BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Gangguan mental merupakan salah satu tantangan kesehatan global yang memiliki dampak signifikan dikarenakan prevalensi yang tinggi dan penderitaan berat yang ditanggung oleh individu, keluarga, komunitas, dan negara (Kohn, Saxena, Levav, & Saraceno, 2004). Gangguan mental akan muncul satu waktu pada 10% populasi orang dewasa (World Health Organization, 2001). Pada tahun 1990, gangguan mental dan neurologis berkontribusi sebesar 10% dari total Disability-Adjusted Life Years (DALYs yaitu tahun yang dihabiskan seseorang dalam kondisi disabilitas), kemudian pada tahun 2000 menjadi sebesar 12%, dan diperkirakan terus akan meningkat hingga 15% pada tahun 2020 (World Health Organization, 2001). Estimasi saat ini 450 ribu orang setidaknya memiliki satu gangguan mental (McBain, Salhi, Morris, Salomon, & Betancourt, 2012). Survei yang dilakukan di 17 negara menemukan rata-rata satu dari 20 orang melaporkan memiliki episode depresi (World Health Organization, 2015). Pada level individu prevalensi gangguan mental yang sering ditemukan berkaitan dengan penurunan kualitas kesehatan fisik adalah gangguan depresi mayor, dysthymia, gangguan bipolar, gangguan panik, fobia sosial, gangguan makan, dan skizofrenia. Pada level populasi, prevalensi gangguan mental yang berkaitan dengan kualitas kesehatan publik adalah fobia, depresi, dysthymia dan ketergantungan alkohol (Lokkerbol et al., 2013). Studi epidemiologi di layanan kesehatan primer menemukan bahwa prevalensi gangguan mental yang paling
1
2
sering muncul yaitu depresi, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan somatoform non-spesifik, dan dysthymia (Ansseau et al., 2004; Roca et al., 2009). Akan tetapi, persentase individu dengan gangguan depresi yang menerima penanganan profesional masih rendah di sebagian besar negaranegara di dunia, terutama di negara-negara berkembang (Kessler & Bromet, 2013).
Beban Penyakit Dunia Tahun 2010 Penyakit Penyebab Penyakit Jantung dan Lainnya Tropis yang Sirkulasi 10% Terabaikan 3% dan Malaria 3% Luka Tidak Disengaja 3% Penyakit Saraf 6% Penyakit Pernafasan Kronik 6% Penyakit Diabetes, darah dan Endokrin 6% Kekurangan Gizi 7%
Gangguan Mental dan Perilaku 23%
Gangguan Muskuloskeletal 22% Penyakit Tidak Menular Lain 11%
Gambar 1. Beban Penyakit Dunia pada Tahun 2010 (Sumber: Becker, A. E., & Kleinman, A. (2013). Global health: Mental health and the global agenda. The New England Journal of Medicine, 369(1), p.68)
Gangguan mental tidak hanya merupakan kondisi medis yang memiliki prevalensi tinggi, namun juga memiliki tingkat disabilitas yang tinggi terutama di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah (Burns, 2014; Patel, 2007). Kondisi kesehatan mental seperti gangguan depresi merupakan penyebab kedua terbesar dalam penyakit beban dunia di tahun 2010 yang berkontribusi pada kasus bunuh diri dan penyakit jantung iskemik (Ferrari et al., 2010).
3
Gangguan depresi diperkirakan akan menjadi beban terbesar pada tahun 2030, yaitu ¾ beban ini akan terjadi di negara-negara berkembang (Litt, Baker, & Molyneux, 2012). Gangguan kecemasan menempati urutan keenam terbesar penyebab disabilitas baik di negara dengan pendapatan tinggi maupun negara dengan pendapat menengah ke bawah (Baxter, Vos, Scott, Ferrari, & Whiteford, 2014). Prevalensi skizofrenia diperkirakan 1,4 hingga 4,6 per populasi dan ratarata insidensi dalam kisaran 0,16-1,42 per 1000 populasi (Jablensky, 2000).
Rank
1
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Estimasi 1990 Penyebab
%
Proyeksi 2020 Rank Penyebab 1 Penyakit Jantung Iskemik
Infeksi Pernafasan Bawah Penyakit Diare
8,2
7,2
2
Kondisi Perinatal Depresi Mayor Unipolar Penyakit Jantung Iskemik Penyakit Serebrovaskular Tuberkulosis Campak Kecelakaan Lalu Lintas Kelainan Bawaan
6,7
3
3,7
4
3,4
5
2,8
6
2,8 2,7 2,5 2,4
% 5,9
5,7
7 8 9
Depresi Mayor Unipolar Kecelakaan Lalu Lintas Penyakit Serebrovaskular Penyakit Paru Kronik Infeksi Pernafasan Bawah Tuberkulosis Luka Perang Penyakit Diare
10
HIV
2,6
5,1 4,4 4,2 3,1 3,0 3,0 2,7
Gambar 2.Sepuluh Penyebab YLD (Years Lived with Disability) di Negaranegara Berpendapatan Tinggi dan Menengah ke Bawah Tahun 2010. (Sumber: Baxter, A. J., Vos, T., Scott, K. M., Ferrari, A. J., & Whiteford, H. A. (2014). The global burden of anxiety disorders in 2010. Psychological Medicine, 44, p. 2367).
Gangguan mental dapat mengakibatkan penurunan angka harapan hidup seseorang. Apabila dikaitkan dengan kematian, maka ditemukan dari sekitar 1000 kasus bunuh diri, 90% kasus berasosiasi dengan depresi (Eaton et al., 2008). Individu dengan skizofrenia kemungkinan mengalami rata-rata kematian
4
dua kali lebih besar dari populasi umum dengan jangka waktu hidup sekitar 1520 tahun. Sepertiga individu dengan skizofrenia berusaha bunuh diri dan lima persen individu dengan skizofrenia meninggal karena bunuh diri (Tandon, Nasrallah, & Keshavan, 2009). Bunuh diri merupakan penyebab ketiga terbesar dalam kasus kematian antara usia 15-45 tahun (Eaton et al., 2008). Gangguan mental secara tidak langsung juga memengaruhi beban sosial (Mueser & McGurk, 2004) dan beban ekonomi nasional (Ngui, Khasakhala, Ndetei, & Roberts, 2010). Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) menunjukkan prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil, yang artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Prevalensi penduduk yang mengalami gangguan mental emosional secara nasional pada tahun 2013 sebesar enam persen (37.728 orang dari subjek yang dianalisis). Prevalensi tertinggi ada pada kelompok usia lebih dari 75 tahun dibandingkan kelompok usia lainnya, kelompok perempuan daripada laki-laki, dan kelompok tidak sekolah (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Angka bunuh diri di Indonesia juga terus meningkat hingga mencapai 1,6 1,8 tiap 100.000 penduduk. Adapun kejadian bunuh diri tertinggi berada pada kelompok usia remaja dan dewasa muda (15 – 24 tahun). Fenomena bunuh diri di Indonesia meningkat pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap sumber tekanan psikososial yaitu pengungsi, remaja, dan masyarakat sosial ekonomi rendah (World Health Organization, 2012). Berdasarkan data dari Koran lokal diketahui bahwa dalam jangka waktu 18 bulan (Februari 2014 hingga Juli 2015) di Yogyakarta terdapat 21 kasus bunuh diri, dan semua korban meninggal dunia (Sunartono, 2015).
5
Prevalensi individu dengan gangguan mental secara global sangat tinggi, namun jumlah individu yang mendapatkan penanganan profesional kurang dari 10% di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah (McBain et al., 2012). Tingginya angka beban tersebut salah satunya dikarenakan banyaknya individu tidak mendapatkan penanganan yang tepat di layanan spesialis maupun layanan kesehatan secara umum (Kohn et al., 2004). Di banyak konteks negaranegara dengan pendapatan menengah ke bawah, gangguan mental lebih banyak ditangani oleh penyembuh tradisional (Burns, 2014). Di Afrika Selatan terdapat kira-kira 200.000 penyembuh yang menyediakan layanan untuk 70% populasi dan terus meningkat tiap tahunnya (Mclnnis & Merajver, 2011). Penelitian di Afrika, Arab, Asia, dan India menunjukkan kebanyakan individu lebih memilih untuk mencari pertolongan ke penyembuh lokal terlebih dahulu sebelum mencoba jalur medis (Angermeyer, Breier, Dietrich, Kenzine, & Matschinger, 2005; Ediriweera, Fernando & Pai, 2012; Uwakwe & Otakpor, 2014). Penelitian Subandi dan Utami (1996) pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental menemukan bentuk pencarian pertolongan informal dengan cara pengobatan ke dukun atau ahli agama. Temuan ini didukung oleh Salim (2014) bahwa salah satu bentuk pencarian pertolongan yang dominan terkait gangguan mental baik pada penduduk di desa maupun kota adalah mendatangi kiai. Biasanya respon keluarga dalam menanggapi adanya salah satu anggota keluarga yang mengalami gangguan mental adalah dengan menganggap tidak terjadi apa-apa di dalam keluarganya. Akan tetapi, kebanyakan keluarga juga menerima kenyataan dan mentransendensikan diri yakni menganggap bahwa masalah yang dihadapi adalah cobaan dari Tuhan (Subandi & Utami, 1996).
6
Dampak dari tingginya angka penanganan yang bersifat informal adalah penundaan pencarian pertolongan formal (Burns, 2014; Uwakwe & Otakpor, 2014) dan juga penundaan diketahuinya gangguan dari onset pertama kali muncul (Kohn et al., 2004). Walaupun ada kemungkinan individu yang tidak mendapat pertolongan formal tidak terlalu mengalami defisit secara klinis, tetapi ada perbedaan faktor psikososial antara individu yang ditangani secara tepat dan yang tidak tertangani (Kohn et al., 2004). Salah satu bentuk penanganan yang tidak tepat pada orang dengan gangguan mental adalah perawatan yang tidak ‘manusiawi’ di tempat-tempat penampungan sosial orang dengan gangguan mental, misalnya tidak diberi makan, pemberian suntikan tidak sesuai rekomendasi dokter (Taufik, 2013) dan pemasungan orang dengan gangguan mental (Hartawan, 2016; Sudiaman, 2015; Wirawan, 2016). Berdasarkan data riset dari Kementerian Kesehatan RI (2013) diketahui sebesar 14,3% (237 Rumah Tangga) dari 1.655 Rumah Tangga memasung anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa berat. Hasil survei pada masyarakat umum (n= 89 orang; Laki-laki= 32 dan Perempuan= 57; rentang usia 15-38 tahun; dalam kurun waktu 8-13 Februari 2016) dengan cara memberikan dua vignette (kasus depresi dan skizofrenia) yang diadaptasi dari hasil penelitian Angermeyer et al. (2005) menunjukkan bahwa hanya 22,5% partisipan yang mengenali dan melabeli vignette pertama sebagai kasus depresi, 77,5% lainnya tidak mengenali atau memberikan label yang tidak tepat. Pada kenyataannya, 75,3% partisipan pernah menemui teman/keluarga dengan deskripsi yang sama dengan vignette depresi dalam kehidupan sehari-hari.
7
Survei yang dilakukan oleh
Rekognisi dan Pelabelan
Depresi
penulis pada vignette kedua (kasus skizofrenia)
Lainnya 22%
menunjukkan
bahwa
hanya 8,9% partisipan mengenali dan memberikan label yang tepat, sementara lainnya tidak mengenali
78%
secara
Gambar 3. Grafik Survei Vignette Depresi
spesifik,
beranggapan
bahwa
namun individu
tersebut sedang menghadapi masalah, stres, akibat ‘ulah’ roh halus/roh jahat, dan partisipan tidak mampu memberikan pelabelan yang tepat (beberapa menganggap individu tersebut mengalami depresi, fobia, dan gangguan jiwa secara umum). Padahal ditemukan sebesar 44,9% partisipan pernah menemui teman/keluarga dengan gejala seperti di dalam vignette dalam kehidupan sehariharinya. Survei yang dilakukan oleh penulis mengenai penanganan yang dilakukan partisipan terhadap kasus
Rekognisi dan Pelabelan
Skizofrenia
depresi dalam vignette menunjukkan hanya
7,9%
partisipan
yang
memberikan tindakan pertolongan dengan merujuk pada ahli/tenaga kesehatan
mental
Lainnya 9%
profesional
91% Gambar 4. Grafik Survei Vignette Skizofrenia
(psikolog/psikiater). Pada kasus skizofrenia hanya 23,6% partisipan yang merujuk ke tenaga profesional kesehatan mental. Bentuk pertolongan untuk kasus skizofrenia yang dianjurkan oleh partisipan salah satunya adalah meminta
8
bantuan ke ahli agama dan partisipan lainnya memberikan bentuk pertolongan yang sama seperti kasus depresi (mendengarkan, memberi dukungan, mengajak keluar, dan lain-lain). Hal ini sejalan dengan penelitian Subandi (2012) yang menunjukkan bahwa secara umum pasien psikotik akan beralih ke hal-hal yang berkaitan dengan agama dalam mencari pertolongan, karena agama diyakini memberikan dukungan dalam mengatasi tekanan dan gangguan psikotik yang dialami. Hasil survei di atas menunjukkan dua poin yang menjadi perhatian penulis yaitu (a) pengenalan dan pengetahuan masyarakat mengenai gangguan mental tergolong rendah, walaupun ternyata dalam kehidupan sehari-harinya pernah menemui individu dengan gejala depresi ataupun skizofrenia; dan (b) kecenderungan partisipan dalam merujuk pencarian pertolongan formal (tenaga kesehatan profesional) juga rendah. Penelitian Marastuti (2014) menemukan adanya hubungan positif antara literasi kesehatan mental dan perilaku mencari pertolongan pada remaja SMP dan SMU. Hasil tersebut menunjukkan literasi kesehatan mental dan perilaku mencari pertolongan ke tenaga kesehatan mental profesional pada remaja cenderung rendah. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai gangguan
mental
dan
ketidakmampuan
mengidentifikasi
tenaga-tenaga
profesional di bidang kesehatan mental. Partisipan lebih memilih untuk mencari pertolongan dengan teman atau pertolongan non-profesional yang dapat berisiko (Marastuti, 2014). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa literasi kesehatan mental berkaitan erat dengan kecenderungan intensi dan perilaku seseorang dalam mencari bantuan (Mason, Hart, Rossetto, & Jorm, 2015). Literasi kesehatan
9
mental masyarakat akan memengaruhi dan meningkatkan keyakinan dan tindakan untuk mendapatkan pertolongan profesional (Jorm, 2012). Intensi dan keyakinan akan respon pertolongan memengaruhi aksi nyata dalam merespon orang dengan gangguan mental dengan cara mendekati atau merujuk pada penanganan yang tepat (Yap & Jorm, 2012). Peningkatan literasi kesehatan mental berkaitan dengan penurunan stigma negatif di masyarakat dan merekomendasikan orang dengan adanya tanda gangguan mental pada penanganan yang profesional (Armstrong & Young, 2015; Reavley & Jorm, 2011). Keterkaitan antara literasi kesehatan mental dan pencarian pertolongan formal menjadi salah satu komponen dalam Mental Health First Aid (MHFA) yaitu program pelatihan untuk meningkatkan pengenalan dan keterampilan dalam merespon isu terkait gangguan mental, terutama di kalangan remaja (Colluci, Kelly, Minas, Jorm, & Nadera, 2010; Hart et al., 2010; Yap, Reavley, & Jorm, 2012). Program ini bertujuan untuk meningkatkan literasi kesehatan mental remaja yang akan menurunkan stigma dan meningkatkan intensi dan aksi pencarian pertolongan. Kajian literatur sistematis yang dilakukan Hanisch et al. (2016) mengenai intervensi anti stigma menemukan dengan adanya intervensi anti stigma dapat meningkatkan literasi kesehatan mental partisipan yang akan memengaruhi perilaku pencarian pertolongan partisipan terkait gangguan mental. Komponen yang termasuk di dalam intervensi ini adalah pengenalan dan pengetahuan mengenai gangguan mental, sikap terhadap penanganan profesional dan perilaku suportif. Lima literatur dari 16 literatur yang dikaji mengukur hingga tahap follow-up dan menemukan bahwa ada peningkatan pengetahuan yang
10
menetap dan kepercayaan diri untuk memberikan bantuan, namun tidak ada perubahan pada sikap yang masih tetap sama dalam jangka waktu dua tahun. Handoyo (2012) merancang modul mengenai program edukasi kampanye anti stigma terhadap orang dengan skizofrenia yang di dalamnya meliputi edukasi gejala dan bentuk perawatan terhadap orang dengan skizofrenia, mitos dan fakta tentang skizofrenia, dan bermain peran untuk meningkatkan empati pada anak sekolah menengah pertama. Hasil penelitian ini menemukan bahwa peningkatan pengetahuan akan menurunkan jarak sosial partisipan terhadap orang dengan skizofrenia, namun tidak menurunkan stereotip negatif terhadap orang dengan skizofrenia. Selain itu, penurunan jarak sosial hanya berlangsung hingga post-test dan meningkat kembali saat follow-up. Peran peningkatan literasi kesehatan mental dalam mengurangi jarak sosial secara langsung dan meningkatkan intensi pencarian pertolongan formal masih menjadi perdebatan ketika diterapkan ke dalam modul intervensi anti stigma (Angermeyer, Holzinger, & Matschinger, 2009; Handoyo, 2012). Temuan tingginya prevalensi individu dengan gangguan mental, dan minimnya individu yang memeroleh perawatan formal mengindikasikan adanya ‘treatment gap’ (kesenjangan penanganan). Kesenjangan penanganan merujuk pada prevalensi gangguan mental yang terjadi dan proporsi individu yang tertangani, atau dengan kata lain persentase individu yang memerlukan perawatan, namun tidak menerima penanganan. Kesenjangan penanganan di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah ditemukan kurang dari 10% yang mendapatkan terapi di fasilitas kesehatan (Kohn et al., 2004; McBain et al., 2012). Hambatan eksternal dapat menjadi salah satu penyebab tingginya kesenjangan penanganan. Hal ini dapat ditinjau dari akses yang meliputi area
11
geografis, transportasi, dan biaya ke layanan kesehatan mental tidak terdistribusi secara merata (Harvey & Gumport, 2015). Di Indonesia, standar yang belum memadai antara jumlah tenaga profesional kesehatan mental (psikolog dan psikiater) dengan jumlah penduduk menjadi salah satu penghambat akses layanan kesehatan mental (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Usaha yang dilakukan untuk menjembatani kesenjangan penanganan yaitu dengan meningkatkan jumlah dan mutu tenaga kesehatan mental profesional di institusi pendidikan, integrasi pembiayaan pelayanan melalui asuransi kesehatan, pemberdayaan masyarakat (Dinas Kesehatan DIY, 2015) dan integrasi layanan kesehatan mental di aras primer (Dinas Kesehatan DIY, 2015; Retnowati, 2011). Mclnnis dan Merajver (2011) mengemukakan bahwa usaha lain untuk mengurangi kesenjangan penanganan adalah dengan melatih tenaga nonprofesional berbasis komunitas untuk mengenali dan mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan mental, serta berkolaborasi dengan para tenaga pemberi bantuan informal di komunitas. Program kesehatan mental berbasis komunitas yang telah dilakukan yaitu program Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) di Yogyakarta (Putri et al., 2013) dan di Aceh (Widiyani, 2013). Program
penanganan kesehatan mental berbasis komunitas yaitu
pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) bertujuan untuk melatih kaderkader yang ada di komunitas untuk dapat melakukan deteksi dini gangguan mental dan melakukan perujukan ke puskesmas. Namun, layaknya koin dengan dua sisi, efek samping lain yang muncul dari program ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental khawatir aibnya terbongkar karena dianggap memalukan (Putri et al., 2013). Konsepsi budaya dan persepsi masyarakat umum mengenai gangguan mental memiliki konsekuensi negatif
12
pada usaha pencarian pertolongan, sehingga banyak orang dengan gangguan mental tidak tertangani (Link, Phelan, Bresnahan, Stueve, & Pescosolido, 1999). Keluarga yang menerima secara positif program DSSJ justru adalah keluarga yang berada pada kondisi perekonomian menengah ke bawah (Putri et al., 2013). Ansseau et al. (2004) menyatakan bahwa meskipun hanya 5,4% pasien yang mengunjungi dokter umum untuk kondisi-kondisi psikologis, namun kenyataannya didapatkan hampir 40% pasien memenuhi kriteria gangguan mental. Adanya kesenjangan antara alasan pasien datang ke dokter umum dan diagnosa yang aktual kemungkinan disebabkan beberapa faktor yaitu dokter umum memiliki waktu terbatas untuk mewawancarai pasien, pengetahuan yang belum memadai mengenai prosedur diagnosis gangguan mental, sering men“somatisasi”-kan gangguan-gangguan mental, dan kurangnya empati pada pasien dengan gangguan mental. Sementara di level pasien, adanya penolakan untuk mengkonsultasikan keadaan psikologis mereka akibat kekhawatiran dengan stigma. Stigma memiliki banyak dampak yang tidak diinginkan dalam penanganan kesehatan mental yaitu rendahnya efikasi diri dan kemampuan pengatasan masalah, rendahnya harga diri dan kepatuhan terhadap perawatan, serta keengganan mencari pertolongan (Eisenberg, Downs, Golberstein, & Zivin, 2009). Mehta dan Thornicroft (2014) menuliskan bahwa prevalensi dan pola stigma yang selama ini diteliti kebanyakan mengambil sampel di negara-negara dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah menunjukkan hasil masih tingginya pemahaman mengenai asosiasi gangguan mental dengan hal-
13
hal supranatural, rendahnya pengetahuan dan sikap negatif profesi kesehatan lain pada pasien dengan gejala gangguan mental (Mehta & Thornicroft, 2014). Hal lain yang ditemukan bahwa stigma justru tinggi pada orang-orang yang tinggal di area urban dan berpendidikan tinggi. Studi kualitatif pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) mendukung hasil tersebut bahwa keluarga dengan pendapatan menengah ke atas cenderung memiliki rasa malu dan menutupnutupi
bila
ada
anggota
keluarga
yang
mengalami
gangguan
mental
dibandingkan merujuk ke penanganan profesional (Putri et al., 2013). Menurut hasil penelitian Papadopoulos, Foster, dan Caldwell (2013), kelompok yang memiliki nilai kolektif cenderung lebih tinggi memberikan stigma pada orang dengan gangguan mental daripada kelompok dengan nilai individualis. Hal ini dikarenakan pada budaya individualis terbiasa dengan banyaknya perbedaan dan toleransi tinggi dengan sesuatu yang menyimpang dibandingkan budaya kolektif. Penelitian Kido, Kawakami, Miyamoto, Chiba, dan Tsuchiya (2013) menemukan asosiasi antara sosial kapital pada level individu dengan menurunnya stigma terhadap orang dengan gangguan mental. Secara khusus, rasa percaya pada komunitas, hubungan timbal balik, dan nilai-nilai kerjasama berkaitan erat dengan rendahnya skor stigma. Hal ini dikarenakan rasa kepercayaan yang tinggi dalam komunitas juga meningkatkan rasa percaya pada orang dengan gangguan mental bahwa mereka tidak mengancam dan cenderung ada harapan untuk menerima bantuan dari tetangga. Penelitian Salim (2014) menunjukkan bahwa niat masyarakat untuk mencari pertolongan psikiater tidak dipengaruhi oleh sikap dan kontrol perilaku, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh stigma dan keyakinan yang terdapat dalam diri
14
masyarakat bersangkutan. Pengalaman terkait gangguan mental memiliki pengaruh pada respon diskriminasi dan emosi. Individu yang pernah memiliki pengalaman
sebelumnya
terkait
dengan
gangguan
mental
cenderung
menawarkan bantuan interpersonal dan kurang menghindari orang dengan gangguan mental. Kondisi ini justru meningkatkan rasa kasihan dan berasosiasi negatif dengan rasa marah dan takut. Hasil ini berbanding terbalik dengan temuan Ayazi, Lien, Eide, Shadar, dan Hauff (2014) bahwa tidak ditemukan keterkaitan antara pengalaman terkait gangguan mental dengan jarak sosial individu. Ayazi et al. (2014) justru menemukan bahwa individu yang memiliki sikap berbasis komunitas (dibandingkan sikap berbasis medis) terkait perawatan kesehatan orang dengan gangguan mental cenderung menunjukkan jarak sosial yang rendah. Alasan
pentingnya
sikap
komunitas
terhadap
pencarian
bantuan
profesional diteliti lebih lanjut dikarenakan telah tersedianya berbagai layanan kesehatan mental hingga aras primer, mulai digalakkannya sistem rehabilitasi berbasis komunitas mengindikasikan bahwa populasi umum akan banyak melakukan kontak dengan orang yang sebelumnya menjalani penanganan di layanan kesehatan mental, dan adanya sikap negatif terhadap layanan kesehatan mental dapat memengaruhi penundaan dan ketidakpatuhan terhadap penanganan untuk kepulihan individu yang mengalami gangguan mental (Surgenor, 1985). Penelitian Hickling, Robertson-Hickling, dan Paisley (2011) menemukan bahwa sikap terhadap orang dengan gangguan mental berubah dan stigma menurun ketika adanya peningkatan keterlibatan komunitas terhadap orang dengan gangguan mental. Stigma negatif bergeser menjadi positif ketika adanya
15
rasa kebersamaan dan kebaikan, serta penempatan layanan kesehatan mental komunitas di sistem layanan kesehatan primer. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan hasil survei di lapangan memerlihatkan masih adanya kesenjangan antara harapan masyarakat global yang semakin peka dengan isu kesehatan mental dan mampu melakukan deteksi dini dengan pengetahuan masyarakat saat ini untuk memberikan pertolongan yang tepat ketika mengalami atau berkontak dengan orang yang mengalami gangguan mental. Pada kenyataannya seringkali orang dengan gangguan mental mengalami diskriminasi, sehingga berdampak pada keengganan untuk mencari pertolongan dan cenderung menyembunyikan gejala-gejala yang mungkin muncul dalam waktu yang lama. Lauber dan Rössler (2007) menyebutkan bahwa stigma di negara-negara Asia cenderung lebih tinggi dibandingkan di negara-negara Barat yang dampaknya meningkatkan jarak sosial dan diskriminasi pada individu dengan gangguan mental. Sikap negatif oleh mayoritas masyarakat terhadap individu atau karakteristik individu dengan gangguan mental dapat menimbulkan stigma yang mengarah pada perilaku diskriminatif. Harapan untuk masyarakat global nantinya apabila mengalami gejala gangguan mental atau dekat dengan seseorang yang memiliki gejala tersebut, diharapkan mereka akan mampu menanganinya dengan mencari pertolongan formal. Usaha yang dilakukan seseorang untuk menangani gejala tersebut akan bergantung dari seberapa tinggi literasi kesehatan mental individu dan seberapa positif sikap masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang terapeutik dan mengurangi diskriminasi pada orang dengan gangguan mental. Urgensi peningkatan pengetahuan dan penerimaan masyarakat terkait isu kesehatan
16
mental dikarenakan prevalensi gangguan mental akan terus meningkat sepanjang kehidupan (hingga 50%), yang artinya seseorang akan mengalami gangguan-gangguan tersebut atau berkontak dengan orang-orang yang memiliki gangguan tersebut nantinya (Jorm, 2000). Penelitian ini menguji peran literasi kesehatan mental dan sikap komunitas terhadap intensi seseorang dalam mencari pertolongan formal terkait dengan adanya gangguan mental.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka memunculkan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan masalah penelitian ini, yaitu : 1.
Apakah literasi kesehatan mental berperan dalam pencarian pertolongan formal terkait gangguan mental?
2.
Apakah sikap komunitas terhadap gangguan mental berperan dalam pencarian pertolongan formal terkait gangguan mental?
3.
Apakah literasi kesehatan mental dan sikap komunitas terhadap gangguan mental secara bersama-sama berperan dalam pencarian pertolongan terkait gangguan mental?
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini mencakup beberapa hal yaitu: a) Mengetahui apakah pencarian pertolongan formal terkait gangguan mental dipengaruhi oleh literasi kesehatan mental dan sikap komunitas terhadap gangguan mental; dan b) Mengetahui bobot sumbangan efektif dari masing-masing variabel prediktor terhadap pencarian pertolongan formal terkait gangguan mental.
17
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah pengembangan konsep mengenai kesehatan mental global terkait strategi peningkatan layanan kualitas kesehatan mental untuk mengurangi kesenjangan penanganan kesehatan mental. Manfaat praktis penelitian ini adalah pengujian kerangka konseptual terkait peningkatan pemanfaatan layanan kesehatan mental profesional yang dapat menjadi rujukan bagi praktisi profesional kesehatan mental di lapangan maupun pemangku kepentingan dalam membuat modul psikoedukasi, pelatihan keterampilan respon isu kesehatan mental atau intervensi komunitas.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai pencarian pertolongan bermula dari kasus-kasus medis yang terkait dengan kesehatan fisik (Rickwood & Thomas, 2012). Penelitian mengenai pencarian pertolongan terkait gangguan mental yang sudah pernah diteliti sebelumnya dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu (a) hubungan antara faktor dari dalam diri individu terhadap pencarian pertolongan; dan (b) hubungan antara faktor di luar diri individu terhadap pencarian pertolongan. Penelitian terkait faktor individu dengan pencarian pertolongan ditinjau dari berbagai aspek, salah satunya yang paling mendasar adalah faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, dan pendidikan (Xiong & Wood, 2016; Yu et al., 2015). Zoonen et al. (2015) bahkan menemukan faktor kepribadian dan usia lebih
menentukan
intensi
pencarian
pertolongan
individu
dibandingkan
kebutuhan aktual seperti tingkat keparahan gangguan mental dan durasi lamanya gejala gangguan mental terdeteksi. Faktor intrinsik lainnya yang berkaitan dengan intensi pencarian pertolongan individu ke tenaga kesehatan
18
profesional adalah keterbukaan diri individu (Vogel & Wester, 2003); efikasi diri dan kontrol tindakan (Xiong & Wood, 2016), serta kebutuhan akan otonomi (Wilson, Bushnell, & Caputi, 2011). Faktor individu lain yang banyak disoroti terkait dengan pencarian pertolongan adalah keyakinan individu mengenai gangguan mental dan pengetahuan mengenai gangguan mental. Keyakinan individu bahwa gangguan mental adalah tanda kelemahan pribadi akan mengurangi pencarian pertolongan profesional (Wright, Jorm, & MacKinnon, 2011; Yap, Reavley, & Jorm, 2013). Selain itu, adanya atribusi penyebab fisik (medis) dari gangguan mental lebih memprediksi pencarian pertolongan profesional dibandingkan atribusi penyebab faktor psikososial (Yu et al., 2015). Wilson et al. (2011) yang meneliti intensi pencarian pertolongan terkait gangguan mental pada remaja menemukan bahwa pengetahuan mengenai gangguan mental memengaruhi pencarian pertolongan. Hal ini didukung oleh penelitian Yu et al. (2015) bahwa semakin tinggi pengetahuan gangguan mental seorang individu, maka semakin tinggi pula pencarian pertolongan ke tenaga profesional. Faktor di luar diri individu yang juga telah diteliti sebelumnya terkait pencarian pertolongan didominasi oleh variabel stigma. Beberapa penelitian menemukan hubungan yang kuat antara stigma dan hambatan dalam mencari pertolongan ke tenaga profesional (Amarasuriya, Jorm, Reavley, & Mackinnon, 2015; Chen et al., 2014; Ting & Hwang, 2009; Wright et al., 2011; Yoshioka, Reavley, MacKinnon, & Jorm, 2014;). Berdasarkan studi meta-analisis yang dilakukan oleh Clement et al. (2015) menunjukkan stigma menjadi penghambat keempat terbesar dalam pencarian pertolongan formal. Tingginya stigma di masyarakat berasosiasi dengan rendahnya pencarian bantuan profesional yang
19
dapat berdampak negatif bagi orang dengan gangguan mental, salah satu bentuknya adalah pemasungan (Lestari & Wardhani, 2014). Temuan lain terkait stigma adalah stigma pribadi berasosiasi dengan rendahnya kecenderungan mencari pertolongan, sementara stigma publik berasosiasi dengan kecenderungan akan kebutuhan mencari pertolongan atau tidak mencari sama sekali (Eisenberg et al., 2009). Penelitian Wade et al. (2015) menemukan bahwa stigma publik diinternalisasi ke dalam diri seorang individu (menjadi stigma diri) dan kemudian memengaruhi seseorang untuk mencari pertolongan. Stigma menjadi penghambat pencarian pertolongan karena adanya rasa malu (Gulliver, Griffiths, & Christensen, 2010) dan perilaku diskriminasi (Schomerus & Angermeyer, 2008). Penelitian di Indonesia menemukan bahwa lingkungan dapat memberikan pengaruh secara langsung pada perilaku mencari pertolongan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental (Subandi & Utami, 1996). Hasil penelitian ini didukung oleh Salim (2014) yang juga menemukan bahwa niat masyarakat untuk mencari pertolongan psikiater tidak dipengaruhi oleh sikap individu dan kontrol perilaku, akan tetapi lebih dipengaruhi oleh stigma dan keyakinan yang terdapat dalam diri masyarakat bersangkutan. Bahkan secara kongkrit Lestari dan Wardhani (2014) mengemukakan bahwa sikap masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa berat, dalam hal ini diistilahkan stigma pada gangguan mental menjadi faktor tindakan pemasungan bagi orang dengan gangguan mental. Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan hubungan antara faktor dari dalam diri individu dan pengaruh sosial terhadap pencarian pertolongan terkait gangguan mental. Penelitian ini juga mempertimbangkan kedua faktor tersebut,
20
namun dikaitkan dengan konstrak variabel yang lebih luas yaitu literasi kesehatan mental (pengenalan, pengetahuan, dan keyakinan individu mengenai gangguan mental) dan sikap komunitas terhadap gangguan mental sebagai prediktor dari pencarian pertolongan terkait gangguan mental. Selain itu, variabel kriterium dibatasi menjadi lebih spesifik yaitu pencarian pertolongan formal (tenaga kesehatan profesional seperti dokter, psikolog, atau psikiater). Perbedaan lainnya adalah alat ukur pencarian pertolongan selama ini yang digunakan adalah pengukuran sikap (The Attitudes toward Seeking Professional Psychological Help Scale) dan preferensi pencarian pertolongan (General HelpSeeking Questionnaire) (Rickwood, Thomas, & Bradford, 2012). Alat ukur pencarian
pertolongan
terkait
gangguan
mental
dalam
penelitian
ini
dikembangkan oleh penulis berdasarkan hasil penelitian uji model pencarian pertolongan pada penelitian sebelumnya (Mak & Davis, 2014; Salim, 2014) terkait aspek-aspek yang memprediksi pencarian pertolongan terkait gangguan mental.