Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Metro TV merupakan salah satu media di Indonesia yang berani menawarkan 70% porsi acaranya untuk berita. Bahkan salah satu visi Metro TV yang tercantum dalam situsnya di http://metrotvnews.com/ adalah, “To become a distinct Indonesian television station by ranking number one for its news.” Slogannya saat ini, Knowledge to Elevate, juga mencerminkan bahwa Metro TV ingin menyajikan berita dan informasi yang dapat mengangkat pengetahuan pemirsa. Metro TV yang mulai mengudara pada 25 November 2000 ini dimiliki oleh Surya Paloh, presiden dari Media Group yang juga memiliki surat kabar nasional dengan oplah terbesar kedua, Media Indonesia. Pada awalnya, Metro TV benar-benar menjaga kualitas liputannya sebagai televisi berita. Namun sejak Surya Paloh mulai berafiliasi dengan dunia politik, tayangan Metro TV mulai berpihak pada kepentingan politik pemiliknya, terlebih saat mendekati masa kampanye pemilu 2014. Penelitian yang dilakukan oleh Remotivi pada tayangan televisi berbentuk produk berita, iklan, dan produk non-berita selama 1-7 November 2013 menemukan bahwa Surya Paloh, mendapat porsi pemberitaan paling banyak di Metro TV. Selama periode penelitian, tercatat ada 15 judul berita dengan durasi 6.297 detik yang memberitakan Surya Paloh. Jumlah berita ini mencakup 30.6% dari seluruh pemberitaan tokoh politik yang ada di Metro TV. Keberpihakan ini semakin terlihat dengan bukti bahwa dari 15 berita tentang Surya Paloh, 10 di antaranya bernada positif, dan 5 lainnya netral (Heychael & Dhona, 2014). Riset serupa juga dilakukan oleh tim peneliti dari Masyarakat Peduli Media (MPM) pada periode yang berdekatan (4-10 November 2013). Penelitian ini menemukan bahwa di dalam satu minggu masa penelitian, berita terkait Partai Nasdem disebut 22 kali dalam berbagai kesempatan program Metro TV. Bahkan
1
hampir di tiap liputan tentang parpol apa pun, Partai Nasdem turut disebut dalam narasi (Masduki, dkk., 2014). Usainya pemilu legislatif ternyata tidak mengurangi keberpihakan Metro TV. Menjelang pemilu presiden, arah pemberitaan di Metro TV malah ditentukan oleh peta koalisi politik. Resminya koalisi antara Partai Nasdem yang diketuai oleh Surya Paloh dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), pun membangun dukungan Metro TV terhadap pasangan calon presiden – wakil presiden, Jokowi dan Jusuf Kalla. Di hasil periode penelitian Remotivi sebelumnya (1-7 November 2013), pemberitaan Metro TV atas Jokowi tidak lebih dari 12%. Namun setelah koalisi ini terbentuk, berita terkait Jokowi mendapat porsi kemunculan yang tinggi yakni sebesar 74,4%, dengan durasi 73,9%. Sejumlah 31,3% berita di antaranya bernada positif. Berbeda dengan rivalnya, Prabowo hanya mendapat 12% frekuensi kemunculan dengan total durasi 12,2%. Data ini diperoleh dari penelitian Remotivi sepanjang 1-7 Mei 2014 (Heychael, 2014). Padahal dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 menyebutkan bahwa frekuensi adalah milik publik, dengan konsekuensi logis, yang dijelaskan dalam aturan turunan P3-SPS pasal 50 ayat 2, “Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah” serta pasal 3, “Lembaga Penyiaran tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah”. Serangkaian temuan ini membuktikan bahwa Metro TV tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menegakkan UU Penyiaran dan menghadirkan ruang publik yang demokratis (Remotivi, 2014). Padahal integritas nasional di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara. Dengan pers sebagai pilar bangsa yang keempat, maka moral dan etika pers—yang dalam penelitian ini adalah Metro TV—pun harus dipertanyakan ketika bicara soal integritas bangsa. Fakta ini sebenarnya dapat dijadikan peringatan bahwa masyarakat sudah saatnya mulai menyaring informasi yang mereka terima dari media. Media-media
2
yang dimiliki oleh elit politik cenderung digunakan pemilik untuk kepentingan pribadinya dibandingkan melayani publik. Terlebih, kepentingan pragmatis pemilik ternyata cenderung merusak standar objektivitas dalam jurnalisme profesional (Siregar dkk, 2014). Kepemilikan media yang terlalu eksesif pun dapat menuntun pada representasi berlebihan atas sudut pandang politis tertentu (Doyle, 2002). Masyarakat pemilih aktif yang sudah memiliki banyak pengalaman di pemilu tahun-tahun sebelumnya mungkin sudah sadar akan adanya bias media dalam setiap tayangan berita Metro TV. Namun, bagaimana halnya dengan pandangan para pemilih pemula yang belum memiliki pengalaman memilih sebelumnya? Padahal selain sosialisasi dari KPU, media menjadi salah satu pihak yang memiliki peran besar dalam mengedukasi pemilih pemula tentang hak suaranya. Lange & Ward (2004) bahkan menyebutkan bahwa media penyiaran dan cetak dapat menjadi ‘tempat’ utama di mana para pemilih menentukan pilihannya. Peran media ini penting, bahkan ini bisa dikatakan sebagai fungsi public interest media yang paling penting dalam konteks kehidupan demokrasi masyarakat suatu bangsa. KPU Provinsi DKI Jakarta (2013) mendefinisikan pemilih sebagai warga negara yang sudah berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara dan atau yang sudah menikah dan tidak kehilangan hak pilihnya. Sedangkan pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2014 ini, yakni mereka yang berusia kurang lebih 17 hingga 21 tahun. Di tahun 2014 ini, jumlah pemilih pemula yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengalami kenaikan jumlah yang signifikan. Dari hasil klasifikasi dokumentasi data yang ada, KPU memprediksi terdapat 18.334.458 pemilih pemula di tahun 2014 ini. Jika digabungkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) secara keseluruhan, maka jumlah pemilih pemula tersebut mencapai angka 10% (Rakhmatullah 2013). Usia mereka yang masih muda sangat memungkinkan bagi para pemilih pemula ini tidak menghiraukan masalah politik, sehingga dengan mudah terpengaruh laporan berita Metro TV dengan biasnya.
3
Usai paparan berita pemilu 2014 di Metro TV yang bias tersebut, kredibilitas berita politik di Metro TV masih dipertanyakan. Terlebih, kubu Jokowi-JK yang diusung oleh Metro TV ternyata menang dalam pemilu presiden yang lalu. Ada kemungkinan bahwa masyarakat masih memiliki anggapan tentang bias politik di berita-berita pemerintahan Jokowi-JK di Metro TV. Akan tetapi, apa yang dipikirkan oleh para pemilih pemula mungkin saja berbeda. Para pemilih pemula ini bisa jadi tidak peduli pada penyelewengan frekuensi publik yang dilakukan oleh Metro TV selama pemilu 2014, namun bisa jadi pula mereka telah memperoleh pengetahuan literasi media yang cukup sehingga mereka mulai menyaring informasi yang ada. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan kepada mahasiswa dari Jurusan Ilmu Komunikasi di universitas-universitas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka adalah pemilih pemula, namun mereka diasumsikan sudah memperoleh pendidikan literasi media dari materi perkuliahan. Peneliti menganggap bahwa mahasiswa Ilmu Komunikasi ini dapat memahami konsep terkait kredibilitas media yang digunakan dalam penelitian ini. Sehingga, penilaian yang mereka berikan pun memiliki latar belakang akademis. Daerah Istimewa Yogyakarta ini dipilih dengan alasan kedekatan lokasi dengan peneliti.
B. Rumusan Masalah Berikut adalah rumusan masalah yang terdapat dalam riset ini: Bagaimana pemilih pemula kalangan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Daerah Istimewa Yogyakarta menilai kredibilitas Metro TV sebagai institusi produsen berita pemerintahan dan kredibilitas berita pemerintahan Jokowi – JK di Metro TV pasca pemilu 2014?
C. Tujuan Penulisan Riset ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kredibilitas Metro TV sebagai
institusi
produsen
berita
pemerintahan
dan
kredibilitas
berita
pemerintahan Jokowi – JK di Metro TV pasca pemilu 2014 dalam pandangan
4
pemilih pemula kalangan mahasiswa Ilmu Komunikasi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Dalam ranah akademis: diharapkan dapat memperkaya khasanah hasil-hasil penelitian media, terkait isu kredibilitas media. 2. Dalam ranah pragmatis: dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat dapat melihat bagaimana gambaran pandangan pemilih pemula tentang kredibilitas Metro TV pasca pemilu 2014. Dengan adanya studi ini juga diharapkan dapat memperkuat alasan pentingnya pendidikan literasi media bagi masyarakat.
E. Kerangka Pemikiran 1. Kredibilitas berita Untuk memenuhi fungsi sumber informasi bagi konsumernya, koran, televisi, radio, dan situs-situs internet menyajikan berita dalam bentuk yang berbeda-beda. Orang menonton, membaca, atau mendengar berita agar mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia luar sana pada hari itu. Meski para jurnalis belum dapat setuju pada satu definisi berita yang sama, bisa diartikan bahwa berita adalah “reports about things that people want or need to know” (Vivian, 2008). Terdapat dua jenis berita: hard news dan soft news. Jamieson dan Campbell (1992) mendefinisikan hard news sebagai “any report of an event that happened or was disclosed within the previous 24 hours and treats an issue of ongoing concern (Harris, 2009).” Soft news atau berita ringan, biasanya berhubungan dengan human interests. Isinya menghibur, walau kadang juga memberi informasi penting. Berbeda dengan hard news, bahasan soft news
5
tidak terlalu terikat dengan waktu dan tempat, lebih menarik bagi sisi emosional manusia (Rolnicki dkk, 2008). Setiap detiknya, terjadi begitu banyak peristiwa di sekeliling kita. Namun tidak semuanya dapat dijadikan berita untuk dimuat di media massa. Agar makna berita tidak rancu, para jurnalis kemudian menetapkan delapan nilai berita (news values). Jika suatu kabar mengandung setidaknya satu dari delapan nilai berikut, maka peristiwa tersebut layak diliput. Delapan nilai berita tersebut, antara lain: a. ketepatan waktu (timeliness), b. memiliki efek tertentu pada pembaca (impact), c. melibatkan sesuatu hal yang terkenal (prominence), d. membicarakan sesuatu yang memiliki kedekatan baik secara geografis maupun emosional dengan pembaca (proximity), e. mengandung konflik (conflict), f. hal yang diberitakan merupakan sesuatu yang tidak biasa (unusual), g. currency, h. sesuatu yang dianggap penting untuk disebarluaskan (necessity) (Mencher, 2000). Untuk menjaga kualitas media, seharusnya media dapat mempertahankan aspek kredibilitasnya. Konsep kredibilitas media sebenarnya merupakan konstruk multidimensional yang dapat dibagi menjadi tiga bagian: kredibilitas sumber (berkaitan dengan kredibilitas sumber informasi penyampai pesan), kredibilitas pesan (berhubungan dengan karakterisitik pesan), serta kredibilitas medium (berhubungan dengan saluran tempat pesan disampaikan) (Borah, 2014). Kiousis (2001) menyebutkan bahwa kredibilitas sumber merujuk
pada
karakteristik
komunikator
yang
‘memengaruhi
pemrosesan pesan’. Hovland dkk (1953) dalam Sabigan (2007) juga menjelaskan bahwa kredibilitas sumber berita dapat dilihat dari keahlian (expertise) dan seberapa tinggi sumber dapat dipercaya
6
(trustworthiness). Keahlian seseorang ini bisa dilihat dari aspek usia, kepemimpinan, serta latar belakang sosialnya (Sabigan, 2007). Misalnya saja untuk berita terkait kasus kecelakaan pesawat akibat human error, maka sumber kredibel yang dapat diambil testimoninya adalah pilot senior yang memiliki jam terbang tinggi. Di sisi lain, kredibilitas medium lebih fokus pada saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi. Kredibilitas medium ini tidak mempertimbangkan karakteristik komunikator, baik pembicara atau pembaca berita (Sabigan, 2007). Beberapa studi mengatakan bahwa semakin orang tergantung pada berita dan informasi dari satu media tertentu, maka semakin tinggi pula kemungkinan orang tersebut menilai media rujukan mereka sebagai media yang paling kredibel (Johnson & Kaye, 2004). Misalnya saja orang yang lebih banyak membaca koran akan mengatakan bahwa koran lebih kredibel dibanding televisi (Gaziano & McGrath, 1986). Sebuah riset yang dilakukan oleh Wisconsin Survei Research Laboratory menunjukkan bahwa televisi merupakan medium yang paling dipercaya masyarakat, disusul koran, dan radio (Sabigan, 2007). Memang, dulu koran sempat menjadi media paling kredibel menurut riset Roper Organization, namun sejak tahun 1960-an, masyarakat kemudian menganggap televisi sebagai medium informasi yang paling terpercaya. Namun, riset dari Pew Research Center menemukan bahwa para pengguna internet memberikan nilai akurasi lebih tinggi pada berita online daripada sumber lainnya dibanding orang yang tidak menggunakan internet. Dengan kata lain, terdapat suatu hubungan antara pengalaman penggunaan medium dengan persepsi akan kredibilitas (Flanagin & Metzger, 2000). Lebih jauh, para responden Wisconsin Survei Research menyatakan bahwa mereka menilai suatu sumber lebih terpercaya apabila dukungan media terhadap suatu isu sama dengan pandangan mereka (Sabigan, 2007).
7
Padahal salah satu tuntutan pers dalam menyajikan berita adalah objektivitas. Poin selanjutnya adalah kredibilitas pesan/berita. Markham (1968) dalam Sabigan (2007) pernah melakukan riset kredibilitas acara berita televisi berdasarkan tiga poin: “the reliable-logical factor, showmanship, and trustworthiness” (Sabigan, 2007:18). Faktor the reliable-logical merujuk pada apakah berita yang disajikan merupakan benar secara logis dan terpercaya. Sementara itu, showmanship atau kredibilitas pembicara dan trustworthiness sebenarnya merupakan dua poin yang seharusnya masuk dalam pertanyaan kredibilitas sumber, sehingga riset Markham ini dianggap kurang valid (Sabigan, 2007). Kredibilitas media ini dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator yang seringkali berbeda antara satu studi dengan studi lainnya. Bagaimanapun juga, hingga saat ini para peneliti belum sepakat tentang satu skala kredibilitas yang valid dan dapat digunakan di semua kasus. Memang sudah banyak penelitian yang melakukan riset dengan berbagai skala kredibilitas media. Namun mereka lebih sering menciptakan skala yang sesuai untuk tujuan hipotesis tertentu, dibanding mencari dan menetapkan satu skala kredibilitas universal. “Rather than searching for a single scale, researchers often create ad hoc scales to tap into hypothesized “dimensions” of credibility” (Abdulla dkk, 2002:9). Meski begitu, jika diperhatikan sebenarnya terdapat kemiripan indikator antara satu skala dengan skala yang lain. Salah satu indikator yang kerap digunakan dalam berbagai riset kredibilitas adalah studi perbandingan kredibilitas berita antara koran dan televisi oleh Gaziano & McGrath (1986). Mereka menggunakan 12 poin indikator kredibilitas, yakni: … are fair, are unbiased, tell the whole story, are accurate, respect people’s privacy, watch out after people’s interests, are concerned about the community’s well-being, separate fact and opinion, can be trusted, are concerned about the public interest, are factual, and have well-trained reporters. (Gaziano & McGrath 1986:454)
8
Namun skala ini dianggap kurang berdasar pada teori oleh Meyer (dikutip dari Borah 2014), sehingga ia meringkas skala kredibilitas milik Gaziano & McGrath menjadi lima dimensi: fairness, completeness, bias, accuracy, dan trustworthiness (Borah, 2014). Sementara itu, Rimmer dan Weaver (1987) dalam Abdulla dkk. (2002) menggunakan indikator berikut untuk mengukur kredibilitas: trustworthiness, fairness, bias, completeness, respect for privacy, representation of individual interests, accuracy, concern for community well-being, separation of fact and opinion, concern for public interest, factual foundations of information published, and qualifications of reporters. Indikator ini diambil dari pertanyaan terkait pilihan (preference) dan penggunaan media tradisional ala Roper (Abdulla dkk, 2002). Di sisi lain, Ognianova (1998) memakai 9 poin semantic yang berbeda untuk mengukur kredibilitas berita online. Poin tersebut yakni factual/opinionated,
unfair/fair,
accurate/inaccurate,
untrustworthy/trustworthy, balanced/unbalanced, biased/unbiased, reliable/unreliable, thorough/not thorough, dan informative/not informative (Abdulla dkk, 2002). Pada tahun 1994, Wanta dan Hu menggunakan dua indeks untuk mengevaluasi kredibilitas media: believability dan affiliation. Indeks believability terdiri dari media manipulation of public opinion, getting facts straight, dealing fairly with all sides of an issue, dan separation of fact from opinion. Sedangkan indeks untuk afiliasi diukur dari concern for community well being, watching out for reader interests, dan concern for public welfare (Abdulla dkk, 2002). Dari berbagai macam indikator kredibilitas media yang telah dijabarkan di atas, kita dapat melihat memang ada kemiripan antara satu tipe dengan tipe yang lain. Hanya terdapat perbedaan satu dua poin saja. Lalu sebenarnya manakah skala kredibilitas yang terbaik? Tentu pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan mudah, karena para
9
peneliti pun masih banyak berdebat dalam hal ini. Namun sesungguhnya kita dapat sepakat bahwa kredibilitas merupakan persepsi dari audiens untuk melihat sejauh mana berita yang disajikan dapat
merefleksikan
realitas
sesungguhnya.
Terkait
hal
ini,
Newshagen & Nass (1989) mengungkapkan, If credibility is defined from a receiver-oriented perspective, credibility is the degree to which an individual judges his or her perceptions to be a valid reflection of reality ... Mass media news credibility, then, is the perception of news messages as a plausible reflection of the events they depict. (Blair, 2008:18)
2. Berita pemerintahan Berita pemerintahan dapat diartikan sebagai segala bentuk liputan berita terkait kegiatan pemerintah seperti perubahan hukum, administrasi, hingga pergantian personel dan kegiatan mereka (Vilanilam,
1975).
Secara
lebih
detil,
Vilanilam
(1975:10)
mengungkapkan bahwa berita pemerintahan (governmental news) adalah: editorials, features, letters to editor, and straight news including pictures, relating to the activities of government, and of government officials, sub-categorized into: 1. Changes in central and state governments; 2. Defense, law and order, and police; 3. District and local administration; 4. Foreign relations; 5. Government committees; 6. Inaugurations and dedications; 7. Miscellaneous governmental activities such as government’s decisions on specific issues, press communiqués, orders, cabinet meetings, statements, and announcements; 8. Municipalities and panchayats; 9. Parliament and state legislature proceedings; 10. Personal news about ministers and government officials; and, 11. Personnel changes such as appointments, transfers, promotions, awards, tours, of ministers and other government officials.
10
Definisi ini memiliki perbedaan yang mendasar dengan state press atau state-owned press. Arifin (2000) dalam Gunarjo (2013) mengartikan pers birokratik atau sering disebut dengan istilah pers pemerintah sebagai pers yang diterbitkan oleh lembaga pemerintah. Pers
birokratik
diasumsikan
selalu
tunduk
kepada
birokrasi
pemiliknya. Namun di negara liberal dan negara demokrasi, pers birokratik dapat meneguhkan posisinya untuk berseberangan dengan pemerintah (Gunarjo, 2013:81). Interaksi antara pers dan pemerintah merupakan hal yang menarik untuk dilihat. Perkembangan teknologi komunikasi bersama dengan proses publikasi politik modern telah mengubah cara berita dibuat. Ikatan personal antara politisi dan jurnalis telah digantikan dengan metode marketing politik dan perencanaan komunikasi strategis. Dari sinilah muncul istilah manajemen berita pemerintah (government news management), solusi praktis bagi pemerintah dan aktor politik lainnya untuk mengomunikasikan pesan-pesan mereka secara startegis dengan menggunakan media lebih jauh untuk tujuan politis (Pfetsch, 2008). Gianpietro Mazzoleni menyebutkan bahwa terdapat dua pola dasar produksi pesan politik ini. Pola pertama menggunakan logika media, yang bertujuan untuk mempromosikan suatu presentasi dan pemahaman politik yang sesuai dengan format media dan nilai berita (Pfetsch, 2008). Manajemen berita yang berpusat pada media (mediacentered news management) ini hanya berfokus untuk menghasilkan kaverasi dan citra yang positif atas wakil rakyat di pemerintahan. Logika media ini juga mengembangkan isu-isu di masyarakat agar seolah-olah pemerintah selalu ada setiap saat bagi rakyat. Daniel Boorstin menyebutnya sebagai pseudoevents, yakni “synthetic events that are staged only to stimulate media reporting” (Pfetsch, 2008). Berbeda dengan logika media, terdapat pula manajemen berita yang menggunakan logika partai atau politik. Tujuannya adalah untuk
11
mengukuhkan posisi partai politik sebagai sebuah institusi dan menyatukan para pemilih (voters) di bawah kekuasaan politis mereka. Jika logika partai ini digunakan oleh manajemen berita pemerintah, maka tujuannya adalah untuk memberikan informasi pada publik, melegitimasi
keputusan,
serta
menciptakan
dukungan
dan
kepercayaan publik pada performa pemerintah. Intinya, tujuan utama dari logika partai ini adalah untuk menguasai kekuatan politis (Pfetsch, 2008). Strategi politik dalam manajemen berita ini menggunakan media untuk mencapai tujuan politisnya. Strategi ini dapat digunakan untuk menyerang lawan politik dengan berita negatif, seperti yang banyak digunakan di negara-negara dengan sistem parlemen. Tak hanya itu, strategi ini juga dapat digunakan untuk mengontrol isu di masyarakat. Melalui media, pemerintah dapat menetapkan sudut pandang tertentu (framing) atas suatu peristiwa. Masyarakat akan dibuat untuk fokus pada satu sisi isu yang menarik tersebut, sementara pemerintah dapat menyembunyikan poin yang dianggap paling tidak menguntungkan. Praktik ini kerap kali disebut sebagai spin control (Pfetsch, 2008). Siapa yang menguasai informasi, maka dia yang akan menguasai dunia. Oleh karena itu, semua aktor politik akan saling berlomba mendapatkan kaverasi media. Namun, pihak pemerintahlah sebenarnya yang paling memiliki keuntungan di sini. Dibanding tokoh partai, pemerintah punya kesempatan yang lebih besar untuk lolos dari filter media sehingga pesannya dapat disampaikan ke publik (Pfetsch, 2008). Namun perlu diperhatikan bahwa sistem pemerintahan ternyata juga mempengaruhi bagaimana praktik media dalam suatu negara. Di sini kita belum bicara soal kasus unik di Indonesia di mana mediamedia besar dikuasai oleh para aktor politik, namun kita akan
12
membahas bagaimana perbedaan manajemen berita pemerintah di sistem negara liberal, demokratis, dan komunis. Perbedaan manajemen berita pemerintahan di sebuah negara tergantung pada beberapa faktor, di antaranya perkembangan pasar media, hubungan antara media dan partai politik, profesionalisme jurnalistik, serta potensi adanya intervensi sistem media dari pemerintah yang berkuasa. Tak hanya itu, kultur media juga bisa dipengaruhi oleh bagaimana orientasi organisasi media terhadap institusi politik, apakah rasa hormat dan apresiasi atau sinisme dan ketidakpercayaan (Pfetsch, 2008). Amerika Serikat merupakan contoh yang paling cocok untuk menggambarkan bagaimana hubungan antara media dan pemerintah di negara liberal. Sistem liberal ini dapat ditengarai dari beberapa karakter misalnya terdapat tingkat komersialisasi yang tinggi serta terdapat kompetisi antarmedia dengan manajemen berita berlogika media (media-centered type of news management). Terdapat pula kultur penulisan berita yang lebih mengarah ke advertorial. Selama masa kampanye, para kandidat dapat membayar sejumlah uang untuk memperoleh spot iklan di media yang dikehendaki. Durasi iklannya bervariasi mulai dari 30 detik, 5 menit, atau bahkan 30 menit. Uniknya, tidak ada hukum federal atau negara di AS yang membatasi durasi iklan politik, karena hal tersebut akan dianggap sebagai tindakan pembatasan hak political speech. Iklan politik berbayar semacam ini telah menjadi bentuk kampanye paling dominan. Bahkan di pemilu AS tahun 2000 Al Gore dan George W. Bush bersama partai mereka menghabiskan lebih dari 240 juta dollar untuk iklan (Kaid & Jones, 2004). Amerika
Serikat
memiliki
sistem
politik
presidensial.
Kebijakan yang diambil oleh White House tidak bergantung pada dukungan legislatif, sehingga untuk meloloskan suatu kebijakan pemerintah eksekutif lebih memilih untuk merangkul publik daripada
13
bernegosiasi dengan kongres. Strategi proaktif pun digunakan untuk mendekati para pemilih dengan menentukan agenda media. White House memiliki staf tersendiri untuk merancang strategi komunikasi presiden agar pemerintah memiliki kesan yang baik di masyarakat. Hal ini kemudian menyebabkan terdapat banyak pseudoevents yang dibuat. “Various sources document a remarkable number of public appearances by the president that are symbolic events made available to the national media” (Pfetsch, 2008). Oleh karena itu, ketika pers meliput pseudoevents ini maka secara tidak langsung pemerintah dapat memanipulasi isi hingga kebutuhan visual berita pemerintahan yang dibuat. Namun bagaimanapun juga The First Amandment menjamin pers yang bebas di bawah lindungan Konstitusi Amerika Serikut sehingga secara umum pers bukanlah subjek yang dapat dikontrol oleh pihak manapun baik secara struktural maupun konten.
Terdapat
beberapa pengecualian dengan definisi bebas di sini, yakni (a) hukum federal yang membatasi kepemilikan media, (b) hukum negara yang melarang pers agar tidak menyebarkan informasi yang salah atau fitnah, dan (c) hukum negara yang melindung hak privasi individu (Kaid & Jones, 2004). Gaya interpretatif dalam pembuatan berita pemerintahan saat ini sedang berkembang di Amerika Serikat. Bahkan terdapat tendensi berita-berita yang dibuat kerap mengandung negativisme terhadap institusi politik di sana. “The study shows that American journalism could be characterized by a general anti-politics bias that applies to all institutions of government including the president” (Pfetsch, 2008). Media Amerika tampak seperti memerankan watchdog journalism, tapi sebenarnya bukan. Mereka memiliki anggapan bahwa semua politisi diasumsikan selalu bertindak atas kepentingan dirinya sendiri. Hingga pers di sana kerap mengklaim bahwa politisi cenderung
14
membuat janji yang mereka tidak bisa dan tidak akan mereka penuhi (Pfetsch, 2008). Berlawanan dengan sistem presidensil di Amerika Serikat, negara Jerman merupakan salah satu contoh negara parlementer dengan model demokratis korporatis. Di negara dengan model seperti ini, strategi komunikasi justru digunakan untuk menciptakan debat antar partai serta debat di dalam parlemen. Strategi komunikasi di level eksekutif pemerintahan pun tidak hanya didesain untuk mengontrol agenda media, namun juga digunakan untuk merespons lawan politik di dalam dan di luar partai koalisi. Jurnalis di Jerman menganggap bahwa mereka terlibat aktif dalam diskursi politik. Mereka cenderung mengambil posisi poltik dan memihak pada salah satu partai politik atau menjadi oposisi pemerintah secara terbuka, namun mereka tidak akan mempertanyakan legitimasi atau kelayakan pemerintah yang berkuasa (Pfetsch, 2008). Dua model manajemen berita oleh pemerintah di atas menempatkan kantor pemerintahan dan media sebagai dua institusi formal. Namun sebenarnya ada metode lain dalam manajemen berita, yakni dengan memanfaatkan hubungan personal yang berkembang antara pejabat pemerintah dengan jurnalis. Pfetsch (2008) menjelaskan bahwa di Inggris berkembang istilah ‘Lobby’ yang merupakan rancangan pemerintah untuk menciptakan agenda media. Terdapat sekitar 220 jurnalis terpilih yang memiliki akses khusus ke Westminster, pusat pemerintahan Inggris. Mereka akan diberi pengarahan dari sekretaris bidang pers perdana menteri dua kali dalam sehari. Sebagai ganti dari informasi khusus dari level eksekutif yang diberikan,
pemerintah
menuntut
adanya
publikasi
tentang
pemerintah—alat utama untuk manajemen politik berita. Di awal tahun 2000, lingkaran jurnalis ini kemudian berkembang ke seluruh jurnalis di London. Namun sifat anonim dari informasi level tinggi ini menuai protes hingga akhirnya beberapa media menetapkan aturan
15
terkait sifat anonimitas ini. Meski begitu, Lobby telah menjadi awal mula berkumpulnya politisi dan jurnalis untuk bertukar informasi secara informal. Ketika memasuki masa kampanye, media massa di Inggris memiliki kebebasan yang hampir sempurna dalam praktiknya. Di sana, tindakan menyebarluaskan berita bohong atau fitnah dari salah satu kandidat untuk memengaruhi hasil voting merupakan tindakan ilegal. 1990 Broadcasting Age bersamaan dengan guidelines milik BBC, ITC, dan RA menekankan bahwa keseimbangan, imparsialitas, dan akses setara merupakan prinsip fundamental dalam kaverasi berita selama masa kampanye (McNicholas & Ward, 2004). Namun rupanya masyarakat justru tidak puas terhadap kaverasi media atas informasi politik yang mereka butuhkan. Data dari ITC menyebutkan bahwa jumlah pemirsa berita pada malam pemilu tahun 1992 sejumlah 19 juta orang dan jatuh pada angka 7,2 juta orang pemirsa di pemilu tahun 2001. Hal ini senada dengan angka partisipasi terendah masyarakat Inggris pada pemilu tahun 2001 yakni sejumlah 59,4%. Angka apatisme masyarakat ini semakin meningkat sejak tahun 1950. Bahkan terungkap bahwa angka partisipasi dari masyarakat usia 18-24 tahun hanya sebesar 39%. Golding & Deacon dalam McNicholas & Ward (2004) menuding bahwa hal ini terjadi karena masyarakat tidak memperoleh informasi politik yang memadai dari media. Terbukti bahwa ketika petinggi partai politik muncul di media, hanya 43,7% kesempatan di antaranya digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang tujuan partai politik mereka. Sedangkan sebagian besar dari kaverasi media atas partai mereka digunakan untuk mengritik kebijakan partai lain. Baik pemerintah negara Amerika Serikat, Jerman, maupun Inggris menjamin kebebasan pers dalam
melakukan praktik
jurnalismenya. Namun berbeda halnya dengan negara yang pernah mengalami masa totalitarian yakni Rusia. Sudah dua dekade Rusia
16
melakukan transisi pemerintahan ke sistem demokratis dengan bentuk federal; perpindahan kekuasaan dilakukan secara damai lewat hasil kotak suara. Meski begitu, ketika memasuki masa kampanye sebagian besar media masih cenderung berpihak pada Kremlin. “The big-league television channels in Russia have always been dominated by politics and not business. Television is a prize to be awarded for political favors” (Skillen, 2004). Walau sebenarnya media tidak terlalu berpengaruh pada hasil pemilu, karena dengan kaverasi media yang minim sekalipun Partai Komunis tetap mendapatkan suara tertinggi dari masyarakat (Skillen, 2004). Boleh dikatakan kebebasan pers di Rusia tidak terjamin. 10 tahun sejak masa demokrasi diterapkan di Rusia, terdapat lebih dari 117 jurnalis yang dibunuh karena kerja profesional mereka. Hukum negara pun tak menjamin kemerdekaan pers di Rusia. Di dalam The Law on Information, Informatization and the Protection of Information (1995) dijabarkan tentang (daftar rancu) informasi yang tergolong rahasia dan tak boleh disebarluaskan. Terdapat pula The Russian Constitution and the Civil Code yang memberikan pembelaan atas reputasi seseorang. Dua hukum inilah yang seringkali digunakan untuk menutup mulut jurnalis—dan seringkali politisi oposisi— dengan menyematkan label tindakan fitnah dan pencemaran nama baik (Skillen, 2004).
3. Audiens berita Audiens media massa merupakan sebuah fenomena media yang cukup menarik di abad ke-20 ini. Audiens dapat diartikan sebagai orang dalam jumlah besar yang menikmati sajian produk yang sama. Salah satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah pengertian massa tidak hanya dari jumlah audiens yang banyak tapi juga “anonymous, and often very heterogeneous” (Harris, 2009).
17
Hal yang membuat fenomena ini menjadi menarik adalah adanya kemungkinan terdapat sekian banyak orang yang membaca bacaan atau materi yang serupa, kemudian berujung pada pandangan yang sejalan. Tentu saja mereka mungkin tidak memiliki pemahaman yang sama, atau melakukan suatu hal yang spesifik karena bacaan tersebut, tapi kemungkinan tersebut tidak dapat diabaikan (Burton, 1990). Menurut Burton (1990), audiens dapat dipilah menjadi lebih spesifik dalam tiga cara berbeda: a.
Audiens yang dibedakan menurut medium yang mereka konsumsi, misalnya majalah, koran, saluran televisi, atau serial. Di sini audiens dibedakan antara pelanggan koran Jakarta Post atau saluran kabel HBO.
b.
Audiens yang dibedakan menurut tipe produknya. Meski sama-sama audiens televisi, tapi terdapat perbedaan antara penikmat Metro TV dan RCTI.
c.
Audiens yang diklasifikasikan menurut profil audiens itu sendiri, dalam artian standar seperti gender, umur, pemasukan, gaya hidup, dan lainnya Melalui cara ini, audiens dapat dikelompokkan dengan lebih
mudah. Televisi tentu memiliki banyak audiens berbeda untuk program yang berbeda. Seseorang bisa jadi tidak akan terus-menerus mengikuti suatu program. Tetapi jika para audiens ini dikelompokkan, akan muncul tipe audiens yang sama untuk suatu program. Terkait studi audiens ini terdapat dua kutub pengelompokan audiens. Terdapat teori yang berpendapat bahwa audiens itu pasif, dengan sifatnya yang “conformist, gullible, anomic, vulnerable, and victims” (Biocca, 1988:51). Namun harus diingat bahwa audiens adalah manusia yang dapat berpikir dan mengolah informasi yang ia
18
dapat; bahwa audiens bukanlah cuma seonggok barang yang menerima input apapun yang ia peroleh, yakni audiens aktif. Mark Levy dan Sven Windahl (1985) dalam West & Turner (2010) mendefinisikan audiens aktif sebagai “a voluntaristic and selective orientation by audiences toward the communication process”. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan media itu dimotivasi oleh kebutuhan dan tujuan yang ditetapkan oleh audiens itu sendiri. Keaktifan audiens ini menunjukkan berbagai bentuk dan derajat kegiatan yang beragam sebagai respon atas informasi yang diterimanya. Bahkan di era digital saat ini, audiens pun turut aktif membingkai pesan dari media atau bahkan memproduksi sendiri pesan dan mendistribusikan langsung ke sesama khalayak (Winarto, 2013:48). Berikut adalah beberapa karakteristik audiens aktif menurut Biocca (1988): a. menekankan pada kegunaan (utilitarianism) Audiens aktif melihat media massa sebagai medium yang memiliki berbagai kegunaan (Blumler, 1980). Konsep ini menjelaskan bahwa audiens membuat pilihan rasional dengan melihat kegunaan (utility) media, program, atau konten tertentu untuk memuaskan suatu kebutuhan dan motif individu (Biocca, 1988). b. sengaja (intentionality) Karakter ini menonjolkan aspek kognitif audiens, di mana ia sadar ketika memilih suatu media untuk dikonsumsi (Biocca, 1988). Blumler (1980) menyebutkan bahwa “media consumption is directed by prior motivation” (Blumler, 1980: 205). c. terlibat (involvement) Menurut Burton (1990), ketika seorang menonton televisi atau membaca koran, mungkin secara fisik ia terlihat sedang menerima informasi dalam keadaan pasif. Tapi sebenarnya terdapat proses besar yang sedang terjadi dalam pikiran seseorang tersebut. Dengan
19
kata lain, kita selalu belajar dari media ketika memroses informasi tersebut. Terkadang, proses ini tereksternalisasi seperti komentarkomentar yang dilontarkan ke layar ketika seseorang menyaksikan berita di televisi. d. tidak mudah terpengaruh (impervious to influence) Bauer (1964) dalam Biocca (1988) menyebutnya sebagai obstinate audience, atau audiens yang keras kepala, sebagai nama lain dari karakter audiens aktif ini. Hal ini disebabkan karena audiens aktif tidak menelan mentah-mentah informasi yang ia terima, melainkan diproses terlebih dahulu sehingga ia tidak mudah terpengaruh. e. selektif Karakter selektif di audiens aktif dapat dijelaskan melalui teori uses and
gratification.
Teori
ini
menunjukkan
bahwa
audiens
sebenarnya menggunakan materi media untuk memuaskan berbagai kebutuhan dan tujuan yang ia miliki. Sebagai konsumen, audiens memiliki kebebasan untuk memilih informasi dari media mana yang akan dikonsumsi, serta menentukan apakah informasi tersebut akan diterima begitu saja, dikritisi, atau bahkan ditolak untuk kemudian mencari sumber informasi lainnya (Winarto, 2013). Lima asumsi dasar teori uses and gratifications yang dirumuskan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch di antaranya menyebutkan bahwa: 1)
audiens selalu dalam keadaan aktif dan penggunaan medianya berorientasi pada tujuan tertentu.
2)
terdapat hubungan inisiatif antara kebutuhan yang harus dipuaskan dengan media yang dipilih oleh audiens.
3)
media saling berkompetisi dengan sumber lainnya untuk memuaskan kebutuhan audiens.
4)
masyarakat memiliki kesadaran penuh akan ketertarikan, motif, dan penggunaan media tertentu.
20
5)
penilaian konten media hanya bisa dilakukan oleh audiens (West & Turner, 2010) Berdasarkan asumsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kita
semua didorong oleh berbagai kebutuhan komunikasi di dalam berbagai area aktivitas berkomunikasi. Dennis McQuail dalam Burton (1990) mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan audiens di dalam penggunaan media dalam empat jenis: 1)
kebutuhan akan informasi, aspek kognitif manusia butuh dipuaskan dengan mencari berbagai pengetahuan dan pemahaman untuk membentuk persepsi akan dunia.
2)
kebutuhan
untuk
menjaga
identitas
personal,
yakni
meningkatkan kredibilitas, kepercayaan diri, dan status diri sendiri dengan menjadikan role model di media sebagai acuan. 3)
kebutuhan akan interaksi sosial, mengembangkan hubungan dan perilaku sosial dengan orang lain menggunakan media, misalnya lewat aplikasi bertukar pesan di internet.
4)
kebutuhan akan hiburan dan pengalihan isu, sebagai pelarian dari rasa cemas dan untuk memperoleh kebahagiaan sementara lewat konten hiburan di berbagai media. Dari sudut pandang ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa
mereka memilih medium yang paling mendekati untuk memuaskan kebutuhan
mereka.
Mereka
memainkan
peran
aktif
dalam
menciptakan makna dari komunikasi tersebut. Audiens memutuskan pesan apa yang mereka terima, dan menginterpretasikan informasi tersebut sesuai dengan orientasinya masing-masing (Burton, 1990). Meski begitu, tingkat keaktifan audiens sebenarnya berubahubah. Tingkatnya bisa berganti tergantung pada berbagai macam hal.
21
… the level of activity differs according to a range of possible orientations in the communication process. … at times actively choosing the medium (or another technology), and at other times choosing the medium because it is accessible or a habit. (Cooper & Tang, 2009:403) Selanjutnya, Cooper & Tang (2009) juga menambahkan bahwa karakter demografis audiens seperti umur, pendapatan, dan gender juga mempengaruhi kemampuan dan motivasi seseorang dalam memilih medium, televisi misalnya. Comstock dkk (1978) dalam Cooper & Tang (2009) menemukan bahwa orang menengah ke bawah lebih banyak menonton televisi dibandingkan mereka yang berstatus sosial-ekonomi lebih tinggi. Perempuan juga rupanya lebih banyak menonton televisi dibanding laki-laki. Selain status sosial-ekonomi, rupanya tingkat pendidikan juga memengaruhi tingkat keaktifan seseorang dalam bermedia. Weaver & Buddenbaum (1980) menyebutkan bahwa orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memilih medium yang memiliki informasi yang lebih mendalam, luas, dan detil, serta dianggap lebih efektif meningkatkan pengetahuan tentang isu politik berkembang. Terkait hal ini Vinyard & Siegel menambahkan, “… reliance on multiple media increases as education increases… as education levels increase, the total amount of time spent with media decreases” (Weaver & Buddenbaum, 1980:375). Sebagai audiens yang aktif, maka seseorang seharusnya memilih sumber berita ketika masa pemilu tiba dengan rasional. Pilihan rasional ini dapat didasarkan misalnya pada tingkat kredibilitas media tersebut. Namun persepsi seseorang atas kredibilitas media dapat terdistorsi karena pilihan politiknya. Misalnya saja fenomena para Republican di Amerika Serikat yang lebih memilih Fox News dibanding stasiun berita lain. Kaverasi politik Fox News memang lebih cenderung ke sayap kanan/konservatif yang diwakili oleh partai
22
Republik. Saad (2013) menyebutkan bahwa 2/3 audiens inti Fox News mengidentifikasi diri mereka sebagai Republikan. Sementara 94% cenderung memilih partai Republik. Di pemilu AS tahun 2000, yakni saat-saat awal berdirinya Fox News, stasiun berita ini bahkan dapat meningkatkan 0.4 hingga 0.7 persen perolehan suara Republikan. Bahkan di wilayah nonrepublikan, Vigna & Kaplan (2006) Fox News, memperkirakan terdapat peningkatan jumlah suara untuk Republikan hingga 3-8%. Padahal di tahun-tahun ini, keberpihakan Fox News pada partai Republik seharusnya sudah diketahui masyarakat. Vigna & Kaplan (2006:20) memperkirakan hal ini terjadi karena dua hal, yakni adanya “a temporary learning effect for rational voters,” atau “a permanent effect for voters subject to non-rational persuasion. These results suggest that the media can have a sizeable political impact”.
4. Pemilih pemula KPU Provinsi DKI Jakarta (2013) mendefinisikan pemilih sebagai warga negara yang sudah berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara dan atau yang sudah menikah dan tidak kehilangan hak pilihnya. Sedangkan pemilih pemula merupakan pemilih yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya pada pemilu ini, yakni mereka yang berusia kurang lebih 17 hingga 21 tahun. Huggins (2001) menyebut fenomena pemilih pemula yang mewakili kelompok berbeda dalam pemilu ini muncul karena adanya konsekuensi dari dua faktor. Faktor pertama yakni adanya istilah ‘teenager’ atau remaja sebagai fenomena sosiologi untuk menyebut suatu grup sosial yang khas yang memiliki nilai, aktivitas, serta ketertarikannya sendiri. Faktor kedua yakni hasil dari Representation of the People Act tahun 1969 yang menyebutkan bahwa “individuals
23
between the ages of 18-21 and both recognized and reinforced the idea that the ‘young’ constituted a specific potential voting group” (Huggins, 2001:133). Meski begitu, secara global, kelompok usia pemilih pemula ini memiliki karakteristik yang yang disebut oleh Bryner (1997) dalam Huggins (2001) sebagai sinisme dan apatis terhadap politik dan politisi. Hal ini terbukti dalam survei National Association of Secretaries of State yang menemukan bahwa terdapat kenaikan jumlah penduduk berusia 15-24 tahun di Amerika yang ‘teralienasi dari proses politik’. Jumlah pemilih dari kelompok usia ini jatuh dari 50% di tahun 1972 menjadi 32% di tahun 1996. Di Inggris, fenomena serupa juga terjadi ketika hanya terdapat 61% dari usia 18-24 tahun yang mengikuti pemilu di tahun 1992. Angka ini turun 10% dari tahun sebelumnya. Tak hanya jumlah partisipasi para pemilih pemula ini yang rendah, ternyata angka ketertarikan mereka pada dunia politik pun juga rendah. Laporan dari Demos di 1995 menunjukkan bahwa hanya 6% dari penduduk berusia 15-34 tahun yang ‘sangat tertarik pada politik’ (Huggins, 2001). Respon pemilih pemula terhadap liputan media selama masa kampanye pun tidak bagus. Survei dari Independent
Television
Commission
tahun
1997
di
Inggris
menunjukkan bahwa 41% orang dari kelompok usia 16-24 tahun cenderung mengganti saluran televisi mereka untuk menghindari liputan terkait pemilu (Huggins, 2001). Penelitian lebih lanjut oleh Huggins (2001) terhadap sekelompok pemuda di Oxford, Inggris tahun 1997 menyimpulkan bahwa fenomena ketidaktertarikan pemilih pemula terhadap berbagai bentuk komunikasi politik disebabkan oleh cara kampanye yang dilakukan oleh partai politik dan diliput oleh media. Beberapa respon dari remaja ini di antaranya adalah kampanye-kampanye yang sekarang ada ternyata boring, membosankan. Mereka menganggap
24
kampanye tersebut hanya ditujukan bagi generasi tua, sehingga mereka tidak bisa menangkap pesannya. Bentuk kampanye yang ituitu saja dan jumlah liputan yang terlalu banyak membuat mereka merasa jengah dan cenderung menghindari media di saat masa kampanye tiba. Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia. Secara umum, terdapat tren jumlah partisipasi masyarakat dalam pemilu yang menurun. Angka partisipasi di pemilu 1999 sejumlah 92%, kemudian menurun di pemilu 2004 menjadi 84%, dan angka ini semakin mengecil menjadi 72% di tahun 2009 (Transparency International Indonesia, 2014). Keterlibatan masyarakat dalam menyalurkan hak suaranya secara sukarela dapat disebut sebagai ‘warga yang aktif’. Terdapat banyak diskusi yang menyebutkan bahwa partisipasi warga dalam pemilu menjadi ukuran paling minimal sejauh mana warga aktif memenuhi tanggung jawabnya untuk penyelenggaraan negara di masa mendatang (Transparency International Indonesia, 2014). Hasil survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (2014) sebelum pemilu presiden terhadap 993 pemilih pemula di Jakarta menunjukkan bahwa terdapat 77% pemuda yang yakin akan menunaikan hak suaranya, sementara 20% di antaranya belum memutuskan akan memilih atau tidak. Angka 20% ini disinyalir memiliki potensi menjadi ‘golput’ atau suara pemilih yang mengambang di pemilu 2014. Ketika ditanya tentang siapa pilihan mereka di Pemilu presiden 2014, hanya 20% di antara mereka yang sudah memiliki pilihan pasti, sementara sisanya belum memiliki pilihan atau sudah memiliki pilihan namun masih bisa berubah nantinya. Pemilih pemula memang merupakan satu kelompok usia khusus yang memiliki antusiasme tertentu dalam mengunakan hak suaranya. Dengan begitu banyaknya informasi yang digelontorkan
25
oleh media terkait kaverasi pemilu, maka pemilih pemula diharapkan dapat menjadi audiens yang aktif agar hak suaranya tidak terbuang sia-sia. Namun ternyata kenyataan tidak berkata demikian, survei Transparency Indonesia (2014:16) menemukan, Para pemilih pemula muda DKI Jakarta tidak secara khusus meluangkan diri untuk menggali informasi yang dapat membantu mereka dalam memberikan suara politiknya. Mereka cenderung jarang mencari atau membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan partai politik, tokoh politik juga proses menjelang Pemilu 2014. Meski begitu, televisi dianggap sebagai medium yang paling penting dan diminati dalam pengumpulan informasi. Sebanyak 87% responden lebih memilih televisi untuk mengetahui segala hal mengenai pemilu, yang kemudian disusul surat kabar dengan 74%, sementara media sosial hanya dianggap penting oleh 54% responden. Penemuan ini senada dengan faktor dominan yang memengaruhi keputusan pilihan para pemilih pemula yakni berita positif/negatif di media. Pemberitaan terkait pemilu, partai politik, atau tokoh politik dianggap berdampak pada pilihan 58% responden (Transparency International Indonesia, 2014).
F. Kerangka Konsep Kredibilitas media merupakan konsep multidimensional yang jika dilihat dari perspektif audiens dapat diartikan sebagai derajat penilaian persepsi audiens terhadap kesesuaian media dalam menggambarkan realita. Kredibilitas media memiliki tiga aspek di dalamnya yakni kredibilitas medium, kredibilitas sumber, dan kredibilitas berita. Di dalam penelitian ini, kredibilitas berita diukur dari aspek kredibilitas pesan yang ditayangkan. Kredibilitas pesan lebih mengarah kepada bagaimana karakteristik pesan. Kredibilitas sumber tidak dimasukkan karena penelitian ini tidak terpaku pada satu isu sehingga sumber berita pemerintahan dianggap terlalu
26
luas. Hal ini dianggap dapat mempersulit penelitian. Sementara itu, kredibilitas medium atau institusi berita, yakni Metro TV, juga akan dimasukkan menjadi indikator kredibilitas berita dalam penelitian ini. Kredibilitas medium lebih fokus pada saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi berita tersebut. Selama pemilu 2014 yang lalu, Metro TV disinyalir memiliki keberpihakan terhadap kubu politik tertentu. Ketika kubu politik tersebut memenangi pemilu maka terdapat dugaan bahwa berita-berita pemerintahan dari Metro TV masih tendensius pasca pemilu ini. Berita pemerintahan adalah editorials, features, letters to editor, and straight news including pictures, relating to the activities of government, and of government officials (Vilanilam, 1975). Agar tidak terlalu luas, berita pemerintahan yang dimaksud dalam penelitian ini pun dibatasi pada pemberitaan yang berkaitan dengan kegiatan lembaga eksekutif negara, di antaranya adalah presiden, wakil presiden, beserta menteri yang merupakan pembantu presiden. Beritanya pun terbatas pada beritaberita yang menempatkan tokoh dari lembaga eksekutif negara ini menjadi karakter utamanya. Pemilih pemula merupakan kelompok orang berusia 17-21 tahun yang baru menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali pada pemilu, Pemilih pemula dianggap memiliki karakter sinisme dan apatis terhadap segala hal yang terkait dengan politik. Padahal mereka membutuhkan informasi yang banyak dan layak untuk dijadikan referensi politik. Namun dengan kenyataan media di Indonesia yang diduga memiliki tendensi, maka pemilih pemula diharapkan dapat menjadi audiens aktif agar tidak mudah termakan isu. Audiens aktif memiliki lima karakter: menekankan pada kegunaan (utilitarianism), sengaja (intentionality), terlibat (involvement), tidak mudah terpengaruh (impervious to influence), serta selektif. Namun tingkat kesadaran seseorang dalam menilai media dipengaruhi juga oleh faktor demografis seperti aspek sosial-ekonomi, umur, pendapatan, gender, dan pendidikan.
27
G. Kerangka Operasional 1. Karakteristik pemilih pemula a. Jenis kelamin Karakteristik
pemilih
pemula
yang
menjadi
responden
dibutuhkan untuk memperdalam analisis dalam penelitian ini. Untuk pertanyaan terkait jenis kelamin ini disediakan dua opsi yakni laki-laki atau perempuan. b. Asal daerah Pertanyaan ini dibutuhkan untuk melihat persebaran daerah asal mahasiswa Ilmu Komunikasi di DI Yogyakarta. Pilihan jawaban yang disediakan beragam mulai dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lainnya. c. Penghasilan/uang saku tiap bulan Informasi latar belakang responden yang dibutuhkan adalah tentang penghasilan/uang saku tiap bulan. Kata penghasilan dan uang saku yang dimaksud di sini adalah pemasukan. Diasumsikan, pemasukan mahasiswa bisa jadi memang masih murni berasal dari orang tua sehingga kata uang saku digunakan. Atau bisa jadi ada mahasiswa yang sudah bekerja dan mendapatkan sudah mendapatkan penghasilan sendiri. Jawaban yang disediakan di antaranya adalah pendapatan di bawah Rp 500.000,-, antara Rp 500.000,- sampai dengan Rp 1.000.000,-, antara Rp 1.000.000,- sampai dengan Rp 2.500.000,-, dan pendapatan di atas Rp 2.500.000,-. d. Pekerjaan orang tua Untuk pertanyaan ini disediakan pilihan jawaban di antaranya adalah Pegawai Negeri Sipil, TNI/Polri, karyawan swasta, wirausaha, dan lainnya.
2. Perilaku politik pemilih pemula a. Partisipasi dalam Pemilu Presiden 2014 Indikator ini dibutuhkan untuk mengetahui kesadaran berpolitik para pemilih pemula untuk menyalurkan hak suaranya
28
pada pemilu presiden 2014 yang lalu. Opsinya ada dua, yakni ya atau tidak. b. Pilihan politik Terdapat dua Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) dalam pemilu presiden 2014 yang lalu. Mereka adalah Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa Metro TV diduga memihak kepada salah satu kubu politik. Opsi ini dibutuhkan untuk melihat apakah pilihan politik mereka berpengaruh pada pandangan pemilih pemula akan kredibilitas berita di Metro TV.
3. Perilaku media a. Medium rujukan untuk berita pemerintahan Pertanyaan ini digunakan untuk melihat sebenarnya medium apakah yang sering digunakan oleh pemilih pemula saat ini. Opsi medium yang disediakan antara lain televisi, radio, koran, internet, dan lainnya. b. Stasiun televisi yang diakses untuk berita pemerintahan Asumsinya tidak semua pemilih pemula menjadikan Metro TV sebagai rujukan mereka ketika menyaksikan berita. Pilihan jawaban yang disediakan di antaranya adalah stasiun televisi yang jangkauan siarnya sampai ke DIY, yakni TVRI, Trans TV, MNC TV, Indosiar, ANTV, RCTI, SCTV, TVOne, Global TV, Trans7, Metro TV, Kompas TV, ADI TV, Jogja TV, RTV, dan lainnya. c. Frekuensi menonton berita Metro TV Untuk frekuensi menonton berita Metro TV, peneliti memberikan pilihan jawaban yang lazim, yaitu, “sangat sering”, “sering”, “jarang”, dan “sangat jarang”. Responden diharapkan
29
dapat mengukur sendiri terkait frekuensi membaca mereka dengan pilihan jawaban tersebut. d. Intensitas menonton berita Metro TV Intensitas responden dalam menonton berita Metro TV dapat diketahui dengan mengukur durasi waktu yang dihabiskan setiap responden dalam satu kali waktu menonton.
4. Kredibilitas Medium a.
Komprehensivitas medium -
Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung
jawab
dalam
artian
mampu
mempertanggungjawabkan kebenaran laporan berita yang telah dirilis. -
Objektif
Menyampaikan berita secara faktual, sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. -
Reporter
Indikator ini menanyakan apakah responden merasa Metro TV memiliki reporter yang kompeten/ berkemampuan baik untuk menyampaikan laporan beritanya. b.
Keadilan medium -
Bias
Secara umum, medium yang memiliki bias, programprogramnya cenderung menyimpang atau memihak karena ada kepentingan lain yang terlibat. -
Sudut pandang yang netral pada pemerintah
Indikator ini digunakan untuk melihat apakah responden merasa bahwa Metro TV memiliki kecenderungan berpihak ke pemerintah saat ini. -
Jatah tayang/ durasi yang adil terhadap pemerintah
30
Indikator ini digunakan untuk melihat apakah responden merasa Metro TV memberi porsi tayang/durasi dengan perspektif pro-pemerintah lebih mendominasi. c.
Kepedulian medium pada publik -
Peduli pada kebutuhan informasi publik (cares about audience’s needs/interests)
Medium yang peduli pada kebutuhan informasi publik akan menyiarkan berita yang bermanfaat atau sekadar mengedarkan berita
yang mendongkrak popularitas
dan
menghadirkan keuntungan. -
Peduli pada ketertarikan isu publik (is concerned about the public interest)
Medium yang peduli pada ketertarikan publik akan menyiarkan berita dengan isu yang sedang diperhatikan masyarakat. -
Peduli pada perubahan publik menuju hal yang lebih baik (is concerned about the community’s well being)
Medium dengan karakter ini adalah medium yang menghadirkan berita yang mendidik.
5. Kredibilitas Berita a.
Objektivitas berita -
Bias
Berita yang memiliki bias, laporannya tidak independen, cenderung memihak satu golongan sehingga beritanya tidak jujur. -
Kelengkapan berita (tell the whole story)
Berita yang lengkap adalah berita yang memasukkan segala
fakta
yang
31
ditemukan
di
lapangan,
tidak
menghilangkan/menyembunyikan suatu fakta. Berita yang lengkap mampu menjawab poin 5W+1H di tulisannya. -
Akurasi (accuracy)
Berita yang akurat mencantumkan fakta yang benar dan sudah melalui tahap check and recheck agar sesuai dengan apa yang ada di lapangan. -
Menjaga privasi orang (respect people’s privacy)
Terdapat hak-hak privasi seseorang yang tidak boleh dilanggar, termasuk disebarluaskan lewat media massa. Berita yang objektif tidak akan mencantumkan fakta-fakta yang melanggar kehidupan pribadi seseorang. -
Pemisahan fakta & opini (separate fact & opinion)
Harus terdapat pemisahan yang jelas antara fakta dan opini dalam penulisan berita. Opini penulis berita tidak boleh masuk sama sekali dalam tulisannya. b.
Trustworthiness -
Liputannya adil Berita yang adil (fair) adalah berita yang cover both sides,
seimbang dalam menyampaikan sudut pandang, sehingga tidak condong/cenderung membela satu pihak. e. Faktual Berita yang faktual adalah berita yang didasarkan pada kenyataan
yang
ada
dan
bisa
dipertanggungjawabkan
kebenarannya. f. Bisa dipercaya Indikator ini menanyakan apakah berita yang dikeluarkan bisa dipercaya kebenarannya.
32
Tabel 1.1 Kerangka Operasional Variabel Karakteristik Pemilih pemula
Dimensi
Indikator
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
Skala Nominal
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
Asal daerah
Sumatera
Nominal
Kalimantan Sulawesi Papua Lainnya Di bawah Rp 500.000,Rp 500.000,- s.d. Rp Penghasilan/uang saku
1.000.000,Rp 1.000.000,- s.d. Rp
Nominal
2.500.000,Di atas Rp 2.500.000,Pegawai Negeri Sipil Pekerjaan orang tua
TNI/Polri Karyawan swasta
Nominal
Wirausaha Lainnya Perilaku politik pemilih pemula
Ya Partisipasi dalam Pilpres 2014
Tidak Rahasia
33
Nominal
Prabowo – Hatta Pilihan politik
Radjasa Joko Widodo – Jusuf
Nominal
Kalla Perilaku Media
Televisi Medium rujukan
Radio
untuk berita
Koran
pemerintahan
Nominal
Internet Lainnya TVRI Trans TV MNC TV Indosiar ANTV RCTI
Stasiun TV yang diakses untuk berita
SCTV TV One Global TV
pemerintahan
Nominal
Trans7 Metro TV Kompas TV ADI TV Jogja TV RTV Lainnya Sangat Sering
Frekuensi menonton berita Metro TV
Sering Jarang
Nominal
Sangat Jarang Intensitas
<5 menit
34
Nominal
menonton berita
5 – 15 menit
Metro TV
15 – 30 menit >30 menit
Kredibilitas medium
Bertanggung jawab Komprehensivitas medium
Objektif
Ordinal
Kompetensi reporter Bias Perspektif netral pada
Keadilan medium
pemerintah
Ordinal
Jatah tayang/durasi adil pada pemerintah Peduli pada kebutuhan informasi publik Kepedulian
Peduli pada
medium pada
ketertarikan isu publik/
publik
sebatas mencari profit
Ordinal
Peduli pada perubahan publik ke hal yang baik Kredibilitas
Bias
berita
Kelengkapan berita Objektivitas berita
Akurasi Menjaga privasi orang
Ordinal
Pemisahan fakta & opini Liputannya adil Trustworthiness
Beritanya bisa dipercaya Faktual
35
Ordinal
H. Metodologi Penelitian Riset
ini
menggunakan
paradigma
positivisme.
Paradigma
ini
mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau sebab akibat yang mencerminkan
pengirim
pesan
(komunikator/encoder)
untuk
mengubah
pengetahuan (sikap/perilaku) penerima pesan (komunikan/decoder) yang pasif (Mulyana, 2010). Paradigma yang dipelopori oleh filsuf August Comte ini seringkali disebut pula sebagai empirisme, behaviorisme, naturalisme, atau sainsisme. Tradisi ini berkembang dalam pengaruh ilmu alam (Bungin, 2011). Oleh karena itu, tradisi ini memiliki tujuan untuk menemukan hukum sebab akibat yang bisa digunakan untuk memprediksi pola umum dari perilaku manusia. Sama halnya dengan peneliti di bidang ilmu alam, peneliti di ranah sosial pun harus bebas nilai dan juga obyektif. Mereka harus menyingkirkan bias personal, prasangka, dan nilai-nilai yang ada, sehingga peneliti tetap netral terhadap objek studi yang diteliti (Esterberg, 2002). Setidaknya terdapat empat asumsi yang digunakan dalam paradigma positivisme ini. Kriteria pertama adalah objektif atau bebas nilai. Selanjutnya adalah fenomenalisme, yakni segala yang diyakini sebagai fakta haruslah dapat dirasakan dengan panca indra, karena ilmu pengetahuan hanya bicara tentang semesta yang teramati. Sebaliknya, sesuatu yang tidak bisa diamati termasuk substansi metafisis disingkirkan dan dianggap bukan fakta. Asumsi ketiga adalah reduksionisme, yakni semesta direduksi menjadi fakta-fakta nyata yang dapat diamati. Terakhir, naturalisme yakni alam semesta adalah objek-objek yang bergerak secara mekanis seperti jam. Tradisi ini tidak mementingkan fakta sosial sebagai makna namun mementingkan fakta yang dapat diamati dan dianggap memiliki pola teratur (Bungin, 2011). 1. Metode penelitian Riset ini menggunakan metode survei. J.P. Chaplin (dikutip oleh Kartono, 1990) mengungkapkan bahwa survei merupakan satu studi ekstensif dan pengukuran gejala, kondisi, dan situasi sosial untuk memperoleh informasi khusus. Sementara E.W. Burgess
36
menjelaskan bahwa survei dapat dikatakan sebagai satu metode introspeksi sosial lewat pengukuran statistik dan standar-standar perbandingan dari pakar sosial (Kartono, 1990). Survei ini berfungsi untuk mendeskripsikan data sistematik yang diperoleh, kemudian mengetahui penyebab terjadinya fenomena, dan menggambarkan bagaimana fenomena itu bisa terjadi (Prajarto, 2010). Survei dilakukan pada sampel yang dianggap representatif dan diasumsikan bahwa informasi yang didapat dari sampel adalah valid untuk mewakili populasi. Jika dipandang lebih jauh, sebenarnya metode survei memiliki beberapa kelemahan. Terdapat beberapa hal yang tidak dapat diukur dalam penelitian survei. Metode ini juga hanya melihat
aspek
tertentu
dari
tindakan
seseorang,
tanpa
memperhatikan konteks yang lebih luas, serta adanya nilai-nilai tertentu dari tindakan manusia (Prajarto, 2010). Meski begitu, penulis memilih metode survei karena riset ini sekadar membutuhkan gambaran singkat tentang fenomena yang diteliti. Selain itu, survei dapat dilakukan dengan mengambil beberapa sampel sehingga riset ini menjadi lebih praktis. Survei yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam survei exploratory, yakni survei yang dapat digunakan peneliti untuk memahami isu dalam risetnya lebih mendalam. Survei jenis ini seringkali menggunakan pertanyaan terbuka (open-ended questions) untuk menggali opsi-opsi jawaban lainnya yang bisa jadi belum disediakan dalam kuesioner. Jawabannya mungkin tidak dapat diukur pengaruhnya secara statistik, namun peneliti dapat memperoleh jawaban yang lebih kaya dan tidak bias dengan survei jenis ini (Penwarden, 2014).
37
2. Populasi Populasi ialah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga (Singarimbun & Effendi, 1986). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pemilih pemula yang merupakan mahasiswa dari jurusan Ilmu Komunikasi di berbagai universitas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilih pemula yang juga merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi dipilih karena peneliti anggap lebih memahami konsep kredibilitas media. Sehingga ketika responden memberikan penilaian tidak asal, namun didasarkan pada pengetahuan ilmiah yang diperoleh selama masa kuliah. Berikut adalah jumlah mahasiswa aktif jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2011 – 2014 di berbagai universitas yang ada di DIY:
Tabel 1.2 Jumlah Mahasiswa Aktif Jurusan Ilmu Komunikasi di DI Yogyakarta Nama Universitas
Jumlah Mahasiswa
Universitas Gadjah Mada
396
Universitas Negeri Yogyakarta
37
Universitas Islam Indonesia
516
Universitas Respati
34
UPN Veteran Yogyakarta
935
Universitas Mercubuana
236
UIN Kalijaga Yogyakarta
380
Universitas Ahmad Dahlan
133
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
954
Universitas Atmajaya
1007
TOTAL
4628
38
Universitas yang tertera di atas merupakan universitas di DIY yang memiliki jurusan Ilmu Komunikasi dengan jenjang Strata-1 (S1). Sebenarnya terdapat banyak institusi pendidikan tinggi ilmu komunikasi lainnya di DIY dengan jenjang diploma. Namun peneliti memutuskan untuk mengambil mahasiswa S1 dengan pertimbangan bahwa mereka yang menempuh studi S1 lebih memahami konsep dan teori-teori dalam ilmu komunikasi. Sedangkan mahasiswa yang belajar di jenjang diploma lebih cenderung mempelajari ilmu teknis dan praktis di bidang komunikasi.
3. Sampel Penelitian survei dilakukan ketika peneliti ingin mengambil generalisasi sikap atau pandangan dari suatu populasi. Jika seluruh populasi diteliti, itu disebut sensus. Namun jika populasi terlalu besar maka akan diambil sampel. Sebaiknya, populasi dan sampel jangan terlalu luas. Poin penting sampel yang dipilih adalah jumlahnya cukup banyak, dan mampu menyimpulkan ciri-ciri populasi. Dengan begitu, kesimpulan generalisasi yang diperoleh dari penelitian dapat mendekati kebenaran (Singarimbun & Effendi, 1986). Sesuai dengan judul yang dipilih, objek penelitian ini adalah para pemilih pemula kalangan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi di DIY. Pemilih pemula yang dijadikan objek peneilitian adalah pemilih pemula yang berusia 18-22 tahun di tahun 2015 ini. Pada waktu pemilu 2014 yang lalu, kelompok usia ini merupakan kelompok pemilih yang paling muda. Usia ini dipilih dengan anggapan bahwa pemilih dengan usia tersebut benar-benar belum pernah memiliki pengalaman tentang pemilu.
39
Besarnya sampel yang akan dijadikan responden akan dihitung menggunakan rumus Slovin.
4. Teknik sampling Riset dengan jumlah populasi yang tinggi seperti tema ini biasanya melibatkan teknik pemilihan sampel secara acak, yang berarti seluruh unit populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Dari keadaan ini, peneliti memutuskan untuk menggunakan teknik convenience sampling, yakni penggunaan sampel nonprobabilitas yang sampelnya “is merely an available sample which appears able to offer answers of interest to your study” (Baker, 1999:138). Teknik ini juga disebut sebagai sampel haphazard, yang dijelaskan oleh Neuman (2000:196) dapat dicari dengan “get any cases in any manner that is convenient”. Namun untuk menghindari sampel yang kurang representatif, maka peneliti akan menyebarkan kuesioner di tempat-tempat yang memiliki karakter berbeda satu sama lain agar dapat menyerupai karakter populasi. Salah satu caranya adalah dengan menghubungi responden yang berasal dari berbagai universitas tersebut di atas. Kemudian para responden tadi diminta untuk menyarankan temannya yang sesuai dengan kriteria sampel untuk mengisi kuesioner. Dengan begitu, diharapkan sampel yang didapat dapat beragam.
Berikutnya, peneliti menggunakan rumus Slovin untuk menentukan jumlah sampel:
n= ___N___ 1+N (e)2
40
N = jumlah populasi n = jumlah sampel yang dicari e = presisi/tingkat error (presisi yang digunakan adalah 5% dengan tingkat kepercayaan 95%)
n = ___4628 ___ 1 + 4628 (0.05)2
n = __4628__ 1 + 11.57
n = 368.1782
Angka ini dapat dibulatkan menjadi 368, yang berarti penelitian ini membutuhkan 368 responden untuk mengisi kuesioner.
5. Teknik pengumpulan data Kuesioner atau angket merupakan satu set pertanyaan yang berurusan dengan satu topik tunggal yang saling berkaitan yang harus dijawab oleh subyek. Kuesioner ini dapat disebar dengan mengedarkan formulir daftar pertanyaan, yang diajukan secara tertulis kepada sejumlah subyek untuk memperoleh tanggapan tertulis seperlunya (Kartono, 1990). Seperti yang ditulis oleh Vaus (dikutip dari Prajarto 2010) survei tidak hanya terdiri aktivitas observasi mengumpulkan informasi, namun juga mengumpulkan data dan metode analisis. Setidaknya ada beberapa metode pengumpulan data yang bisa dilakukan dalam metode survei, yakni penyebaran kuesioner, wawancara mendalam, analisis isi, jajak pendapat, dan melalui telepon.
41
Namun harus diingat bahwa kuesioner adalah hal yang pokok dalam pengumpulan data pada penelitian survei. Hasil kuesioner ini nantinya akan diterjemahkan dalam bentuk angkaangka, tabel, analisa statistik. Dari hasil kuesioner inilah analisis data
kuantitatif
dari
penelitian
survei
dapat
dilandaskan
(Singarimbun & Effendi, 1986). Metode kuesioner ini merupakan alat yang paling tepat untuk memperoleh data yang cukup luas dari anggota masyarakat yang berpopulasi besar dan heterogen. Meski begitu, kuesioner memiliki beberapa kelemahan. Misalnya saja ada kemungkinan responden kurang serius menjawab kuesioner, atau pertanyaan yang kurang relevan dengan bahasa yang membingungkan yang berujung pada hasil tidak representatif (Kartono, 1990). Tapi hal tersebut dapat dicegah dengan melakukan uji coba kuesioner dan langkah lainnya. Lagipula pelaksanaan metode kuesioner cukup efisien dan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Keuntungan ini susah diperoleh jika menggunakan metode lain dalam memperoleh data seperti wawancara atau metode lainnya (Kartono, 1990). Oleh karena itu, metode pengumpulan data yang paling cocok untuk riset ini adalah penyebaran kuesioner. Penyusunan pertanyaan dalam kuesioner sendiri menjadi poin vital dalam riset ini. Apabila variabel-variabel dalam penelitian sudah jelas, maka pertanyaan pun jelas. Namun jika variabel-variabel riset dalam kepala peneliti sendiri masih kabur, maka pertanyaan dalam kuesioner menjadi kabur dan muncul pertanyaan yang tidak relevan. Hal ini tentu akan menghambat proses analisis data dan penulisan hasil penelitian (Singarimbun & Effendi, 1986). Isi pertanyaan kuesioner dikelompokkan oleh Singarimbun & Effendi (1986) menjadi empat: Pertanyaan seputar fakta dasar
42
responden seperti umur dan jenis kelamin; kemudian pertanyaan tentang pendapat dan sikap, yang menyangkut perasaan dan sikap responden tentang suatu isu; selanjutnya pertanyaan tentang informasi, yang menyangkut soal apa yang diketahui dan tidak oleh responden, serta sejauh mana hal tersebut diketahuinya; dan terakhir, adalah pertanyaan tentang persepsi diri, yakni bagaimana responden menilai perilakunya sendiri dalam hubungannya dengan yang lain. Jenis pertanyaan dalam kuesioner bisa berupa pertanyaan tertutup, dengan kemungkinan jawaban yang sudah ditentukan oleh peneliti sehingga responden tidak dapat menambahkan jawaban lain. Atau jenis pertanyaan terbuka, di mana responden bebas memberikan jawaban. Terdapat pula pertanyaan semi terbuka, dengan sejumlah jawaban yang sudah tersusun tapi masih ada kemungkinan tambahan jawaban (Singarimbun & Effendi, 1986). Penggunaan jenis-jenis pertanyaan ini tentu nanti bergantung pada jawaban seperti apa yang diinginkan oleh peneliti. Namun untuk memudahkan pengkodean jawaban, maka jenis pertanyaan tertutup adalah pilihan yang paling baik. Kuesioner ini menggunakan skala Likert dalam mengukur intensitas pendapat responden. Skala ini diciptakan pertama kali oleh Rensis Likert di tahun 1930-an. Skala Likert merupakan salah satu cara yang paling sering digunakan dalam menentukan skor dalam kuesioner. Responden akan dihadapkan dengan sebuah pernyataan kemudian diminta untuk memberikan jawaban “Sangat Setuju”, “Setuju”, “Ragu-ragu”, “Tidak Setuju”, dan “Sangat Tidak Setuju”. Jawaban ini kemudian diberi skor 1 sampai 5. Skala Likert sering digunakan dalam berbagai penelitian karena rentang jawabannya dianggap paling pas. Semakin besar rentang jawaban, semakin besar pula kemungkinan terjadi kekosongan pada titik paling ujung. Misalnya saja skala yang
43
menggunakan rentang skor antara 1 sampai 7 atau 1 sampai 10 (Singarimbun & Effendi, 1986). Hasil jawaban yang diperoleh dari kuesioner ini akan dimasukkan ke sistem pengolahan data komputer. Program yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS.
6. Teknik analisis data Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang
lebih
mudah
dibaca
dan
diinterpretasikan
(Singarimbun & Effendi, 1989). Data yang telah diolah oleh komputer akan menghasilkan statistik yang memudahkan peneliti untuk menjelaskan hubungan antarvariabel. Analisis data yang diperoleh bersamaan dengan informasi sederhana lainnya akan diinterpretasikan sehingga dapat dijadikan rujukan generalisasi bagaimana pemilih pemula melihat kredibilitas stasiun televisi swasta dalam memberitakan berita terkait pemerintahan pemenang pemilu 2014. Penelitian ini akan menggunakan cross tabulation atau tabulasi silang untuk memperoleh distribusi frekuensi jawaban yang diperoleh dari kuesioner. Distribusi ini dapat langsung dihitung besarnya prsentasi tiap variabel, yang jumlahnya selalu 100%. Tabulasi silang dapat hanya terdiri beberapa variabel yang disusun. Biasanya kolom digunakan untuk variabel bebas, sedang baris untuk variabel bergantung (Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki, 2004). Selain itu, akan digunakan pula uji mean atau uji rata-rata untuk melihat skor kredibilitas Metro TV dari hasil jawaban kuesioner. Untuk uji rata-rata ini digunakan rumus:
44
: rata-rata hitung yang dicari ∑X
: jumlah skor
N
: jumlah subjek
45