BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat besar, baik dari sisi jumlah penduduk, luas wilayah, sumber daya alam (SDA), hingga seni budaya dan adat istiadatnya.1 Seiring dengan berjalannya waktu, seni budaya yang ada di Indonesia kian mendapat perhatian dari banyak pihak, baik dari Pemerintah, masyarakat, maupun dari manca negara. Berbagai peninggalan budaya di Indonesia, baik yang berwujud (bangunan kuno, arca, artefak, dll) maupun yang tidak berwujud (tarian, lagu, dll) menjadi sesuatu yang bernilai penting bagi banyak pihak dengan berbagai kepentingan, mulai dari pelajar sebagai bahan studi hingga kolektor yang gemar mengkoleksi benda-benda bernilai seni dan sejarah yang tinggi. Hal tersebut menjadi suatu kebanggaan sekaligus sebagai peringatan bagi Negara Indonesia untuk dapat melindungi dan melestarikan kekayaan budayanya dengan baik, karena tugas manusia adalah untuk mengolah, mengatur
serta
memelihara
alam
dan
lingkungannya.2
11
Anonim, "Indonesia Adalah Negara Yang Sangat Kaya", mpr.go.id/public/post/indonesi-adalahnegara-yang-sangat-kaya, diakses pada tanggal 29 januari 2016 2
Suprihadi Sastrosupeno, Manusia, Alam dan Lingkungan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1984, hlm.39.
2
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 32 UUD 1945, Negara memiliki kewajiban untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia, salah satunya adalah dengan melestarikan nilai nilai budaya yang ada di Indonesia, termasuk cagar budaya. Dalam salah satu diktum pertimbangan pada Undang- undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UUCB), disebutkan pula bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, untuk melestarikan Cagar Budaya yang dimiliki Negara
Indonesia,
Negara
bertanggungjawab
dalam
pengaturan
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya. Peraturan
perundang-undangan
mengenai
perlindungan
peninggalan-peninggalan sejarah dan kepurbakalaan sudah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan, yaitu dengan dikeluarkannya Monumentenordonnatie 1931 (Stbl. No. 238 Tahun 1931), lazimnya disingkat M.O.3 Namun dengan adanya ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, maka M.O. ini kemudian 3
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hlm.230.
3
dicabut dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (UUBCB).4 Undang-undang tersebut telah diperbaharui menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Cagar Budaya (UUCB). Salah satu kota di Indonesia yang terkenal dengan peninggalan budayanya adalah kota Semarang yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang merupakan salah satu destinasi wisata yang terkenal dengan keberadaan bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai arsitektur dan sejarah yang tinggi, sehingga Semarang merupakan salah satu Kota yang ditetapkan sebagai " Kota Pusaka" sejak tahun 2012. Sebagian besar bangunan kuno yang ada di kawasan Kota Lama dan sekitarnya telah ditetapkan sebagai Bagunan Cagar Budaya (BCB) yang dilindungi oleh negara. Di Kota Semarang terdapat sekitar kurang lebih tiga ratus bangunan yang telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya sebagaimana tercantum dalam Senarai Inventarisasi dan Dokumentasi Bangunan dan Kawasan Pusaka Budaya Kota Semarang 2006. Bangunan-bangunan tersebut tersebar di seluruh Kota Semarang dan paling banyak terdapat di kawasan Tugu Muda hingga kawasan Kota Lama. Hal tersebut dikarenakan pada zaman kolonial, pusat Pemerintahan dan perdagangan Belanda terpusat pada Daerah Kota Lama.5
4
Koesnadi Hardjasoemantri, Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan, cetakan pertama, edisi pertama, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2006, hlm.256. 5
Dhave, Little Netherland Di Kota Semarang, diakses dari http://m.kompasiana.com/dhave/litthenetherland-di-kita-semarang, pada tanggal 3 Maret 2016.
4
Dari sekian banyak Bangunan Cagar Budaya, beberapa bangunan yang menjadi daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri adalah Lawang Sewu, Gereja Blendug, Klentheng Sam Pho Kong, Masjid Besar Kauman, Stasiun Tawang, dan Gedung Kesenian Sobokartti. Bangunan-bangunan tersebut memiliki nilai sejarah maupun arsitektur yang istimewa, misalnya saja Lawang Sewu yang merupakan bekas kantor PT KAI pada zaman Belanda dan juga sebagai saksi bisu dari peristiwa pertempuran lima hari di Semarang antara Indonesia dengan Jepang, dimana Lawang Sewu dijadikan penjara bagi tawanan-tawanan perang. Nilai seni dan arsitektur yang dimiliki bangunan yang dibangun pada Tahun 1904 ini juga tidak diragukan lagi, begitu pula dengan Gereja Blendug yang terkenal karena arsitektur Neo-Klasik yang indah. Bangunan Cagar Budaya yang berada di kawasan kota Semarang merupakan salah satu sarana belajar bagi pelajar dan mahasiswa maupun peneliti yang hendak mempelajari sejarah maupun arsitektur yang melekat pada bangunan tersebut. Arsitektur bangunan-bangunan kuno ini menjadi perhatian banyak pihak, karena Arsitektur sebagai hasil karya cipta mengemban tugas berat dalam membangun lingkungan seutuhnya.6 Melihat nilai penting dari keberadaan Bangunan Cagar Budaya, maka Pemerintah Daerah Jawa Tengah menyusun Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya
6
Antariksa Sudikno, 1988, Sebuah Permasalahan Di Dalam Lingkungan, Liberty, Yogyakarta, hlm.95
5
Provinsi Jawa Tengah. Sebagai mana tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Daerah tersebut, Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya bertujuan: a.
melestarikan warisan budaya Daerah dan warisan umat manusia;
b.
mempertahankan kearifan lokal;
c.
meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;
d.
memperkuat kepribadian bangsa;
e.
meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan
f.
mempromosikan warisan budaya Daerah kepada masyarakat.
UUCB dan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Jawa Tengah mengatur mengenai hak, kewajiban serta upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah
maupun
masyarakat
dalam
pelestarian
dan
perlindungan Benda Cagar Budaya yang ada di Provinsi Jawa Tengah, termasuk Kota Semarang. Hal tersebut bertujuan agar warisan budaya yang ada di wilayah Jawa Tengah dapat terjaga dengan baik. Dengan adanya peraturan di tingkat Pusat maupun Daerah tentu diharapkan adanya hasil yang nyata dalam menjaga kelestarian Cagar Budaya yang dimilik oleh Negara Indonesia. Berbagai Peraturan yang mengatur dan melindungi Cagar budaya yang ada tentunya diharapkan dapat melestarikan keberadaan Bangunan Cagar Budaya, namun itu semua ternyata belum menjamin keberadaan bangunan-bangunan itu sendiri. Masih banyak kasus mengenai Cagar
6
Budaya yang terjadi, baik itu pencurian, perusakan, maupun pelanggaran hukum dalam upaya pelestarian Cagar Budaya. Kasus mengenai Cagar Budaya itu juga terjadi di Kota Semarang. Salah satu kasus terjadi belum lama ini, sekitar bulan Januari 2014, puluhan balok kayu jati dan papan yang digunakan sebagai alas di Bangunan Cagar Budaya milik PT Kereta Api Daop IV Jawa Tengah raib dicuri orang tidak dikenal.7 Kemudian kasus lain terjadi pada Bulan Agustus 2015, dimana Bangunan Cagar Budaya bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief, yang terbit pertama kali pada Tahun 1851, dan dikenal sebagai kelompok pendukung Politik Etis, berdiri dengan kondisi merana dan bahkan nyaris hancur tidak terawat. 8 Banyak lagi kasus-kasus yang tidak terangkat media berhubungan dengan tidak terawatnya Bangunan-bangunan kuno yang telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya di Semarang. Banyaknya kasus mengenai rusaknya Bangunan Cagar Budaya mendapat perhatian tersendiri dari penulis. Setelah membaca berbagai artikel dan melakukan pengamatan secara langsung terhadap Cagar Budaya yang ada di Kota Semarang, dapat dikatakan bahwa terdapat ketimpangan dalam pelaksanaan pelestarian Bangunan Cagar Budaya yang
7
Timotius Aprianto, "Cagar Budaya Milik PT KAI Seharga Ratusan Juta Raib Dicuri", diakses dari m.okezone.com/read/2014/01/22/512/930025/cagar-budaya-milik-pt-kai-seharga-ratusan-jutaraib-dicuri, pada tanggal 27 Februari 2016. Anonim, “Mengapa Sulit Melestarikan Bangunan Cagar budaya di Semarang” diakses dari http:/www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/08/150815_majalah_cagarbudaya_semarang, pada tanggal 26 Februari 2016. 8
7
ada. Ketimpangan yang dimaksud penulis adalah adanya perbedaan perawatan dan pengelolaan antara Bangunan Cagar Budaya yang menjadi ikon Kota Semarang dengan beberapa bangunan lain yang kurang terekspose. Bangunan-bangunan yang menjadi daya tarik utama wisata seperti Gereja Blendug, Lawang Sewu, dan Sam Pho Kong terlihat masih bagus dan terawat, serta berfungsi secara optimal baik sebagai tempat ibadah maupun museum yang menyajikan berbagai informasi di dalamnya. Namun untuk beberapa Bangunan Cagar Budaya lain yang belum begitu dikenal wisatawan, seperti salah satunya adalah Gedung Bekas Redaksi De Locomotief, terlihat seperti terbengkalai dan kurang mendapat perhatian dalam upaya pelestariannya. Sungguh disayangkan kota yang mendapat predikat sebagai Kota Pusaka kehilangan beberapa aset warisan budayanya yang berupa Bangunan Kuno yang memiliki nilai sejarah dan arsitektur yang tinggi. Dilain sisi, Pemerintah Daerah sendiri telah menyusun Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya, bahkan Pemerintah Kota Semarang mendapat penghargaan sebagai kota dengan perda bangunan gedung terbaik dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat atas Peraturan Daerah Kota
8
Semarang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bangunan Gedung yang di dalamnya juga mengatur mengenai Bangunan Cagar Budaya.9 Adanya Peraturan Daerah Jawa Tengah terkait Cagar Budaya yang baik dan lengkap pada kenyataannya masih belum cukup melindungi kelestarian Bangunan Cagar Budaya di Semarang. Ketimpangan serta tidak terawatnya bangunan yang tercatat sebagai Bangunan Cagar Budaya masih terjadi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik karena kelalaian Pemerintah dalam melaksanakan Peraturan yang ada, peran dan kesadaran masyarakat yang kurang, faktor alam, atau faktor kesengajaan dari manusia sendiri. Pemerintah Daerah Jawa Tengah, terlebih Pemerintah Kota Semarang, tentunya telah berupaya menanggulangi segala keadaan yang dapat mengancam kelestarian Bangunan Cagar Budaya di wilayahnya. Berdasarkan pengamatan penulis, sosialisasi mengenai Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang, pendataan, hingga perawatan fisik secara berkala Bangunan Cagar Budaya yang ada telah dilakukan. Upaya pelestarian Bangunan Cagar Budaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi ketimpangan dan kerusakan Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang ternyata belum cukup pula untuk melindungi keberadaan bangunan-bangunan tersebut.
9
Liputan 6,Semarang, Kota Dengan Perda Bangunan Gedung Terbaik, diakses dari http://regional.liputan6.com/read/2379110/semarang-kota-dengan-perda-bangunan-gedungterbaik, pada tanggal 2 Juni 2016.
9
Ketimpangan dan kerusakan Bangunan Cagar Budaya yang terus terjadi di Kota Semarang yang merupakan Kota Pusaka tentu akan menjadi hal yang menarik untuk dikaji dan dicermati lebih jauh, terlebih lagi dengan Peraturan Daerah dan peran Pemerintah yang menurut penulis cukup baik. Penyebab terus terjadinya ketimpangan dan kerusakan serta solusi bagi permasalahan tersebut penulis rasa menjadi penting untuk dapat dicari demi keberlangsungan nilai budaya yang ada di Kota Semarang, maupun di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Setelah mempelajari latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis dapat merumuskan beberapa masalah seperti sebagai berikut: 1.
Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 dalam upaya Pelestarian Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Kota Semarang?
2.
Mengapa Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang yang mendapatkan predikat sebagai Kota Pusaka masih mengalami kerusakan dan ketimpangan dalam upaya pelestariannya?
3.
Apa saja kendala yang ada dalam upaya perlindungan dan pelestarian Cagar Budaya di Kota Semarang?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
10
1.
Mengetahui implementasi Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 terhadap pelestarian Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Kota Semarang.
2.
Mengetahui
penyebab
masih
terjadinya
kerusakan
dan
ketimpangan dalam upaya pelestarian Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang yang telah mendapat predikat sebagai "Kota Pusaka". 3.
Mengetahui kendala yang dihadapi dalam merealisasikan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 untuk melestarian Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Kota Semarang.
D. Keaslian Penelitian Peneliti telah melakukan penelusuran kepustakaan baik yang terdapat dalam perpustakaan FH UGM, perpustakaan pusat UGM, dan pada dunia maya yang dilakukan oleh peneliti, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa karya ilmiah yang serupa dengan penelitian yang akan penulis lakukan, antaralain: 1.
Penulisan hukum yang disusun oleh Julia Dara, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada Tahun 2010 yang berjudul Upaya Pelestarian Bangunan Cagar Budaya Situs Pesanggrahan Tamansari Kraton Yogyakarta Ditinjau dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
11
Penelitian yang dilakukan oleh saudari Julia Dara mengambil subyek Situs Pesanggrahan Tamansari yang terletak di Yogyakarta. Penelitian tersebut membahas mengenai
kesesuaian antara
perlindungan hukum sebagaimana ditentukan UUCB dengan penerapan yang ada di lapangan.
Meskipun
sama-sama
membahas mengenai Cagar Budaya, selain perbedaan subyek penelitian dan lokasi penelitian, perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Saudari Julia Dara dapat terlihat dari fokus pembahasan. Penelitian yang dilakukan penulis akan membahas mengenai pengimplementasian Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Jawa Tengah terhadap Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang secara umum dan apa saja kendala yang dihadapi sehingga terjadi ketimpangan dalam pelestarian Bangunan Cagar Budaya yang ada. Sedangkan pembahasan yang dilakukan oleh Saudari Julia Dara hanya fokus terhadap perlindungan hukum sebuah Situs Cagar Budaya. 2.
Penulisan hukum yang disusun oleh Ayu Gilang Kencana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada Tahun 2014 dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Bangunan Tradisional Sebagai Benda Cagar Budaya Berdasarkan Asas Kearifan Lokal (Studi Kasus Penjualan Rumah-Rumah Joglo di Kotagede, DIY). Dalam penulisan tersebut, saudari Ayu Gilang
12
Kencana menitik beratkan pada perlindungan terhadap rumah joglo di Kota Gede, Yogyakarta, yang merupakan rumah adat Yogyakarta, baik berdasarkan UUCB maupun berdasarkan kearifan lokal setempat. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis selain subjek dan lokasi penelitiannya adalah mengenai pokok pembahasannya, dimana pada penelitian yang akan penulis lakukan, penulis tidak melakukan kajian terhadap kearifan lokal yang ada di Jawa Tengah. Selain itu, penelitian yang akan penulis lakukan melihat dari fenomena ketimpangan yang terjadi dalam proses pelestarian Bangunan Cagar Budaya yang ada di Semarang antara Bangunan Cagar Budaya yang menjadi tempat wisata maupun dimanfaatkan untuk kegiatan lain dengan Bangunan Cagar Budaya yang tidak dipergunakan untuk kegiatan apapun. 3.
Penelitian oleh Hosiana L Tobing, Y.Warella dan Dyah Hariani yang berjudul Studi Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam Upaya Melestarikan Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang. Meskipun memiliki kesamaan topik penelitian yaitu mengenai pengimplementasian suatu peraturan, namun terdapat perbedaan yang cukup jelas dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hosiana L Tobing dkk, memiliki fokus terhadap baik atau tidaknya pengimplementasian
kebijakan
Pemerintah
berupa
Surat
13
Keputusan Wali Kota Semarang Nomor 646/50/1992. Dalam penelitian tersebut cenderung lebih mengkaji efetivitas dari kebijakan pemerintah yang ada dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya dilihat dari sisi sosial masyarakatnya, sehingga tidak membahas lebih mendalam mengenai apa saja yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah sebagai pemegang wewenang dan tanggungjawab untuk melestarikan Bangunan Cagar Budaya di wilayahnya. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis membahas mengenai penerapan Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Jawa Tengah dari perspektif hukum dan apa saja produk serta usaha Pemerintah Daerah yang sudah dan akan dilakukan dalam
kapasitasnya
sebagai
pemegang
wewenang
dan
tanggungjawab untuk melestarikan Bangunan Cagar Budaya di wilayahnya.. Selain itu, latar belakang penelitian yang akan dilakukan oleh penulis juga memiliki perbedaan. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis melihat dari fenomena ketimpangan yang ada dalam proses pelestarian dan pengelolaan Bangunan Cagar Budaya yang ada di Semarang setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah baru mengenai Pelestarian Cagar Budaya setelah sekian lama dasar konservasi Cagar Budaya di Kota Semarang hanya berpegang pada Surat Keputusan Wali Kota Nomor 646/50/1992 tentang Konservasi Cagar Budaya. Meskipun telah
14
terdapat Peraturan Daerah yang baru, namun Bangunan Cagar Budaya yang ada di Semarang masih saja mengalami pencurian dan kerusakan parah hingga hancur. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hosiana L Tobing dkk dilatar belakangi hilangnya Bangunan
Cagar
Budaya
akibat
modernisasi
yang
kian
berkembang di Kota Semarang dan mengakibatkan banyak bangunan cagar budaya yang di renovasi atau bahkan sengaja dihancurkan sehingga dapat diganti dengan bangunan baru yang lebih modern. Dengan demikian, penelitian dengan Judul “ Implementasi Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah Terhadap Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang” dapat dikatakan asli karena merupakan hasil pemikiran peneliti sendiri. Sejauh yang peneliti ketahui, penelitian ini belum pernah ada yang membuat, kalau pun ada yang mirip atau sejenis, peneliti yakin pembahasan maupun lokasi penelitiannya berbeda. Peneliti mengangkat tema ini karena peneliti melihat pada kenyataannya perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, khususnya bangunan kuno di Kota Semarang, belum terlaksana dengan baik dan masih terjadi ketimpangan. Penelitian ini dapat disebut “asli” dan sesuai dengan asasasas khazanah ilmu pengetahuan yaitu jujur, rasional, objektif, dan terbuka.
15
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagi Peneliti Penelitian ini membantu peneliti untuk memahami implementasi dari suatu Peraturan Daerah dan kendala-kendala yang dihadapi dalam penerapannya. Hal tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi peneliti untuk lebih memahami das solen maupun dan das sein suatu peraturan Perundang-Undangan.
2.
Bagi Pemerintah Kota Semarang Manfaat penelitian mengenai Implementasi Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah terhadap Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang adalah untuk membantu Pemerintah Kota Semarang untuk mengetahui hambatan- hambatan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan dalam upaya perlindungan dan pelestarian Benda Cagar Budaya di Semarang. Selain itu, penelitian ini juga membantu Pemerintah dalam penyusunan peraturan yang lebih baik agar bangunan- bangunan kuno yang memiliki nilai pengetahuan, sejarah, dan budaya yang ada dapat benar- benar terlindungi dan terlestarikan sebagaimana telah diamanatkan dalam UUCB.
3.
Bagi Masyarakat
16
Penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat Kota Semarang sebagai salah satu sumber untuk mengetahui apa saja warisan dunia yang memiliki nilai budaya tinggi yang terdapat di wilayahnya. Dengan penelitian ini masyarakat juga dapat mengetahui pengaturan mengenai perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, sehingga lebih memahami peran, hak, serta kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat.