BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada dasarnya setiap orang memiliki suatu gambaran tentang keluarga dan keluarga harmonis. Keluarga merupakan sistem sosial dari hubungan utama, yang memungkinkan setiap individu memperoleh sumber utama pemeliharaan kejiwaan dan kerohanian dari keluarga1. Keluarga inti merupakan unit terkecil dalam kelompok sosial, yang terdiri dari Ayah, Ibu dan Anak2. Setiap anggota keluarga sebagai suatu sistem memiliki peran masing – masing untuk saling berinteraksi. Hubungan antar anggota keluarga antara lain:hubungan suami-istri, hubungan orang tua dan anak dan hubungan antara saudara3. Setiap hubungan di dalam keluarga menimbulkan peran tersendiri, yaitu seorang ayah bertugas sebagai kepala keluarga, pencari nafkah, pemberi nafkah, serta melindungi keluarga4. Sedangkan peranan ibu sebagai pengurus rumah tangga dan menciptakan kehangatan dalam keluarga5. Di dalam menjalankan peran-peran tersebut, kedua orang tua harus memiliki kesamaan visi dalam proses mendidik dan mendampingi pertumbuhan
TIDAK ADA BAB 5
anak-anak mereka. Fungsi orang tua terhadap anak adalah bertanggung jawab atas perkembangan anak-anak mereka6.
Namun, gambaran mengenai keluarga yang harmonis yang terdiri dari ayah, ibu dan anak tidak selamanya dimiliki oleh semua keluarga. Pada kenyataannya, dalam masyarakat yang modern banyak keluarga yang kehilangan keutuhan tersebut. Mereka harus menghadapi dinamika hidup atau persoalan dalam rumah tangga. Hal tersebut dapat menyebabkan mereka harus mengganti status mereka menjadi orang tua tunggal. Orang tua tunggal, sesuai dengan arti harfiah, adalah orang yang mengasuh, menafkahi, membesarkan anaknya tanpa pasangan, baik lelaki atau perempuan, dalam status apa pun, baik bercerai, berpisah tanpa bercerai, kematian, atau tanpa menikah (unmarried single parent)7. Tidak seorang pun bercita-cita menjadi orang tua tunggal, termasuk kaum perempuan. Ketika
1
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (terj.), Yogyakarta: Kanisius, 2002, p. 371. 2 Andreas Soeroso, Sosiologi I, Jakarta: Yudistira, 2008, p. 23. 3 Evelyn Sulaeman, “Hubungan-hubungan dalam Keluarga”, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, p. 100. 4 Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta: Kanisius, 1991, p.13. 5 Jane Cary Peck, Wanita,p. 13. 6 Evelyn Sulaeman, “Hubungan-hubungan dalam Keluarga”, p. 108. 7 Merry Magdalena, Menjadi Single Parent Sukses, Jakarta: Grasindo, 2010, p. 9.
1
menikah, perempuan pasti menginginkan membangun rumah tangga yang harmonis dan mempunyai keluarga yang lengkap untuk mengasuh anak. Sayangnya, banyak keadaan yang memaksa perempuan menjadi orang tua tunggal, bisa karena perceraian, kematian, akibat dari hubungan di luar nikah, atau status masih terikat pernikahan tetapi tidak menikmati hak sebagai seorang istri. Keberadaaan orang tua tunggal belum bisa diterima di kalangan masyarakat Indonesia. Biasanya respon pertama masyarakat
terhadap status ‘orang tua tunggal’ lebih
mengarah kepada hal negatif daripada hal positif, terutama jika status tersebut dimiliki oleh seorang perempuan. Hal tersebut dikarenakan konsep pola pikir masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh pandangan bahwa keluarga ideal mesti terdiri dari ayah, ibu dan anak 8. Pada kenyataanya, masyarakat Indonesia belum siap menerima seorang ibu memiliki anak tanpa ayah. Perempuan berstatus janda atau tidak menikah tetapi memiliki anak, cenderung mengundang cibiran, gosip, kasak-kusuk yang berujung kepada diskriminasi. Perempuan sebagai orang tua tunggal menghadapi krisis seperti: stereotyping negatif yang berkembang di masyarakat dengan sebutan ‘janda kembang, janda muda, janda gatel’, sampai dikatakan perempuan perebut suami orang. Segala tingkah laku mereka dianggap negatif oleh orang lain, apalagi kalau mereka dalam usia yang masih muda;janda muda ini sering
TIDAK ADA BAB 5
disebut dengan istilah janda di bawah umur (jamur). Hal tersebut dikarenakan sebagian besar masyarakat berpendapat perempuan adalah makhluk yang mempunyai kedudukan lebih rendah daripada laki-laki9. Tidak jarang mereka mendapatkan pelecehan oleh para lelaki “nakal”, yang menganggap bahwa perempuan berstatus janda itu “bisa” diajak berhubungan sex (intercourse). Hal tersebut menyebabkan seorang perempuan sebagai orang tua tunggal dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya. Padahal di Indonesia, kata asli untuk perempuan berasal dari kata empu yang diterjemahkan sebagai “berdaulat” atau “ibu”, maka sekurang-kurangnya hal itu menandakan bahwa kedudukan perempuan sebenarnya cukup tinggi 10. Dalam kondisi seperti itu, para perempuan sebagai orang tua tunggal berani mengambil resiko dalam memperjuangkan kehidupan dan kehidupan anaknya. Perempuan sebagai orang tua tunggal memiliki tugas yang luar biasa yaitu melakukan tugas ganda; berperan sebagai seorang ayah dan sekaligus sebagai ibu bagi anaknya. Ibu menjadi tokoh utama di dalam keluarga tersebut. Kebutuhan ekonomi keluarga masa kini terus meningkat, sehingga tidak jarang pasangan suami istri memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perempuan sebagai orang tua tunggal harus berperan sebagai tulang punggung yang menafkahi keluarga. Segala keputusan 8
Merry Magdalena, Menjadi Single Parent, p. 6. Jesy, “Dalam Penjara Patriarki”, Perempuan Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks, Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Universitas Kristen Duta Wacana, p. 122. 10 Marieanne Katoppo, Teologi Seorang Perempuan Asia,(terj.), Jakarta: Aksara Karunia, 2007, p. 16. 9
2
mengenai masalah keuangan, misalnya biaya kebutuhan hidup, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan sebagainya, tidak lagi dapat didiskusikan dengan pasangan. Sebagai perempuan yang bekerja, mereka tidak hanya dituntut untuk mencari nafkah, tetapi juga dituntut peranannya sebagai seorang ayah. Peranan menjadi seorang ibu tidaklah sedikit, mereka harus menjadi orang tua yang membimbing anaknya baik di sekolah, di rumah dan di semua aspek kehidupan. Ibu juga berperan sebagai pengasuh yang merawat anaknya ketika sakit dan menjadi pelindung bagi anaknya dari berbagai ancaman. Jika ibu kurang memahami peranan sebagai orang tua tunggal, hal tersebut dapat mengakibatkan kegagalan dalam mendidik anak mereka. Perempuan sebagai orang tua tunggal sering mempersalahkan keadaan dan merasa hidupnya serba kacau dan tak terkendali. Selama wawancara dengan perempuan sebagai orang tua tunggal berlangsung, mereka mengajukan banyak pertanyaan, seperti : “Bagaimana agar mereka mampu mengatasi semua kenyataan ini? Mengapa Tuhan membiarkan mereka mengalami perceraian dengan suami? Mengapa Tuhan begitu cepat memanggil suami mereka? Bagaimana mereka mampu menghidupi anak-anak seorang diri? Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan dari anak yang menanyakan ayahnya? Dimanakah mereka harus bertukar pikiran? Kemana seharusnya mereka mencari dukungan sebagai orang tua tunggal?”.
TIDAK ADA BAB 5
Orang tua tunggal yang menjadi perhatian di sini adalah kaum ibu tunggal, sebab mayoritas penyandang status orang tua tunggal adalah perempuan11. Bagi perempuan yang menjadi orang tua tunggal, akan banyak persoalan yang dihadapi. Jika biasanya kegiatan rumah tangga dilakukan berdua dengan suami, kini harus dilakukan sendiri. Gereja Kristen Pasundan jemaat Kampung Sawah merupakan gereja yang berada di daerah Kampung Sawah, tepatnya di desa Jatimelati, Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Konteks jemaat Kampung Sawah dipengaruhi oleh dua kebudayaan yaitu Sunda dan Betawi. Dalam menjalankan tugas dan panggilannya, GKP jemaat Kampung Sawah memiliki beberapa bidang komisi pelayanan, dua di antaranya adalah Komisi Diakonia Pendidikan dan Pelayanan Sosial (KOMDIKSOS) serta Komisi Pelayanan Perempuan (KPP). Perempuan sebagai orang tua tunggal tercatat sebanyak 154 jiwa yang terbagi dalam rentang usia 30-98 tahun12. Komisi Diakonia Pendidikan dan Pelayanan Sosial memiliki program khusus kepada perempuan sebagai orang tua tunggal yaitu dengan memberikan bantuan berupa uang dan beras satu bulan sekali. Program lainnya yang diberikan oleh Komisi Diakonia Pendidikan dan 11
Merry Magdalena, Menjadi Single Parent, p. 17. Berdasarkan hasil wawancara dengan Komisi Diakonia Pendidikan dan Pelayanan Sosial, 10 November 2013, di GKP Jemaat Kampung Sawah Bekasi. 12
3
Pelayanan Sosial adalah dengan pemberian uang dan parsel sembako pada setiap menjelang Natal. Kedua program tersebut merupakan wujud perhatian Komisi Diakonia Pendidikan dan Pelayanan Sosial kepada perempuan sebagai orang tua tunggal. Sedangkan Komisi Pelayanan Perempuan tidak memiliki program khusus untuk perempuan sebagai orang tua tunggal. Program yang dijalankan oleh komisi pelayanan perempuan hanya berupa kegiatan gerejawi seperti: kebaktian Komisi Pelayanan Perempuan, kebaktian Paskah, kebaktian Natal, kunjungan orang sakit, paduan suara, arisan dan doorprise. Pelayanan Komisi Diakonia Pendidikan dan Pelayanan Sosial dan Komisi Pelayanan Perempuan dalam setiap program yang dilakukan selama ini, belum menyentuh kepada ranah pendampingan pastoral. Dari hasil wawancara, terungkap bahwa perempuan sebagai orang tua tunggal sangat mengharapkan adanya upaya gereja dalam memberikan perhatian khusus kepada mereka, sehingga ada tempat di mana para perempuan orang tua tunggal dapat mengungkapkan pergumulan yang selama ini dialami seorang diri. Berdasarkan latar belakang tersebut, diperlukan sebuah pendampingan pastoral bagi perempuan yang menjadi orang tua tunggal, supaya mereka dapat mengungkapkan penderitaannya dan mendapatkan solusi dalam menghadapi permasalahan dalam membesarkan
TIDAK ADA BAB 5
anak, menerima kenyataan menjadi orang tua tunggal, memberikan pengampunan untuk mantan suami, dan menata kembali kehidupan.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berusaha menggali lebih lanjut mengenai: 1. Mengapa banyak perempuan yang berstatus sebagai orang tua tunggal ? 2. Apa saja yang menjadi pergumulan perempuan sebagai orang tua tunggal dalam menjalankan realitas kehidupannya di tengah masyarakat maupun di dalam gereja ? 3. Bagaimanakah pandangan gereja dan masyarakat terhadap perempuan sebagai orang tua tunggal ? 4. Apakah bentuk pendampingan pastoral yang
paling cocok bagi perempuan sebagai
orang tua tunggal ?
1.3 Alasan Pemilihan Judul Pendampingan Pastoral bagi Perempuan sebagai Orang tua Tunggal di GKP Jemaat Kampung Sawah
4
Ada empat alasan mengapa penulis berfokus membahas perempuan sebagai orang tua tunggal : 1.
Penulis tertarik untuk meneliti bagaimana perempuan sebagai orang tua tunggal dapat melaksanakan peran gandanya, walaupun dengan banyak masalah yang muncul seiring perjalanan menjadi orang tua tunggal.
2.
Di zaman modern ini, tentu permasalahan keluarga Kristen yang menjadi orang tua tunggal bukan menjadi suatu “barang” yang langka. Gereja tidak bisa menutup mata dengan adanya kenyataan bahwa seorang perempuan menjadi orang tua tunggal. Sejauh ini dalam lingkup Gereja Kristen Pasundan belum ada pembahasan secara khusus berkaitan dengan isu pendampingan pastoral bagi perempuan sebagai orang tua tunggal. Maka dari itu, penulis mengambil sampel data di GKP jemaat Kampung Sawah.
3.
Penulis berharap isu yang diangkat pada skripsi ini dapat membuka wawasan kita untuk lebih memperhatikan pendampingan pastoral yang sesuai dengan kebutuhan perempuan sebagai orang tua tunggal.
4.
Memberikan pendampingan pastoral sebagai upaya menolong perempuan sebagai orang tua tunggal dalam menghadapi pergumulan hidup.
TIDAK ADA BAB 5
1.4 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui penyebab terjadinya perempuan berstatus sebagai orang tua tunggal 2. Mengetahui lebih dalam permasalahan dan pergumulan yang dihadapi oleh perempuan sebagai orang tua tunggal ketika mereka menjalankan realita kehidupannya sebagai masyarakat dan sebagai anggota jemaat. 3. Mengetahui pandangan gereja dan masyarakat terhadap kaum perempuan yang menjadi orang tua tunggal. 4. Menemukan suatu metode pendampingan pastoral yang sesuai dengan kebutuhan perempuan sebagai orang tua tunggal.
1.5 Metode Penelitian Metode penulisan yang digunakan adalah metode deskriptif analitis dengan mengumpulkan data dari studi literatur tentang perempuan sebagai orang tua tunggal dan pendampingan pastoral bagi perempuan sebagai orang tua tunggal. Selain itu, penulis melakukan penelitian kualitatif untuk mengetahui permasalahan di lapangan terkait dengan pergumulan perempuan sebagai orang tua tunggal. Metode yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah wawancara. Hasil dari wawancara dianalisis oleh penulis untuk menyimpulkan hasil penelitian ini secara keseluruhan. 5
1.6 Sistematika Penulisan Bab I
Pendahuluan Pada tahap ini, penulis menjelaskan latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II
Konteks GKP Jemaat Kampung Sawah dan Krisis Perempuan sebagai Orang tua Tunggal Pada Bab II ini, akan diuraikan gambaran umum mengenai konteks GKP jemaat Kampung Sawah. Penulis juga memaparkan dan menganalisa pergumulan yang dialami oleh perempuan sebagai orang tua tunggal yang ditinjau berdasarkan analisis aspek-aspek yang berkaitan dengan fisik, psikologis, sosial dan spiritual.
Bab III
Refleksi Teologis dan Model Pendampingan Pastoral bagi Perempuan Orang tua Tunggal
TIDAK ADA BAB 5
Pada Bab ini, penulis memberikan suatu refleksi teologis terhadap krisis perempuan sebagai orang tua tunggal dalam Alkitab, kemudian memaparkan teori-teori
pendampingan
pastoral,
fungsi
pendampingan
pastoral
dan
mengusulkan metode pendampingan pastoral bagi perempuan sebagai orang tua tunggal yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Bab IV
Penutup Pada Bab terakhir ini, penulis akan menyimpulkan dari semua Bab dan memberikan suatu saran kepada gereja dalam mendampingi perempuan sebagai orang tua tunggal dan kepada perempuan sebagai orang tua tunggal.
6