BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Film pertama kali ditemukan pada abad 19, tetapi memiliki fungsi yang sama dengan
media lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya pada masyarakat umum. Kehadiran film sebagian merupakan respon terhadap “penemuan” waktu luang di luar jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Jadi, film membuka kemungkinan bagi kelas pekerja untuk menikmati unsur budaya yang sebelumnya telah dinikmati oleh orang-orang yang berbeda di “atas” mereka. Dengan demikian, jika ditinjau dari segi perkembangan fenomenalnya, akan terbukti bahwa peran yang dimainkan oleh film dalam memenuhi kebutuhan tersembunyi memang sangat besar (McQuail, 1987 : 13). Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Film banyak diyakini orang sebagai media hiburan, sebagai pelepas beban hidup sehari-hari. Tayangan film yang menyajikan berbagai tema memang menjadi pilihan tersendiri. Film bisa menjadi media pemahaman baru bagi yang menontonnya. Bahkan film dipercaya menjadi media pencerdas bangsa. Karena itu, penting bagi para pembuat film untuk membuat suatu sajian yang cerdas dan tidak hanya untuk hiburan semata. Demikian pula untuk khalayak atau pemirsa diharapkan mampu menjadi khalayak yang aktif dan selektif, karena hal tersebut merupakan langkah maju dalam mempercayai bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki inteligensi dan otonom dalam menggunakan media massa. Menurut Littlejohn (1996 : 333), khalayak yang aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri. Sekarang ini film Indonesia sudah semakin banyak, dengan berbagai variasi genre dan tema. Salah satu tema yang menarik untuk diangkat adalah tentang perempuan, dan bagaimana nasib mereka di bawah kekuasaan laki-laki. Hal ini penting mengingat perbedaan antara laki-laki dan perempuan selalu dijadikan masalah. Berbagai film kini sudah mulai menampilkan sosok perempuan yang tidak hanya berada di sektor domestik (mengurusi 1
rumah tangga, merawat anak, melayani suami) seperti dalam film “Berbagi Suami”, “Get Married”, “Perempuan Punya Cerita” hingga “Mereka Bilang, Saya Monyet!”. Perempuan juga digambarkan di sektor publik (mencari nafkah) seperti dalam film “Arisan!”, “Mendadak Dangdut”, hingga “The Photograph”. Artinya bahwa tokoh perempuan dalam film-film tersebut digambarkan telah memiliki hak dan peran yang sama dengan laki-laki. Namun tidak dapat dipungkiri juga masih adanya film-film yang dianggap mengeksploitasi kaum perempuan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa selama ini perempuan sering menjadi korban ketidakadilan, hingga muncul tindak kekerasan, baik fisik maupun psikis. Sekalipun sudah berbagai macam cara untuk mencegah terjadinya kekerasan, namun tetap saja kekerasan terhadap perempuan semakin tinggi dari tahun ke tahunnya. Hal ini menjadi fenomena tersendiri dan mulai banyak diangkat ke dalam media massa, terutama film. Terdapat satu terobosan baru di dunia perfilman Indonesia, yaitu film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. Sebuah karya film panjang dari seorang sutradara bernama Robby Ertanto Soediskam ini mengisahkan tujuh tokoh perempuan dengan latar belakang kehidupan pribadi mereka masing-masing dimana mereka pula mengalami kekecewaan bahkan penindasan baik secara psikis maupun fisik dari perlakuan laki-laki terdekatnya. Film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” dimulai dengan menceritakan tentang kehidupan seorang dokter kandungan bernama Kartini (diperankan oleh Jajang C. Noer) yang selalu ikut terhanyut akan kehidupan setiap pasien yang ditanganinya. Ia menangani bermacam-macam pasien dengan beragam alasan kedatangan dan masalahnya masing-masing. Lily (diperankan oleh Olga Lidya) ,seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, datang untuk memeriksa keadaan kandungannya yang sudah cukup besar. Lily memiliki seorang suami yang mengidap kelainan seks. Ia selalu datang ke tempat praktek Kartini dalam keadaan memar di muka dan sekujur tubuhnya. Pasien lainnya pun beragam, mulai dari seorang PSK yang bernama Yanti (diperankan oleh Happy Salma), yang datang bersama ‘anjelo’nya (diperankan oleh Rangga Djoned), yang memeriksakan penyakit yang berhubungan dengan organ kewanitaannya. Sampai dengan seorang murid SMP yang bernama Rara (diperankan oleh Tamara Tyasmara) yang hendak memastikan apakah dia hamil karena sebelumnya telah berhubungan seks dengan pacarnya, Acin (diperankan oleh Albert Halim), seorang murid SMA. Karena penggambaran alur cerita yang menarik dan sempurnanya peran yang dimainkan oleh para pemain di dalamnya, film ini banyak 2
mendapatkan penghargaan yaitu 6 nominasi dan 1 penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2010 dan memenangkan 2 piala sekaligus dalam Indonesian Movie Awards (IMA) di tahun 2011 silam. Tidak seperti tokoh perempuan pada umumnya yang hanya menjadi pemanis dan membuat indah sebuah film, tujuh tokoh perempuan dalam film yang diputar perdana di Melbourne, Australia ini digambarkan sebagai sosok yang tertindas dan diperlakukan tidak adil dalam kedudukannya sebagai perempuan terutama dalam hal percintaan. Tokoh-tokoh perempuan ini juga tertantang untuk dapat bangkit dari keterpurukannya dalam dominasi laki-laki, dengan caranya sendiri. Tema yang diangkat sutradara Robby dalam film ini yaitu masalah perempuan, dalam hal ini konsep gender. Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita ini pernah diteliti sebelumnya oleh Falisianus Syamsu Ismanto dari sudut pandang feminisme (Ismanto, 2012). Ismanto menilai bahwa film ini banyak memperlihatkan adegan-adegan dimana posisi laki-laki selalu berada di atas perempuan, namun tokoh-tokoh perempuan dalam film ini berusaha untuk menyetarakan nasib dan perannya sama seperti laki-laki. Ismanto menyimpulkan film ini hendak menggambarkan bahwa perempuan selalu tertindas dan mengalami kekerasan baik itu secara fisik maupun psikis akibat adanya sistem patriarki. Akan tetapi, benarkah penindasan dan kekerasan yang dialami perempuan yang digambarkan dalam film tersebut merupakan akibat dari sistem patriarki? Penulis tidak sependapat dengan kesimpulan penelitian dari saudara Ismanto tersebut. Menurut penulis tindakan kekerasan baik secara fisik maupun psikis adalah suatu kejadian yang tidak selalu terkait dengan sistem patriarki. Mirriam M. Johnson (1993), menekankan bahwa perbedaan peran perempuan dan laki-laki merupakan tatanan struktur sosial untuk memperoleh keseimbangan. Dengan merujuk pada teori struktural-fungsionalisme dari Talcott Parsons, Mirriam M. Johonson mengemukakan bahwa dalam struktur sosial tersebut terdapat peran-peran yang menunjang adanya keseimbangan yang tercipta dari keteraturan sosial. Tatanan tidak sama dengan kesetaraan yang sering diungkapkan oleh feminisme liberal. Tatanan (equilibrium) merupakan sebuah penempatan peran untuk mempermudah proses kehidupan sosial dan menjaga keseimbangannya. Talcott Parsons menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah suatu yang wajar (Umar, 1999: 53). Artinya bahwa konflik-konflik yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat (seperti tergambar dalam film ini) dikarenakan adanya kesalahan persepsi dalam pembagian peran secara seksual.
3
Konsep patriarki mula-mula digunakan oleh Max Weber yang mengacu pada bentukan sistem sosial politik yang menggambarkan peran dominan ayah dalam lingkup keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Artinya, sejak seseorang masih kecil pun konsep ini telah diperkenalkan. Sebuah keluarga tidak akan menjadi sebuah keluarga apabila tidak ada peran ibu rumah tangga sebagai unit kasih sayang dalam suatu kesatuan rumah tangga. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi pada seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Telah banyak kita temui dalam masyarakat luas, kenakalan remaja yang disebabkan oleh pecahnya sebuah keluarga. Seorang anak lebih memilih hidup di jalanan dari pada berada di rumah yang sepi karena kedua orang tuanya sama-sama sibuk bekerja. Banyak kita temui seorang anak terkena sindrom narkoba dikarenakan kurangnya perhatian orang tua, dan banyaknya perceraian yang menyebabkan anak menjadi korban. Hal ini disebabkan kedua orang tuanya menyepelekan kehidupan dalam rumah tangga dan lebih mementingkan karir di lingkungan publik. Inilah yang telah kita saksikan sendiri apabila tak ada pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu pembagian peran laki-laki dan perempuan bukan saja penting tetapi merupakan unsur utama dalam sistem sosial. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan peran. Banyak media massa terutama film dan pengamat/peneliti film melihat konflikkonflik yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dari sudut pandang yang masih sempit. Di antara mereka melihat konflik sebagai dominasi atau penindasan dari kaum tertentu. Padahal jika diteliti lebih lanjut akan diperoleh analisis dengan pemikiran yang lebih luas, artinya bahwa kita tidak perlu menyalahkan satu pihak dan membenarkan pihak lainnya. Konflik gender antara perempuan dan laki-laki sebagai suatu struktur sosial akan dapat dihindari jika anggota dalam struktur tersebut menjalankan perannya masing-masing dengan baik. Sehingga dalam kenyataannya, kita tidak bisa menyalahkan sistem patriarki sebagai pemicu konflik ataupun kekerasan dengan kaum perempuan sebagai korbannya. Dari penggambaran realitas di atas, peneliti tertarik untuk meneliti kembali representasi tokoh-tokoh dalam film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita dari sudut pandang yang berbeda dari peneliti terdahulu. Penelitian ini diharapkan mampu membuka pikiran khalayak/pemirsa serta pengamat film lainnya dalam menggunakan media massa khususnya film secara lebih aktif dan kritis. Penelitian ini merupakan penelitian lanjut dari skripsi Falisianus Syamsu Ismanto (mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, UKSW 4
Salatiga), yang akan berusaha memaparkan bagaimana adegan-adegan yang diperankan oleh tokoh dalam objek penelitian yaitu film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, tidak hanya dari sudut pandang feminisme yang selalu menekan dominasi kaum laki-laki sebagai penyebabnya, tetapi dari sudut pandang berbeda yang lebih luas serta tidak menyalahkan satu pihak saja. Dengan pertimbangan bahwa penelitian ini merupakan penelitian isi pesan komunikasi suatu media, dalam hal ini yaitu film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”, maka peneliti menggunakan metode analisis isi kualitatif yang memiliki kemampuan dalam menganalisa secara kritis dan lebih aktif terhadap subjek penelitian atau pesan dalam film. Metode analisis isi kualitatif telah terbukti berhasil untuk meneliti dokumen (dalam hal ini film) berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu. Analisis isi yang sifatnya kualitatif tidak hanya mampu mengidentifikasi pesan-pesan manifest (tampak), melainkan juga latent messages (tidak tampak) dari sebuah dokumen yang diteliti. Metode ini juga lebih mampu melihat kecenderungan isi media berdasarkan contextnya, process-nya, dan emergence-nya. Sehingga diharapkan peneliti mendapatkan hasil terbaik mengenai representasi patriarki dari sudut pandang teori struktural-fungsionalisme tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”.
5
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: Bagaimana representasi patriarki dari sudut pandang teori strukturalfungsionalisme tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita” ? 1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini adalah untuk
menggambarkan representasi patriarki dari sudut pandang teori struktural-fungsionalisme tokoh-tokoh dalam film “7 Hati 7 Cinta 7 Wanita”. 1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai penambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti selaku mahasiswa konsentrasi broadcasting yang ingin menganalisa kajian tentang perempuan, terutama mengenai konsep patriarki dalam masyarakat modern dengan metode analisis isi. Lebih spesifik lagi, peneliti ingin mengkaji film ini menjadi satu bentuk pembelajaran tentang maraknya masalah ketidakadilan gender di Indonesia. Selain itu, penulis juga ingin membuktikan bahwa film jangan hanya dianggap sebagai hiburan semata, namun dipahami sebagai suatu bentuk pendidikan dari salah satu fungsi media massa dengan melihatnya secara lebih luas. 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah supaya khalayak/masyarakat dapat mengetahui sisi lain dari konsep patriarki yang ada, terutama tatanan antara perempuan dengan laki-laki sebagai sebuah struktur sosial. Bagi akademik penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi mahasiswa yang ingin mempelajari dan meneliti lebih jauh mengenai konsep patriarki atau perempuan, terutama di media massa. Sedangkan bagi dunia perfilman sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi siapa saja yang ingin membuat film supaya lebih memperhatikan dalam mengangkat isu-isu sosial dalam masyarakat, hingga menghasilkan sebuah karya yang cerdas dan bermutu, serta menjadi sebuah pembelajaran tersendiri bagi penikmatnya. Diharapkan penelitian ini juga dapat menunjukkan bahwa sebuah film dapat memuat berbagai macam makna atau pesan mengenai kondisi sosial di sekitar kita yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah isu tentang patriarki dan pandangan yang lebih luas dan kritis dari kultur ini. 6