BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia dengan prospek perekonomian yang dinilai akan terus tumbuh ke depannya. Selayaknya negara-negara berkembang lain, permasalahan perekonomian makro yang masih menjadi permasalahan serius di Indonesia adalah mengenai kemampuan pemerintah dalam mengendalikan inflasi. Semenjak kejadian krisis keuangan yang melanda Asia dan pada tahun 1997, tingkat inflasi Indonesia cenderung fluktuatif. Hingga krisis keuangan tahun 2008 pun, pengelolaan inflasi belum memperlihatkan dampak yang signifikan. Secara sederhana, inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya (Bank Indonesia). Secara lebih umum, Ainun Na’im (2001) menjelaskan bahwa inflasi merupakan kecenderungan harga-harga barang dan jasa termasuk faktorfaktor produksi, diukur dengan satuan mata uang, yang semakin meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga pada saat inflasi merupakan keadaan umum yang terjadi pada perekonomian, bukan karena kenaikan harga atas faktor teknologi, sifat-sifat barang, pengaruh musim, ataupun harga-harga yang ditentukan oleh pemerintah. Tren inflasi di Indonesia, jika dilihat dari masa pra krisis 1999 hingga tahun 2014 menunjukan pergerakan yang fluktuatif. Data dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa dalam era tersebut, tingkat inflasi Indonesia pernah mencapai poin 17,11% pada 2005 hingga yang terendah 2,78% pada 2009. Dalam periode tersebut, rata-rata inflasi 1
Indonesia masih mencapai 7,6%,. Tingkat inflasi Indonesia ini dapat dikatakan lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain sekawasan dalam ASEAN-5 (Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) yang memiliki tingkat inflasi pada kisaran 3% - 4% per tahunnya.
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015) Bagan 1. Tingkat Inflasi Indonesia Tahun 1996-2004
Pergerakan tingkat inflasi yang cenderung fluktuatif di Indonesia memiliki imbas tersendiri terhadap penyajian laporan keuangan. Laporan keuangan perusahaan merupakan sumber informasi yang fundamental bagi pengguna laporan keuangan (stakeholder) perusahaan dalam menilai kinerja keuangan perusahaan secara keseluruhan. Informasi yang berkualitas dalam laporan keuangan tersebut dapat dinilai dari tingkat keterandalan (reliability) dan keterpautan (relevance). Namun, kondisi inflasi Indonesia yang tidak stabil dengan pergerakan yang sangat dinamis menyebabkan dua kualitas fundamental dari informasi laporan keuangan di Indonesia menjadi sulit untuk dicapai.
2
Prinsip pencatatan akuntansi di Indonesia masih menganut sistem akuntansi konvesional dengan penyajian yang berdasarkan pada nilai historis (historical cost). Dengan demikian, penyajian laporan keuangan didasarkan pada prinsip harga (cost) perolehan dan menganggap bahwa harga-harga adalah tetap (Na'im, 2001). Prinsip nilai historis tersebut didasarkan pada asumsi akuntansi bahwa harga-harga atau daya beli uang adalah stabil sepanjang masa (asumsi unit moneter). Konchitchki (2011) menggambarkan kondisi tersebut pada keadaan di saat perusahaan melakukan pembelian suatu bidang tanah pada tahun yang berbeda jauh dengan nilai yang sama, misalkan Rp1 Miliar. Dengan menggunakan prinsip nilai historis, perusahaan akan mengakui kedua pembelian tersebut sebagai penambahan nilai aset tetap sebesar Rp2 Miliar dalam laporan keuangannya, dengan mengabaikan perubahan harga akibat inflasi di kedua periode tersebut. Apabila kondisi yang sama terjadi di negara dengan tingkat inflasi cenderung fluktuatif seperti Indonesia, maka pencatatan berdasarkan pada asumsi unit moneter tersebut dapat menghilangkan informasi mengenai keterbandingan (comparability) yang merupakan karakteristik kualitatif dari informasi akuntansi. Menurut Suwardjono (2006) keterbandingan adalah kemampuan informasi untuk membantu para pemakai mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara dua perangkat fenomena ekonomik (misalnya dua perangkat statemen keuangan yang merepresentasi kegiatan dua badan usaha). Kebermanfaatan informasi tentang suatu objek akan meningkat jika informasi tersebut dibandingkan dengan suatu patok duga (benchmark). Keberadaan inflasi yang cenderung tidak stabil di Indonesia pada akhirnya mengurangi nilai kualitas keterbandingan. Inflasi sesungguhnya memberikan pengaruh terhadap keuangan perusahaan dalam segala
level,
baik
di
saat
tinggi
ataupun
rendah.
Riordan
&
Riordan
3
(2009) menyatakan bahwa nilai inflasi yang kecil dapat terakumulasi setiap waktu dan berpotensi untuk mengubah posisi keuangan perusahaan serta hasil dari kegiatan operasional yang dilaporkan. Saat laporan keuangan tidak disesuaikan terhadap inflasi, posisi keuangan serta hasil kegiatan operasional yang dilaporkan tidak dapat menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Aset berdasarkan kos historis serta biaya yang disajikan akan bernilai terlalu rendah. Choi & Meek (2011) menyebutkan bahwa laporan keuangan yang menyimpang dari kondisi sesungguhnya dapat menyebabkan peningkatan nilai pajak yang dibayarkan; munculnya tekanan dari pemegang saham akan kenaikan dividen dan upah oleh pekerja; serta kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan oleh pemerintah setempat. Summers (1981) menyatakan bahwa hubungan antara inflasi dengan informasi keuangan yang dilaporkan dalam laporan keuangan, terutama dalam nilai laba, ditentukan oleh tiga faktor, yaitu depresiasi nilai historis, metode sediaan FIFO, dan firm leverage. Ketiganya menjadi alasan munculnya perbedaan dampak yang ditimbulkan inflasi terhadap informasi keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Keberadaan inflasi juga dapat mempengaruhi arus kas masa depan dari suatu perusahaan. Berdasarkan dengan Prinsip Akuntansi Indonesia konvesional yang menggunakan basis biaya/nilai historis, pengaruh atas perubahan akan daya beli tidak dipertimbangkan dalam penyajian laporan keuangan. Hal ini menyebabkan munculnya laba rugi inflasi (inflation gains or losses) yang disebabkan karena perbedaan dari nilai laporan keuangan yang diakui melalui satuan nominal dengan nilai laporan keuangan yang telah disesuaikan terhadap inflasi tahun berjalan (Konchitchki, 2011). Laba rugi inflasi tersebut didapatkan dari selisih antara nilai pos-pos dalam satuan nominal, yang disajikan dalam laporan keuangan, dengan nilai pos-pos yang telah disesuaikan terhadap inflasi.
4
Untuk dapat mengubah informasi dalam satuan nominal ke satuan unit konsumsi (disesuaikan terhadap inflasi), maka perlu dilakukan klasifikasi terlebih dahulu pos dalam laporan keuangan menjadi pos moneter dan nonmoneter. Menurut Na’im (2001), pos-pos nonmoneter merupakan pos-pos yang terpengaruh oleh perubahan nilai mata uang. Hal ini disebabkan karena pos nonmoneter tersajikan dalam nilai historis atau dalam bentuk hal (kewajiban) untuk menerima (memberikan) jasa disaat daya beli tidak konstan. Pos-pos moneter merupakan pos-pos yang tidak terpengaruh oleh perubahan nilai uang karena besarannya ditentukan oleh kontrak. Besaran dari laba rugi inflasi tergantung kepada level dan perubahan inflasi serta struktur pos moneter dan pos nonmoneter dari tiap perusahaan. Keberadaan laba rugi inflasi dapat mempengaruhi jumlah arus kas masa depan dalam beberapa cara, tergantung pada bagaimana aktivitas perusahaan. Secara umum, apabila laporan keuangan nominal tidak dapat merealisasikan efek dari inflasi pada saat terjadinya, maka efek inflasi tersebut akan terealisasi pada periode yang akan datang. Realisasi tersebut diprediksikan akan lebih dari satu tahun, tergantung dari siklus dari masing-masing aset. Oleh karena itu, selain dapat memprediksi arus kas masa depan, efek inflasi dapat menjadi salah satu cara untuk memprediksi kinerja perusahaan di masa yang akan datang (Konchitchki, 2011). Model atas prediksi terhadap arus kas masa depan juga pernah diteliti sebelumnya oleh Barth et al. (2001). Model tersebut memberikan prediksi arus kas masa depan yang diturunkan dari nilai akrual piutang, utang dagang, dan sediaan. Melalui model ini, eror yang terjadi karena variasi antar perusahaan secara spesifik dalam memprediksi nilai arus kas masa depan menggunakan komponen akrual (termasuk laba) secara signifikan jauh lebih kecil daripada eror penggunaan arus kas masa depan untuk prediksi yang sama.
5
Dalam pemahamannya di lapangan, nilai yang disesuaikan terhadap inflasi masih kerap disalahartikan dengan penerapan konsep nilai wajar. Konchitchki (2011) menjelaskan bahwa kedua hal tersebut tidak dapat disamakan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa nilai yang disesuaikan terhadap tingkat inflasi dipengaruhi oleh kebijakan manajemen dan sukjektivitas karena penggunaan prosedur penyesuaian yang dilakukan secara objektif. Atas kondisi dan permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengetahui pengaruh tingkat inflasi di Indonesia atas perubahan nilai informasi keuangan yang disajikan perusahaan dalam laporan keuangan. Selanjutnya, perbedaan nilai yang muncul akan dijadikan sebagai salah satu dasar untuk memprediksi nilai arus kas masa depan yang dapat terjadi oleh perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, khususnya pada sektor manufaktur. Atas permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Dampak Inflasi terhadap Arus Kas Masa Depan (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2000-2009). Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana pengaruh inflasi di Indonesia dalam memprediksi arus kas di masa mendatang.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat diketahui bahwa Indonesia memiliki catatan atas pergerakan inflasi yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian terdahulu oleh Konchitchki (2011). Penelitian terdahulu yang dilakukan di Amerika Serikat mengambil objek penelitian dengan tingkat inflasi rata-rata 3%, sedangkan di Indonesia rata-rata inflasi per tahun menunjukkan tingkat inflasi yang mencapai 7%. Dengan penerapan prinsip pencatatan akuntansi di Indonesia yang masih 6
berdasarkan pada nilai historis (historical cost), maka diasumsikan bahwa daya beli uang stabil sepanjang masa. Penerapan prinsip akuntansi yang ada pada akhirnya tidak dapat mengimbangi kondisi aktual inflasi di Indonesia. Atas dua kondisi tersebut, maka rumusan masalah pertama yang diangkat dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana pengaruh inflasi di Indonesia terhadap nilai nominal laporan keuangan perusahaan di Bursa Efek Indonesia?” Konchitchki (2011) menyatakan bahwa dampak inflasi dapat mempengaruhi arus kas masa depan perusahaan secara signifikan positif. Pengaruh terhadap arus kas masa depan memiliki korelasi positif dengan tingkat inflasi yang terjadi. Tingkat inflasi Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan penelitian terdahulu ini kemudian memunculkan rumusan masalah kedua: “Bagaimana informasi inflasi mempengaruhi arus kas masa depan dari perusahaan di Bursa Efek Indonesia?”
7
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1. Mengidentifikasi pengaruh inflasi terhadap nilai nominal dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan, spesifik di sektor manufaktur, pada Bursa Efek Indonesia. 2. Mengidentifikasi aspek prediktif dari informasi inflasi dalam memperkirakan arus kas masa depan perusahaan, spesifik di sektor manufaktur, pada Bursa Efek Indonesia.
1.4. Batasan Penelitian Penelitian ini mengambil batas pengamatan pada periode 2000-2009, dengan mengasumsikan bahwa dampak krisis keuangan asia tahun 1997 telah dapat teredam dan teratasi pada tahun 1999. Sampel penelitian dilakukan terhadap seluruh perusahaan yang berada di sektor manufaktur (industri barang konsumsi, industri dasar dan kimia, dan industri lainnya). Penyesuaian data keuangan nominal dari laporan keuangan ke data keuangan yang disesuaikan dengan inflasi menggunakan model Algoritma Penyesuaian Inflasi yang dikembangkan oleh Konchitchki (2011). Selanjutnya, pengukuran arus kas masa depan menggunakan model yang diciptakan oleh Barth et al. (2001) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Konchitchki (2011) dengan penambahan variabel inflasi.
1.5. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Berisi tentang latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.
8
BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisikan teori-teori yang diperoleh melalui studi pustaka berbagai sumber literatur berkaitan permasalahan akuntansi inflasi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan topik tersebut. Teori-teori yang dipaparkan akan menjadi landasan dalam menarik hipotesis serta membentuk kerangka penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Berisikan jenis data yang diperlukan, objek penelitian, variabel yang digunakan, metode pengumpulan data, alat analisis yang dipilih, metode analisis, serta metode pengujian data. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisikan pemaparan atas hasil penelitian yang didapat, baik dalam bentuk perhitungan maupun hasil yang diperoleh. Deskripsi objektif atas hasil penelitian juga menjadi salah satu dari poin yang akan dibahas dalam bab ini. BAB V PENUTUP Berisi kesimpulan mengenai objek yang diteliti berdasarkan hasil analisis data dan pemberian saran bagi pihak-pihak terkait.
9