BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsentrasi obat dalam plasma dapat bervariasi diantara dua individu meskipun dengan berat badan dan dosis obat yang sama. Keberadaan obat dalam tubuh melibatkan 4 fase farmakokinetika yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Farmakokinetika obat dapat bervariasi antar individu dan antar etnik. Variasi pada fase metabolisme obat sangat berpengaruh terhadap timbulnya variasi farmakokinetika (Kim et al., 2004). Variasi metabolisme tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu antara lain faktor genetika, fisiologi, patofisiologi, dan faktor lingkungan. Secara umum, faktor genetika diperkirakan berperan sebesar 15 - 30 % terhadap perbedaan antar individu dalam hal metabolisme dan respon terhadap obat, bahkan beberapa obat menunjukkan bahwa faktor genetika berperan sekitar 95 % terhadap perbedaan antar individu dalam hal disposisi dan efek obat. Perbedaan metabolisme obat dapat ditentukan oleh perbedaan genetika (Eichelbaum et al., 2006; Ingelman-Sundberg, 2001). Salah satu proses metabolisme obat yang penting adalah metabolisme fase I yang diperantarai oleh sitokrom P-450 (CYP) yaitu suatu superfamili enzim yang mengoksidasi sejumlah besar senyawa endogen (misal eikosanoid dan steroid) dan xenobiotik (misal obat dan senyawa dari lingkungan) menjadi senyawa yang lebih hidrofilik (Nebert & Russell, 2002). Aktivitas enzim ini menjadi penentu terjadinya metabolisme obat fase I yang pada akhirnya menentukan efek obat. 1
Telah diketahui bahwa pada gen yang mengkode enzim pemetabolisme obat ini sering terjadi polimorfisme genetik (varian alel pada gen yang sama) dan ini menyebabkan variabilitas metabolisme obat antar individu. Konsekuensi dari polimorfisme adalah pada dosis biasa dapat terjadi adverse drug reaction atau tidak ada respon terhadap obat. Diantara anggota superfamili CYP, gen yang mengkode CYP2D6 bersama dengan CYP2C9 dan CYP2C19 memiliki polimorfisme yang tinggi, yaitu secara keseluruhan sekitar 40% dari metabolisme hepatik fase I (Ingelman-Sundberg, 2005). Single Nucleotide Polymorphism (SNP) adalah polimorfisme yang paling sering dijumpai, sehingga memiliki peran yang sangat penting dalam farmakogenetik. SNP adalah point-mutation dengan frekuensi lebih dari 1 % pada suatu populasi tertentu. Polimorfisme juga dapat berupa delesi dan insersi suatu nukleotida tunggal. Studi farmakogenetik terhadap gen CYP2D6 menunjukkan adanya variasi genetik berupa SNP yaitu keberadaan paling tidak dua alel yang berbeda pada satu gen, perbedaan hanya pada satu posisi DNA yang spesifik. (Ingelman-Sundberg, 2005). Polimorfisme gen yang mengkode CYP2D6 merupakan polimorfisme yang paling relevan secara klinik di antara polimorfisme gen yang telah diketahui (Ingelman-Sundberg, 2005). Hal tersebut dikarenakan walaupun CYP2D6 adalah merupakan bentuk isoform CYP yang minor yaitu hanya sekitar 2 % dari total CYP (Shimada et al., 1994) namun memiliki kontribusi yang penting dalam metabolisme sekitar 20 - 25 % obat yang digunakan di klinik diantaranya
-blocker dan anti aritmia. Polimorfisme yang terdapat pada CYP2D6 secara
2
signifikan mempengaruhi farmakokinetika sekitar 50% obat yang digunakan di klinik yang merupakan substrat dari CYP2D6 dan respon yang muncul berkaitan dengan isoenzim ini bervariasi antar pasien (Ingelman-Sundberg, 2005; Ramesh & Bharatam, 2012). Frekuensi alel gen CYP2D6 secara regional dan antar etnis diketahui berbeda (Sistonen et al., 2007; Sistonen et al., 2009). Lebih dari 150 alel gen CYP2D6 yang berbeda telah diketahui muncul dengan frekuensi yang berbeda pada populasi yang berbeda di seluruh dunia (http://www.cypalleles.ki.se/ cyp2d6. htm). Alel gen CYP2D6 juga telah dikaitkan dengan 4 (empat) fenotip berdasarkan tingkat ekstensif metabolisme obatnya (Abraham & Adithan, 2001). Empat klasifikasi fenotip yaitu pemetabolisme lambat (poor metabolizer/PM), pemetabolisme sedang (intermediate metabolizer/IM), pemetabolisme cepat (extensive metabolizer/EM), dan pemetabolisme ultra cepat (ultra-rapid metabolizer/UM) berdasarkan polimorfisme/mutasi dan jumlah kopi alel fungsional gen CYP2D6. Inidividu yang memiliki satu atau dua alel gen CYP2D6 non fungsional (CYP2D6*3, *4, *5, dan *6) dikaitkan dengan fenotip PM. Individu yang memiliki satu atau dua alel gen CYP2D6 dengan fungsi yang berkurang (CYP2D6*9, *10, *17, dan *41) dikaitkan dengan fenotip IM. Individu yang memiliki satu atau dua alel gen CYP2D6 dengan fungsi penuh (CYP2D6*1 dan *2) dikaitkan dengan fenotip EM. Individu yang memiliki lebih dari 2 gen CYP2D6 dengan fungsi penuh yaitu duplikasi/multipikasi (x 2, x 3, x 4, x 5) alel EM (*1 dan *2) atau *4, *6, *10, *17,dan *41) dikaitkan dengan fenotip UM (Zanger et al., 2004; Ingelman-Sundberg et al., 2007). Hal tersebut menunjukkan
3
rentang aktivitas CYP2D6 yang lebar pada banyak populasi di dunia (Sistonen et al., 2007). Pada populasi Eropa, varian alel CYP2D6 yang umum adalah CYP2D6*4 (12 - 21%) yaitu adanya mutasi 188 C > T dan 1934 G > A, serta menyebabkan splicing defect dan berkorelasi dengan tidak adanya aktivitas enzim CYP2D6 serta dikaitkan dengan fenotip PM. Frekuensi PM dari substrat CYP2D6 pada populasi Asia adalah rendah, namun memiliki frekuensi yang tinggi untuk varian alel CYP2D6*10 (51%) yang mengandung mutasi menyebabkan
substitusi
asam
amino
188 C > T pada exon 1 dan
P34S
sehingga
mengakibatkan
ketidakstabilan aktivitas enzim dengan aktivitas metabolik yang lebih rendah (Johansson et al., 1994). Alel CYP2D6*10 dikaitkan dengan fenotip intermediate metabolizer (IM). Pada populasi Afrika, varian alel yang umum adalah CYP2D6*17 yang mengandung mutasi 1111 C > T pada exon 2 (Masimirembwa, et al., 1996) dan berhubungan dengan menurunnya aktivitas enzim CYP2D6 dan dikaitkan dengan fenotip IM (Eichelbaum et al., 2006; Ingelman-Sundberg, 2005). Selain alel CYP2D6*10 dengan frekuensi tertinggi pada populasi Asia (51%) jika dibandingkan populasi Kaukasia (1-2%) dan Afrika (6%), alel CYP2D6*5 adalah merupakan null allele yang menonjol pada populasi Asia yaitu berkisar 6% jika dibandingkan pada populasi Kaukasia yang berkisar sekitar 2-7% dan pada populasi Afrika (4%) serta Etiopia dan Arab Saudi (1-3%). Alel CYP2D6*5 berkaitan dengan mutasi delesi gen dengan konsekuensi tidak adanya enzim CYP2D6 (Ingelman-Sundberg, 2005).
4
Pada populasi Malaysia, alel dengan frekuensi yang tinggi adalah CYP2D6*1 yaitu sebesar 41,67 %; CYP2D6*10 sebesar 43,33 %; dan *5 sebesar 8,33%. Hasil pada subyek Malaysia ini memiliki kemiripan dengan populasi Cina dan Jepang (Gan et al., 2002). Studi pada subyek Jepang (n = 98) diperoleh hasil frekuensi alel CYP2D6*1 sebesar 42,3%, *10 sebesar 40,8 %, dan *5 sebesar 6,1 % (Tateishi, 2002). Studi pada subyek Korea (n = 758) diperoleh hasil frekuensi alel CYP2D6*1 sebesar 32,3%; *10 sebesar 45,6 %; dan *5 sebesar 5,6 %. Pada subyek Cina (n = 89) diperoleh frekuensi alel CYP2D6*1 sebesar 27,5%; *10 sebesar 43,8 %; dan *5 sebesar 9,6 %. Pada subyek Vietnam (n = 122) frekuensi alel CYP2D6*1 sebesar 24,6 %; *10 sebesar 57,0 %; dan *5 sebesar 6,1 % (Kim et al., 2010). Hasil penelitian lain pada subyek Vietnam (n = 78) ditemukan frekuensi alel CYP2D6*5(8%) dan *10 (44 %). Proporsi alel ini sebanding dengan hasil lain pada populasi Asia yang telah dilaporkan (Veiga et al., 2009). Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa secara umum pada populasi Asia memiliki frekuensi alel yang khas untuk alel CYP2D6*10, CYP2D6*1, dan CYP2D6*5. Aktivitas enzim CYP2D6 dapat ditentukan dengan melakukan pengujian genotip dan fenotip (Zanger et al., 2004; Ingelman-Sundberg, 2005). Pengujian genotip dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu strategi Polymerace Chain Reaction (PCR), Single-strand conformation polymorphism (SSCP), real-time PCR, dan microarray untuk analisis DNA. Metode PCR-Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) menjadi metode yang memiliki keuntungan yaitu dalam hal kecepatan dan biaya untuk mengidentifikasi genotip CYP2D6 yang
5
relevan secara klinik sehingga sesuai untuk digunakan secara luas terutama di negara berkembang (Dorado et al., 2005). Pengujian fenotip aktivitas enzim CYP2D6 dapat diukur secara in vivo setelah pemberian oral dosis tunggal obat yang menjadi substrat enzim ini yang kemudian ditentukan rasio metabolik (metabolic ratio/MR) yaitu perbandingan antara urinary recovery dari obat induk dan metabolitnya. Berdasarkan nilai MR atau Log10 MR (LogMR) maka individu akan diklasifikasikan sebagai pemetabolisme ultra cepat/ultra rapid metabolizer (UM),
pemetabolisme
sedang/intermediate
cepat/extensive
metabolizer
(IM),
metabolizer atau
(EM),
pemetabolisme
pemetabolisme
lambat/poor
metabolizer (PM) (Zanger et al., 2004; Ingelman-Sundberg, 2005). Substrat yang umum digunakan untuk pengujian fenotip aktivitas CYP2D6 secara in vivo adalah debrisoquine, metoprolol, dan dekstrometorfan (Tucker et al., 2001). Debrisoquine menjadi substrat pilihan dibandingakan dekstrometorfan atau metoprolol, namun sayangnya tidak tersedia untuk penggunaan pada manusia di banyak negara termasuk di Indonesia. Metoprolol menjadi substrat yang sensitif dan sesuai untuk pengujian fenotip CYP2D6 dikarenakan reaksi α-hidroksilasi metoprolol hanya dimediasi oleh
CYP2D6,
metabolitnya
(α-hidroksimetoprolol)
tidak
mengalami
metabolisme lebih lanjut, dan jarak yang lebar antara rasio metabolik pada EM dan PM, sehingga memperkecil kemungkinan kesalahan klasifikasi fenotip, terutama pada individu dengan nilai rasio metabolik yang mendekati nilai antimode (Lennard, 1985). Pengujian fenotip dengan substrat dekstrometorfan lebih dipengaruhi oleh pH urine dibandingkan dengan pengujian dengan
6
metoprolol (Özdemir et al., 2004). Nilai MR metoprolol/α-hidroksimetoprolol bervariasi sekitar 6x sedangkan nilai MR dekstrometorfan/dekstrorfan bervariasi sekitar 20 kali karena pengaruh pH fisiologis urine (Labbe et al., 2000). Selain itu, konsentrasi dekstrometorfan yang rendah menjadi kendala dalam mendeteksi fenotip UM atau mendeteksi perubahan kecil pada aktivitas CYP2D6. Dengan substrat metoprolol, MR pada subyek EM dapat diukur dengan presisi yang tinggi. Oleh karena itu,
pada pengujian fenotip yang dikombinasi dengan
pengujian genotip, metoprolol menjadi substrat yang lebih dipilih dibandingkan dengan dekstrometorfan (Tamminga et al., 2001). Metoprolol merupakan antagonis adrenoreseptor (-blocker) yang telah digunakan secara ekstensif selama lebih dari 25 tahun untuk mengatasi gangguan kardiovaskular seperti hipertensi, aritmia dan gagal jantung. Metoprolol mengalami first-pass metabolism yang ekstensif, sehingga ketersediaan hayatinya hanya sekitar 50 % (Venkateswarlu et al., 2010). Enzim CYP2D6 secara spesifik mengkatalisis metabolisme metoprolol dengan jalur α-hidroksilasi menghasilkan metabolit α-hidroksimetoprolol (Fang et al., 2004). Korelasi yang kuat antara rasio
metabolik
metoprolol/α-hidroksimetoprolol
dan
rasio
metabolik
debrisoquine/4-hidroksidebrisoquine memberikan bukti kuat bahwa α-hidroksilasi metoprolol dan 4-hidroksilasi debrisoquine dikatalisis oleh sistem enzim yang sama, sehingga metoprolol mungkin menjadi alternatif substrat yang cocok (McGourty & Silas, 1985) Polimorfisme CYP2D6 menjadi contoh yang dapat memberikan penjelasan terbaik dari variasi farmakogenetik pada metabolisme obat sehingga perlu diteliti
7
secara intensif (Weinshilboum, 2003). Mengingat variasi metabolisme antar individu sangat mungkin terjadi dan farmakokinetiknya tidak linear maka sangat perlu dilakukan penelitian untuk menentukan genotip CPY2D6 untuk dapat memprediksi fenotipnya. Mengingat pada populasi Asia lainnya telah dilaporkan jenis alel yang dominan adalah CYP2D6*1 yaitu yang berkaitan dengan fenotip EM, *10 yang berkaitan dengan fenotip IM, dan CYP2D6*5 yang berkaitan dengan fenotip PM, oleh karena itu peneliti melakukan pengujian genotip untuk melihat adanya alel gen CYP2D6 khususnya CYP2D6*1, *5 dan *10 pada subyek sehat Indonesia khususnya suku Jawa dan Sunda. Pengujian fenotip dengan substrat metoprolol juga perlu diteliti untuk menentukan aktivitas enzim CYP2D6 pada subyek uji, sehingga dapat diklasifikasikan sebagai EM atau PM, yang kemudian dapat dihubungkan dengan genotip CYP2D6 yang diperoleh pada subyek tersebut. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan informasi yang penting untuk mengetahui individu dengan respon khas tertentu terhadap obat. Pengetahuan tentang aktivitas metabolik suatu populasi dan pengaturan dosis obat untuk pasien dengan genotip tertentu akan menurunkan risiko kegagalan terapi atau munculnya adverse effect.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, disampaikan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ditemukan adanya tipe alel gen CYP2D6*1, *5, dan *10 pada subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda? 8
2. Berapa frekuensi untuk masing-masing alel CYP2D6*1, *5, dan*10 pada kelompok subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda ? 3. Apakah ada perbedaan kapasitas hidroksilasi metoprolol pada kelompok subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda? 4. Apakah ada korelasi jenis alel gen CYP2D6 dan fenotip kapasitas hidroksilasi metoprolol pada kelompok subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda?
C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian untuk penentuan polimorfisme CYP2D6 pada populasi yang berbeda telah dilakukan. Analisis genotip 12 alel gen CYP2D6 (*1, *2, *5, *10, *14, *18, *21, *41, *49, *52, *60, dan duplikasi CYP2D6) menggunakan 2 reaksi PCR diikuti dengan multiplex Single Base Extention (SBE) dengan 10 primer dan singleplex SBE dengan 1 primer telah dilakukan pada populasi Asia khususnya subyek Korea (758 orang), Cina (89 orang) dan Vietnam (122 orang). CYP2D6 *14, *21, *41, *49, dan *52 ditemukan pada sekitar 5% subyek Cina dan Vietnam (Kim et al., 2010). Penelitian lain melakukan investigasi pengaruh alel CYP2D6*10 terhadap disposisi Tramadol pada 30 subyek Malaysia. Keberadaan alel CYP2D6*1, *3, *4, *5, *9 dan *17 juga dipelajari (Gan et al., 2002). Studi polimorfisme genetik CYP2D6 pada subyek Jepang dan pengaruhnya terhadap konsentrasi Paroxetine pada pasien psikiatrik telah diteliti (Ueda et al., 2006). Telah dilaporkan pula pengujian genotip dan fenotip enzim CYP2D6 pada sukarelawan sehat Afrika-Amerika (154 orang) dan Kaukasia (143 orang). Pada 9
subyek Afrika-Amerika alel CYP2D6*17 dan *5 lebih dominan dengan frekuensi alel *4 yang lebih kecil dibanding subyek Kaukasia. Kedua kelompok subyek menunjukkan kemiripan dalam aktivitas CYP2D6 yang diukur menggunakan dekstrometorfan sebagai substrat. Diperoleh nilai MR 2,21 ± 0,78 untuk subyek Afrika-Amerika dan 2,11 ± 0,86 untuk subyek Kaukasia (Wan et al., 2001). Penelitian mengenai analisis 11 varian alel gen CYP2D6 pada 90 sampel yang mewakili 8 populasi Amerika asli yang berasal dari Argentina dan Paraguai yang diidentifikasi sebagai Amerindian memperoleh hasil bahwa sebanyak 88,6 % dari total frekuensi alel CYP2D6 berhubungan dengan *1,*2,*4 dan*10 (Bailliet et al., 2007). Penelitian untuk menganalisis aktivitas metabolik CYP2D6 pada populasi Meksiko
Amerika
menggunakan
dekstrometorfan
sebagai
substrat
dan
menghubungkannya dengan analisis genotip pada sampel 50 orang Meksiko Amerika dan 25 non-Meksiko Amerika sebagai kontrol. Frekuensi fenotip PM sama diantara kelompok Meksiko Amerika dan kelompok non-Meksiko Amerika yaitu masing-masing 6% dan 5,5 %. Frekuensi alel pada kelompok Meksiko Amerika serupa dengan frekuensi yang telah dipublikasikan pada populasi kulit putih non-Hispanik:*4 (17 %),*5 (2 %), *10 (1 %), *17 (2 %),*xN (3 %). Hasil ini mengindikasikan bahwa jika dibandingkan dengan subyek kulit putih non-Hispanik, subyek Meksiko Amerika memiliki proporsi fenotip PM dan polimorfisme genetik CYP2D6 yang mirip (Casner, 2005). Telah dilakukan pula pengujian kapasitas oksidasi metoprolol pada 218 subyek sehat orang Korea menggunakan urinary metabolic ratio (MR) 8 jam
10
metoprolol terhadap α-hidroksimetoprolol setelah pemberian dosis tunggal metoprolol tartrat 100 mg secara oral. Hasil penelitian tersebut dibandingkan juga dengan kapasitas oksidasi metoprolol dari 295 subyek Jepang dan 107 subyek Cina daratan yang diuji dengan cara yang sama. Frekuensi keberadaan PM adalah 0,5% pada populasi Korea, 0,7% pada populasi Jepang dan 0% pada populasi Cina. Rata-rata MR (0,84 ± 1,14 dan 0,87 ± 0,90) pada EM populasi Korea dan Jepang secara signifikan lebih kecil dibanding MR pada EM populasi Cina daratan (2,81 ± 2,35), dan modus distribusi histogram dan plot probit data untuk EM populasi Cina bergeser ke kanan jika dibandingkan dengan pada EM populasi Korea dan Cina EM pada populasi Cina memiliki kapasitas yang lebih rendah untuk
memetabolisme
metoprolol
menjadi
α-hidroksimetoprolol
jika
dibandingkan dengan EM pada populasi Korea dan Jepang. Pada populasi Korea, seperti
halnya
Jepang
dan
Cina
daratan,
fenotip
PM
oksidasi
tipe
debrisoquine/sparteine memiliki frekuensi yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan populasi Kaukasia (Sohn et al., 1991). Pada penelitian ini, peneliti melakukan pengujian genotip CYP2D6 *1, *5, dan*10 dan pengujian fenotip kapasitas hidroksilasi metoprolol pada subyek sehat Indonesia menggunakan urinary metabolic ratio (MR) metoprolol terhadap α-hidroksimetoprolol setelah pemberian dosis tunggal metoprolol tartrat 100 mg secara oral sehingga dapat ditentukan fenotipnya. Dengan hasil pengujian genotip dan fenotip tersebut dapat ditentukan ada tidaknya hubungan antara jenis alel CYP2D6 *1, *5, dan*10 dengan kapasitas hidroksilasi metoprolol pada subyek sehat Indonesia.
11
D. Manfaat yang Diharapkan Hasil penelitian farmakogenetik dapat digunakan untuk mempelajari respon yang berbeda terhadap obat yang sama karena faktor genetik dan menggunakan informasi ini untuk membangun upaya terapi individual. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui perbedaan frekuensi alel CYP2D6 khususnya *1,*5 dan *10 pada subyek orang Indonesia suku Jawa dan Sunda. Mengingat variasi metabolisme antar individu sangat mungkin terjadi dan jika dihasilkan metabolit aktif yang memberikan kontribusi yang bermakna terhadap aktivitas obat secara keseluruhan dan farmakokinetiknya tidak linear, maka sangat perlu dilakukan penelitian untuk menentukan genotip CPY2D6 untuk dapat memprediksi fenotipnya yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar untuk individualisasi terapi. Metoprolol yang merupakan substrat enzim CYP2D6 mengalami first pass metabolism yang ekstensif menghasilkan ketersediaan hayati yang rendah, sehingga penentuan fenotip kapasitas hidroksilasi dengan menentukan rasio metabolik metoprolol dan metabolitnya α-hidroksimetoprolol yang diperantarai secara eksklusif oleh enzim CYP2D6 menjadi sangat penting untuk dipelajari. Berdasarkan hasil pengujian genotip dan fenotip nantinya dapat dipelajari ada tidaknya hubungan antara jenis alel CYP2D6 (*1,*5 atau *10) dengan fenotip yang muncul.
12
E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi polimorfisme gen CYP2D6 dan variabilitas kapasitas oksidasi metoprolol sebagai substrat enzim CYP2D6 pada subyek sehat orang Indonesia suku Jawa dan Sunda. 2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: a. Mengetahui ada tidaknya tipe alel gen CYP2D6*1, *5, dan *10 pada kelompok subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda. b. Menentukan frekuensi alel CYP2D6*1, *5, dan *10 pada kelompok subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda. c. Menentukan fenotip kapasitas hidroksilasi metoprolol pada kelompok subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda. d. Mengetahui hubungan jenis alel gen CYP2D6 dan fenotip kapasitas hidroksilasi metoprolol pada kelompok subyek sehat Indonesia suku Jawa dan Sunda.
13