BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Batas usia merupakan salah satu syarat penting dalam melakukan suatu perbuatan hukum. KUHPerdata Pasal 1320 menyebutkan bahwa syarat sahnya perjanjian adalah sepakat karena mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Berkaitan dengan batas usia, dalam syarat sahnya perjanjian yang notabene merupakan syarat sahnya melakukan suatu perbuatan hukum adalah kecakapan. Cakap menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sanggup melakukan sesuatu1, sedangkan cakap hukum adalah cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun) dan berakal sehat.2 Orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Dengan demikian seseorang yang dengan niatan untuk sah dalam melakukan tindakan yang berakibat hukum yang sempurna adalah orang yang cakap hukum. Agar orang setiap kali akan melakukan suatu perjanjian tidak perlu menyelidiki terlebih dahulu apakah lawan janjinya tersebut cakap bertindak atau tidak, maka oleh undang-undang ditetapkan 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://kbbi.web.id/cakap Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, 2007, Hukum Dalam Ekonomi, Ctk. Kedua, Grasindo, Jakarta, hlm.8 2
1
2
sekelompok orang-orang, yang dimasukkan dalam kelompok mereka yang cakap, yaitu orang sudah dewasa dan sebaliknya sekelompok orang yang tidak cakap bertindak, yaitu mereka yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan.3 Ketentuan mengenai batas usia kedewasaan seseorang berbedabeda di setiap lingkup pengaturannya yang disesuaikan dengan kepentingan dalam bidang-bidang tersebut. KUHPerdata sebagai Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan cikal bakal pengaturan mengenai hukum keperdataan di Indonesia menyebutkan, usia dewasa adalah 21 tahun diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata. Pasal ini menyebutkan bahwa, “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tak lebih dahulu telah kawin.” Namun apabila dikaji lebih jauh lagi batasan usia dewasa 21 tahun tersebut yang berasal dari Pasal 330 KUHPerdata, sebenarnya Pasal tersebut tidak mengatur batas usia dewasa, tapi mengatur kebelum dewasaan, disebutkan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Disusul dengan lahirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menimbulkan suasana baru dalam Hukum Keluarga di Indonesia, karena Undang-undang tersebut tidak hanya mengatur tentang bidang perkawinan saja, tetapi juga termasuk mengatur tentang Hukum Keluarga seperti status anak, kedewasaan serta tanggung jawab orang tua 3
J. Satrio, 1999, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, , hlm. 55
3
terhadap anak dan anak terhadap orang tua, dan tentang perwalian anak. Meskipun dalam pelaksanannya Undang-undang ini masih memerlukan sebuah peraturan pelaksana untuk mengaturnya, tetapi Undang-undang ini sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar-dasar Hukum Keluarga Nasional. Undang-undang Perkawinan ini menyebutkan dalam Pasal 47 bahwa, “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Pasal ini mengartikan bahwa apabila seorang anak yang belum mencapai setidaknya umur 18 (delapan belas) tahun maka, seorang tersebut masih dianggap sebagai anak dibawah umur atau belum dewasa yang masih dibawah kekuasaan orang tua atau memerlukan perwalian. Terlepas dari KUHPerdata dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang batasan usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, terdapat beberapa Undangundang lainnya yang turut mengatur mengenai batasan usia dewasa, yaitu Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 2 tahun 2014, Pasal 39 (1) huruf a, menyebutkan bahwa “ penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut, paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah”. UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) dalam SK Mendagri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) Nomor Dpt. 7/539/7-77, menyebutkan mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:
4
1. Dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu; 2. Dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru; 3. Dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum (tertentu) yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum. Berbeda dengan peraturan dalam Hukum Islam mengenai kedewasaan. Hukum Islam mengenal, usia dewasa dengan istilah baligh. Prinsipnya, seorang laki-laki yang telah baligh jika sudah pernah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Berbeda dengan seorang perempuan disebut baligh jika sudah pernah menstruasi. Nyatanya, cukup sulit memastikan pada usia berapa seorang lelaki bermimpi basah atau seorang perempuan mengalami menstruasi. Dalam rangka mengatasi hal tersebut, menurut pendapat A. Djazuli, Koordinator Tim Penyusun Draft Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), memandang bahwa harus adanya pemberian batasan usia untuk kepastian hukum, sebab hal ini berkaitan kecakapan hukum.4 Dilihat dari contoh peraturan mengenai batasan usia dewasa seseorang diatas, dapat diketahui adanya perbedaan mengenai batasan umur usia dewasa. Perbedaan tersebut mengacu pada setiap kepentingan
4
A. Djazuli, www.hukumonline.com, diakses tanggal 20 Januari 2015.
5
individu atau kelompok yang berbeda-beda. Namun perbedaan ketentuan batasan kedewasaan seseorang tersebut berdampak pada perbuatan hukum itu tersendiri. Secara hukum, mengenai batasan kedewasaan seseorang mengakibatkan tidak adanya keseragaman dalam penentuan batasan umur kedewasaan dan menyebabkan adanya benturan dalam penyelesian masalah hukum. Masalah hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam hal benturan kepentingan dalam pembuatan akta Notaris dan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Mengenai batasan umur kedewasaan di bidang Notaris jelas diatur dalam Pasal 39 (1) huruf a UUJN yaitu usia 18 tahun atau telah menikah, sedangkan dalam bidang PPAT sejauh ini belum menentukan dan menetapkan batasan umur kedewasaan seseorang dalam hal membuat akta PPAT. Hal ini menyebabkan dimungkinkannya terjadinya benturan parameter usia dewasa khususnya dalam pembuatan Akta Pertanahan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan kapasitas pejabat tersebut sebagai Notaris dan PPAT. Namun pada tanggal 26 Januari 2015 Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN telah mengeluarkan Surat Edaran nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan. Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN ini ditetapkan bahwa batas usia dewasa untuk dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin. Telah diterbitkannya surat edaran tersebut
6
maka benturan kepentingan dalam hal pembuatan akta notaris dan PPAT tersebut diharapkan sudah tidak terjadi lagi. Permasalahan yang dirasa akan timbul dengan diterbitkannya surat edaran BPN ini adalah, bagaimana bentuk akibat yang timbul bagi kepentingan-kepentingan yang merupakan pelaksana dari peraturan dalam surat edaran BPN tersebut dalam hal pembuatan akta PPAT terutama bagi PPAT yang belum menerapkan peraturan sesuai dalam SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 tersebut. Perihal baru diterbitkannya Surat Edaran oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN tersebut yakni SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015, maka dirasa akan terlihat berbagai macam permasalahan yang akan ditemukan dalam proses penerapannya di Indonesia khususnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Permasalahan tersebut tertuju pada SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN yang merupakan peraturan terbaru yang diterbitkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN tentang batas usia dewasa dalam rangka pelayanan pertanahan. Dengan adanya permasalahan tersebut diatas, maka penulis menganggap hal ini menarik untuk diteliti.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
7
1. Bagaimanakah pelaksanaan SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa
Dalam
Rangka
Pelayanan
Pertanahan
dalam
pembuatan akta-akta PPAT oleh PPAT di Kabupaten Sleman? 2. Bagaimana akibat hukum pada PPAT di Kabupaten Sleman yang belum menerapkan peraturan SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan?
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan penulis, terdapat 2 (dua) penelitian yang berkaitan dengan PENGARUH BERLAKUNYA RUANG/KEPALA
SE BPN
MENTERI NOMOR
AGRARIA 4/SE/I/2015
DAN
TATA
TERHADAP
PELAKSANAAN PENGALIHAN HAK-HAK ATAS TANAH PADA PROFESI PPAT DI KABUPATEN SLEMAN yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, yaitu: 1. ENYDA, 2010, Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Mitra Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam Pendaftaran Tanah, Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Rumusan Masalah:
8
a. Bagaimana peranan PPAT sebagai mitra BPN dalam melaksanakan pendaftaran tanah? b. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh PPAT sebagai mitra BPN untuk pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kota Padang? c. Apakah usaha-usaha yang dilakukan oleh PPAT dalam mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah di Kota Padang? Hasil Penelitian: Secara yuridis peranan PPAT sebagai mitra BPN tidak diatur, PPAT hanya berperan apabila diminta oleh pihak Kantor Pertanahan adapun mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh PPAT sebagai mitra BPN adalah adanya ketidak setujuan diantara anggota apabila tanah peralihan tersebut merupakan tanah adat, tidak adanya kesepakatan mengenai jumlah uang jasa PPAT antara pemilik tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah, pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah belum melaksanakan kewajibannya dalam hal pembayaran pajak, belum seragamnya persepsi tentang peraturan peralihan hak atas tanah oelh beberapa lembaga, seperti Kantor Pertanahan, PPAT, dan Kantor Pelayanan Pajak. Usaha-usaha yang dilakukan oleh PPAT dalam mengatasi kendala-kendala tersebut adalah menyerahkan cara penyelesaian kepada seluruh pihak.
9
2. Muhammad Ferial, 2009, Pelaksanaan PengawasanTerhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional di Kota Makassar, Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Rumusan Masalah: a. Apakah pengawasan PPAT oleh BPN di Kota Makassar telah terlaksana sesuai dengan peraturan yang berlaku? b. Faktor-faktor apakah yang menjadi kendala bagi BPN dalam melaksanakan pengawasan terhadap PPAT di Kota Makassar? Hasil Penelitian: Pengawasan yang dalam hal ini berbentuk pemeriksaan, dilakukan oleh BPN dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Kota Makassar terhadap PPAT tidak dilakukan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku karena, tidak dilakukan secara periodik dan menyeluruh, sementara telah diatur dalam melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan di kantor PPAT harus dilakukan BPN secara menyeluruh dan periodik. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor penghambat yaitu minimnya dana yang disediakan oleh BPN di Kota Makassar sebagai biaya operasional dalam pelaksanaan pengawasan, sumber daya manusia yang membidangi ke-PPAT-an dalam Kantor Pertanahan dan BPN sangat kurang di
10
Kota Makassar, dan manajemen waktu pada Kantor Pertanahan dan BPN di Kota Makassar belum tertata rapi sehingga menjadi sulit dalam membagi pengerjaan didalam dan diluar Kantor Pertanahan dan BPN. Pada tesis ini yang menjadi kesamaan ialah pelaksanaan pengawasan Badan Pertanahan Nasional (Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN) terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah dan untuk mengetahui fakor-faktor yang menjadi penghambat bagi pelaksanaan pengawasan oleh Badan Pertanahan Nasional (Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN) terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menjadi dasar pembahasan dalam thesis ini. Namun terdapat perbedaan mengenai waktu, objek penelitian, dan pembahasannya. Perbedaan teresebut yaitu penelitian ini dilakukan sebelum diterbitkannya SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan yang merupakan dasar penetapan batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum dalam hal ini membuat akta tanah, sedangkan penelitian yang akan dibuat oleh penulis adalah penerapan dan kesiapan bagi Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN dan PPAT dalam pembuatan akta pengalihan hak atas tanah setelah diterbitkannya SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN tersebut. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan dan dibandingkan dengan judul- judul tersebut diatas, penelitian mengenai Pengaruh Berlakunya SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015
11
Terhadap Pelaksanaan Pengalihan Hak-Hak Atas Tanah Pada Profesi PPAT di Kabupaten Sleman, belum pernah dilaksanakan oleh peneliti lain. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa penelitian ini adalah asli. Namun demikian, sekiranya pernah dilakukan penelitian-penelitian terdahulu yang mengangkat mengenai Pengaruh Berlakunya SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan Terhadap Pelaksanaan Pengalihan Hak-Hak Atas Tanah Pada Profesi PPAT di Kabupaten Sleman, dan penelitian-penelitian terdahulu tersebut jelas sangat bermanfaat bagi penelitian ini, besar kemungkinan bahwa pada bagian tertentu pada penelitian ini juga merupakan kelanjutan dari penelitian tersebut. Penulis mengharapkan penelitian ini dapat melengkapinya.
D. Tujuan Penelitian Penulis mengidentifikasikan beberapa tujuan dari penelitian tesis ini, sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan PPAT di Kabupaten Sleman dalam menerapkan peraturan yang telah diatur dalam SE Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan pada akta tanah yang dibuat oleh PPAT. 2. Untuk mengetahui akibat hukum apa yang akan diterima oleh PPAT yang tidak menerapkan SE Menteri Agraria dan Tata
12
Ruang/Kepala BPN Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan Pertanahan dalam akta PPAT yang dibuatnya.
E. Manfaat Penelitian Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan bagi ilmu pengetahuan maupun pembangunan masyarakat luas, dengan kata lain penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan akademik maupun kegunaan praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan b. Salah satu usaha untuk memperbanyak wawasan dan pengalaman serta menambah pengetahuan tentang bidang ke-PPAT-an c. Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya di samping itu dapat digunakan sebagai pedoman penelitian yang lain. 2. Manfaat Praktis a. Dapat
menjadi
masukkan
bagi
pemerintah
dalam
mengambil suatu kebijakan hukum khususnya dalam hal pengesahan Surat Edaran serta masukkan bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada khususnya dalam
13
menjalankan jabatannya untuk mengatur pelaksanaan jabatan PPAT yang merupakan mitra BPN dalam hal pertanahan. b. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan pemikiran bagi mahasiswa, dosen, PPAT dan pembaca lain yang tertarik maupum berkepentingan dalam pelaksanaan pembangunan di bidang ke-PPAT-an.