BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Prevalensi individu dengan skizofrenia yang meninggal karena bunuh diri adalah sebesar 5%-6%. Perilaku bunuh diri kadang-kadang merupakan respon terhadap perintah halusinasi untuk melukai diri atau orang lain. Risiko bunuh diri tetap tinggi sepanjang umur untuk laki-laki dan wanita, meskipun khususnya tinggi untuk laki-laki muda dengan disertai penyalahgunaan zat. Faktor risiko lain yang dimiliki oleh individu dengan skizofrenia adalah adanya simtom depresi atau perasaan putus asa dan karena menjadi pengangguran. Risiko juga menjadi lebih tinggi dalam periode setelah episode psikotik atau keluar dari rumah sakit (DSM V, 2013). Saha (dalam James, Mineka & Hooley, 2013) menyatakan bahwa risiko berkembangnya skizofrenia pada kehidupan seseorang adalah sedikit di bawah 1 % – tepatnya sekitar 0.7 %. Ini berarti bahwa 1 dari setiap 140 orang yang berusia sekurangkurangnya 55 tahun akan mengembangkan gangguan skizofrenia. Beberapa orang yang memiliki orang tua dengan skizofrenia memiliki risiko yang tinggi secara statistik untuk mengembangkan gangguan skizofrenia daripada orang lain yang berasal dari keluarga yang tidak pernah menderita penyakit skizofrenia. Pada Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia sebesar 1,7 ‰. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Jumlah seluruh RT (Rumah Tangga) yang dianalisis adalah 294.959 terdiri dari 1.027.763 ART (Anggota Rumah Tangga) yang berasal dari semua umur. RT yang menjawab memiliki ART dengan gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1.655 RT, terdiri dari 1.588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT
1
2
memiliki 2 orang ART, 4 RT memiliki 3 ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Sehingga jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 sebanyak 1.728. Prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7‰), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). Ascobat Gani, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Indonesia, menyebutkan bahwa jumlah pasien Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) rawat inap terbanyak di rumah sakit (RS) Kelas A pada 2010 lalu adalah Hebephrenic Schizophrenia (1.924 orang), Paranoid Schizophrenia (1.612 orang), Undifferentiated Schizophrenia (443 orang), Schizophrenia Unspecified (400 orang) dan Other Schizophrenia (399 orang). Jumlah itu belum termasuk pasien rawat jalan (http://www.merdeka.com/peristiwa/di-indonesia-ada-18-ribu-pasien-gangguan-jiwaberat-dipasung.html). Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik yang dikarakteristikkan oleh gangguan dalam berpikir (kognisi), respon emosi, dan perilaku (APA, 2007). Orang Dengan Skizofrenia (selanjutnya disingkat ODS) membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat pulih dari gangguan yang dialaminya. Disamping peran tenaga medis, keluarga juga memegang peran yang penting untuk mendukung kesembuhan ODS. Keluarga yang menjadi family caregiver ODS memberikan bantuan bagi ODS untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam kehidupan-sehari-hari. Tanpa kehadiran keluarga, ODS akan menemui hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga dalam menjalankan fungsinya di tengah masyarakat. Idalani, Yunita, dan Indrawati (2013) mengungkapkan bahwa gangguan jiwa berat menimbulkan beban bagi pemerintah, keluarga serta masyarakat oleh karena produktivitas pasien menurun dan akhirnya menimbulkan beban biaya yang besar bagi pasien dan keluarga.
3
Kate, Grover, Kulhara, & Nehra
(2013) mengungkapkan bahwa skizofrenia
merupakan penyakit mental berat, yang memberikan beban yang amat berat pada caregiver. Kate dkk. menjelaskan bahwa keluarga yang berperan sebagai caregiver mengalami banyak stresfisik, emosi dan keuangan karena perilaku abnormal pasien, serta disfungsi sosial dan pekerjaan. Kate dkk. juga menyatakan bahwa beban pengasuhan yang berasal dari pasien skizorenia lebih memberatkan daripada pasien dengan gangguan depresi yang berulang (Chakrabarti dkk., 1995), gangguan bipolar (Chakrabarti dkk., 1995; Chakrabarti dan Gill, 2002), gangguan obsesif kompulsif (Thomas dkk., 2004) dan gangguan neurotik lain (Chakrabarti dan Kulhara, 1999). Rudnick (dalam Zauszniewski, Bekhet, & Suresky, 2009) mengungkapkan bahwa beban pengasuhan untuk individu dengan penyakit mental berat melebihi beban pengasuhan untuk individu lain dengan disabilitas, seperti retardasi mental. Dilehay dan Sandys (dalam Caqueo-Urizar dkk., 2011) mendefinisikan beban caregiver sebagai keadaan psikologis yang muncul yang merupakan kombinasi dari kerja fisik, emosi, tekanan sosial, dan pembatasan finansial yang merupakan konsekuensi dari mengasuh pasien. Schene dkk., (dalam Kate, Grover, Kulhara, & Nehra, 2013) menemukan persamaan antara penelitian terkini di India dan penelitian sebelumnya di negara barat, yaitu anggota keluarga yang hidup dengan pasien atau menghabiskan banyak waktu dengan saudara mereka yang sakit akan merasakan beban yang lebih. Penelitian menemukan bahwa level beban caregiver biasanya dihubungkan dengan level disfungsi atau disabilitas, beratnya simtom dan durasi dari penyakit (Raj dkk., 1992; Chakrabarti dkk., 1995; Kataria dkk., 2002; Rammohan dkk., 2002a; Saldanha dkk., 2002; Creado dkk., 2006; Thomas dkk., 2004; Kalra dkk., 2009; dalam Kate dkk., 2013).
4
Chan (2011) menjelaskan bahwa istilah beban caregiver digunakan untuk mendeskripsikan konsekuensi berat dari gangguan mental bagi family caregiver. Pengertian dari beban perawatan telah meluas meliputi fisik, psikis, sosial, dan masalah keuangan yang dialami oleh keluarga yang merawat saudara dengan penyakit kronis atau mental (World Federation of Mental Health, dalam Chan 2011). Beberapa penelitian menemukan penyebab yang berkontribusi terhadap munculnya beban yang dialami caregiver antara lain simtom positif (Raj dkk., 1991 dalam Kate dkk., 2013) dan simtom negatif yang dialami ODS (Raj dkk., 1991; Chakrabarti dkk., 1995 dalam Kate dkk., 2013). Di dalam penelitian terhadap populasi family caregiver ODS di India Utara, Kate dkk. (2013) mengungkapkan bahwa frekuensi dari kunjungan rumah sakit juga meningkatkan beban caregiver karena jarak rata-rata rumah pasien dari rumah sakit yang cukup jauh (rata-rata 120.5 km). Close
family
caregivers
(caregiver
yang
merupakan
keluarga
dekat
pasien)mengalami lebih sedikit perasaan sejahtera yang pada gilirannya mempengaruhi kesejahteraan dari orang yang menderita penyakit mental (Jungbauer & Angermeyer, 2002; Rudnick, 2004; dalam Zauszniewski dkk., 2009). Kurangnya perasaan sejahtera tersebut dapat dikarenakan adanya sejumlah beban yang dirasakan family caregiver dalam mengasuh ODS. Kurangnya perasaan sejahtera family caregiver dapat berdampak pada pelayanan yang tidak maksimal pada ODS. Family caregiver kurang dapat memberikan dukungan pada ODS baik dalam segi fisik maupun psikis. Dengan demikian, gangguan yang dialami ODS tidak kunjung pulih dan bahkan dapat semakin berat. Family caregiver ODS dapat menghadapi beban pengasuhan yang berat dengan mengembangkan kemampuan resiliensi. Wagnild dan Young (dalam Aflahani, 2008) menjelaskan bahwa individu yang resilien tidak berarti bahwa individu akan
5
‘memantul’ dan kembali pada posisi sebelum peristiwa sulit terjadi, tetapi ini berarti bahwa kondisi seimbang akan dibangun kembali. Individu yang resilien akan mengalami kesulitan dan stresor yang sama seperti orang lain, mereka tidak mempunyai imunitas atau tahan terhadap stres, tetapi mereka belajar bagaimana berdamai dengan kesulitan yang tidak dapat dihindari dalam hidup dan kemampuan ini menjadi bagian dari mereka. Family caregiver yang memiliki kemampuan resiliensi akan dapat menjalankan fungsi pengasuhan terhadap ODS dengan lebih baik. Family caregiver dapat lebih kuat dalam menghadapi beban-beban pengasuhan yang bersumber dari ODS. Family caregiver juga mampu untuk memberikan dukungan fisik dan psikis dengan lebih maksimal untuk membantu kesembuhan ODS. Pengalaman yang dahsyat ini nyatanya membuat kami lebih welas asih. Ada empati luar biasa besarnya yang tumbuh dalam hati kita, ketika kita pernah melalui penderitaan. Kami juga lebih menghargai betapa berharganya cinta yang diberikan oleh orang-orang di sekitar kami. Itu yang membulatkan tekad kami untuk tidak menyerah dengan kondisi Mas Bayu (Utomo, 2010). Alhamdulillah sekarang aku menjadi PNS di suatu instansi, aku berjanji akan merawat suamiku seumur hidup dengan segala kekurangannya, dan mulai belajar menjadi seorang ibu dan istri yang baik, meski aku tahu, ini tidak mudah.Karena bagaimanapun, aku ini manusia biasa, yang punya keterbatasan. Tapi, Insya Allah aku bisa (Ervi, 2010). Kadang, aku memang sedih dan merasa tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi, lagi-lagi, aku bertekad untuk tetap kuat. Karena, siapa lagi yang akan merawat Ibu, kalau bukan aku. Aku tidak rela menyerahkan Ibu ke rumah sakit jiwa (Trisila, 2010). Family caregiver yang kurang mengembangkan kemampuan resiliensi tidak dapat memberikan pendampingan bagi ODS dengan maksimal. Padahal, ODS tidak dapat lepas dari dukungan keluarga. Family caregiver yang kurang mengembangkan kemampuan resiliensi cenderung mengabaikan kebutuhan ODS dan
bahkan
menelantarkan ODS. Peneliti memperoleh informasi dari Sulastri, seorang pengurus Panti Rehabilitasi Siloam Yogyakarta, bahwa beberapa family caregiver tidak pernah
6
kembali atau mencari tahu perkembangan ODS yang mereka titipkan pada pihak panti. Pihak panti telah mencoba menghubungi family caregiver tersebut namun tidak memperoleh tanggapan dan bahkan tidak diketahui letak keberadaan mereka saat ini. Pihak panti kemudian mengambil alih tanggung jawab yang penuh dalam mendampingi ODS. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah family caregiver yang kurang mampu bertahan untuk menjalankan peran tanggung jawabnya dalam mendampingi ODS. Pencapaian resiliensi merupakan hal yang tidak mudah karena adanya sejumlah beban berat yang perlu dihadapi. Peneliti ingin mengetahui proses pencapaian resiliensi pada family caregiver ODS. Peneliti ingin mengetahui perjalanan hidup family caregiver dalam menghadapi beban pengasuhan pada ODS hingga family caregiver dapat mengembangkan kemampuan resiliensi.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana dinamika psikologis resiliensi family caregiver ODS?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dinamika psikologis resiliensi family caregiver ODS. Dengan memahami dinamika psikologis resiliensi family caregiver ODS, pemerhati kesehatan jiwa dapat mengetahui langkah-langkah untuk meningkatkan resiliensi family caregiver ODS. Family caregiver ODS dengan kemampuan resiliensi yang baik akan dapat menjalankan tugasnya secara maksimal dalam mendampingi ODS.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian penelitian selanjutnya mengenai psikologi positif yang berkaitan dengan resiliensi family caregiver ODS. 2. Manfaat praktis Penelitian ini dapat menjadi sarana peningkatan pengetahuan bagi pemerhati family caregiver ODS dalam upaya peningkatan resiliensi family caregiver.
E. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang penulis temui berkaitan dengan family caregiver ODS , yaitu: Ochoa, Vilaplana, dan Haro (2008) meneliti mengenai apakah kebutuhan, simtom atau
disabilitas
pada
pasien
skizofrenia
rawat
jalan
mempengaruhi
beban
keluarga;Zahid & Ohaeri (2010) meneliti hubungan antara beban family caregiver dengan kualitas perawatan dan psikopatologi pada sampel subjek Arab yang menderita skizofrenia.; Caqueo-Urizar,
Gutiérrez-Maldonado, Ferrer-Garcia, Peñaloza-Salazar,
Richards-Araya, dan Cuadra-Peralta (2011) meneliti sikap dan beban keluarga pasien skizofrenia di negara yang berpenghasilan menengah; Carra, Cazzullo, dan Clerici (2012) meneliti tentang hubungan antara ekspresi emosi, keparahan penyakit, dan beban perawatan subjektif pada keluarga pasien yang menderita skizofrenia pada populasi Italia; Sharif, Shaygan , & Mani (2012) meneliti tentang efek intervensi psikoedukasi untuk anggota keluarga berkenaan dengan beban caregiver dan simtom psikiatris pada pasien dengan skizofrenia di Shiraz, Iran;Kate, Grover, Kulhara, & Nehra (2013) meneliti hubungan antara beban caregiver dengan strategi, dukungan sosial, morbiditas psikologis, dan kualitas hidup pada caregiver penderita skizofrenia.
8
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo, N. H. (2014) dengan judul Program Intervensi Narima Ing Pandum : Upaya Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Family Caregiver Orang Dengan Skizofrenia. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen single case A-B-A design untuk melihat pengaruh program intervensi Narima Ing Pandum (NIP) dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis family caregiver ODS. Subjek dalam penelitian ini adalah dua orang family caregiver ODS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program intervensi NIP dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis family caregiver ODS selama intervensi dilaksanakan. Penelitian yang dilakukan oleh Utami, W. N (2011) dengan judul Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Skizofrenia dan Strategi Koping dengan Beban Psikologis Pada Family Caregiver ODS. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik analisis regresi berganda untuk melihat hubungan antara pengetahuan tentang skizofrenia dan strategi koping dengan beban psikologis pada family caregiver ODS. Subjek dalam penelitian ini adalah 71 family caregiver berusia di atas 17 tahun yang membawa ODS berobat pada Puskesmas Kalasan, Puskesmas Kraton Yogyakarta, RS Khusus Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda, dan family caregiver ODS yang bergabung dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang skizofrenia dan koping family caregiver ODS terhadap beban psikologis family caregiver ODS. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengetahuan tentang skizofrenia dan strategi koping maka semakin rendah beban psikologis family caregiver ODS. Begitupun sebaliknya, semakin rendah pengetahuan tentang skizofrenia dan strategi koping maka semakin tinggi beban psikologis family caregiver ODS. Penelitian yang dilakukan
penulis memiliki perbedaan dengan penelitian-
penelitian terdahulu yang telah disebutkan di atas. Sebagian besar dari penelitian
9
terdahulu menggunakan metode kuantitatif untuk mengetahui korelasi dari berbagai variabel. Di samping itu, terdapat pula beberapa penelitian terdahulu yang berusaha menerapkan program intervensi psikoedukasi dan peningkatan kesejahteraan psikologis bagi family caregiver ODS. Penelitian yang penulis lakukan saat ini berfokus pada dinamika psikologis resiliensi family caregiver ODS. Penelitian ini dapat memberikan informasi yang lebih mendalam mengenai pengalaman hidup family caregiver ODS untuk mencapai keadaan yang resilien.