BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki kemajemukan budaya yang terdapat dalam berbagai suku. Setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda yang menambah kekayaan kearifan lokal di wilayah Nusantara. Kebudayaan yang dimiliki oleh suku-suku di Indonesia mengandung dasar filosofis yang menggambarkan jati diri dan identitas bangsa Indonesia. Kemajemukan budaya Indonesia bukan untuk memisahkan budaya yang satu dengan yang lain, tetapi untuk menyatukan setiap perbedaan agar saling menghargai budaya yang satu dengan yang lainnya. Kebudayanan adalah hasil cipta dari peradaban. Indonesia memiliki kebudayaan-kebudayaan yang menjadi simbol identitas bangsanya. Dewasa ini masyarakat
khususnya
anak
muda
mulai
meninggalkan
simbol-simbol
kebudayaan masing-masing dengan beralih ke tradisi Barat dengan alasan modernisasi, padahal simbol-simbol kebudayaan itulah yang menunjukan identitas sebuah bangsa. Manusia dengan segala ornamen yang tersembunyi tersebut, menyebabkan Ernst Cassirer (1944: 26) menyebut manusia sebagai animal simbolicum
karena simbol tersebut mampu membedakan manusia dengan
binatang-binatang yang lain. Herusatoto menjelaskan pendapat Cassirer tentang animal simbolicum itu bahwa, “Manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan
1
2
mengenal dunia secara langsung kecuali dengan berbagai simbol”. Banyak fakta yang hadir dalam dunia ini (fenomena), tetapi menyembunyikan realitas sesungguhnya yang ada dibalik fakta tersebut (noumena). Fakta-fakta yang muncul tersebut menuntut manusia untuk memahaminya dan memberikan interpretasi terhadapnya (Herusatoto, 2000: 9). Sebuah masyarakat, klan atau suku bangsa, yang bertempat tinggal di suatu daerah khusus dan menghubungkan diri dengan keadaan-keadaan lingkungannya, akan mempunyai kesadaran bersama dalam bentuk-bentuk pola atau bahkan gejala-gejala yang berlainan, yang dialami dalam hidup sehari-hari masyarakat akan memperoleh makna yang lebih dari biasanya dan mempunyai arti penting yang mistis atau keagamaan . Bentuk-bentuk simbolis muncul dalam kesadaran manusia yang akan berpengaruh kuat pada psike manusia (Dillistone, 2002:13). Bentuk-bentuk simbolis tersebut dapat menjadi sebuah nilai atau keyakinan bagi masyarakat yang memiliki latar belakang yang sama. Setiap kebudayaan memiliki simbol-simbol yang cenderung untuk dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. seseorang dalam menggunakan simbol-simbol, biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturanaturan untuk membentuk, mengkombinasikan bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya (Suparlan, 1980:24). Masyarakat menggunakan simbol kebudayaan berdasarkan latar belakang kebudayaan yang dipegang. Manusia menggunakan simbol sejak lahir sampai meninggal seperti penggunaan simbol
ketika lahir, berinteraksi
3
dengan orang lain, perkawinan dan kematian. Simbol dilakukan untuk tetap menjaga keselarasan dalam lingkungan sosial budaya oleh individu atau masyarakat yang satu dengan yang lain. Kehidupan sosial yang dibentuk oleh kelompok individu akan terjadi saling mempengaruhi, sosial akan mempengaruhi kehidupan individu, individu akan mempengaruhi kehidupan sosial, dalam pengertian ini, kehidupan sosial akan diwarnai oleh kehidupan individu-individu yang mengadakan suatu kelompok (Mulyono, 1983:34). Intinya bahwa dalam proses interaksi ada saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain atau (give and take) melalui berbicara atau saling menukar tanda yang dapat menimbulkan perubahan dalam perasaan dan kesan dalam pikiran yang selanjutnya menentukan tindakan yang akan kita lakukan (Syani, 2007:153). Pengaruh yang dilakukan oleh masyarakat dapat berupa simbol yang sudah ada dalam sebuah kebudayaan. Di dalam simbol terdapat makna yang menyimpan pengaruh-pengaruh kebaikan dalam kelompok masyarakat. Setiap daerah memiliki simbol perkawinan yang beranekaragam jenis yang menjadi identitas masing-masing budaya. Banyak yang beranggapan bahwa dari suatu jenis atau macam dari simbol perkawinan itu pasti berbeda-beda dari kebudayaan ke budaya lainnya, seperti halnya Budaya Batak Toba memiliki simbol yang tidak dapat dilepaskan dalam pelaksanaan adat; yang biasanya menjadi suatu harapan yang baik oleh pemberi simbol tersebut. Masyarakat Batak Toba banyak yang tidak mengerti makna simbol yang biasanya diberikan pada upacara adat tertentu. Masyarakat saat ini menganggap pemberian simbol-simbol
4
hanya sebagai hal yang biasa saja dan bukan hal penting, namun simbol-simbol dalam kebudayaan tersebut menyimpan nilai-nilai yang begitu bermakna. Memiliki dan melaksanakan simbol adat perkawinan merupakan suatu upaya pelestarian keselarasan tatanan masyarakat adat demi terciptanya keutuhan kolektivitas kedua belah pihak yang melaksanakan upacara penikahan. Masyarakat Batak Toba memiliki banyak macam simbol yang masih melekat dalam pelaksanaan upacara adat antara lain; pemberian ulos,boras si pir ni tondi (beras penguat roh), mandar hela (sarung menantu laki-laki) dan pembagian jambar (Sinurat, 2005:17). Penulis dalam penelitian ini hanya membahas dan menganalisis salah satu simbol yang terdapat pada upacara perkawinan masyarakat Batak Toba yakni pembagian jambar. Pembagian jambar memiliki hubungan
timbal balik antara dua pihak yang melakukan upacara adat
perkawinan. Pembagian jambar dalam upacara adat Batak Toba tidak hanya pembagian hak atau jatah begitu saja, tetapi terkandung makna dalam pembagian jambar tersebut dengan orientasi kepada solidaritas masyarakat Batak Toba.
2. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diajukan perumusan masalah sebagai berikut: a.
Bagaimana konsep jambar dalam perkawinan masyarakat Batak Toba?
b.
Apa yang dimaksud dengan solidaritas sosial Emile Durkheim?
c.
Apa makna simbolik jambar pada adat perkawinan masyarakat Batak Toba dalam kajian solidaritas sosial Emile Durkheim?
5
3.
Keaslian penelitian Sejauh penelusuran penulis yakni naskah akademis terkait analisis makna
jambar terhadap konsep solidaritas sosial Emile Durkheim belum ditemukan oleh penulis. Namun, penulis telah ditemukan sejumlah penelitian dalam format skripsi yang berkaitan dengan jambar
dalam upacara adat perkawinan Batak Toba.
Demikian halnya dengan beberapa penelitian yang berkaitan dengan Solidaritas Sosial. Berikut adalah naskah akademis yang berkaitan dengan jambar sebagai simbol budaya dalam penikahan adat Batak Toba maupun solidaritas sosial: a. Naskah akademis yang berkaitan dengan jambar : Susy Ernawati. 2008. Sistem Resiprositas Pada jambar juhut Dalam Upacara Perkawinan Batak Toba : Studi Komparatif di Desa Aek Siansimun, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara dan di Kelurahan Pulo Brayan Darat I, Kecamatan Medan Timur, Kota Madya Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini membahas prinsip resiprositas, yaitu pertukaran timbal balik antara individu atau antar kelompok pada pembagian jambar juhut dalam Perkawinan Batak Toba. Karya ilmiah tersebut berbeda dengan yang dibuat oleh penulis. Sudut pandang yang digunakan oleh penulis adalah teori sosial Emile Durkheim. b. Naskah akademis yang berkaitan dengan tokoh dan solidaritas sosial: 1).Sri Endang S. 1992. Hidup Bermasyarakat Menurut Emile Durkheim. Skripsi. Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsi ini berisi pandangan Emile Durkheim mengenai hidup bermasyarakat yang telah
6
dipersatukan oleh ikatan solidaritas. Penelitian ini belum menganalisis pada objek material tertentu seperti yang dilakukan oleh penulis yaitu jambar . 2).Setia Paulina Sinulingga. 2009. Teori Pendidikan Moral Menurut Emile Durkheim Relevansinya bagi Pendidikan Moral Anak Indonesia. Tesis. Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tesis ini membahas tentang relevansi Teori Pendidikan Moral Emile Durkheim dengan Pendidikan Moral Anak di Indonesia sedangkan objek kajian penulis adalah tentang Solidaritas Sosial Emile Durkheim dan hubungannya dengan konsep Solidaritas Masyarakat Batak Toba dalam memaknai jambar . 3).Wagiyo. 2014. Disertasi. Makna Cinta Menurut Mohandas Karamchand Gandhi (1896-1948): Relevansinya Bagi Pengembangan Solidaritas Sosial Indonesia. Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Disertasi ini membahas tentang solidaritas sosial dalam makna cinta Mohandas Karamchad Gandhi relevansinya dengan solidaritas sosial Indonesia sebagai negara Pancasila. 4).Djuretna A. Imam Muhni. 1988. Disertasi. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Fakultas Pasca sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Disertasi ini membahas tentang konsep moralitas dan religi dua tokoh Emile Durkheim dan Henri Bergson.
7
4.
Manfaat penelitian Penelitian ini mengarah kepada pengetahuan tentang filsafat. Hasil dan
proses dari penelitian ini, diharapkan memberikan manfaat yang signifikan bagi berbagai pihak, beberapa manfaat tersebut antara lain: a. Bagi ilmu pengetahuan Manfaat penelitian ini secara substansial adalah menelaah makna jambar secara filsafati. Hal ini juga memberikan motivasi untuk lebih memahami kerumitan permasalahan makna simbolik dalam perkawinan adat masyarakat Batak Toba. b. Bagi filsafat Manfaat penelitian diharapkan mampu memperkaya studi filsafat dalam mengkaji dan mengembangkan mata kuliah filsafat sosial. Memperkaya pemahaman yang menyeluruh mengenai Solidaritas Sosial dalam aspek kebudayaan mengenai makna simbol jambar dalam upacara adat perkawinan Batak Toba. c. Bagi bangsa dan negara Penelitian ini dapat memberikan perspektif berbeda bagi masyarakat bahwa simbol dalam budaya penting untuk diketahui dan dilaksanakan. Pemaparan ini diharapkan mampu membangun solidaritas sosial masyarakat Indonesia serta menjadi diskursus wacana pelestarian simbol yang sudah diwarisi oleh nenek moyang.
8
B. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui jambar perkawinan dan peranannya dalam adat Batak Toba 2. Mengetahui konsep solidaritas sosial Emile Durkheim dalam filsafat sosial 3. Menganalisis makna simbolik jambar dalam adat perkawinan Batak Toba dalam kajian solidaritas sosial Emile Durkheim. C. Tinjauan Pustaka Perkawinan masyarakat Batak Toba memiliki corak yang berbeda dengan budaya lain. Perkawinan harus dilandasi dengan prosesi pelaksanaan adat. Perkawinan dapat dilakukan apabila telah menjajaki tahap-tahap seperti: martandang, memberi tanda, merundingkan uang mahar, persetujuan keluarga kedua belah pihak hingga pelaksanaan upacara atau pesta perkawinan (Tambunan, 1982:136). Pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Batak Toba melibatkan unsurunsur dalihan na tolu dari kedua belah pihak pengantin, maka unsur-unsur itu sendiri turut mengambil bagian menyampaikan atau melaksanakan tanggung jawab adat. Masyarakat Batak memiliki kewajiban menyampaikan ulos, semacam kain yang bermakna dari pihak perempuan kepada menantu dan anaknya, dan juga kepada orang tua menantunya (pihak boru / perempuan) (Tambunan, 1982:147). Sebagaimana orang tua perempuan (suhut parboru) sudah menerima uang mahar, maka suhut parboru sudah harus menyiapkan balasan berupa materi yang akan diberikan kepada pihak laki-laki dan putrinya.
9
Setiap
upacara
peresmian
perkawinan,
masyarakat
Batak
Toba
menjalankan adat dengan prinsip dalihan na tolu, maka hal itulah yang dianggap sebagai perkawinan yang resmi setelah disahkan oleh dalihan na tolu. Dalihan na tolu mencakup hubungan tiga unsur yaitu hula-hula (pihak semarga mempelai wanita/ istri), dongan tubu (saudara kandung dan semarga), boru (putri atau saudara perempuan yang semarga dengan mempelai pria) (Siahaan, 1982:47). Dalihan na tolu juga mendasari pemberian simbol kepada pihak yang mengikuti acara perkawinan. Banyak simbol yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain sebagai balasan kasih atau harapan-harapan terhadap pengantin baru dan keluarga baru (besan) demi tewujudnya pelaksanaan prinsip dalihan na tolu. Dalihan na tolu dengan demikian dapat dikatakan mengandung sifat
ritual;
selain
pada
hubungan
terhadap
Tuhan,
dalam
hubungan
kekerabatanpun serta materi yang berkaitan dengan itu adalah bersifat ritual. Budaya rasa, sangat memegang peranan dalam dalihan na tolu, sehingga pada pelaksanaan dalihan na tolu itu dilakukan dengan simbol spiritual berbentuk material seperti mangulosi dan pembagian jambar (Simanjuntak, 2009:80). Perkawinan adat dalam masyarakat Batak Toba adalah salah satu mata rantai kehidupan yang tata pelaksanaanya melalui hukum-hukum adat yang sudah melekat dari dulu hingga saat ini dan hal tersebut berasal dari para leluhur masyarakat Batak Toba. Perkawinan adat Batak Toba mengandung nilai sakral, yang disertai dengan perlengkapannya. Kesakralan perkawinan adat Batak Toba terlihat ketika adanya pengorbanan bagi parboru (pihak mempelai perempuan), karena pihak mempelai perempuan berkorban memberikan satu nyawa manusia
10
yakni anak perempuannya kepada pihak paranak (pihak mempelai laki-laki). Balasannya, kemudian pihak laki-laki juga harus menghargai besannya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni seekor hewan (sapi atau kerbau), yang nantinya akan dijadikan santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk-unjuk atau adat pernikahan tersebut. Bukti bahwa makanan tersebut adalah hewan yang dikorbankan secara utuh, maka pihak laki-laki harus menyerahkan bagian-bagian tertentu dari hewan tersebut (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekor yang masih melekat, hati, jantung, dan lain-lain) (Vergouwen, 2004: 229). Demikianlah benda tertentu dalam ritus perkawinan adat Batak Toba akan menjadi simbol bagi pribadi, kelompok/masyarakat Batak Toba itu sendiri, sebab bagi masyarakat, benda-benda atau barang-barang itu pada kenyataannya memiliki arti khusus dan pada waktu khusus pula. Di sinilah hubungan antara yang objektif (benda) dan subjektif (manusia) sangat penting dan vital, sehingga sebuah simbol dapat menciptakan kesadaran kelompok. Adapun simbol-simbol yang digunakan dalam perkawinan adat Batak Toba, adalah ulos, indahan (nasi), jambar, boras si pir ni tondi, dengke (ikan), rudang (daun bunga yang wangi), bunga merah (biasanya bunga kembang sepatu), air bersih, telor, sirih (Sinurat, 2005:3) “Di dalam sebuah simbol terkandung banyak arti, dimana yang terbatas menerima secara luas yang tidak terbatas. Dan hanya di dalam simbol ‘batas-batas’ dijembatani. Inilah yang terjadi dalam setiap ritual yang kita rayakan, termasuk dalam ritual perkawinan. Simbolisme yang terkandung dalam ritual itu mengacu pada: kenyataan yang lebih dalam, horison yang lebih jauh, dan pandangan yang lebih luas. Dalam sebuah simbol, “sesuatu yang lain” hadir dalam benda yang menyimbolkannya. Simbol, di sini,
11
menunjuk pada 2 (dua) bidang, yaitu bidang verbal dan bidang non verbal. Bidang verbal adalah suatu wilayah yang menekankan pentingnya fenomena yang bersifat empiris, faktual, nyata, dan tanpa ujaran-ujaran bahasa. Sedangkan bidang non verbal berkaitan dengan benda-benda konkret, nyata dan dapat dibuktikan melalui indera manusia” (Gerald Lukken dalam Sinurat 2005:4) Dari keseluruhan simbol-simbol perkawinan adat Batak Toba, jambar adalah urusan rumit dan melelahkan, karena harus menurut tata aturan yang berdasarkan dalihan na tolu. Solidaritas kesatuan anggota masyarakat Batak Toba, dengan kata lain menjadi makna dari simbol jambar tersebut. Istilah jambar memiliki arti penting bagi masyarakat Batak Toba. Ada 2 (dua) alasan utama mengapa jambar penting dalam upacara adat, khususnya dalam upacara atau ritus perkawinan adat, yakni: (1) jambar menentukan kedudukan seseorang dalam status sosialnya, (2) ketika pembagian jambar, hak dan kewajiban harus dimanifestasikan sebagai tanda solidaritas kebersamaan (komunitas) dan kegotong-royongan masyarakat adat. Setiap orang dari masyarakat dalihan na tolu mengetahui apa jambar-nya atau pada saat kapan anggota turut berpartisipasi: apa yang harus dibawanya dan apa yang harus dikerjakannya pada upacara adat perkawinan. Hal ini sesuai dengan arti dari istilah jambar itu sendiri, yakni porsi bagian yang tepat bagi seseorang dari binatang sembelihan, sebagai haknya dalam kerangka tatanan kosmos (Sinurat, 2005:19) Pengertian mengenai jambar dapat juga dipahami melalui pengertian parjambaran berikut: “Parjambaran adalah bagian tertentu dari hewan atau ikan yang disembelih untuk acara adat Batak Toba. Upacara tradisional Batak Toba tergambar dalam acara kelahiran bayi sampai dengan upacara kematian termasuk penggalian tulang belulang nenek moyang. Dari parjambaran ini
12
akan dapat diketahui bagaimana pandangan Batak Toba menegenai sosialsistem kemasyarakatan dan kelompok kekerabatan Batak Toba. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa apabila parjambaran ini hilang atau menjadi tidak ada maka identitas masyarakat Batak Toba itupun akan menjadi tidak ada. Artinya apabila parjambaran itu tidak ada maka gambaran dalihan na tolu itupun akan hilang sebagai identitas masyarakat Batak Toba” (Gultom,1992:258). Parjambaran atau jambar ialah pemberian berupa uang atau daging hewan sembelih dalam pesta atau pekerjaan adat, yang wajib diserahkan oleh suhut
(tuan rumah / penyelenggara pesta) kepada tiap undangan menurut
kedudukan yang bersangkutan dalam hubungan kekeluargaan dengan “suhut”. Selain jambar uang dan jambar daging, ada lagi yang disebut dengan jambar hata (kesempatan untuk memberikan kata sambutan, doa restu, nasihatan lain sebagainya (Sihombing, 2000:23). Jambar atau parjambaran ialah bagian yang akan diterima seseorang yang sudah menjadi haknya dalam suatu pesta atau pekerjaan adat yang wajib diserahkan oleh suhut atau yang menyelenggarakan pesta kepada undangan menurut kedudukan yang bersangkutan dalam hubungan kekerabatan dengan suhut (Ernawati, 2008:5). Jambar dalam penelitian ini yakni: mahar untuk wanita, kata sambutan dan bagian dari anatomi hewan yang dipakai dalam upacara adat yang diberikan kepada para undangan menurut peranan dan kedudukannya dalam upacara tersebut. Hewan yang biasa disembelih untuk dijadikan jambar juhut yaitu babi (kerbau pendek) dan kerbau. Susy Ernawati dalam penulisan latar belakang skripsinya memaparkan bahwa dalam pembagian jambar juhut dijumpai adanya prinsip resiprositas, yaitu pertukaran timbal balik antar individu atau antar
13
kelompok. Prinsip ini didasarkan pada adat dalihan na tolu sebagai sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba. Parjambaran dengan demikian dapat dikatakan sebagai gambaran dalihan na tolu. Pemahaman makna parjambaran pada masyarakat Batak Toba akan memberi pengertian sistem sosial – sistem kemasyarakatan Batak Toba. Jika parjambaran merupakan identitas dari masyarakat Batak Toba maka parjambaran itu adalah bagian kehidupan Batak Toba itu sendiri. Makna dan nilai parjambaran ini berangsur-angsur telah ditanamkan kepada kehidupan masyarakat sejak anakanak. Hubungan kekerabatan, panggilan kekerabatan dan sopan santun kekerabatan Batak Toba tergambar dari parjambaran ini (Gultom, 1992:258). Setiap masyarakat Batak Toba atau kelompok dalam masyarakat Batak Toba yang melaksanakan pesta perkawinan (hula-hula, dongan sabutuha, boru) sangat menghayati dirinya sebagai parjambar (orang yang berhak mendapat jambar). Jambar dan parjambaran ini akan dianalisis dalam filsafat sosial untuk mencapai relevansinya dengan konsep solidaritas sosial Emile Durkheim.
D. Landasan Teori Kehidupan sosial yang dibentuk oleh kelompok individu akan terjadi saling mempengaruhi, sosial akan mempengaruhi kehidupan individu, individu akan mempengaruhi kehidupan sosial, dalam pengertian yang kedua ini, kehidupan sosial akan diwarnai oleh kehidupan individu-individu yang mengadakan suatu kelompok.
14
”R.J. Bauman mengemukakan tentang saling mempengaruhi antara individu dan masyarakat demikian: “Telah berabad-abad filsafat sosial mempelajari pokok individu dan para persatuan dengan bersilih ganti meletakkan tiitk berartnya pada pengaruh masyarakat yang serba kuasa, dan para proritas individu”. Dengan demikian timbah balik antara individu dan masyarakat tersebut merupakan sesuatu pengaruh dalam kehidupan sosial yang harus terjadi” (Mulyono, 1983:34). Teori interaksi, yang melihat masyarakat sebagai proses dinamis, dimana manusia adalah pelaku (actor) dan penanggungjawab, hendak mempersatukan aspek individual dan aspek sosial ke dalam hidup yang satu dan sama (Veeger, 1985:133). Emile Durkheim menulis sebuah karangan yang berjudul Le Dualisme de la nature humain’et ses conditions socials (Sifat serba dua kodrat manusia dan kondisi-kondisinya
sosial).
Durkheim
menyatakan
dengan
tegas
bahwa
masyarakat dan individu tidak merupakan wilayah yang terpisah dan berlainan, namun kesatuan masyarakat tidak membenarkan kesimpulan bahwa entah masyarakat bertepatan dengan individu, atau individu yang bertepatan dengan masyarakat. Kalau ini dikatakan, entah sosialitas manusia, atau individualitasnya, menjadi ilusi saja (Veeger, 1985:134). Dalam buku (Veeger, 1985:141-142) dipaparkan bahwa Lingkungan sosial atau milieu social menurut Durkheim berasal dari masa lampau manusia, yang terdiri dari tradisi berupa tata nilai, tata kepercayaan, keterampilan, pola-pola perilaku, dan lain-lain. Milieu Social
telah menyediakan bahasa yang harus
dipakai, agama yang harus dianut, hukum yang harus ditaati, sekma-skema penafsiran, kaidah-kaidah pedoman kerja, dan sebagainya. Mengikuti pedoman yang sudah disiapkan akan menjamin terciptanya solidaritas antar masyarakat.
15
Durkheim menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan/ atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (Johnson, 1986:181). Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar masyarakat. Pengertian ini selanjutnya lebih diperjelas oleh Durkheim “solidaritas adalah perasaan saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Kalau setiap orang saling percaya maka akan membentuk sebuah persahabatan, menjadi saling hormat-menghormati,
menjadi
terdorong
untuk
bertanggung
jawab
dan
memperhatikan kepentingan sesamanya (Durkheim dalam Soedjati, 1995:25). Menurut Durkheim, solidaritas sosial masyarakat terdiri dari dua bentuk yaitu solidaritas sosial mekanik dan solidaritas sosial organik. Sumber utama bagi analisa Durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumbersumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya The Division of Labor in Society. Tujuan keseluruhan dari karya klasik ini adalah untuk menganalisa pengaruh (atau fungsi) kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dan struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk pokok solidaritas sosial. Singkatnya, pertumbuhan pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik (Johnson, 1986:181-182).
16
Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanik dan organik, untuk menganalisa keseluruhan masyarakat, bukan pada organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Walaupun demikian, contoh-contoh ini menggambarkan sesuatu mengenai elemen-elemen
penting dari kedua tipe
struktur sosial itu. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective consciousness/conscience), yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan
dan
sentimen-sentimen
bersama
masing-masing
terdapat pada warga masyarakat yang yang sama tersebut (Durkheim, 1964:79) Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya (Johnson, 1986:183). Peraturan-peraturan mengenai moralitas dalam pekerjaan dan keadilan yang bersifat mengharuskan atau menyamakan dengan yang lain. Peraturan-peraturan itu memaksa individu untuk bertindak sesuai tujuan yang bukan persis dari dirinya untuk memungkinkan persetujuan mengenai kepentingan yang lebih kuat dari kepentingan dirinya. Akibatnya di manapun masyarakat sangat mengandalkan pembagian kerja, masyarakat
bukanlah setumpukan atom yang saling berdekatan antara atom
tersebut diadakan kontak yang bersifat ekternal serta bisa mengatasinya. Selebihnya masyarakat disatukan oleh sebuah ikatan yang lebih dalam dari kontak tersebut (Durkheim, 1964:227). Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagi hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam
17
pembagian
pekerjaan,
yang
memungkinkan
dan
juga
menggairahkan
bertambahnya perbedaan di kalangan individu yang merombak kesadaran kolektif (Johnson, 1986:183). Durkheim tidak bermaksud mengatakan bahwa kesadaran kolektif itu terancam musnah seluruhnya. Hanya saja, kesadaran tersebut menjadi beragam oleh cara berpikir dan berperasaan, yang semakin membuka peluang perbedaan individu bertambah. Ada peluang yang diperkuat dan dibuat tepat yaitu kesadaran yang berhubungan denga individu. Sebab semua kepercayaan dan praktek yang lainnya memiliki sifat yang semakin berkurang religiusitasnya, di mana individu menjadi objek agama. Manusia membuat sendiri kultus atas nama martabat diri (Durkheim, 1964:172). Durkheim melihat bahwa ‘agama’ berfungsi untuk mengukuhkan dan menegaskan kembali solidaritas kelompok sebagai hal yang memiliki signifikansi simbolik bagi suatu kelompok atau masyarakat (Durkheim, 1992:12). The sacred adalah poros utama yang mecakup seluruh dinamika masyarakat. Dalam masyarakat selalu ada nilai yang disakralkan atau disucikan. Yang sakral dapat berupa simbol utama, nilai, dan kepercayaan (beliefs) yang menjadi inti sebuah masyarakat. The sacred juga bisa menjelma menjadi ideologi atau yang lain yang menjadi utopia masyarakat ( Durkheim dalam Sutrisno dan Putranto, 2005:88). Kekompakan sosial akan terpenuhi melalui pelaksanaan the sacred oleh individumasyarakat dengan semangat bersama mewujudkan solidaritas.
18
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian mengenai problem keilmuan yang terjadi dalam bidang kebudayaan yang dikaji dalam perspektif sosial sehingga penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. 1. Materi penelitian Penelitian ini terdiri dari satu unsur materi penelitian yakni, studi kepustakaan. Bahan dan materi penelitian diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berbagai sumber yang terdiri dari buku, artikel tentang adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Data yang berupa literatur yang menopang kajian jambar dan solidaritas sosial yaitu: a. Data pustaka primer Data pustaka primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang menjadi rujukan utama bagi proses penelitian. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui naskah akademis yang diterbitkan dalam bentuk buku-buku yang berkaitan tentang jambar dalam Batak Toba dan solidaritas sosial Emile Durkheim. Sumber tersebut antara lain: 1) Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta,PT Gramedia 2) Abdullah, Taufik & Leeden, A.C. Vander. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Jakarta,Yayasan Obor Indonesia
19
3) Durkheim, Emile. 1964. The Division of Labor in Society, translated by George Simpson. New York,Free Press 4) Sihombing, T.M. 1989. Jambar Hata; Dongan Tu Ulaon Adat. Jakarta, C.V.Tulus Jaya 5) Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Terjemahan Drs. Lukas Ginting. Jakarta,Erlangga 6) Gultom Rajamarpodang, Drs.D.J. 1992. Dalihan Na Tolu Nilai budaya Suku Batak. Medan, CV.Armanda 7) Sihombing, T.M. 2000. Filsafat Batak. Jakarta, Balai Pustaka 8) Durkheim, Emile. 2006. Sejarah Agama The Elementary Forms of the Religious Life. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta,IRCiSoD b. Data pustaka sekunder Data pustaka sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini berupa naskah akademis dan buku yang mendukung untuk pembahasan jambar dan filsafat sosial. Kepustakaan pendukung juga berkaitan dengan artikel dan tulisan di internet yang berkaitan dengan objek penelitian.
2. Jalan penelitian Penulis mencoba untuk memahami objek materi dalam penelitian ini, kemudian penulis akan menganalisisnya menggunakan objek formal dan menyampaikan kembali. Adapun langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagi berikut:
20
a. Inventarisasi atau pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data sebanyak mungkin yang berkaitan dengan tema penelitian, data yang telah berhasil dikumpulkan kemudian dipisahkan berdasarkan kesesuaian dengan objek materi dan formal penelitian sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. b. Pengklasifikasian dan pengolahan data, yaitu setelah mengolah data terkumpul meliputi klasifikasi dan deskripsi sesuai dengan apa yang dibahas di dalam penelitian. c. Penyusunan penelitian, yaitu melakukan penyusunan data-data yang meliputi analisis data mengenai upacara perkawinan Batak Toba yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk laporan yang sistematis. 3.
Analisis data Unsur-unsur metodis yang digunakan untuk analisis hasil, antara lain
(Bakker dan Achmad Charris Zubair, 1990:111-113): a. Deskripsi
:
Pembagian jambar
dalam adat
perkawinan
masyarakat Batak Toba dan solidaritas sosial Emile Durkheim sebagai pisau analisisnya dijabarkan dan diuraikan secara sistematis. b. Koherensi Intern
:
Mencari keterkaitan logis antara unsur dalam adat
perkawinan masyarakat Batak Toba dengan simbol dan solidaritas Sosial Emile Durkheim. c. Interpretasi
:
Penulis berusaha mengupas pandangan mengenai
makna tersirat dalam pemberian simbolik jambar
dalam adat perkawinan
21
masyarakat Batak Toba dan memberi pemahaman baru mengenai Solidaritas Sosial Emile Durkheim. d. Holistika
:
Memahami pemberian dan penerimaan jambar
dalam perkawinan Batak Toba secara menyeluruh sehingga diperoleh pemahaman mengenai makna tersirat dalam jambar
yang orientasinya pada
Solidaritas Sosial Emile Durkheim. e. Verstehen dikumpulkan
: dalam
Memahami penelitian
bagian
(Kaelan,
atau
unsur
2005:71).
makna
Jambar
yang
dipahami
berdasarkan kategori serta kategori serta karakteristiknya masing-masing. f. Hermeneutika
:
Menangkap makna esensial sesuai konteksnya, agar
makna jambar yang berisi tuntutan atau kewajiban dan kearifan dalam jambar dapat dipahami sesuai pemikiran masyarakat masa kini (Kaelan, 2005:80). F. Hasil Yang Ingin Dicapai Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah pemahaman yang mendalam mengenai hal-hal seperti berikut : 1. Memperoleh pemahaman mengenai konsep jambar dalam perkawinan Adat Batak Toba dan makna tersirat yang terkandung di dalamnya. 2. Memperoleh pemahaman Emile Durkheim
yang lebih mendalam tentang solidaritas sosial
22
3. Memperoleh pandangan mengenai makna simbolik jambar
dalam adat
perkawinan Batak Toba yang ditinjau dari solidaritas sosial Emile Durkheim. G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian akan dilaporkan dalam lima bab sebagai berikut : Bab I
: Membahas tentang latar belakang dilakukannya penelitian, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penilitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan.
Bab II
: Membahas tentang pengertian dan peranan jambar dalam Perkawinan adat Batak Toba
Bab III : Membahas tentang pokok pikiran solidaritas sosial Emile Durkheim Bab IV : Membahas solidaritas sosial pada jambar dalam perkawinan adat Batak Toba dalam kajian solidaritas sosial Emile Durkheim Bab V :Berisi penutup, yang mencakup kesimpulan yang menunjukkan jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang diungkapkan dalam rumusan masalah dan sekaligus juga berisi saran bagi kemungkinan penelitian lanjutan berkaitan dengan pemberian jambar pada saat perkawinan adat Batak Toba.