BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi, baik secara lisan ataupun nonlisan (tertulis). Sebagai alat komunikasi lisan, penggunaan bahasa dapat dijumpai secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan komunikasi nonlisan (tertulis) dapat ditemui dalam media massa cetak, misalnya surat kabar atau majalah, dan sebagainya. Media massa merupakan media yang menyajika isu-isu dan wacana aktual yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Media massa (Subangun dan Mulyani, 2008: 3) merupakan media informasi yang menyebarluaskan informasi dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Penggunaan bahasa dalam media massa cetak memiliki beberapa sifat, antara lain adalah singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan baku. Sifat singkat, lancar, dan jelas dipandang dari penuturnya; sifat padat dipandang dari segi isinya; dan sifat sederhana, lugas, dan baku dipandang dari segi bahasanya. Bahasa yang menarik menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca untuk mengetahui lebih dalam isi sebuah teks. Untuk membuat judul atau teks lebih menarik, salah satu usaha wartawan dalam menulis berita adalah dengan memanfaatkan metafora. Metafora terpadu ke dalam bahasa dan pikiran sebagai suatu cara untuk mengalami dunia. Metafora digunakan untuk mengungkapkan suatu pemikiran atau konsep tertentu yang sering bersifat abstrak tentang suatu gejala atau 1
2
peristiwa yang menjadi pusat perhatian melalui pemetaan lintas ranah dalam sistem konseptual (Siregar, 2004:140). Penggunaan metafora dalam wacana dapat ditelusuri melalui ungkapan atau ekspresi metaforis yang digunakan. Ekspresi metaforis merupakan ekspresi bahasa bisa berupa kata, frasa, atau kalimat yang merupakan wujud lintas ranah sistem konseptual. Merujuk pada Siregar (2004:143), hasil liputan pers dalam media massa baik dalam bentuk berita, tajuk rencana, opini, maupun surat pembaca, merupakan sumber data yang sangat tepat untuk melihat penggunaan metafora. Hasil liputan pers dalam media massa berkaitan dengan segala bidang dan fenomena yang sedang terjadi atau berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah bidang politik. Dunia politik merupakan salah satu ciptaan yang diciptakan oleh komunikasi publik (Lippmann, 1965 via Mio, 1997). Komunikasi publik, salah satunya diwujudkan dalam bentuk media massa cetak yang berfungsi sebagai media komunikasi nonlisan (tertulis) oleh masyarakat. Sejak akan dilangsungkannya pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 hingga pelantikan presiden terpilih, media massa, baik media massa cetak maupun elektronik ramai menyoroti pemberitaan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut. Dalam media massa cetak, berbagai pemberitaan tentang politik pun sering dijadikan berita utama pada surat kabar-surat kabar nasional dan judul utama dalam majalah politik. Misalnya pada (I.1) yang merupakan judul utama sampul Majalah Tempo Edisi 13 – 19 Oktober 2014 dan (I.2) yang merupakan judul utama sampul Majalah Tempo Edisi 27 Oktober 2014. (I.1) Aku Rapopo, Bagaimana Jokowi berkelit dari kepungan koalisi Prabowo (Tempo, 13 – 19 Oktober 2014).
3
Penggunaan ekspresi metaforis pada (I.1) kepungan koalisi ini tidak hanya ditemui dalam judul sampul majalah atau berita, tetapi juga di dalam teks berita, opini, ataupun surat pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi-ekpresi seperti pada (I.1)—ada, telah digunakan, dan dipahami dalam keseharian masyarakat Indonesia. Penggunaan metafora yang lainnya dapat dilihat pada (I.2) – (I.6). (I.2) … saya siap bertarung untuk rakyat dan tak akan mundur. (Tempo, 19 Oktober 2014) (I.3) …jangan sampai proses pertarungan politik itu memecah belah kita. (Kompas, 22 Oktober 2014) (I.4) Praktis, pertemuan Jokowi dengan Prabowo menjadi “jurus pamungkas” dalam menghadapi sejumlah indikasi menghangatnya suhu politik dan menurunnya sejumlah indikator ekonomi makro. (Kompas, 22 Oktober 2014) (I.5) Walhasil, ini kelima kalinya kubu Jokowi terpelanting dalam persaingan melawan kubu Prabowo. (Tempo, 13 – 19 Oktober 2014) (I.6) Pendukung dua pasangan calon presiden itu saling serang secara brutal pada masa kampanye. Kampanye hitam bersliweran menyerang Jokowi, di antaranya melalui tabloid Obor Rakyat, yang menulis Jokowi sebagai “Keturunan Tionghoa, beragama Nasrani, dan orang tuanya penganut komunisme”. Propaganda itu sempat menggerus elektabilitas calon yang didukung Partai kebangkitan bangsa, Partai NasDem, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia ini. (Tempo, 21-27 Juli 2014) Dalam contoh (I.1) – (I.6) terdapat beberapa penggunaan ekspresi metaforis yang ditandai dengan bertarung pada (I.2), pertarungan politik pada (I.3), menghangatnya suhu politik pada (I.4) terpelanting pada (I.5), dan saling serang secara brutal dan Kampanye hitan bersliweran pada (I.6). Lakoff dan Johnson (2003:3) yang menyatakan bahwa metafora dapat menembus dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya lewat bahasa, tetapi juga dalam pikiran dan tindakan. Berdasarkan pendapat tersebut, fenomena politik
4
sebagai bagian dari aktivitas masyarakat yang tercermin dalam penggunaan bahasa di media massa cetak menjadi daya tarik tersendiri untuk diteliti lebih dalam. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menemukan bentuk lingual penggunaan metafora, jenis-jenis metafora, dan konseptualisasi metafora politik yang diamati melalui penggunaan metafora dalam media massa cetak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Apa saja bentuk lingual metafora dalam wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia?
2.
Apa saja jenis metafora dalam wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia?
3.
Bagaimanakah konseptualisasi metafora yang terbentuk dari wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia?
4.
Bagaimanakah fungsi metafora dalam wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diapaparkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Mendeskripsikan bentuk lingual metafora dalam wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia.
5
2.
Mendeskripsikan jenis metafora dalam wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia.
3.
Mendeskripsikan konseptualisasi metafora yang terbentuk dari wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia.
4.
Mendeskripsikan fungsi metafora dalam wacana politik media massa cetak berbahasa Indonesia.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada wacana politik dalam masa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden 2014. Pusat perhatian dalam penelitian ini adalah penggunaan
ungkapan
atau
ekspresi
metaforis
yang
digunakan
untuk
menggambarkan segala peristiwa yang terjadi dalam politik selama masa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Lebih spesifik, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini beerasal dari wacana laporan/berita dan opini. Sumber data yang digunakan dalam penelitian dibatasi pada media massa yang bersifat nasional. Dalam penelitian ini, Koran Kompas (Mei 2014—22 Oktober 2014) dan Majalah Tempo (Juni 2014—Oktober 2014) dipilih sebagai sumber data karena keduanya merupakan media pers yang bersifat nasional. Keduanya digunakan sebagai sumber data untuk menemukan ungkapan-ungkapan metaforis. Namun, hal yang menjadi perhatian dan fokus dalam penelitian ini adalah data penggunaan metafora dalam wacana politik dan kekhasan metaforanya, bukan kekhasan masing-masing media dalam mengolah dan menggunakan metafora dalam menyajikan laporan berita politik.
6
1.5 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu bahasa, khususnya metafora dalam bahasa Indonesia. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan masyarakat sebagai pembaca mengenai konseptualisasi politik. 1.6 Tinjauan Pustaka Kajian tentang metafora telah banyak dilakukan tidak hanya dalam bidang linguistik tetapi juga dalam bidang sastra. Berdasarkan telaah yang telah dilakukan penulis, tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan kajian tentang metafora dan kajian tentang media massa. Siregar (2004) dalam makalahnya yang berjudul “Metafora Kekuasaan dan Metafora Melalui Kekuasaan: Melacak Perubahan Kemasyarakatan Melalui Perilaku Bahasa”, melakukan studi tentang metafora dalam media pers cetak. Dalam penelitian tersebut, Siregar berusaha melacak perubahan kemasyarakatan melalui penggunaan metafora. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat struktur metafora dapat ditemukenali yaitu metafora kekukasaan dan metafora
melalui
kekuasaan.
Metafora
kekuasaan
digunakan
untuk
mengkonseptualisasikan sejumlah konsep kekuasaan yang cenderung abstrak seperti negara, kepemerintahan, kepemimpinan, relasi kekuasaan (demokrasi), reformasi, hukum, politik, ekonomi, dan negara. Metafora kekuasaan dan
7
metafora melalui kekuasaan diantaranya adalah pembentukan konsep disintegrasi bangsa, penegakan hukum, transparansi, dan akuntabilitas. Selanjutnya, Vestermark (2007) melakukan penelitian tentang metafora politik dengan judul “Metaphor in Politics: A Study of the Metaphorical Personification of America in Political Discourse”. Dalam penelitian tersebut, Vestermark melakukan penelitian tentang metafora, khususnya personifikasi yang digunakan pada pidato pertama pelantikan presiden Amerika Ronald Reagan, George HW Bush, Bill Clinton, dan George W Bush. Fokus dalam penelitian tersebut adalah penggunaan metafora oleh presiden Amreika, penafsiran penggunaan metafora, dan pesan yang sampai pada penerima sebagai pendengar. Hasil analisis dalam penelitian tersebut menunjukkan metafora konseptual yang terbentuk adalah the world as a community, nation as a person, nation with human attributes, and nation acting as human. Metafora digunakan untuk menyoroti isu-isu yang ada saat itu. Pidato politik yang dilakukan oleh presiden tidak hanya membahas masalah politik itu sendiri, tapi membahas isu-isu yang sedang ada saat itu sehingga orang/masyaraktnya menyadari visi politik dan masalah-masalah yang ada. Selain itu, presiden sering menggunakan metafora untuk
mengaktifkan
emosi
pendengar
(masyarakat
Amerika).
Dalam
menggunakan metafora, presiden dapat menggunakan urutan kata yang sama, tetapi maknanya berbeda bergantung pada tujuan pembicara. Selain itu, hasil analisis penelitian tersebut mengungkapkan pentingnya menafsirkan metafora sesuai dengan konteks karena dalam beberapa kasus, bahasa memiliki makna literal dan kadang-kadang memiliki makna metaforis. Selain itu, tujuan presiden
8
dalam menggunakan metafora secara sekilas memiliki tujuan yang sama karena kesamaan kata-kata yang dipilih, tetapi jika ditelusuri lebih dalam dan dibandingkan, tujuan penggunaan metafora tersebut tidaklah sama. Pada 2008, Subangun dan Mulyani dalam artikelnya yang berjudul “Analisis Metafora pada Ragam Jurnalistik (Studi Wacana Berita Surat Kabar Jawa Pos)” mengkaji tentang metafora yang digunakan pada wacana berita di Surat Kabar Jawa Pos. Hasil dari penelitian tersebut mencakup empat hal, yaitu 1) metafora pada wacana berita surat kabar Jawa Pos dikelompokkan menjadi metafora nominatif, metafora komplementatif, metafora predikatif, dan metafora kalimat; 2) jenis tuturan metafora dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu metafora antropomorfik, metafora binatang, metafora relasi abstrak-konkret (RAK), dan metafora sinestetik; 3) kesimpulan tentang kemiripan wahana dan tenor bahwa metafora diciptakan berdasarkan kemiripan antara referen sesuatu yang diperbandingkan (tenor) dengan referen sesuatu yang digunakan sebagai pembanding (wahana) dan hubungan kemiripannya dikelompokkan menjadi kemiripan objektif (bentuk) dan kemiripan emotif (perceptual/cultural). Berbeda dengan Subangun dan Mulyani, Nirmala (2012) mengkaji metafora yang terdapat dalam wacana surat pembaca dengan judul “Metafora dalam Wacana Surat Pembaca di Surat Kabar Harian Berbahasa Indonesia: Tinjauan Linguistik Kognitif”. Fokus dalam penelitian tersebut terletak pada tataran wacana dalam perspektif isi dengan memusatkan perhatian pada penggunaan ungkapan metaforis yang digunakan untuk mengonseptualisasikan gagasan, pengalaman, dan perasaan yang berkaitan dengan segala peristiwa yang
9
dikemukakan melalui surat pembaca. Sumber data dalam penelitian tersebut adalah surat kabar harian Kompas, Republika, Suara Merdeka, Wawasan, dan Jawa Pos. Tidak terdapat pengkhususan topik dalam penelitian tersebut. Artinya, konsep yang dipetakan dalam penelitian tersebut menyangkut semua sektor kehidupan sosial. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 1) konsep ranah target dan sumber berasal dari pengalaman inderawi, pengalaman fisik, pemanfaatan ruang, gerak, waktu, dan teknologis; 2) pembanding yang terdapat dalam wacana surat pembaca antara lain adalah benda cair, manusia, makanan/masakan, bangunan, kendaraan, benda padat, sasaran perang, penyakit, tanaman, binatang, api, cahaya, gunung, sungai, warna, dan jarak; dan 3) metafora dalam wacana surat pembaca memiliki makna metaforis yang mengimplikasikan lima fungsi, yaitu: emotif (menyangatkan), kesantunan (memperhalus), situasional (mengubah ragam),
kognitif
(membuat
nyata
suatu
konsep
abstrak),
dan
puitik
(memperindah). Selain itu, Syifa (2012) melakukan penelitian dengan judul “Keberagaman Makna Metafora dalam Surat Kabar Kedaulatan Rakyat” yang tujuannya untuk menghindari kesalahpahaman pada pembaca. Dalam penelitian tersebut hanya dijelaskan perbedaan makna pada beberapa kata saja, yaitu kata jamu, menggerus, kecebong, ilustrasi, dan abu. Hasil analisisnya menjelaskan bahwa: 1) adanya perbedaan makna yang terjadi pada sebuah kata dalam suatu kalimat yang digunakan dalam surat kabar dengan kata dalam kalimat lain yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari bergantung pada konteks kata dalam kalimat itu sendiri; 2) keberagaman makna tersebut terjadi karena adanya perluasan jika
10
terdapat dua kata yang digunakan dalam kalimat dibandingkan dalam konteks yang berbeda; dan 3) keberagaman makna tersebut dipangaruhi oleh faktor lingkungan dari pengguna bahasa atau penutur. Selanjutnya Widyarto (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Metafora pada Wacana Berita Ekonomi di situs Web Metro TV Menurut Pandangan Zoltan Kovesces” mengkaji ekspresi metaforis dalam bidang ekonomi yang terlihat pada teks berita Web Metro TV. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa 1) terdapat tiga konsep dalam memandang ekonomi, yaitu ekonomi adalah bangunan, ekonomi adalah perjalanan, dan ekonomi adalah organisme hayati; 2) berkaitan dengan ekologi, hanya terdapat delapan unsur konsep ruang persepsi manusia berdasarkan teori Haley yang dimanfaatkan untuk mempersepsi ekonomi, yaitu ke-ada-an (being), energy (energy), substansi (substance), hamparan (terrestrial), benda (object), kehidupan (living), bernyawa (animate), dan manusia (human); dan 3) terdapat keterkaitan antara kognisi dan unsur ekologi dalam metafora yang terlihat pada ekspresi metaforis yang muncul dari konsep kognisi. Berkaitan dengan penggunaan metafora dalam bidang keolahragaan, Andriani (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Metafora pada Berita Olahraga dan Implikasinya bagi Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA (Kajian Deskriptif Analitik terhadap Berita Olahraga dalam Surat Kabar di Indonesia)”, melakukan kajian tentnag metafora dalam berita olahraga yang dihubungkan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Penelitian tersebut merupakan penilitian linguistik terapan karena dihubungkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia tentang makna kata di kelas X jenjang pendidikan SMA (SMAN 1
11
Karawang). Hasil penelitiannya menunjukkan beberapa hal, yaitu: 1) terdapat perubahan makna yang terjadi pada setiap makna dasar metafora bergantung pada konteks kalimat yang didasari oleh tujuan yang berbeda-beda; 2) penggunaan metafora
pada
berita
olahraga
bertujuan
untuk
menghaluskan
makna,
mengasarkan makna, mengeraskan makna, mengonkretkan sesuatu yang abstrak, mengagungkan makna, dan untuk menyatakan penghinaan; 3) Jenis-jenis perubahan maknanya antara lain adalah perubahan makna meluas, perubahan makna menyempit, penghalusan makna (eufimia), dan pengasaran makna (disfemia). Berkaitan dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas X jenjang pendidikan SMA, materi pembelajaran metafora dari berita olahraga dalam surat kabar di Indonesia dapat digunakan untuk pembelajaran kebahasaan, khususnya tentang makna kata. Dalam jurnalnya yang berjudul “Metafora dalam Wacana Tajuk Tentang Terorisme di Harian Kompas dan Koran Tempo”, Subagyo (2014) membahas jenis-jenis metafora dalam wacana tajuk tentang terorisme di surat kabar tersebut beserta hal-hal yang dikiaskan oleh surat kabar tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa: 1) jenis metafora nominal digunakan untuk mengiaskan a) Indonesia sebagai korban aksi teror, b) dekatnya jarak teror bom dengan masyarakat Indonesia, c) penanganan terorisme berkenaan dengan teror bom dengan masyarakat Indonesia, d) tempat terjadinya aksi teror, yakni Bali dan Jakarta, dan e) kasus peledakan bom serta kinerja Presiden Megawati dan kabinetnya dalam menangani teror bom; 2) jenis metafora verbal digunakan untuk mengiaskan a) dampak teror bom dan b) cara menangani teror bom; dan 3) jenis
12
metafora kalimat dimanfaatkan untuk mengiaskan langkah memerangi terorisme dan potensi keberlanjutan terorisme. Pada 2014, Wulansari melakukan penelitian tentang metafora yang terdapat dalam naskah pidato Nelson Mandela. Tesis yang berjudul “Pemetaan Metafora dalam Naskah Pidato Nelson Mandela” ini menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat 13 ranah sumber dan 12 ranah sasaran dalam pidato Nelson Mandela. Selain itu terdapat 64 ranah sumber yang paling dominan dalam pidato tersebut adalah ranah sumber bangunan dan konstruksi, sedangkan ranah sasaran terdiri dari 58 metafora dengan ranah yang paling dominan adalah ranah sasaran peristiwa dan aksi. Selain itu konsep metafora yang mendominasi dalam pidato tersebut adalah konsep life is a worthy object dan progress is motion forward. Terdapat dua hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pertama, objek penelitian yang dalam penelitian ini difokuskan pada wacana politik yang mengacu pada peristiwa politik selama masa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 di Indonesia. Kedua, objek penelitian dalam penelitian ini adalah penggunaan metafora dalam media massa cetak Surat Kabar Kompas (Mei 2014—22 Oktober 2014) dan Majalah Tempo (Juni 2014—Oktober 2014) 1.7 Landasan Teori Metafora merupakan pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan, misalnya kaki gunung dan kaki meja yang dianalogikan dengan kaki manusia (Kridalaksana, 2011:52). Lakoff
13
dan Johnson (2003:5) menjelaskan bahwa esensi dari metafora adalah memahami dan mengalami suatu hal dengan sesuatu yang lain. Selanjutnya Wahab (1991:142 – 144) memberikan pengertian bahwa metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari makna yang dipakai. Maksudnya, makna metafora merupakan pemahaman tentang suatu hal yang dimaksudkan untuk hal yang lain. Dilihat dari segi sintaksisnya, Wahab (1991:142 – 144) membedakan metafora menjadi beberapa kelompok sebagai berikut. a.
Metafora nominatif Metafora nominatif merupakan metafora yang lambang kiasnya terdapat
pada nomina suatu kalimat. Berdasarkan pada posisi nomina dalam kalimat yang berbeda-beda, metafora nominatif dibagi menjadi dua, yaitu metafora nominatif subjektif (metafora nominatif) dan metafora nominatif objektif (metafora komplementatif). Dalam metafora nominatif, lambang kiasnya hanya muncul pada subjek kalimat saja, sementara komponen-komponen lainnya dalam kalimat tetap dinyatakan dengan kata-kata yang mempunyai makna langsung. Sementara itu, dalam metafora komplementatif lambang kiasnya hanya terdapat pada komplemen kalimat yang dimaksud, sedangkan komponen lain dalam kalimat tetap dinyatakan dengan kata yang mempunyai kandungan makna langsung.
14
b.
Metafora predikatif Metafora predikatif merupakan metafora yang lambang kiasnya terdapat
pada predikat suatu kalimat, sedangkan subjek dan komponen lain dalam kalimat tersebut dinyatakan dalam makna langsung. c.
Metafora kalimatif Dalam metafora kalimatif, lambang kiasnya terdapat pada seluruh
komponen suatu kalimat. Lambang kias yang digunakan dalam metafora kalimatif tidak terbatas pada nomina (baik yang berlaku sebagai subjek, maupun yang berlaku sebagai komplemen) dan predikat saja. Sementara itu Ogden dan Richards (1923:213) menyebutkan: Metaphor, in the most general sense, is the use of one reference to a group of things between which a given relation holds, for the purpose of facilitating the discrimination of an analogous relation in another group. In the understanding of metaphorical language one reference borrows part of the context of another in an abstract form. Metafora, menurut Ogden dan Richards (1923:213), dalam pengertian paling umum merupakan pengguaan referensi/acuan pada sekelompok hal yang mempunyai hubungan, dengan tujuan untuk menfasilitasi diskriminasi dari relasi analog dalam kelompok lain. Dalam memahami bahasa metafora satu referensi meminjam bagian dari konteks lain dalam bentuk abstrak. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa dalam metafora harus terdapat referen dan ada sesuatu yang digunakan sebagai pembanding. Referen tersebut meminjam bagian bentuk abstrak dari konteks yang lain.
15
Berdasarkan beberapa gagasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metafora merupakan ungkapan yang maknanya tidak dapat dijelaskan secara langsung. Dapat dipahami juga bahwa metafora digunakan untuk menjelaskan suatu hal melalui hal yang lain. 1.7.1 Metafora Konseptual Dalam pandangan lingusitik kognitif, metafora didefinisikan sebagai pemahaman satu ranah konseptual dalam ranah konseptual yang lain. Contoh ini mencakup hal seperti orang/masyarakat yang berbicara dan berpikir bahwa berargumen adalah berperang—ARGUMEN IS WAR, (Kovecses, 2010:4). Konsep metafora ARGUMEN IS WAR ini diperkenalkan oleh Lakoff dan Johnson (2008) dalam bukunya Metaphors We Live By.
Dalam konsep
ARGUMEN IS WAR, Lakoff dan Johnson (2003:8), menjelaskan proses pemikiran
manusia
yang
metaforis.
Dalam
konsep
tersebut,
metafora
memungkinkan manusia memahami sesuatu yang relatif abstrak atau tidak berstruktur, dalam hal ini “argument” atau “berpendapat” menjadi sesuatu yang lebih konkret atau terstruktur, dalam hal ini “war” atau “perang”. Lakoff dan Johnson membagi teori metafora konseptual menjadi tiga jenis, yaitu metafora struktural, metafora orientasional, dan metafora ontologis. Metafora struktural dapat dipahami sebagai konsep metafora yang digunakan untuk memahami hal yang abstrak dengan menyamakannya dengan hal kongkret; metafora orientasional merupakan metafora yang berkaitan dengan orientasi ruang, seperti naik-turun dan depan-belakang; dan metafora ontologis merupakan
16
metafora yang menerapkan konsep perbandingan benda abstrak yang diwujudkan dengan benda kongkret. Selain itu, Kovecses (2010) menjelaskan bahwa metafora konseptual merupakan teori dari dua ranah konseptual, yang mana satu ranah dipahami dalam hal/istilah lain. Ranah konseptual merupakan organisasi yang koheren dengan pengalaman. Dalam metafora konseptual terdapat dua ranah konseptual, yakni source domain dan target domain. Source domain ‘ranah sumber’ merupakan ekspresi metaforis yang digunakan untuk memahami ranah konseptual yang lain, sedangkan target domain ‘ranah target’ merupakan ranah konseptual yang dipahami melalui metafora dalam source domain ‘ranah sumber’. Lakoff dan Johnson (2003:264) melakukan klarifikasi pembagian jenis metafora yang awalnya terdiri atas metafora orientasional, ontologis, dan struktural. Selanjutnya, Lakoff dan Johnson menjelaskan bahwa semua metafora merupakan struktural karena metafora memetakan dari struktur yang satu untuk struktur yang lain; semua metafora merupakan ontologis karena metafora menciptakan entitas ranah target; dan banyak/sebagian besar metafora merupakan orientasional karena metafora dapat dipetakan dalam orientasi image-schema. 1.7.2 Teori Politik Hakikat politik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai segala halikhwal yang berkaitan dengan atau menyangkut kekuasaan. Dalam hal ini, termasuk cara-cara memperoleh kekuasaan, keabsahan kekuasaan, dan hubunganhubungan kekuasaan (baik antar kekuasaan, maupun antara kekuasaan dengan yang di bawah kekuasaanya) (Rudy, 2013: 29).
17
Secara garis besar, politik adalah berkenaan dengan kekuasaan, pengaruh, kewenangan pengaturan, dan ketaatan atau ketertiban. Politik berlangsung pada lingkungan yang disebut dengan sistem politik. Untuk menganalisis interaksi dalam sistem politik, diterapkanlah ilmu politik. Ilmu politik dalam arti sempit menyangkut masalah negara dan pemerintahan, sedangkan dalam arti luas mencakup negara, pemerintahan, kekuasaan dan kewenangan, kelembagaan masyarakat, serta kegiatan dan tingkah laku politik (Rudy, 2013:9 – 10). Kehidupan politik suatu bangsa dan negara melibatkan beberapa pihak yang termasuk dalam struktur politik. Rudy (2013:49) menjelaskan, struktur politik adalah tata susunan kelembagaan (lembaga organisasi) dalam kehidupan politik suatu bangsa dan negara. Struktur politik terdiri dari suprastruktur dan infrastruktur. Suprastruktur mencakup pemerintah, lembaga tinggi negara, dan lembaga-lembaga negara, sedangkan infrastruktur mencakup saluran organisasi untuk penyaluran aspirasi rakyat, yaitu terdiri dari partai-partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan pendapat umum bersama-sama media massa. Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Menurut Rudy (2013:49), demokrasi dapat dikatakan sebagai “pemerintahan dari bawah”, “pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat”, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” atau “pemerintahan oleh banyak orang”. Dalam hal ini, rakyat adalah sebagian besar atau mayoritas yang mempunyai suara untuk ikut menentukan atau mempengaruhi proses perumusan kebijakan pemerintahan melalui saluran-saluran yang disediakan untuk itu pada peringkat infrastruktur
18
politik. Misalnya melalui partai-partai politik dan pendapat umum. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, infrastruktur bukanlah sekedar “kawula” yang sepenuhnya tunduk dan patuh terhadap suprastruktur. Infrastruktur ikut mempengaruhi dan bahkan ikut bertanggungjawab atas apa yang dilaksanakan oleh suprastruktur, melalui sistem demokrasi. 1.7.3 Fungsi Bahasa Penggunaan metafora dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari fenomena kebahasaan. Penggunaan metafora dalam komunikasi atau wacana tertentu memiliki beberapa fungsi tertentu yang bisa dikaitkan dengan fungsi bahasa.
Fungsi
tersebut
didasarkan
pada
teori
Leech
(2003)
yang
mengelompokkan fungsi bahasa menjadi fungsi informasional, fungsi ekspresif, fungsi direktif, fungsi estetik dan fungsi fatik. Fungsi informasional berhubungan dengan penggunaan tuturan bahasa secara metaforis sebagai sarana menyampaikan informasi tentang pikiran dan perasaan. Berbeda dengan fungsi informasional, fungsi ekspresif biasanya digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya. Fungsi ekspresif ini berhubungan dengan penggunaan metafora yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, dan sikap penutur/penulis. Sementara itu bahasa
memiliki
fungsi
direktif
jika
penggunaannya
digunakan
untuk
mempengaruhi perilaku atau sikap orang lain. Fungsi direktif ini dapat berwujud seperti perintah atau permohonan. Fungsi ini juga bisa disebut sebagai fungsi kontrol sosial yang dapat memberikan tekanan pada sisi penerima, bukan pada penutur. Selanjutnya adalah fungsi estetik merupakan fungsi yang timbul karena
19
penggunaan bahasa demi hasil karya itu sendiri, dan tanpa maksud yang tersembunyi. Fungsi ini hampir sama dengan fungsi ekspresif. Namun, yang membedakannya adalah dalam fungsi estetik tidak ada maksud tersembunyi, sedangkan dalam fungsi ekspresif, perasaan, pikiran, dan sikap yang diungkapkan oleh penuturnya membutuhkan respon/umpan balik dari lawan tuturnya. Terakhir adalah fungsi fatik yang merupakan fungsi untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka dan untuk menjaga hubungan sosial secara baik. Fungsi fatik ini berhubungan dengan penggunaan bahasa yang bermakna hubungan baik dan buruk. Beberapa fungsi bahasa yang telah dijelaskan sebelumnya terbentuk dari makna yang terkandung dalam penggunaan bahasa. Makna bahasa yang ada dalam suatu komunikasi atau wacana tersebut mendukung terjadinya efek komunikatif secara total dan membentuk fungsi bahasa. Berdasarkan Leech (2003), terdapat tujuh tipe makna yang terdiri dari makna konseptual, konotatif, makna stilistik dan afektif, makna refleksi dan makna kolokatif, makna tematik. Makna konseptual juga disebut dengan makna denotatif atau kognitif. Makna konseptual dianggap sebagai faktor sentral dalam komunikasi bahasa karena makna konseptual mempunyai susunan yang sangat kompleks dan rumit. Sasaran makna konseptual ini adalah untuk memberikan tafsiran kalimat, suatu konfigurasi atau simbol abstrak yang merupakan ‘representasi makna’-nya, dan menunjukkan secara pasti hal yang harus diketahui untuk membedakan makna dari semua kemungkinan makna kalimat yang lain dalam suatu bahasa.
20
Makna konotatif merupakan nilai komunikatif dari satu ungkapan menurut apa yang diacu oleh bahasa. Makna konotatif dapat dipakai sebagai dasar untuk menyelidiki makna konseptual—bahwa makna suatu kata atau kalimat dapat dikodifikasikan dalam arti seperangkat simbol yang terbatas dan bahwa penggambaran makna suatu kalimat dapat dispesifikasikan dengan sejumlah peraturan tertentu. Makna stilistik merupakan makna sebuah kata yang menunjukkan lingkungan sosial penggunaannya. Makna stilistik ini dikomunikasikan dari keadaan sosial mengenai penggunaan bahasa. Keadaan sosial ini berkaitan dengan asal-usul pengguna bahasa yang meliputi status, bahasa kekeluargaan dan sebagainya. Selanjutnya, makna afektif merupakan makna yang muncul dari ungkapan emosi, perasaan, dan tingkah laku pembicara atau penulis. Untuk memahami makan afektif digunakan perantara kategori makna yang lain, seperti makna konseptual, konotatif, atau stilistik. Makna refleksi adalah makna yang timbul dalam hal makna konseptual ganda, yaitu makna refleksi ini disampaikan melalui asosiasi dengan pengertian yang lain dari ungkapan yang sama. Makna kolokatif, dapat dipahami sebagai makna yang disampaikan dengan kata yang cenderung terjadi pada lingkup kata yang lain. Makna tematik merupakan makna yang dikomunikasikan menurut cara penutur atau penulis menata pesannya, dalam arti menurut urutan, fokus, dan penekanan. Jakobson (1960) via Soeparno (2002: 7 – 8), via Halliday dan Hasan (1994:21) mengemukakan bahwa terdapat enam fungsi bahasa, yaitu fungsi
21
emotif, fungsi konotatif, fungsi referensial, fungsi puitik, fungsi fatik, dan fungsi metalingual.
Fungsi tersebut merupakan perluasan dari kerangka pemikiran
Bühler (1934) via Halliday dan Hasan (1994:21) yang membagi fungsi bahasa berdasarkan pada pandangan perseorangan. Bühler mengelompokkan fungsi bahasa menjadi fungsi ekspresif, konotatif, dan representasional. Fungsi ekspresif merupakan fungsi penggunaan bahasa yang terarah pada diri sendiri atau si pembicara. Fungsi konotatif merupakan fungsi penggunaan bahasa yang terarah pada lawan bicara. Fungsi representasional merupakan fungsi penggunaan bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya, yang tidak berhubungan dengan pembicara atau lawan bicara. Berdasarkan kerangka pemikiran Bühler tersebut, Jakobson membagi fungsi bahasa berdasarkan tumpuan perhatian atau aspek bahasa yang meliputi aspek addresser, context, message, contact, code, dan addresce. Fungsi emotif merupakan fungsi yang didasarkan pada si penutur/pembicara (addresser). Fungsi ini digunakan untuk mengungkapkan perasaan, misalnya perasaan gembira, sedih, kesal, dan sebagainya. Fungsi referensial merupakan fungsi yang didasarkan pada pembicaraan dalam konteks (context). Fungsi ini dapat dilihat dari pembicaraan mengenai suatu permasalahan dengan topik tertentu. Selanjutnya adalah fungsi puitik merupakan fungsi yang didasarkan pada amanat (message) pembicaraan. Fungsi ini dapat dilihat dari amanat atau pesan tertentu yang terkandung dalam pembicaraan. Selanjutnya adalah fungsi fatik yang merupakan fungsi yang didasarkan pada kontak (contact). Fungsi ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa yang tujuannya hanya sebagai alat kontak atau untuk berinteraksi. Fungsi fatik ini
22
misalnya dapat dilihat dari penggunaan bahasa untuk berbasa-basi. Sementara itu, fungsi metalingual merupakan fungsi yang didasarkan pada penggunaan kode (code) atau lambang. Fungsi ini dapat dilihat dari pembicaraan tentang masalah bahasa dengan menggunakan bahasa tertentu. Terakhir adalah fungsi konotatif yang merupakan fungsi yang didasarkan pada lawan bicara (addresce). Penggunaan bahasa berfungsi konotatif jika pembicara menghendaki lawan bicaranya bersikap atau berbuat sesuatu. Keraf (1971:15) menjelaskan bahwa bahasa memliki fungsi antara lain sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) sebagai alat untuk berkomunikasi, (3) sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) sebagai alat kontrol sosial. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa digunakan untuk menyatakan segala sesuatu yang tersirat dalam perasaan. Unsur-unsur seperti keinginan untuk menarik perhatian orang lain dan keinginan untuk membebaskan diri dari dari tekanan emosi merupakan pendorong bagi seseorang untuk menyatakan ekspresi diri. Selanjutnya sebagai alat komunikasi, ekspresi diri seseorang dapat diterima dan dipahami oleh orang lain. Selain itu bahasa juga digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain. Dengan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, seseorang akhirnya dapat mempelajari dan mewarisi semua ilmu pengetahuan yang ada. Sebagai alat integrasi dan kontrol sosial, bahasa digunakan sebagai pengikat antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam satu masyarakat. Bahasa memungkinkan tiap individu untuk menyesuaikan dirinya dengan adat-istiadat dan kebiasaan dalam masyarakat bahasa tersebut. Sebagai
23
alat kontrol sosial, bahasa dapat digunakan untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain. Tingkah laku tersebut dapat bersifat terbuka (overt: yang dapat diobservasi) dan tertutup (covert: yang tidak dapat diobservasi). Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan menggunakan bahasa. Dell Hymes (1962) via Soeparno (2002:9 – 10) menjelaskan fungsi lebih rinci lagi yaitu: 1) untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial. Fungsi ini berhubungan dengan penggunaan bahasa untuk mengajukan permohonan, meminta izin, dan sebagainya; 2) untuk menyampaikan pengalaman tentang keindahan, kebaikan, keluhuran budi, keagungan, dan sebagainya; 3) untuk mengatur kontak sosial. Fungsi ini berhubungan dengan penggunaan bahasa untuk bertegur sapa, saling memberi salam, dan sebagainya; 4) untuk mengatur perilaku atau perasaan diri sendiri, misalnya berdoa atau menghitung, dan sebagainya; 5) untuk mengatur perilaku atau perasaan orang lain, misalnya memerintah, melawak, mengancam, dan sebagainya; 6) untuk mengungkapkan perasaan, seperti memuji, menyeru, dan sebagainya; 7) untuk menandai perihal hubungan sosial, seperti unggah-ungguh, tutur sapa, panggilan, dan sebagainya; 8) untuk menunjukkan dunia di luar bahasa, seperti untuk mengemukakan berbagai bidang ilmu pengetahuan; 9) untuk mengajarkan berbagai kemampuan dan keterampilan; 10) untuk menyatakan sesuatu kepada orang lain; 11) untuk menguraikan tentang bahasa, misalnya untuk menguraikan tentang morfem, fonem, alomorf, alofon, frasa, klausa, dan sebagainya; untuk menghindarkan diri dengan cara
24
mengemukakan keberatan atas alasan; dan 13) untuk mengungkapkan suatu perilaku perfomatif, misalnya mengungkapkan sesuatu sambil melakukannya. 1.8 Metode Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dalam tiga tahap, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena memberikan deskripsi dan penjelasan tentang bentuk lingual, jenis, konseptualisasi, dan fungsi metafora dalam wacana politik. 1.8.1
Metode Penyediaan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, yaitu menyimak
penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Teknik dasar yang digunakan adalah teknik catat, yaitu dengan mencatat, mengkategorisasi, dan mengklasifikasi data yang diperoleh (Mahsun, 2005:133). Objek penelitian ini adalah metafora dalam wacana politik dalam media massa cetak selama masa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari Surat Kabar Kompas (Mei 2014—22 Oktober 2014) dan Majalah Tempo (Juni 2014—Oktober 2014). Wujud data dalam penelitian ini adalah penggunaan ungkapan atau ekspresi metafora dalam wacana politik yang ditemukan dalam teks-teks media seperti laporan berita, tajuk rencana, dan opini. Ekspresi metafora yang berhubungan dengan konteks politik yang diambil sebagai data dalam penelitian ini. Pemilihan teks-teks yang memuat isu-isu politik dilakukan secara acak pada setiap wacana politik yang ditemui dalam media massa cetak yang sudah disebutkan sebelumnya. Pencarian data dihentikan setelah data yang diperoleh
25
dirasa cukup, yaitu apabila data yang terkumpul bervariasi dan dapat menunjukkan konsep metafora politik, serta ekspresi-ekspresi metaforis tersebut dapat diidentifikasi bentuk lingual, jenis, konseptualisasi, dan fungsinya. Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut. Pertama, mengumpulkan media massa cetak (surat kabar dan majalah). Kedua, mencari teks-teks tentang politik. Ketiga, mengidentifikasi penggunaan metafora dalam teks tersebut. Teks-teks dalam media massa berhubungan dengan politik dikumpulkan dan diidentifikasi dengan menentukan mana saja yang termasuk metafora. Keempat, mencatat teks yang mengandung ekspresi metaforis untuk digunakan sebagai data dalam penelitian. Seluruh data tersebut akan dipilih dan dipilah lalu dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. 1.8.2
Metode Analisis Data Dalam tahap analisis data, data yang sudah dikumpulkan akan dianalisis
sesuai dengan rumusan masalah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Sudaryanto (1993:13) menjelaskan bahwa metode padan adalah metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Dipilihnya metode padan pada penelitian ini dikarenakan adanya pengandaian bahwa yang diteliti memang sudah memiliki hubungan dengan hal-hal di luar bahasa yang bersangkutan, bagaimanapun hubungan itu (Sudaryanto, 1993:14). Lebih tepatnya dalam penelitian ini adalah metode padan referensial. Metode ini digunakan untuk mencari hubungan antara ranah sumber dan target.
26
Pendekatan yang digunakan dalam analisis data adalah pendekatan bottomup—from linguistics metaphor to conceptual metaphor, (Krennmayr, 2011:41). Dalam pendekatan bottom-up, kata-kata kiasan atau berbagai ekspresi metaforis tertentu yang digunakan dalam teks diidentifikasi dan diklasifikasikan untuk menentukan ranah sumber dan ranah target, dan selanjutnya untuk merumuskan pemetaan. Penggunaan teknik analisis dalam penelitian ini diadaptasi dari Krennmayr (2011:215)—a bottom-up five step method analysis yang dikemukakan oleh Steen (2009). Lima langkah tersebut adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
Identification of metaphor-related words Identification of propositions Identification of open comparison Identification of analogical structure Identification of cross-domain mapping
Hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi kata kias atau ekspresi metaforis, selanjutnya adalah ekspresi metaforis tersebut didekonstruksi menjadi proposisi (cara menangkap struktur konseptual suatu teks). Tahap ketiga adalah membuat struktur perbandingan antara unsur-unsur dari ranah target dan ranah sumber. Unsur-unsur dalam ranah target dan sumber yang masih belum diketahui dalam tahap tiga, dapat diketahui di langkah empat dengan membuat struktur analogi ranah. Tahap terakhir adalah pemetaan metaforis dan korespondensi antara unsur-unsur dari ranah target dan unsur-unsur dari ranah sumber.
27
1.8.3
Metode Penyajian Hasil Analisis Data Tahap setelah analisis data adalah tahap penyajian hasil analisis data. Hasil
analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan metode formal dan informal. Sudaryanto (1993:145), menjelaskan metode penyajian formal adalah penyajian dengan tanda dan lambang-lambang, sedangkan penyajian informal adalah penyajian dengan menggunakan kata-kata biasa sehingga dapat langsung dipahami oleh pembaca. Wujud penyajian secara informal dalam penelitian ini adalah deskripsi hasil analsis data yang disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah disusun. Untuk penyajian secara formal, wujudnya berupa penggunaan tabel. 1.9 Sistematika Penulisan Laporan hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab I berisi uraian tentang latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi uraian tentang deskripsi bentuk lingual metafora dalam wacana politik dilanjutkan dengan Bab III yang berisi penjelasan konsep dan makna metafora yang terbentuk dari wacana politik di media massa di media massa cetak berbahasa Indonesia. Selanjutnya Bab IV yang berisi deskripsi fungsi metafora dalam wacana politik di media massa cetak. Terakhir, Bab V berisi kesimpulan dan saran penelitian.