang, Dr., Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, PT. LKIS Pelangi Aksara, Yogyakarta, 2004. Ulum, Bahrul, Bodohnya NU apa NU Dibodohi? Jejak Langkah NU Era Reformasi - Menguji Khitthah, Meneropong Paradigma Politik, Ar-Ruzz Press, Yogyakarta, 2002.
108
Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995. NU-Tradisi-Relasi-relasi Kuasa-Pencarian Wacana Baru, LKIS, Yogyakarta, 2008 Wahid. Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi, LKIs, Yogyakarta, 2007. www.fiqhislam.com/as-sunnah/11424-adat-dalam-islam-.html Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1989 Zamakhsyari, Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES, Jakarta, 1982. Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1986. Zul Fajri, Em dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher, tt.
109