BAB I PENDAHULUAN Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia jangka panjang. Oleh sebab itu, hampir semua negara menempatkan variabel pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara, termasuk juga negara Indonesia. Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah guru. Guru dalam konteks pendidikan mempunyai peranan yang besar dan strategis. Hal ini karena guru yang berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Guru memiliki misi dan tugas yang berat dalam mengantarkan tunas-tunas bangsa ke puncak cita-cita. Salah satu faktor yang menunjang guru untuk bekerja dengan sebaik-baiknya adalah kepuasan kerja. Kenyataan menunjukkan, bahwa orang bekerja bukan hanya untuk mencari upah saja, tetapi juga karena ingin mendapatkan kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan cerminan dari perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut.
A. Latar Belakang Era globalisasi dunia ditandai oleh perkembangan yang semakin cepat di segala bidang kegiatan, mulai dari politik, ekonomi sampai dalam kegiatan pendidikan. Teknologi dan komunikasi adalah faktor pendukung dari perkembangan pesat ini. Globalisasi ini sangat memengaruhi perkembangan pendidikan di Indonesia, karena dunia kerja saat ini sangat membutuhkan orang yang bisa berpikir untuk maju, cerdas, inovatif dan
1
mampu berkarya dengan semangat tinggi dalam menghadapi kemajuan zaman. Oleh sebab itu, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Menilai kualitas SDM suatu bangsa secara umum dapat dilihat dari mutu pendidikan bangsa tersebut (Kunandar, 2009). The United Nation Development Programme (UNDP) melaporkan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2012 berada peringkat 121 dan pada 2013 terjadi peningkatan menjadi peringkat 108 dari 187 negara. Laporan UNDP tahun 2014 menunjukkan peringkat HDI Indonesia tetap berada pada peringkat 108 dari 187 negara. Jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN, maka Indonesia masih kalah dari Singapura (peringkat 9), Brunei Darussalam (peringkat 30), Malaysia (62) dan Thailand (peringkat 89) (Ritonga, 2015). Indonesia sedikit lebih baik dari Filipina yang berada pada peringkat 117. HDI ini menjadi
suatu
cerminan
sudah
sampai
sejauh
manakah
upaya
pembangunan SDM Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing. Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di dunia. Oleh sebab itu, hampir semua Negara menempatkan variabel pendidikan sebagai suatu yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara. Begitu juga Indonesia menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan utama. Hal ini dapat dilihat dari isi Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Kunandar, 2009). Pendidikan seperti yang diungkapkan oleh Tilaar (2002), merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, karena pendidikan dapat memanusiakan manusia. Melalui pendidikan individu dapat
2
mengembangkan diri dan melangsungkan kehidupan. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 2 tahun 2003 dikatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari penjelasan di atas dapat dilihat betapa pentingnya peran pendidikan dalam upaya menciptakan SDM yang berkualitas, yang mampu bersaing di tengah arus globalisasi sekarang ini (Susanty, 2012). Sekolah merupakan suatu lembaga alternatif dalam pelayanan pendidikan. Sebagai suatu sistem, sekolah memiliki komponen-komponen yang berkaitan satu sama lain serta berkontribusi pada pencapaian tujuan. Salah satu komponen yang ada di sekolah adalah guru (Yunus, 2004). Guru merupakan faktor utama yang menentukan mutu pendidikan. Hal ini disebabkan oleh gurulah yang berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Gurulah yang berhadapan langsung dengan para peserta didik untuk memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus mendidik dengan nilai-nilai positif melalui bimbingan dan keteladanan. Di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis, skill, kematangan emosional, dan moral serta spiritual (Kunandar, 2009). Pada umumnya pekerjaan guru dibagi dua yaitu pekerjaan yang berhubungan
dengan
tugas
mengajar,
mendidik
dan
tugas-tugas
kemasyarakatan (sosial). Di lingkungan sekolah, guru mengemban tugas sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar, guru memberikan
3
pengetahuan (kognitif), sikap dan nilai (afektif), dan keterampilan (psikomotorik). Guru memiliki tugas dan tanggung jawab moral yang besar terhadap keberhasilan siswa. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor perangkat kurikulum, faktor siswa sendiri, faktor dukungan masyarakat, dan faktor orang tua. Sementara sebagai pendidik, guru harus mendidik para siswanya untuk menjadi manusia dewasa (Yunus, 2004). Dari hal di atas dapat dipahami bahwa guru mempunyai misi dan tugas yang berat, namun mulia dalam mengantarkan tunas-tunas bangsa ke puncak cita-cita. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Guru dituntut untuk lebih giat dalam bekerja, melibatkan dirinya terhadap kemajuan dan perkembangan sekolah, dan menyumbangkan waktunya untuk mengembangkan diri demi kemajuan pendidikan. Salah satu faktor yang menunjang guru untuk bekerja dengan sebaik-baiknya adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan cerminan dari perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Jadi artinya bahwa, jika guru puas terhadap kebijakan dan aturan-aturan yang ada (sekolah dan pemerintah), maka guru akan bekerja dengan penuh semangat dan bertanggung jawab (Hasibuan 2010). Ada beberapa fenomena yang terkait dengan kepuasan kerja terjadi pada SMA di Batam. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan beberapa orang guru pada tanggal 14 Januari 2015 ditemukan bahwa sebagian merasa puas karena adanya tambahan insentif dari pemerintah daerah, mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri melalui metode pengajaran dan juga ada kesempatan untuk ikut mengambil tanggung jawab dalam mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya ada juga guru
4
yangmengeluh terhadap gaji yang diterima. Para guru menganggap gaji yang diterima tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukannya, karena sebagian guru masih belum dapat tunjangan sertifikasi. Promosi jabatan yang tidak adil dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian juga merupakan hal yang dikeluhkan oleh para guru. Karena hal tersebut membuat guru merasa tidak puas sehingga tidak terpicu untuk mengembangkan diri serta bersaing dengan sehat. Pembagian tugas yang kurang merata juga menjadi penyebab ketidakpuasan guru dalam bekerja. Selain itu, sikap kepala sekolah yang sewenang-wenang dalam memimpin sekolah membuat guru kurang merasa senang dengan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah. Atas dasar fenomena-fenomena yang positif dan negatif tersebut dapat disimpulkan bahwa ada masalah yang terkait dengan ketidakpuasan kerja guru. Oleh sebab itu,penulis menganggap bahwa penelitian tentang kepuasan kerja menjadi penting untuk dilakukan. Hal ini disebabkan kepuasan kerja guru yang tinggi nantinya akan menunjukkan kualitas dan kompetensi guru dalam memajukan msa depan pendidikan,pencapaian cita-cita para siswa dan demi mencapai keberhasilan dan kualitas pendidikan itu sendiri (Gehlawat, 2012). Pernyataan tersebut didukung oleh Spector (1997) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja menjadi perhatian penting dalam setiap organisasi karena berkaitan dengan produktivitas tenaga kerja dan kelangsungan hidup organisasi. Hasil penelitian Gunawan (2014) terhadap guru di Sekolah Kristen Kalam Kudus Jakarta ditemukan bahwa untuk variabel kepuasan kerja sebesar 66,12% guru menjawab setuju, 19,39% menjawab sangat tidak setuju dan sisanya menjawab netral sebanyak 14,10%. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa guru-guru sudah merasakan kepuasan kerja
5
di sekolah tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Wibisono (2011) memperoleh rata-rata nilai skor variabel kepuasan kerja adalah sebesar 2,75. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian responden merasa cukup puas sebagai pegawai di Puskesmas Turen, Malang. Lebih lanjut Hasibuan (2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja pegawai menjadi penting karena sebagai salah satu kunci pendorong moral dan disiplin serta kinerja karyawan yang akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan dalam upaya mewujudkan sasaran organisasi. Kepuasan
kerja
juga
merupakan
sebuah
cara
untuk
mengaktualisasikan diri, jika kepuasan tidak tercapai, maka dapat terjadi kemungkinan tenaga kerja akan frustasi dan berdampak pada kualitas kerja yang rendah (Strauss & Sayles, 1990 dalam Handoko, 2010). Sementara itu, Cooper & Makin (1995) mengatakan bahwa apabila imbalan yang diterima karyawan dirasa sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya, maka rasa puas akan muncul. Demikian juga hasil temuan Ekawarna (1995) mengatakan bahwa, guru sebagai individu yang bekerja dalam organisasi pendidikan akan melakukan tugas pekerjaan atau memberikan kontribusi kepada organisasi tersebut dengan harapan akan mendapat timbal balik berupa imbalan dari organisasi tersebut. Tugas guru seperti mempersiapkan materi pengajaran atau mengevaluasi hasil belajar siswa dilakukan dengan harapan akan memperoleh imbalan dari sekolah yang menjadi penyelenggara kegiatan pendidikan. Guru dalam hal ini akan merasa puas apabila imbalan yang diterimanya dirasa sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kepuasan kerja bagi seorang guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Terkait dengan kinerja, maka karyawan yang merasa puas diharapkan dapat memberikan kinerja yang tinggi.
6
Demikian sebaliknya, jika kepuasan kerja guru rendah akan memberikan dampak yang negatif bagi perkembangan organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hasibuan (2010) bahwa jika kebutuhan dan kepuasan seorang semakin terpenuhi, akan berdampak pada semangat kerjanya pun akan semakin baik lagi. Seseorang akan bertindak (bersemangat kerja) untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasannya. Sebaliknya, jika kepuasan kerja guru rendah akan menimbulkan gejala seperti kemangkiran, malas bekerja, banyaknya keluhan guru, rendahnya prestasi kerja, rendahnya kualitas pendidikan, indisipliner guru dan gejala negatif lainnya. Guru yang membolos, mengajar tidak terencana, malas, mogok kerja, sering mengeluh merupakan tanda bahwa kepuasan kerja guru rendah. Ini sesuai dengan pendapat Cooper & Makin (1995) bahwa kepuasan kerja lebih berhubungan dengan aspek-aspek seperti absensi, keterlambatan, dan kuallitas kerja. Oleh sebab itu, kepuasan kerja merupakan hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena dalam pengembangan organisasi sekolah, peningkatan kualitas sistem dan teknologi harus diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan dengan cara pembudayaan sikap dan perilaku dari semua anggota organisasi (Hidayat, 2001). Jadi supaya visi, misi dan tujuan sekolah dapat tercapai dengan baik.Dalam hal ini guru adalah pihak yang mempunyai peran yang dapat menentukan adanya kemajuan organisasi di sekolah ketika guru mencapai kepuasan dalam bekerja, maka mereka pun dapat dikategorikan sebagai guru yang produktif dalam bekerja. Atas dasar itu, penulis menduga ada beberapa faktor yang memengaruhi kepuasan kerja, baik dari faktor finansial maupun non finansial, faktor ekstrinsik maupun intrinsik. Menurut Gilmer (dalam As’ad, 2002) aspek yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja antara
7
lain:keamanan kerja, gaji, pengawasan, komunikasi, kondisi kerja, fasilitas yang disediakan oleh tempat kerja. Menurut Blum (dalam As’ad, 2002) faktor indiviual seperti umur, kesehatan, watak, dan harapan ikut berperan dalam menentukan kepuasan kerja. Selain itu masih banyak faktor lain yang memengaruhi kepuasan kerja, seperti iklim organisasi, motivasi berprestasi (Yunus, 2004), kondisi kerja (Tokudaet al., 2009), status kerja (Santi, 2011), disiplin kerja (Dewi, 2012), kepemimpinan, lingkungan kerja, komunikasi (Paripurna, 2013), kedisiplinan, komitmen organisasi, dan motivasi kerja (Mamik, 2009). Berdasarkan faktor-faktor yang ada, maka salah satu faktor yang diduga mempengaruhi kepuasan kerja pegawai adalah faktor iklim organisasi. Pernyataan tersebut didukung oleh Gibson, et al., (1996) yang mengungkapkan iklim organisasi adalah serangkaian sifat lingkungan kerja yang dinilai langsung dan tidak langsung oleh pekerja yang dianggap menjadi kekuatan utama yang mempengaruhi perilaku. Iklim organisasi sangat perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap motivasi, produktivitas, dan kepuasan kerja. Iklim organisasi mempengaruhi dengan cara membentuk harapan karyawan tentang konsekuensi yang akan timbul dari berbagai tindakan. Iklim dan lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi kepuasan kerja guru dalam pembelajaran. Karena iklim yang kondusif memberi perasaan yang nyaman dan bebas baik bagi para guru maupun para siswa belajar (Pidarta, 1997). Iklim yang belum menunjang penampilan kerja yang produktif, penyediaan teknologi organisasi, dan kondisi kerja (seperti kantor dan fasilitas lainnya) memadai, kemudian arus komunikasi yang tidak menunjang dalam arti jumlah mutu, praktik pengambilan keputusan tidak sejalan di semua jenjang organisasi. Di sisi lain, kesejahteraan pegawai masih kurang
8
belum diperhatikan secara baik akan mengakibatkan rendahnya kepuasan kerja karena itu iklim organisasi seyogianya berfungsi sebagai faktor pengukuh dalam proses pelaksanaan tugas bagi perilaku kerja, kinerja, motivasi kerja dan kepuasan kerja, sehingga semakin sehat suatu iklim organisasi akan semakin tinggi tingkat kepuasan dan kinerja karyawan dalam suatu organisasi (Purnomosidhi, 1996 dalam Andriani, dkk., 2004). Iklim organisasi yang menyenangkan, dapat menciptakan suatu suasana lingkungan kerja kondusif yang diwujudkan dalam hubungan dan kerja sama yang harmonis di antara seluruh anggota organisasi. Demikian pula kepuasan kerja dapat ditentukan oleh iklim organiasi/lingkungan kerja pada sekolah yang merupakan tempat guru bekerja. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Adenike (2011) terhadap karyawan di universitas swasta di Nigeria yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2004);Wahat (2009); Castro & Martins (2010);Singh, Chauhan, Agrawal, & Kapoor(2011);dan Liana (2012) yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja. Hasil penelitian di atas bertolak belakang dengan hasil penelitian Susanty (2012), yang mengatakan bahwa iklim organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja seseorang. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Schulteet al. (2006), Mulyanto & Suryani (2010), juga Temitope (2010). Seperti yang dijelaskan di atas, iklim organisasi merupakan suasana atau kondisi yang menggambarkan lingkungan internal yang dialami atau dirasakan oleh pegawai dalam bekerja. Dengan iklim organisasi yang menyenangkan,
9
maka akan tercipta suasana lingkungan kerja yang kondusif yang terwujud dalam hubungan dan kerja sama yang harmonis dan serasi di antara seluruh anggota organisasi, baik di antara sesama pegawai maupun antara pegawai dengan pimpinan dan dengan demikian kepuasan kerja pun akan terjadi. Singkatnya, semakin meningkat iklim organisasi maka akan semakin tinggi pula kepuasan kerja. Faktor lain yang memengaruhi kepuasan kerja seseorang adalah motivasi seorang pegawai dalam bekerja. Motivasi berhubungan erat dengan kebutuhan dan setiap orang mempunyai kebutuhan yang diusahakan untuk dipenuhi atau dipuaskan. Jika individu ingin melakukan kegiatan untuk memenuhi suatu kebutuhan, maka individu tersebut akan termotivasi untuk mencapainya (Effendy, 1989). Motivasi merupakan hal penting karena motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang yang akan menimbulkan dan mengarahkan perilaku (Gibson, Ivancevich, & Donelly, 1996). Seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi, dalam mengerjakan tugasnya akan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif sehingga hasil pekerjaannya mengesankan dan maksimal. Munandar (2006) berpendapat bahwa motivasi menunjukkan keadaan dimana kebutuhankebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Untuk itu pemimpin organiasasi atau pihak manajemen harus berusaha untuk dapat memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan pegawai demi memacu motivasi kerja karyawannya (McGregor, 1988). Pentingnya motivasi kerja terhadap kepuasan kerja ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Tylana (2005), Ayub (2011), Singh & Tiwari (2011), dan Lut (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja. Sebaliknya dalam penelitian yang dilakukan oleh
10
Budiyanto &Oetomo (2011) menemukan bahwa motivasi kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Hal tersebut dikarenakan kondisi kerja tidak memotivasi pegawai dalam bekerja sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Selain itu, pegawai juga merasa kurang puas dengan pekerjaan sendiri karena pekerjaan itu relatif mudah untuk dilakukan dan tidak bervariasi, dan lain sebagainya. Namun bagaimanapun juga, iklim organisasi dan motivasi kerja dapat memengaruhi sikap dan perilaku guru untuk bekerja dalam organisasi. Seorang guru dapat bekerja secara profesional jika pada dirinya terdapat motivasi yang tinggi. Pegawai/guru yang memiliki motivasi yang tinggi biasanya akan melaksanakan tugasnya dengan penuh semangat dan energik,
karena
ada
motif-motif
atau
tujuan
tertentu
yang
melatarbelakangi tindakan tersebut. Motif itulah sebagai faktor pendorong yang memberi kekuatan kepadanya, sehingga ia mau dan rela bekerja keras. Tanpa motivasi, keinginan dan semangat untuk melakukan pekerjaan dengan baik akan berkurang. Jadi dengan motivasi yang tinggi, diharapkan akan memunculkan kepuasan kerja yang tinggi pula. Hubungan iklim organisasi dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja juga terjadi secara simultan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2001) yang menunjukkan bahwa iklim organisasi, motivasi dan kompensasi secara bersamaan memiliki hubungan dengan kepuasan kerja sebesar 46,7%. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ma’sum (2008) juga menunjukan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara perilaku
kepemimpinan, iklim
organisasi, dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja pegawai di Kantor Pusat Universitas Mataram. Penelitian yang
11
dilakukan oleh Astuti (2012) terhadap para PNS di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Otomotif dan Elektronika (PPPPTK BOE) menunjukkan bahwa motivasi kerja dan iklim organisasi berhubungan secara simultan dengan kepuasan kerja PNS di PPPPTK BOE Malang. Berdasarkan uraian di atas, iklim organisasi dan motivasi kerja merupakan isu penting dalam suatu organisasi berkaitan dengan perilaku sumber daya manusia (pegawai) yang dalam hal ini menyangkut kepuasan kerja. Iklim organisasi sebagai faktor eksternal dan motivasi kerja sebagai faktor internal, yang merupakan suatu interaksi antara faktor internal dengan eksternal untuk memperoleh kepuasan dalam bekerja (Santi, 2012). Beberapa penelitian sebelumnya mengenai iklim organisasi dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja telah di lakukan pada kasus dan konteks yang berbeda, termasuk diantaranya dalam konteks lembaga pendidikan dengan hasil penelitian yang berbeda. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lain adalah pada subjek penelitian dan perbedaan tempat serta situasi. Secara khusus dalam penelitian ini, belum ditemukan studi tersebut untuk meneliti topik kepada guru SMA di Batam sehingga penulis merasa perlu untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan kerja guru. Hal lain yang menarik untuk diteliti adalah kaitan antara status guru negeri & swasta dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Santi (2012) terhadap guru Sekolah Dasar di Kecamatan Tebet Jakarta Selatan mengenai kepuasan kerja ditinjau dari status guru negeri dan guru swasta menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kepuasan kerja guru negeri dan guru swasta. Perbedaan terletak dalam pemberian kompensasi, kesempatan untuk
12
berkembang atau meningkatkan karier. Selain itu, Iskandar (2005) mengemukakan bahwa pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dinilai tidak memberikan perhatian yang layak terhadap nasib guru dari sekolah swasta baik dari aspek hukum maupun lainnya. Bahkan, posisi hukum guru swasta dinilai lebih rendah daripada buruh pabrik. Hal ini karena tidak ada aturan yang jelas tentang status hukum guru swasta. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Saarin (2012) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu bahwa status sekolah (negeri dan swasta) tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status sekolah memberikan sedikit perbedaan yaitu sebesar 3,9% pada kepuasan kerja guru (sekolah negeri dan sekolah swasta). Dari segi jenis kelamin, pada dasarnya tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan penyelesaian masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar. Namun studi-studi psikologi telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya daripada wanita untuk memiliki pengharapan akan sukses. Bukti yang konsisten juga menyatakan bahwa wanitamemiliki tingkat kemangkiran lebih tinggi daripada pria (Robbins, 2001). As’ad (2004) menyatakan bahwa dari beberapa penelitian ditemukan bahwa perbedaan jenis kelamin ternyata berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kepuasan kerja. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Glenn et al. (dalam As’ad, 2004) yang menemukan bahwa ada perbedaan kepuasan kerja antara pria dan wanita, yaitu kebutuhan wanita untuk merasa puas dalam bekerja lebih rendah daripada pria. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti “Hubungan Iklim Organisasi dan Motivasi Kerja dengan
13
Kepuasan Kerja ditinjau dari Status Guru Negeri & Swasta dan Jenis Kelamin Guru SMA di Batam”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Adakah hubungansignifikanantara iklim organisasi dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja guru SMA Negeri dan Swasta di Batam? 2. Adakah perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari status guru SMA Negeri dan Swasta di Batam? 3. Adakah perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin guru SMA Negeri dan Swasta di Batam?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah: 1. Untuk menentukan hubungan iklim organisasi dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja guru SMA Negeri dan Swasta di Batam. 2. Untuk menentukan perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari status guru SMA Negeri dan Swasta di Batam. 3. Untuk menentukan perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin guru SMA Negeri dan Swasta di Batam.
D. Manfaat Penelitian 1. Dapat menjadi masukan bagi guru dalam upaya meningkatkan kepuasan kerjanya di masa mendatang.
14
2. Dapat menjadi masukan bagi pimpinan sekolah dalam meningkatkan kepuasan kerja pegawainya terkait dengan iklim organisasi dan motivasi kerja guru. 3. Menjadi sumber referensi dan menambah wawasan bagi penelitian di masa mendatang dengan topik serupa.
E. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas dalam penelitian ini, maka penulis mengemukakan sistematika pnulisan sebagai berikut: Bab 1
:Pendahuluan, mengemukakan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II
:Tinjauan Pustaka, meliputi teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitan, yakni teori kepuasan kerja, teori iklim organisasi, dan teori motivasi kerja, aspek-aspek dan faktor-faktor penelitian, hasil-hasil penelitian sebelumnya, dinamika antara variabel, model penelitian dan hipotesis.
Bab III
: Metode Penelitian meliputi, peubah penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, metode pengumpulan data dan teknik analisis data.
Bab VI
: Hasil Penelitian, membahas mengenai analisis data penelitian secara deskritif, hasil uji hipotesisi mayor dan hasil uji hipotesis minor.
Bab V
: Kesimpulan, meliputi diskusi dan saran. Bab ini merupakan rangkuman dari keseluruhan isi penelitian dan menyimpulkan hasil penelitian.
15