BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Keberadaan usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) mencerminkan
wujud nyata kehidupan sosial dan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. UKM di Indonesia telah mendapat perhatian dan dibina pemerintah dengan membuat portfolio kementrian yaitu Menteri Koperasi dan UKM. Kementrian tersebut mengelompokkan UKM menjadi 3 kelompok berdasarkan total aset, total penjualan tahunan, dan status usaha dengan kriteria sebagai berikut (PT Bisinfocus Data Pratama,2004:26): 1. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal, dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum. Hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta 2. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, b. Usaha yang memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1 miliar, c. Usaha yang berdiri sendiri, bukan perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau terafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau skala besar, d. Berbentuk usaha yang dimiliki orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. 3. Usaha menengah adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih besar Rp 200 juta sampai paling banyak Rp 10 miliar; tidak termasuk tanah dan bangunan usaha
1
b. Usaha yang berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau terafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau skala besar. c. Berbentuk usaha yang dimiliki orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. Peran usaha kecil dan menengah (UKM) yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja.
Kontribusi UKM dalam PDB pada tahun 2006 adalah sebesar 53,3 persen dari
total PDB nasional, nilai ini mengalami peningkatan sebesar 19,3 persen dibandingkan tahun 2005. Sumber pertumbuhan PDB nasional tahun 2006 yang sebesar 5,5 persen adalah berasal dari kontribusi UKM sebesar 3,1 persen dan kontribusi usaha besar sebesar 2,4 persen. Perkembangan UKM seperti itu sangat kritikal dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (indonesia.go.id, 2007).
Menurut sektor ekonomi, pada tahun 2005 jumlah UKM di Indonesia
sebanyak 44,7 juta unit usaha dan tahun 2006 berjumlah 48,9 juta unit usaha, dari jumlah unit usaha tersebut tenaga kerja yang dapat terserap pada tahun 2005 adalah 83,2 juta tenaga kerja sedangkan pada tahun 2006 sebanyak 85,4 juta tenaga kerja atau 96,18% terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia, dimana jumlah tersebut meningkat 2,2 juta tenaga kerja atau setara dengan 2,6%. Perkembangan seperti itu menunjukkan bahwa UKM akan tetap berperanan sangat besar dalam penyediaan lapangan kerja bagi negara Indonesia yang berpenduduk 220 juta jiwa (indonesia.go.id, 2007).
Perkembangan yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum
diimbangi dengan peningkatan kualitas UKM yang memadai. Masalah yang
2
masih dihadapi adalah rendahnya produktivitas, sehingga menimbulkan kesenjangan yang sangat lebar antar pelaku usaha kecil, menengah, dan besar. Atas dasar harga konstan tahun 2004, produktivitas per unit usaha selama periode 2004‐2005 tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, yaitu usaha mikro dan kecil masih berkisar sekitar Rp 4,3 juta dan usaha menengah berkisar Rp 1,2 miliar. Demikian pula dengan perkembangan produktivitas per tenaga kerja belum menunjukkan perkembangan yang berarti yaitu masing‐masing berkisar Rp 2,6 juta dan Rp 8,8 juta (Rustami, R, Bisnis Indonesia, 2005). Hal ini terjadi karena beberapa hal berikut ini, yaitu: 1. Rendahnya kualitas sumber daya manusia khususnya dalam manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran. 2. Lemahnya rata‐rata kompetensi kewirausahaan. 3. Terbatasnya kapasitas UKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Kemajuan UKM sangat mendukung upaya mengatasi kesenjangan yang terlalu jauh antar pelaku, antar golongan pendapatan dan antar daerah, termasuk penanggulangan kemiskinan.
Selain masalah produktivitas UKM juga masih menghadapi berbagai
permasalahan yang terkait dengan iklim usaha seperti: 1. Besarnya biaya transaksi, panjangnya proses perijinan dan timbulnya berbagai pungutan 2. Praktik usaha yang tidak sehat Selain 2 faktor di atas, otonomi daerah yang diharapkan mampu mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi UKM, ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Sejumlah daerah telah mengidentifikasi peraturan‐ peraturan yang menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dan bahkan telah meningkatkan pelayanan kepada UKM 3
dengan mengembangkan pola pelayanan satu atap. Namun masih terdapat daerah lain yang memandang UKM sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan‐pungutan baru bagi UKM sehingga biaya usaha UKM meningkat. Aspek kelembagaan pendukung terutama dari pemerintah yang belum mapan menjadi masalah mendasar untuk diatasi.
Tantangan ke depan UKM untuk mampu bersaing di era perdagangan
bebas, baik di pasar domestik maupun di pasar ekspor, sangat ditentukan oleh dua kondisi utama, yaitu pertama, lingkungan internal UKM harus diperbaiki, yang mencakup aspek kualitas SDM, terutama kewirausahaan (entrepreneurship), penguasaan teknologi dan informasi, struktur organisasi, sistem manajemen, kultur/budaya bisnis, kekuatan modal dan jaringan bisnis dengan pihak luar. Kedua, lingkungan eksternal harus juga kondusif, yang terkait dengan kebijakan pemerintah, aspek hukum, kondisi persaingan pasar, kondisi ekonomi‐sosial‐ kemasyarakatan, kondisi infrastruktur, tingkat pendidikan masyarakat, dan perubahan ekonomi global. Secara nasional, pilihan strategi dan kebijakan untuk memberdayakan UKM dalam memasuki era pasar global menjadi sangat penting bagi terjaminnya kelangsungan hidup dan perkembangan UKM sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. 1.2 Profil Perusahaan 1.2.1. Sejarah Perusahaan
Perusahaan UKM yang diteliti adalah perusahaan yang bergerak di
bidang konfeksi kemeja resmi dan kemeja muslim lelaki dewasa serta anak‐ anak (baju koko) yang bernama Denmarx. Perusahaan ini termasuk dalam kelompok usaha mikro karena belum terdaftar dan berbadan hukum. Denmarx ini merupakan sebuah usaha keluarga yang diwariskan turun temurun dari
4
orang tua Deny Kristianto, dimana sekarang Bapak Deny Kristianto berlaku sebagai pemilik Perusahaan Denmarx tersebut.
Usaha konfeksi Denmarx ini didirikan oleh ayah Deny Kristianto yang
bernama Bapak Syukur Lukman pada tahun 1975, yang dimulai dengan membuat kemeja resmi seperti kemeja korpri, kemeja batik, dan lain‐lain. Bapak Syukur Lukman memulai usaha ini hanya dengan memiliki penjahit sebanyak 4 orang, 1 orang sebagai packaging, 1 orang kernet, dan 1 orang supir. Pemasaran produk kemeja tersebut dilakukan dengan cara menawarkan ke toko‐toko fashion di Bandung dan kota‐kota di Jawa Barat, yaitu Tasikmalaya, Subang, Sumedang, Garut. Usaha Denmarx ini cukup berhasil karena jumlah order yang terus meningkat, penambahan jumlah penjahit dari 4 orang menjadi 6 orang dan jumlah pelanggan yang bertambah dari hanya 5 toko menjadi 10 toko fashion pelanggan tetap. Semua produk kemeja resmi yang dihasilkan dari konfeksi ini pada saat dipimpin Bapak Syukur menggunakan 1 brand yaitu “Denmarx”. Usaha ini dipimpin oleh Bapak Syukur sampai pada akhir tahun 1989, dimana pada awal 1990 Bapak Deny Kristianto selaku pemilik Perusahaan Denmarx mulai memimpin perusahaan.
Usaha konfeksi ini pada awal dipimpin Bapak Deny Kristianto sampai
pada tahun 1995 hanya membuat dan memasarkan kemeja‐kemeja resmi dengan brand “Denmarx” untuk kemeja resmi dan brand “Sultan” untuk kemeja batik. Pada akhir tahun 1995 karena pasar kemeja resmi yang semakin kecil dan semakin banyaknya usaha konfeksi kemeja yang sejenis maka pendapatan perusahaan ini semakin menurun dan keuntungan yang diperoleh perusahaan ini juga semakin kecil. Pemilik perusahaan berusaha untuk menaikkan kembali pendapatan perusahaan dengan cara mencari‐cari model kemeja lelaki yang dapat laris di pasar fashion. Usaha pencarian model kemeja tersebut dilakukan dengan melihat model kemeja yang paling banyak dijual oleh toko‐toko fashion 5
langganan Perusahaan Denmarx. Selain itu juga pemilik perusahaan banyak melakukan market survey terhadap para pemilik toko tentang model kemeja yang paling laris di toko tersebut. Setelah melakukan market survey dan melihat di toko‐toko fashion, maka pemilik perusahaan memutuskan untuk mulai membuat kemeja muslim lelaki atau sering disebut baju koko.
Pada awal tahun 1996 pemilik perusahaan memulai produksi membuat
kemeja muslim lelaki dan pada awalnya jumlah disain kemeja muslim yang dipasarkan hanya ada 2 jenis disain yang diperoleh pemilik perusahaan dari meniru dan memodifikasi disain kemeja muslim yang sedang laris di pasaran. Jumlah disain yang dipasarkan hanya 2 jenis karena pemilik perusahaan ingin tahu terlebih dahulu bagaimana respon pasar terhadap kemeja muslim yang dihasilkan dari Perusahaan Denmarx. Brand yang digunakan untuk kemeja muslim tersebut adalah “Denmarx”. Setelah dilakukan penjualan selama kurang lebih 6 bulan, respon pasar terhadap kemeja muslim “Denmarx“ sangat positif, hal itu terbukti dengan meningkatnya order dari para toko fashion langganan, baik yang terdapat di kota Bandung maupun yang berada di luar kota Bandung, serta yang paling penting adalah meningkatnya pendapatan yang diperoleh dari penjualan kemeja muslim tersebut.
Penjualan kemeja muslim tersebut terus meningkat, sehingga pemilik
perusahaan menyadari bahwa tidak mungkin untuk terus meniru disain yang laris di pasaran, supaya penjualan dapat meningkat lagi maka harus membuat disain original khas “Denmarx”. Untuk mengatasi masalah disain tersebut maka pemilik perusahaan menyewa seorang disainer “free lance”, dimana disainer tersebut membuat beberapa disain dalam 1 bulan kemudian ditawarkan ke pemilik perusahaan, yang kemudian pemilik perusahaan memilih disain yang dia suka ataupun pemilik perusahaan bisa memberikan masukan untuk memodifikasi suatu disain. Pada tahun 2002 Perusahaan Denmarx 6
mengeluarkan produk kemeja muslim (terusan) untuk anak‐anak dan dewasa dengan brand “Family”. Semua produk kemeja tersebut tetap dipasarkan ke toko‐toko fashion di kota Bandung maupun di kota‐kota Jawa Barat seperti, Cianjur, Purwakarta, Subang, Sumedang, Garut, dan lainnya. 1.2.2. Lingkup Bidang Usaha
Perusahaan Denmarx ini sebagaimana telah dipaparkan di atas
merupakan sebuah usaha keluarga yang diwariskan turun temurun, yang bergerak di bidang konfeksi fashion kemeja untuk lelaki, yang berupa: 1. Kemeja resmi lelaki dewasa 2. Kemeja muslim lelaki dewasa (baju koko) 3. Kemeja muslim anak‐anak lelaki (baju koko anak) Pada Perusahaan Denmarx ini terjadi proses dari “hulu” sampai ke “hilir” dalam arti bahwa semua proses pembuatan kemeja dari bahan baku kain sampai ke pemasaran produk kemeja berlangsung di dalam perusahaan ini. Adapun tahapan proses yang terjadi di Perusahaan Denmarx adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan jenis dan motif kain yang akan dipakai 2. Pemilihan disain untuk kemeja muslim 3. Pembuatan pola kemeja pada kain 4. Membentangkan kain dari bentuk roll menjadi berbentuk lapisan 5. Melakukan proses pemotongan terhadap kain yang sudah berbentuk lapisan tersebut sesuai dengan pola kemeja yang sudah dibuat 6. Menjahit potongan‐potongan kain yang sudah berbentuk bagian‐bagian dari sebuah kemeja 7. Memasangkan kancing dan memberikan lubang kancing pada kemeja 7
8. Melakukan proses pembersihan sisa‐sisa benang yang tersisa pada kemeja 9. Melakukan proses setrika dan packaging 10. Melakukan pemasaran ke toko‐toko fashion baik di dalam kota Bandung maupun kota‐kota lain di Jawa Barat Pada perusahaan ini pemilihan motif kain dan pemilihan disain untuk kemeja muslim dewasa maupun anak‐anak dilakukan sendiri oleh pemilik perusahaan, hanya proses pembuatan disain dilakukan oleh pihak luar (outsource).
Sampai saat ini Perusahaan Denmarx ini memiliki 3 brand yang sudah
beredar di pasaran fashion di Indonesia umumnya dan Bandung beserta sekitarnya khususnya. Brand produk‐produk Perusahaan Denmarx adalah sebagai berikut:
“Denmarx” untuk produk kemeja muslim dewasa serta anak‐anak dan kemeja resmi
“Family” untuk produk kemeja muslim dewasa serta anak‐anak
“Sultan” untuk produk kemeja batik
1.2.3. Unit of Analysis
Fokus pembahasan ditujukan kepada proses pemasaran produk yang
dilakukan oleh Perusahaan Denmarx. Sampai saat ini proses pemasaran hanya dilakukan oleh pemilik perusahaan seorang diri beserta 1 orang supir, sehingga pada laporan ini akan diberikan program‐program pemasaran (marketing strategy) yang diharapkan dapat meningkatkan penjualan Perusahaan Denmarx dari kemeja resmi maupun kemeja muslim. 8
1.2.4. Isu Bisnis
Permasalahan yang selalu dihadapi oleh para pengusaha Usaha Kecil
Menengah (UKM) adalah kesulitan untuk memasarkan produk‐produk mereka. Para pengusaha UKM ini mengalami kesulitan tersebut karena terhambat oleh berbagai faktor antara lain: 1. Produk‐produk yang dihasilkan UKM kurang kompetitif 2. Kurangnya pengetahuan para pemilik UKM tentang proses pemasaran produk yang menarik bagi kosnsumen 3. Kurangnya modal untuk melakukan promosi produk yang dihasilkan UKM Permasalahan tersebut dihadapi juga oleh Perusahaan Denmarx dimana, hal tersebut terjadi karena: 1. Proses pemasaran hanya dilakukan dengan cara melakukan kunjungan terhadap toko‐toko fashion yang terdapat di kota Bandung dan Jawa Barat, satu minggu satu kali. 2. Pemasaran tidak dilakukan ke kota‐kota lain di luar provinsi Jawa Barat, seperti kota‐kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dll. 3. Kurangnya promosi yang dilakukan Perusahaan Denmarx terhadap produk‐produk yang sudah ada maupun terhadap produk yang baru. Dampak saat ini yang diperoleh dari kesulitan pemasaran yang dihadapi pemilik Perusahaan Denmarx adalah tidak berkembangnya usaha kemeja tersebut yang berujung pada menurunnya revenue dan profit perusahaan. Jika hal ini terus berlangsung dan tidak dapat diatasi maka pada masa mendatang Perusahaan Denmarx ini akan mengalami situasi yang semakin sulit.
9