BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Rawat inap anak merupakan pengalaman yang menimbulkan stres dan berdampak negatif bagi pasien anak dan keluarganya (Commodari, 2010; Garro et al., 2005; Hockenberry, 2005). Perpisahan dengan orang tua, kehilangan kontrol, luka pada tubuh, nyeri, lingkungan yang asing, dan tindakan medis yang dijalani menjadi stresor utama bagi pasien anak saat dirawat inap (Coyne, 2006; Hockenberry dan Wilson, 2011). Orang tua juga dihadapkan dengan berbagai stresor, seperti prosedur medis yang dijalani anak, kehilangan peran sebagai pengasuh utama, kurangnya informasi terkait kondisi anak, serta perpanjangan waktu rawat di rumah sakit. Stresor-stresor tersebut dapat memicu gangguan fisik dan emosional pada orang tua yang kemudian berdampak pada dinamika keluarga tersebut (Board, 2004; Commodari, 2010; Hockenberry, 2005). Selama rawat inap, pasien anak akan menghadapi berbagai prosedur invasif maupun noninvasif, termasuk diantaranya anestesi dan pembedahan. Bagi pasien anak, anestesi dan pembedahan dikarakteristikkan sebagai suatu tindakan medis yang menakutkan, mengancam, dan menyakitkan (Coyne, 2006; Litke et al., 2012). Rasa cemas dan perilaku negatif seperti mimpi buruk dan masalah asupan makan ditunjukkan oleh sebagian besar anak sebagai respon terhadap anestesi dan pembedahan (Fortier et al., 2010; Kain et al., 1996b; Stargatt et al., 2006). Kekuatiran muncul terkait efek samping pembedahan, seperti perubahan
1
2 gambaran tubuh, mobilitas yang terbatas, ketergantungan dengan orang lain, dan kehilangan kontrol (Coyne, 2006; Mansy et al., 2007). Studi menunjukkan kecemasan memberikan dampak negatif bagi kondisi anak paskapembedahan, seperti terjadinya peningkatan nyeri dan konsumsi analgesik yang berlebihan (Kain et al., 2006). Bagi orang tua, memiliki anak yang sedang menjalani pembedahan merupakan suatu krisis dan menguji peran mereka sebagai pelindung (Chamber dan Jones, 2007; LaMontagne et al., 2003). Franck et al. (2010) melakukan penelitian terkait stres selama pra- dan paskapembedahan pada orang tua dari anak yang menjalani pembedahan jantung bawaan. Temuan penelitian tersebut menunjukkan stres yang dialami orang tua tetap berada pada tingkat sedang hingga tinggi terlepas dari keparahan penyakit anak. Stres tersebut akan terus dirasakan orang tua selama waktu anak dirawat inap. Kecemasan juga dialami orang tua dan menjadi prediktor dari kecemasan yang dialami anak saat akan menjalani pembedahan (Fortier et al., 2010; Kain et al., 2003). Selama proses penyembuhan, orang tua harus menghadapi kesusahan dan nyeri yang dialami anak. Ketika orang tua tidak mampu menangani stresor tersebut, perasaan ketidakadekuatan untuk memberikan dukungan emosional bagi anak akan muncul dan dianggap sebagai ancaman bagi peran pengasuhan (LaMontagne et al., 2003). Stres pada anak dan keluarga dapat dikurangi melalui edukasi dan penyediaan informasi yang adekuat terkait kondisi anak dan prosedur medis yang dijalani, pemenuhan kebutuhan perkembangan anak dan keluarga, fasilitas koping anak dan orang tua, dan peningkatan dukungan kepada keluarga (Frisch et al., 2010;
3 Hockenberry dan Wilson, 2011; Litke et al., 2012). Dengan demikian, asuhan keperawatan yang dilakukan tidak hanya ditujukan kepada individu tertentu yaitu pasien anak saja, tetapi juga kepada keluarganya. Perawat juga perlu menyadari pentingnya pelibatan keluarga dalam proses perawatan anak karena keluarga memiliki pengalaman, keahlian, wawasan, dan perspektif yang sangat bernilai untuk meningkatkan kualitas perawatan (Johnson et al., 2008). Perawatan berfokus keluarga (PBK) telah dikenal luas dan diterima sebagai model ideal untuk perawatan anak di rumah sakit (Abraham dan Moretz, 2012; Shields et al., 2012). Model ini mengakui keluarga sebagai aspek menetap yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak dan menerima mereka sebagai bagian penting dari proses perawatan. Hubungan yang tercipta antara perawat dan keluarga didasarkan pada rasa saling menghormati serta komunikasi yang jujur dan terbuka yang merupakan atribut khas dari model perawatan ini (Hutchfield, 1999). Dalam PBK, keluarga turut menerima asuhan keperawatan dan didorong untuk berpartisipasi aktif dalam proses perawatan dan pengambilan keputusan (Abraham dan Moretz, 2012; Shields et al., 2006). Studi menunjukkan hasil positif dari implementasi PBK di bidang perawatan anak, seperti penurunan tingkat stres pada orang tua, peningkatan keadekuatan perawatan klinis, peningkatan partisipasi orang tua dalam proses perawatan, peningkatan kepuasan orang tua terkait pengalaman rawat inap anak, dan pemendekan masa rawat inap (Al-Momani, 2010; Ladak et al., 2012; Melnyk, 2004; Shields et al., 2012). Namun penelitian-penelitian PBK saat ini lebih banyak berfokus dalam mengkaji praktik PBK secara umum di bangsal anak, unit
4 perawatan intensif neonatal (NICU), dan unit perawatan intensif anak (PICU) seperti ditunjukkan dalam penelitian Al-Momani (2010), Asai (2011), Bruce dan Ritchie (1997), Ladak et al. (2012), dan Neal et al. (2007). Penelitian terkait implementasi PBK dalam perawatan bedah pasien anak masih sedikit (Shields, 2007). Perawatan bedah merujuk pada peran yang dilakukan oleh seorang perawat bedah untuk bertanggung jawab dalam manajemen perawatan pasien selama ia menjalani pengalaman pembedahan yang dimulai dari sebelum hingga sesudah pembedahan.
Perawatan
bedah
didasarkan
pada
konsep
holisme
yang
mempertimbangkan faktor mental dan sosial ke dalam proses perawatan, tidak hanya sekedar penyakitnya saja. Seperti perawatan bedah, PBK turut memandang pasien beserta keluarganya secara holistik (Shields, 2007). Salah satu tindakan menggunakan pendekatan PBK dalam tatanan bedah telah dilakukan oleh American Society of Anesthesiologists melalui penghadiran orang tua selama proses induksi anestesi untuk mengatasi kecemasan prapembedahan anak, walaupun aplikasi tersebut dilaporkan tidak dilakukan secara rutin dan mengundang kontroversi (Kain et al., 1996a; Kain, et al., 2003; Munro dan D‘Errico, 2000). Studi pustaka oleh Chundamala et al. (2009) menyebutkan penghadiran orang tua tidak terbukti menurunkan kecemasan pada anak, namun orang tua mendukung dan memilih tindakan ini untuk terus dilakukan pada prosedur pembedahan selanjutnya (Braude et al., 1990; Henderson et al., 1993; Kita dan Yamamoto, 2009). Leelanukrom et al. (2002) menemukan bahkan di negara berkembang seperti Thailand sekalipun orang tua menerima dengan baik
5 penghadiran mereka selama proses induksi anestesi dan menginginkan praktik ini terus dilakukan. Fenomena ini kemudian mengindikasikan bahwa PBK perlu diterapkan ke dalam perawatan bedah anak di rumah sakit. PBK juga relevan untuk diaplikasikan dalam tatanan bedah di negara-negara berkembang seperti halnya di negara maju (Shields, 2007). Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito merupakan rumah sakit pendidikan tipe A yang terletak di Kota Yogyakarta. Ruang Cendana 4 di Instalasi Rawat Inap (IRNA) I adalah ruang perawatan bedah anak dengan tenaga perawat berjumlah 15 orang. Sebagai rumah sakit rujukan tertinggi untuk provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan, selama periode Januari 2010 hingga Juni 2013 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta telah menangani 2.239 pasien bedah anak yang semuanya dirawat di ruang perawatan tersebut. Berdasarkan data Instalasi Catatan Medis (ICM) RSUP Dr. Sardjito per 31 Juli 2013, 4 penyakit yang selalu muncul dalam 10 penyakit terbanyak di ruang perawatan tersebut sepanjang periode Januari 2010 hingga Juni 2013 adalah: Hirschsprung‟s disease (108 kasus); hypospadias, penocostral (101 kasus); unilateral or unspecified inguinal hernia, without obstruction or gangrene (90 kasus); dan acute appendicitis (76 kasus). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan sepanjang Juli-Agustus 2013, partisipan menyatakan asuhan dengan konsep PBK telah diterapkan ke dalam proses perawatan anak di RSUP Dr. Sardjito walaupun tidak tercantum dalam visi dan misi institusi tersebut. Dalam proses perawatan anak telah dilakukan asuhan yang memampukan dan memberdayakan keluarga pasien.
6 Praktik perawatan PBK tersebut ditunjukkan dengan kolaborasi antara petugas klinis dengan keluarga dalam proses perawatan anak serta pengambilan keputusan, pemberian informasi berkala kepada orang tua dan pasien minimal 1 kali sehari atau saat pergantian jaga, dan akses penuh orang tua ke anak selama 24 jam.
B. Rumusan Masalah PBK dinilai sebagai model perawatan anak terbaik dan banyak diterapkan pada tataran perawatan tersier di dunia saat ini (Shields et al., 2012). PBK juga penting untuk diterapkan dalam tatanan bedah baik di negara maju maupun negara berkembang (Shields, 2007). Kendati banyak tenaga kesehatan profesional di negara berkembang yang mencoba mengaplikasikan PBK ke dalam asuhan keperawatan, hal tersebut dapat terhambat akibat perbedaan sifat alamiah pelayanan kesehatan di negara berkembang yang masih dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya yang terbatas dan latar belakang budaya (Shields dan Nixon, 2004). Fenomena yang terjadi di negara-negara berkembang adalah seringkali rumah sakit merasa telah mempraktikkan PBK karena orang tua cukup banyak terlibat dalam memberikan perawatan. Namun hal ini sebenarnya merupakan suatu urgensi yang terjadi akibat kurangnya sumber daya dan tenaga kesehatan (Jolley dan Shields, 2009). Telah dilaporkan juga bahwa petugas kesehatan di negara-negara berkembang tidak sensitif terhadap kebutuhan orang tua pasien (Shields dan King, 2001b). Indonesia adalah salah satu dari negara-negara berkembang di Asia Tenggara yang sebagian besar populasi orang tua menunjukkan perhatian besar terhadap
7 perawatan medis yang diterima anak di rumah sakit. Mereka memiliki kecenderungan memilih tinggal bersama anak selama masa rawat inap (Shields dan King, 2001a; Shields dan Nixon, 2004). Hingga saat ini masih sedikit diketahui tentang praktik PBK kepada pasien anak dan keluarganya di Indonesia, khususnya dalam bidang perawatan bedah. Penelitian yang sudah dilakukan juga belum menggali persepsi perawat dan keluarga megenai PBK selama perawatan pasien bedah anak di rumah sakit. Padahal persepsi yang dimiliki perawat dan keluarga merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi suksesnya implementasi PBK di suatu fasilitas pelayanan kesehatan anak. Pemahaman terkait persepsi menjadi langkah awal dalam membina hubungan yang saling menghormati dan komunikasi yang jujur dan terbuka antara perawat dan keluarga sebagai atribut khas PBK. RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menunjukkan hadirnya penerapan konsep PBK di dalam proses perawatan anak melalui partisipasi orang tua dan berbagi informasi, namun belum ada penelitian yang membahas mengenai praktik PBK di rumah sakit tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti meyakini masih diperlukannya eksplorasi mendalam terkait PBK, terutama pada perawatan pasien bedah anak di Indonesia. Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah persepsi perawat dan orang tua dari pasien bedah anak tentang PBK di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang dieksplorasi melalui pendekatan kualitatif dengan rancangan fenomenologi.
8 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi perawat dan orang tua tentang PBK kepada pasien bedah anak dan keluarganya di ruang rawat bedah anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu untuk mengeksplorasi secara mendalam persepsi perawat dan orang tua tentang: a. Makna orang tua dalam asuhan keperawatan pasien bedah anak. b. Tugas dan peran orang tua dalam asuhan PBK kepada pasien bedah anak dan keluarganya. c. Partisipasi orang tua dalam asuhan PBK kepada pasien bedah anak. d. Kerja sama antara perawat dan orang tua dalam memberikan perawatan kepada pasien bedah anak menurut konsep PBK. e. Batasan dan hambatan implementasi PBK dalam proses perawatan pasien bedah anak dan keluarganya.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai kajian ilmiah untuk melihat persepsi perawat dan keluarga tentang PBK dan implementasi PBK dalam tatanan bedah di rumah sakit pendidikan di Indonesia, dan juga untuk menambah informasi serta kepustakaan di dalam dunia keperawatan yang selalu berkembang.
9 2. Manfaat Praktis a. Bagi perawat. Penelitian ini dapat menjadi tolak ukur bagi perawat untuk melakukan peningkatan pelayanan kesehatan yang lebih optimal bagi pasien dan keluarganya sesuai dengan konsep PBK. b. Bagi orang tua. Penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi orang tua untuk memahami tentang peran keluarga dalam asuhan keperawatan bagi pasien bedah anak selama perawatan di rumah sakit menurut perspektif penyedia layanan kesehatan. c. Bagi institusi pendidikan. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat pencapaian institusi pendidikan dalam menginternalisasikan konsep PBK dalam diri mahasiswa/calon perawat yang akan menjadi bekal bagi mereka dalam memberikan asuhan keperawatan di lahan praktik nyata. d. Bagi rumah sakit. Penelitian ini dapat digunakan sebagai penilaian diri dalam menentukan kebijakan, visi, misi, dan filosofi perawatan yang lebih pada pelayanan kesehatan berpusat pada pasien dan keluarga. e. Bagi peneliti.
Penelitian ini menambah wawasan bagi peneliti untuk
semakin menginternalisasikan konsep PBK sebagai dasar pemberian asuhan keperawatan serta menjadi dasar bagi peneliti lain untuk menyelidiki lebih jauh tentang praktik PBK tidak hanya pada pelayanan kesehatan tingkat tersier, tetapi juga pada pelayanan kesehatan tingkat primer khusus anak di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif pertama yang meneliti persepsi
10 perawat dan orang tua tentang PBK kepada pasien bedah anak dan keluarganya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Di negara lain, penelitian terkait persepsi terhadap PBK bukanlah hal baru dan telah dilakukan sejak tahun 1979. Goodell adalah peneliti pertama yang menggali persepsi perawat terkait partisipasi orang tua di unit kanker anak (Foster et al., 2010). Beberapa penelitian terkait persepsi tentang PBK salah satunya dilakukan oleh Beth Bruce dan Judith Ritchie yang dipublikasikan pada tahun 1997 dengan judul Nurses‟ Practices and Perceptions of Family-Centered Care. Penelitian tersebut merupakan studi eksploratif deskriptif yang menilai persepsi dan praktik perawat terkait PBK. Bruce dan Ritchie menemukan terdapat perbedaan signifikan antara persepsi perawat dan praktik PBK yang ditunjukkan dengan adanya beberapa elemen PBK yang masih belum diterapkan dalam praktik perawatan. Penelitian tersebut dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan hanya berfokus pada persepsi perawat anak saja. Penelitian lain terkait PBK adalah penelitian yang dilakukan oleh Paliadelis et al. dengan judul Implementing Family-Centered Care: An Exploration of the Beliefs and Practices of Paediatric Nurses yang dipublikasikan pada tahun 2005. Penelitian tersebut menggunakan metode yang sama dengan penelitian ini, yaitu pendekatan kualitatif. Paliadelis et al. (2005) menemukan 4 tema besar berkaitan dengan implementasi PBK yang dilakukan oleh perawat anak, antara lain: ‗tugas dan peran‘ yang meliputi deskripsi tugas yang dapat dilakukan oleh orang tua, ‗masalah pemberdayaan‘ yang berkaitan dengan keyakinan dan asumsi perawat mengenai peran mereka sebagai perawat, ‗hambatan dan batasan‘ yang meliputi
11 penjabaran hambatan-hambatan yang ditemui perawat dalam menerapkan PBK, dan ‗perawatan dan perlindungan‘ yang meliputi asumsi perawat mengenai pentingnya perawatan dan perlindungan kepada anggota keluarga lain selain pasien anak. Penelitian ini berfokus pada persepsi perawat saja. Penelitian persepsi PBK di Indonesia yang diketahui peneliti yaitu yang dilakukan oleh Maryati (2013) dengan judul ―Gambaran Pengetahuan dan Persepsi Ibu tentang Aplikasi Perawatan Berpusat Keluarga Selama Anaknya Mengalami Hospitalisasi di Ruang Rawat Anak RSAB Harapan Kita‖. Penelitian ini merupakan studi deskriptif kuantitatif. Hasil temuan penelitian tersebut menunjukkan lebih dari setengah sampel ibu masih memiliki persepsi negatif terkait PBK. Edukasi dan komunikasi sangat penting agar PBK dapat terlaksana dengan baik. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada metode dan partisipan penelitian.