BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Wilayah muara sungai merupakan bagian hilir sungai yang langsung berhubungan dengan laut, berfungsi sebagai pengeluaran air sungai (Triatmodjo, 1999). Muara sungai merupakan bagian sungai yang berasosiasi dengan wilayah pesisir. Menurut UU No 27 Tahun 2007 wilayah pesisir adalah daerah peralihan antar ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir mempunyai banyak fungsi seperi penyedia protein hewani, kaya hidrokarbon dan mineral, serta fungsi lan seperti pelabuhan, pariwisata, serta agroindustri. Namun, wilayah pesisir dan muara sungai yang tidak dijaga kelestariannya, dapat berisiko terjadi banjir, seperti kejadian yang ada di pesisir Kabupaten Pati Jawa Tengah. Memperhatikan kondisi kawasan pesisir di Kabupaten Pati selama ini sesuai dengan UU No 32/2004, pasal 18 tentang kewenangan suatu daerah mengenai sumber daya di wilayah laut, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk Kabupaten/kota. Dari peraturan ini, maka dapat diidentifikasi permasalahan biofisik di wilayah pesisir Pati yang ada antara lain: (1) kondisi perikanan tangkap maupun perikanan tambak, (2) tambak garam, (3) hutan mangrove, (4) estuaria, (5) pencemaran, (6) abrasi, (7) reklamasi, (8) sedimentasi, dan (9) rehabilitasi belum optimal dikelola. Sealin itu, menurut Perda Kabupaten Pati No 4/2003, pasal 2 bahwa tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut, dan sekaligus menjamin keanekaragaman hayati dan produktivitas ekosistem wilayah pesisir dan laut. Pengelolaan daerah muara sungai dan pesisir yang kurang sesuai, dapat menyebabkan beberapa permasalahan, salah satunya adalah banjir. Banjir besar yang terjadi pada awal tahun 2014 lalu, menyebabkan wilayah pantura, terutama
1
wilayah Jawa Tengah (Kudus dan Pati) lumpuh total dari segala aktivitasnya. Banjir tersebut merupakan banjir terbesar sejak kejadian ditahun 1986. Setidaknya sebanyak 52.636 keluarga atau 178.222 jiwa yang tersebar di 20 kecamatan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terkena dampak bencana banjir (dikutip dari : AntaraNews.com/26 Februari 2014). Menurut beberapa narasumber dalam berita yang dikutip oleh harian Suara Merdeka, tanngal 20 Februari 2014, sistem penanganan banjir yang ada di Juwana masihlah buruk. Keadaan ini diperparah dengan banjir yang tak kunjung surut selama lebih dari 2 minggu. Ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir besar tersebut: 1. Sistem drainase yang buruk 2. Penggunaan lahan yang tidak sesuai disekitar area sungai 3. Curah hujan yang relatif tinggi 4. Sedimentasi sungai yang berlangsung terus menerus, karena merupakan bagian dari hilir sungai. Salah satu penyebab banjir di Kecamatan Juwana adalah sedimentasi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Muara sungai Juwana semakin hari semakin mendangkal dan menyempit akibat dari sedimentasi tersebut. Daerah muara sungai merupakan daerah yang sangat produktif, karena penambahan bahan-bahan organik yang berasal dari darat melalui aliran sungai dan perairan sekitarnya, secara terus menerus. Percampuran kedua masa air yang terjadi di
muara
sungai
dapat
menyebabkan
perubahan kondisi fisik
oseanografi di lokasi tersebut. Air sungai juga dapat membawa angkutan sedimen yang akan terakumulasi di muara. Sedimen yang terakumulasi tersebut akan menyebabkan pendangkalan di daerah muara. Menurut Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kabupaten Pati tahun 2010, kawasan muara sungai Juwana merupakan kawasan perlindungan setempat yang memiliki ekosistem yang khas, sehingga perlu dijaga kelestariannya. Wilayah muara sungai yang berhimpit langsung dengan permukiman, berpotensi besar peningkatan sedimentasi di muara sungai. Selain aktivitas permukiman, aktivitas lain yang berada di sekitar muara sungai Juwana adalah perikanan dan pelabuhan. Aktifitas - aktifitas yang dilakukan di sekitar sungai dan pesisir
2
terbawa oleh aliran air membawa banyak material baik organik maupun anorganik yang kemudian akan terakumulasi di muara sungai. Muatan padatan tersuspensi terdiri dari lumpur, pasir halus dan jasadjasad renik yang sebagian besar disebabkan karena terjadinya pengikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Erosi tanah yang ada di sekitar muara sungai Juwana terjadi akibat aktivitas di dearah hulu sungai Juwana, yaitu sekitar waduk Wilalung, yang ada di Kecamata Undaan, Kabupaten Kudus. Batuan induk yang ada di daerah hulu adalah aluvium dan campuran batu gamping dari perbukutan rembang kendeng. Sedangkan muara sungai sebagai tempat berakhirnya aliran sungai membawa material
hasil dari
pengikisan/ erosi.
Sehingga terjadi persebaran sedimen di sekitar muara sungai. Muatan padatan tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksireaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal. Selain itu, akibat dari sedimen suspensi, penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Hal ini tentu akan menggangu keberlangsungan hidup habitat ikan yang ada di sekitar muara sungai. Sejak tahun 1970, teknologi penginderaan jauh telah digunakan untuk pengukuran padatan tersuspensi di tubuh air (Ritchie et al., 2003). Penginderaan jauh telah memegang peranan penting untuk inventarisasi, monitoring dan pengelolaan wilayah pesisir melalui kemampuannya memberikan gambaran sinopsis dari wilayah tersebut (Ambarwulan,2003). Citra satelit merupakan teknologi
penginderaan jauh yang dapat menggambarkan secara detail
kenampakan di bumi. Salah satu aplikasinya adalah dapat mempelajari kualitas air di suatu perairan terbuka. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu yang dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barret dan Curtis, 1982 dalam Haniah, 2010). Kualitas suatu perairan yang dapat dipelajari menggunakan citra satelit diantaranya adalah konsentrasi padatan tersuspensi.
3
Padatan tersuspensi yang melayang di perairan dan merupakan material awal pembentuk endapan sedimen, dalam perhitungan konsentrasinya adalah satuan mg/l dapat diketahui dengan suatu algoritma yang melibatkan band dalam citra multispektral. Konsentrasi padatan tersuspensi telah berhasil dipetakan dan diestimasi menggunakan penginderaan jauh selama tiga dekade belakangan ini. Berbagai pendekatan dan algoritma telah dikembangkan untuk pemetaan atau estimasi konsentrasi sedimen tersuspensi menggunakan pengindraan jauh optical. Teknik tersebut dapat dikategorikan ke dalam 4 kelompok pendekatan : (1) regresi sederhana (korelasi antara band tunggal dengan data in-situ), (2) teknik spektral unmixing, (3) teknik band ratio menggunakan dua atau lebih band dan, (4) regresi berganda (menggunakan berbagai band dan pengukuran in-situ). (Hossain, et, al, 2003) Penelitian tentang estimasi sedimentasi tersuspensi menggunakan citra SPOT di perairan tropis sudah dikembangkan sebelumnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pasterkamp dan Woerd (2000) di Selat Madura, melalui pendekatan bio optical model. Hasilnya adalah band merah pada citra SPOT mempunyai korelasi kuat dengan nilai TSM, yaitu ditunjukkan dengan grafik antara nilai reflectan perairan dengan nilai TSM yang semakin naik. Hal ini dipengaruhi oleh penyerapan bahan organik terlarut dan penyerapan pigmen phytoplankton lebih rendah di band merah. Penelitian ini juga hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiwin Ambarwulan dan Hobma (2007) di Teluk Banten, dimana hasilnya menunjukkan bahwa SPOT HRV pada band 2 mempunyai relasi yang baik terhadap nilai TSM di lapangan. Penelitian mengenai estimasi sedimen tersuspensi di muara Sungai Juwana belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai sedimen suspensi di perairan pesisir pantai utara Jawa bagian perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur masih jarang dilakukan. Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah di pesisir utara Jawa tengah adalah penelitian yang dilakukan oleh Heni Susanti (2011) yang menduga estimasi sedimen tersuspensi di perairan pesisir semenanjung Muria, Jepara dengan pendekatan statistik sederhana dengan menerapkan persamaan yang telah di bangun oleh peneliti sebelumnya yaitu Budhiman (2004). Dasar dari penggunaan persamaan ini adalah mengingat
4
pesamaaan Budhiman yang dibangun berdasarkan pada kondisi perairan tropis di Indonesia. Karena untuk menduga sedimen tersuspensi di perairan secara lebih detil digunakan metode optical model.
1.2.Rumusan Masalah Penginderaan jauh sistem multispektral mempunyai beberapa band yang dapat digunakan dalam mendeteksi kualitas perairan, salah satunya adalah permasalahan sebaran sedimen tersuspensi. Sejak tahun 1997, Lemigas telah mengembangkan suatu algoritma yang memanfaatkan band 2 dan 3 pada citra landsat ETM+ yang peka pada obyek air. Lalu, pada tahun 2004 dan 2008 dikembangkan algoritma Budhiman (2002) dan Jing Li (2008). Algoritma Budhiman (2002) dalam penelitiannya menggunakan citra Landsat ETM+ dan SPOT, dimana penelitian ini dilakukan di Delta Mahakam, dan algoritmanya pun telah digunakan oleh beberapa penelitian tentang sedimentasi tersuspensi di beberapa pesisir di Indonesia (Pahlevi, 2010). Sedangkan algoritma Jing Li (2008) yang dikembangkan untuk perairan di sungai Changjiang di China, juga telah beberapa digunakan dipesisir di Indonesia. Kedua peneliti tersebut menggunakan pendekatan bio optical model dalam membangun persamaan untuk estimasi muatan sedimen tersuspensi. Namun, setiap Penentuan pola sebaran muatan padatan tersuspensi pada muara sungai Juwana, Pati, akan coba digunakan metode ini, dengan memafaatkan citra multispektral SPOT 4. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Muara sungai yang dekat dengan pesisir, mempunyai karakteristik yang unik. wilayah pesisir merupakan lingkungan yang dinamis, unik dan rentan terhadap perubahan lingkungan. Tipe muara sungai Juwana ini adalah muara yang didominasi debit sungai. Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup besar yang bermuara di laut dengan gelombang relatif kecil. Pada waktu air surut sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di laut.
5
Dari uraian permasalahan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Penginderaan jauh sistem multispektral mempunyai band yang dapat digunakan dalam mendeteksi kualitas perairan, namun tidak semua band
peka terhadap perairan yang keruh akibat dari
material yang dikandung oleh perairan tersebut. 2. Algoritma yang dikembangkan oleh Jing Li (2008) dan Budhiman (2004) dalam mengekstraksi muatan sedimen tersuspensi telah digunakan oleh penelitian di beberapa pesisir dan muara sungai di Indonesia. Namun, persamaan ini belum pernah diterapkan di Muara sungai Juwana, bahkan penelitian mengenai sedimen tersuspensi juga belum pernah dilakukan di muara sungai Juwana. 3. Muara sungai Juwana mempunyai karaketeristik yang berbeda degan muara sungai lainnya, termasuk penggunaan lahannya. Pengaruh lingkungan sekitar seperti penggunaan lahan mempunyai peranan yang besar dalam sumbangan muatan sedimen tersuspensi di perairan. Sehingga dibutuhkan analisis pola muatan sedimen tersuspensi.
1.3.Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah kemampuan band tunggal dan rasio band
yang
dimiliki citra SPOT 4 dalam mendeteksi konsentrasi padatan tersuspensi? 2. Persamaan manakah yang paling mendekati akurat antara persamaan yang dibangun oleh Jing Li (2008) dan Budhiman (2004) dalam mengekstrasi muatan sedimen tersuspensi di muara Sungai Juwana? 3. Bagaimanakah pola sebaran padatan tersuspensi di muara sungai Juwana?
6
1.4.Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah, a. Mengetahui kemampuan band tunggal dan rasio band yang dimiliki oleh citra SPOT 4 dalam mendeteksi konsentrasi dan pola persebaran padatan tersuspensi. b. Mengetahui Persamaan yang paling mendekati akurat antara persamaan yang dibangun oleh
Jing Li (2008) dan Budhiman
(2004) dalam mengekstraksi muatan sedimen tersuspensi di muara Sungai Juwana c. Mengetahui pola sebaran sedimentasi di muara sungai Juwana.
1.5.Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pola sebaran muatan padatan tersuspensi yang ada di perairan muara Sungai Juwana melalui beberapa algoritma yang telah diterapkan oleh peneliti sebelumnya. Jika algoritma yang diterapkan kurang sesuai, maka dilakukan pembuatan model dengan persamaan rumus empris sederhana. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dianalisis bagaimana persebaran muatan padatan tersuspensi di muara Sungai Juwana sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir setiap musim penghujan tiba.
1.6.Batasan Permasalahan Dalam penelitian mengenai Analisis Pola Sebaran Muatan Padatan Tersuspensi Menggunakan citra SPOT 4 ini perlu dibatasi permasalahan dan pemakaian istilah untuk memfokuskan tujuan awal dari penelitian ini. Batasan permasalahannya yaitu:
Kemampuan band tunggal dan rasio band pada citra SPOT 4 dalam mendeteksi konsentrasi dan pola persebaran muatan padatan tersuspensi.
Hasil dari persamaan yang telah dibangun oleh penenliti sebelumnya untuk mengetahui muatan padatan tersuspensi di muara sungai Juwana.
7
Pola sebaran muatan padatan tersuspensi di Muara Sungai Juwana.
1.7.Telaah Pustaka 1.7.1. Teknologi Pengindraan Jauh untuk Kualitas Air termasuk Sedimen Tersuspensi Warna air mengandung material optik yang kompleks, dipengaruhi oleh hamburan cahaya dan penyerapan cahaya yang merupakan proses dari kolom air dan reflectan substrat. Cahaya reflectance substrat (rumput laut, alga, terumbu karang, pasir, lumpur dan habitat bentik lainnya) mengalami proses penyerapan dan penghamburan cahaya. Daya tembus sinar ke dalam air, sangat tergantung pada daya serap air yang mengenainya. Semain besar daya serap air, semakin kurang sinar yang dapat menembusnya. Tenaga elektromagnetik yang mengenai obyek air dipengaruhi tiga hal penting, yaitu (1) material yang terkandung dalam perairan, (2) kekasaran permukaan perairan, dan (3) kedalaman perairan. Selanjutnya Sturm (1987) mengatakan bahwa sifat-sifat optos dari perairan akan sangat mempengaruhi kemampuan dari energi radiasi tersebut dalam berinteraksi dengan permukaan perairan, sebagai contoh warna air laut dipengaruhi oleh berbagai kondisi, seperti : turbidinitas, up welling dan kandungan klorofil di perairan.
Gambar 1.1. Diagram dan berbagai macam proses pengindraan jauh dalam material air ( Brando, Dekker, et, al, 2006)
8
Keberadaan teknologi penginderaan jauh untuk aplikasi sumber daya alam sudah banyak dikembangkan. Salah satunya aplikasi di bidang lingkungan khususnya untuk kualitas air. Kualitas air dapat diukur antara lain dengan melihat sedimen tersuspensi, kekeruhan,
alga (klorofil, karoten), aspek kimia (nutrisi,
pestisida, kandungan logam) bahkan minyak dalam perairan (Ritchie et al., 2003). Tingkat kekeruhan air biasanya diasumsikan dengan keberadaan sedimen dalam perairan tersebut, salah satunya muatan padatan tersuspensi. Dalam hal ini, penginderaan jauh dapat membantu dan melengkapi data lapangan terutama jika wilayah kajian luas yang membutuhkan biaya yang besar. Beberapa keunggulan penginderaan jauh dalam memonitoring kualitas perairan menurut Reif, 2011 dalam Iswari, 2014, antara lain : 1. Kemampuan synoptic view terhadap tubuh air yang lebih efektif dalam memonitoring secara spasial dan temporal 2. Menampilkan informasi kualitas air pada berbagai jenis perairan pada area yang sangat luas dalam satu waktu 3. Menampilkan perekaman kualitas air secara temporal dari masa lampau sampai saat ini 4. Sebagai alat untuk mencari lokasi dan waktu yang tepat dalam survei dan pengambilan sampel 5. Dapat digunakan untuk memperkirakan komponen-komponen penciri kualitas air Teknik penginderaan jauh ialah mendasarkan kepada kemampuan untuk mengukur perubahan pada karakteristik spektral yang dipantulkan dari air dan kemudian membandingkan hasil pantulan tersebut dengan parameter kualitas air. Panjang gelombang yang dapat dengan baik digunakan untuk mengukur parameter kualitas air tergantung kepada material yang hendak diukur atau diketahui, konsentrasinya, dan karakteristik sensor penginderaan
jauh yang digunakan.
Faktor utama yang mempengaruhi kualitas air pada tubuh air pada setiap bentanglahan adalah sedimen tersuspensi, kekeruhan air, algae (klorofil, karotenoid, dll), kimia (unsur hara, pestisida, besi, dll), material organik terlarut, suhu permukaan air, tumbuhan air, bakteri pathogen, dan minyak.
9
Faktor – faktor tersebut merubah karakteristik pantulan atau pancaran suhu air yang dapat diukur dan dideteksi menggunakan teknik penginderaan jauh. Pada umumnya faktor tersebut merubah karakteristik pantulan atau pancaran suhu air yang dapat diukur dan dideteksi menggunakan teknik penginderaan jauh. Pada umumnya
faktor kimia dan bakteriologi tidak secara langsung mempengaruhi
perubahan karakteristik spektral pantulan atau pancaran air, sehingga hanya dapat diketahui pengaruhnya secara tidak langsung melalui parameter kualitas air lainnya yang terpengaruh oleh faktor kimia atau bakteriologi tersebut. Penginderaan jauh menyuguhkan kenampakan secara spasial dan temporal dari parameter kualitas air sebuah tubuh air yang tidak dapat diperoleh melalui pengukuran in situ secara langsung di lapangan, sehingga mampu untuk mengamati, mengidentifikasi dan mengkuantifikasi parameter kualitas air beserta permasalahannya secara efektif dan efisien (Jerlov,1976; Kirk, 1983 dalam Ritchie et al, 2003). Perkembangan teknik penginderaan jauh yang digunakan untuk mengamati kualitas air telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pada masa tersebut teknik yang digunakan adalah dengan mengukur perbedaan pantulan dan pancaran energi elektromagnetik suatu tubuh air, dan kemudian mencari hubungan antara karakteristik spektral dengan parameter kualitas air. Ritchie et al (1974) dalam Ritchie et al (2003)
mengembangkan rumus untuk mengestimasi sedimen
tersuspensi : Y = A + BX atau Y = Abx. Dimana Y adalah nilai energi pantulan atau terekam oleh citra penginderaan jauh, X adalah nilai sedimen tersuspensi hasil pengurkuran in situ, sedangkan A dan B adalah faktor turunan. Hubungan secara statistik anatara nilai pantulan atau pancaran citra penginderaan jauh dengan parameter kualitas terukur, biasa digunakan pada pendekatan secara empiris. Terkadang informasi tentang karakteristik spektral dari suatu parameter kualitas air digunakan untuk membantu memilih panjang gelombang terbaik yang akan digunakan untuk membuat model melalui pendekatan empiris (Ritchie et al, 2003). Material tersuspensi dan terlarut di permukaan air, dapat merubah warna air tersebut. Air jernih memiliki warna biru, air yang kaya akan humus berwarna kuning, dan air keruh memiliki warna bervariasi tergantung dari campuran material yang masuk ke dalamnya berkisar antara biru-hijau atau coklat-merah. Air jernih
10
hanya memantulkan sedikit dari pancaran sinar matahari yang mengenainya, sehingga nilai pantulannya terhitung rendah. Pantulan air memiliki nilai tertinggi pada spektrum biru dan semakin menurun ketika panjang gelombang meningkat
Gambar 1.2.. Pantulan air jernih vs air kaya akan alga hijau (Khoram, 2012)
Air keruh mampu untuk memantulkan lebih banyak sinar matahari sehingga memiliki nilai pantulan yang lebih tinggi dibandingkan dengan air jernih. Air yang kaya akan ganggang hijau memiliki konsentrasi klorofil yang tinggi, sehingga memiliki pada panjang gelombang 450 nm dan 670 nm terjadi penyerapan yang tinggi. Semakin besar konsentrasi klorofil yang terkandung pada suatu tubuh air, maka semakin rendah pantulan pada panjang gelombang pendek (biru), namun pantulan pada spektrum hijau akan semakin tinggi. (Purkis dan Klemas, 2011). Padatan tersuspensi terdiri bahan organik dan anorganik. Padatan tersuspensi mempunyai peran penting dalam manajemen kualitas air karena terkait dengan total produksi primer dan fluks logam berat dan mikro-polutan. Material suspensi adalah polutan yang paling umum di permukaan air. Beberapa peneliti telah meneliti hubungan antara sedimen dan reflektansi. Sedimen yang tersuspensi meningkatkan cahaya dari air permukaan di inframerah tampak dan inframeah dekat berkisar dari spektrum elektromagnetik (Ritchie dan Charles, 1996). In situ dan pengukuran laboratorium telah menunjukkan bahwa cahaya air permukaan dipengaruhi oleh sedimen jenis, tekstur, warna, tampilan sensor dan sudut matahari, dan kedalaman air (Ritchie dan Frank, 1998 dalam Usali, 2010)
11
Teknik penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk memperkirakan dan memetakan konsentrasi tersuspensi materi di pedalaman air, memberikan informasi baik spasial dan temporal. Studi Penginderaan jauh dari materi sedimen telah menggunakan dari berbagai satelit seperti Landsat, SPOT, IRS, Zona Pesisir Warna Scanner (CZCS) dan SEA melihat Wide Field of View Sensor (SeaWiFS). Penelitian-penelitian tersebut telah menunjukkan hubungan signifikansi antara materi tersuspensi dan cahaya atau reflektansi baik dari single band atau kombinasi beberapa band di satelit. Dengan studi insitu, panjang gelombang antara 700 dan 800nm adalah yang paling mendekati untuk menentukan materi tersuspensi dalam air permukaan (Ritchie et al., 1976 dalam Usali, 2010). Penyerapan cahaya oleh sedimen umumnya jauh lebih kecil daripada klorofil, tetapi hamburan jauh lebih tinggi. dalam jangka dari panjang gelombang optik, penginderaan jauh dari terestrial lebar dibandingkan dengan penginderaan jauh dari badan air yang dibatasi untuk kisaran yang relatif sempit. Oleh karena itu, kisaran 400 sampai 850 nm adalah digunakan khusus untuk estimasi parameter kualitas air. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa TM4 (citra Landsat) memiliki hubungan yang baikdengan TSM, dan akan cocok untuk memperkirakan padatan tersuspensi (Dekker et al., 2002 dalam Usali 2010)
1.7.2. Citra SPOT 4 SPOT (Systeme Probatoire de l’observation de la Terre) adalah proyek kerjasama antara Prancis, Swedia, dan Belgia, di bawah koordinasi CNES (Center Nasional d’Etudes Spatiales) badan ruang angkasa Prancis. Pada bulan Desember 1990, SPOT 1 memasuki akhir cadangan aktifnya, selanjutnya digantikan oleh SPOT 2 yang diluncurkan pada 22 Januri 1990, kemudian diikuti oleh SPOT 3 pada 26 September 1993. SPOT 4 diluncurkan pada 24 Maret 1998 dan telah mengalami inovasi pada alat penyiamannya yaitu penambahan sebuah alat sensor untuk penyiam vegetasi. SPOT 4 merupakan Sistem SPOT generasi kedua. SPOT generasi kedua yang mempunyai dua macam instrumen instrumen, yaitu HRVIR dan VMI. HRVIR merupakan kependekan dari high resolution visible and
12
infrared yang berarti mampu memberikan citra resolusi tinggi di spektral tampak dan inframerah. Instrumen HRVIR memperbaiki instrumen HRV pada SPOT generasi pertama, dengan menambahkan satu saluran inframerah tengah (SPOT menyebutnya shortwave infrared, yang beroperasi pada julat panjang gelombang 1,58-1,75 um. Pada instrumen ini, moda pankromatik dengan resolusi 10 meter dihilangkan dan fasilitas ini diganti oleh kemampuan saluran 2 (merah, 0,61-0,68 um) untuk beroperasi pada dua moda resolusi : moda 20 meter dan moda 10 meter (Danoedoro, 2012) HRVIR terdiri dari 2 unit pencitraan pushbroom, sebuah versi perbaikan dari HRV. Spektral berkisar: B1 = 0,50-0,59 m, B2 = 0,61-0,68 um, B3 = 0,79-0,89 um, SWIR = 1,58-1,75 um (band tambahan dalam 20 m moda multispektral pada 1,58-1,75 um disediakan). Band pankromatik (0,510,73 um dari HRV pada SPOT-1, 2, 3) telah digantikan oleh Band B2, memungkinkan memiliki resolusi 20 meter. Geometri dan kemampuan resolusi hampir sama dengans HRV. Selain itu, dua sensor HRVIR dapat diprogram untuk akuisisi citra independen (melihat arah dari kedua sensor independen). Kedua instrumen HRVIR dilindungi polarisasi atau pancaran oleh sinar matahari secara langsung. SWIR detektor (1,58-1,75 m) menggunakan generasi baru array linier InGaAs / Polri (Cnes, 2004) SPOT 4 mampu merekam ulang wilayah yang sama antara 2 hingga 26 hari sekali. Hal ini merupakan kelebihan dibandingkan SPOT generasi pertama. Kedua macam sensor yang terpasang juga mampu beroperasi serentak merekam wilayah yang sama, namun dengan resolusi yang berbeda. Kemampuan ini disebut sebagai kemampuan aplikasi multiskala (Danoedoro, 2012) Band name
Spectral range
Spatial resolution
B1
0.50 - 0.59 µm
20 m
B2
0.61 - 0.68 µm
20 m
B3
0.79 - 0.89 µm
20 m
Pan
0.61 - 0.68 µm
10 m
13
SWIR
1.58 - 1.75 µm
20 m
Sensor
Pushbroom, deret linier
Sapuan
60 km +- 50,50
Nisbah
25 Mb/det
Revisit
26 hari
Orbit
822 km, sinkron matahari, inklinasi = 98,70, melintas ekuator pukul 10.30 pagi
Tabel 1.1. Spesifikasi SPOT 4 (Cnes, 2004) (Danoedoro, 2012)
Berikut Level dan processing citra satelit SPOT SPOT
Level
scene
1A
Level 1B
Level 2A
SPOT
Level
view
2B
Terkoreksi secara radiometrik terhadap distorsi karena perbedaan sensitivitas detektor dalam bekerja, umumnya ditujukan kepada pengguna yang ingin melakukan pengolahan geometris citra secara tersendiri Koreksi radiometrik seperti pada level 1A dan koreksi geometri terhadap efek sistematis seperti efek panorama rotasi dan kelengkungan bumi. Distorsi internal citra diperbaiki untuk kepentingan pengukuran jarak, sudut daerah permukaan terliput. Produk ini didesain khusus untuk foto interpretasi dan kajian tematik Koreksi radiometrik identik dengan level 1A dan koreksi dan koreksi geometrik dilakukan dalam proyeksi kartografis standar atau UTM WGS84 secara default, tetapi tidak terikat dengan titik kontrol tanah (GCP). Produk ini sesuai dengan suatu penggabungan citra dengan berbagai varian tipe data informasi geografis. Produk data sudah terbentuk proyeksi peta menurut titik kontrol tanah (GCP) atau berbagai pengukuran langsung dengan GPS dilapangan. Digunakan untuk kepentingan tertentu yang tidak mengutamakan perubahan atau
14
deformasi berbagai relief perbedaan medan. Level 3
Produk data dengan menggunakan proyeksi peta berdasarkan titik kontrol tanah dan DEM yang bereferensi 3D, serta telah terkoreksi dari pengaruhpengaruh kesalahan relief
(ortho)
Tabel 1.2. (www.spotimage.com/web dalam Sawaludin, 2013)
1.7.3. Sedimen Pengertian Sedimen adalah sekumpulan rombakan material: batuan, mineral, dan bahan organik yang mempunyai ukuran butir tertentu (Pethick, 1984).
Menurut Dackombe dan Gardiner (1983), kebanyakan sumber dari
material sedimen adalah daratan, dimana erosi dan pelapukan batuan berperan terhadap pengikisan daratan dan ditransportasikan ke laut. Sedimen pantai menurut
Pethick (1984) berasal dari tiga sumber, yaitu erosi sungai, erosi
pantai, dan erosi dasar laut, dimana pada kenyataannya justru sungai yang memberikan suplai yang relatif besar (kurang lebih 90%) terhadap transport sedimen yang terjadi di pantai. Sedimentasi yaitu proses pengendapan dari suatu material yang berasal dari angin, erosi air, gelombang laut serta gletsyer. material yang dihasilkan dari erosi yang dibawa oleh aliran air dapat diendapkan di tempat yang ketinggiannya lebih rendah (Yodei, 2008 dalam Pangestu, 2013). Sedimen merupakan
akibat
dari
hasil
sedimentasi, dimana sedimen
merupakan
material yang telah terkumpul akibat proses sedimentasi. Proses sedimentasi juga erat kaitannya dengan proses erosi akibat adanya pelapukan yang terjadi pada permukaan bumi. Karakteristik sedimen dan alur sungai adalah sifat alam bahwa air pada dataran terbuka tidak mengalir di atas tanah sebagai lapisan, melainkan akan
mengumpul
sebagai
suatu
sistem
saluran
alam,
sehinggadapat
didefinisikan bahwa sungai adalah suatu sistem saluran yang dibentuk oleh alam yang disamping mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung di dalam air sungai tersebut. Proses sedimentasi itu sendiri dalam konteks hubungan dengan sungai meliputi, penyempitan palung, erosi, transportasi
15
sedimentas (transportsediment), pengendapan (deposition), dan pemadatan (Compaction) dari sedimen itu sendiri. Karena prosesnya merupakan gejala sangat komplek, dimulai dengan jatuhnya hujan yang menghasilkan energi kinetic yang merupakan permulaan proses terjadinya erosi tanah menjadi partike halus, lalu menggelinding bersama aliran, sebagian akan tertinggal di atas tanah, sedangkan bagian lainnya masuk kedalam sungai terbawa aliran menjadi sedimen. Besarnya volume sedimen terutama tergantung pada perubahan kecepatan aliran, karena perubahan pada musim penghujan dan kemarau,
serta perubahan
kecepatan
yang
dipengaruhi
oleh
aktivitas
manusia. (kusnan, 2010 dalam Pangestu 2013). Angkutan sedimen dapat dibedakan menjadi sedimen dasar
dan
sedimen tersuspensi (Mulyanto, 2007 dalam Pangestu, 2013) 1. “Wash load“ atau sedimen cuci terdiri dari partikel lanau dan debu yang terbawa masuk kedalam sungai dan tetap tinggal melayang sampai mencapai laut, atau genangan air lainnya. Sedimen jenis ini hampir tidak
mempengaruhi sifat-sifat
terbanyak
dibanding
permulaan
musim
jenis-jenis hujan
sungai
meskipun
lainnya
jumlahnya
terutama pada
yang
saat-saat
datang. Sedimen ini berasal dari proses
pelapukan Daerah Aliran Sungai
yang terutama
terjadi pada musim
kemarau sebelumnya. 2. “Suspended load” atau sedimen layang terutama terdiri dari pasir halus yang melayang di dalam aliran karena tersangga oleh turbulensi aliran air. Pengaruh sedimen ini terhadap sifat-sifat sungai tidak begitu besar. Tetapi bila terjadi perubahan kecepatan aliran, jenis ini dapat berubah menjadi angkutan jenis ketiga. Gaya gerak bagi angkutan jenis ini adalah turbulensi aliran dan kecepatan aliran itu sendiri. Dalam hal ini dikenal kecepatan pungut atau “pick up velocity”. Untuk besar butiran tertentu bila kecepatan pungutnya dilampaui, material akan melayang. Sebaliknya, bila kecepatan aliran yang mengangkutnya mengecil di bawah kecepatan pungutnya, material akan tenggelam ke dasar aliran. 3. “Bed load”, tipe ketiga dari angkutan sedimen adalah angkutan dasar dimana material dengan besar butiran yang lebih besar akan bergerak
16
menggelincir atau translate, menggelinding atau rotate satu di atas lainnya pada dasar sungai; gerakannya mencapai kedalaman tertentu dari lapisan sungai. Tenaga penggeraknya adalah gaya seret drag force dari lapisan dasar sungai. Konsep transpor sedimen di pantai ada dua macam, yaitu transpor sedimen yang memiliki arah tegak lurus dengan garis pantai dan transpor sedimen yang memiliki arah rata-rata sejajar pantai. Untuk transpor sedimen yang memiliki arah tegak lurus dengan pantai dibagi lagi menjadi dua macam yaitu transpor sedimen menuju dan meninggalkan pantai (onshore - offshore transport). Sedangkan untuk transpor sedimen yang memiliki arah rata-rata sejajar pantai hanyalah satu macam saja yaitu transpor sepanjang pantai (longshore transport).
Gambar 1.3. Transpor Sedimen Dasar dan Muatan Sedimes Suspensi (Zein, 2013)
1.7.4. Muatan Padatan Tersuspensi Sedimen tersuspensi disini kemudian disebut sebagai TSS (Total suspended solid). Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel
anorganik.
Zat
padat
tersuspensi
merupakan
tempat
berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan
17
dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut antara lain dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan (Tarigan, 2003) Beberapa sumber dan komposisi beberapa partikulat pencemar yang umum berada di suatu perairan antaralain erosi tanah, lumpur merah dari pabrik aluminium oksida, padatan dari pencucian batubara, lubang tanahliat, kegiatan penimbunan sisa pengerukan, penyulingan pasir-pasir mineral, dan pabrik pencucian, kerikil dan kegiatan-kegiatan lainnya. Komposisi dan sifat partikulat pencemar dari erosi tanah berupa mineral tanah, pasir, tanah liat dan lumpur, sedangkan mineral sedimen, pasir, tanah liat, lumpur, detritus organik dihasilkan dari kegiatan penimbunan sisa pengerukan. Garam-garam besi yang dapat berubah menjadi besi terhidrasi dalam air laut merupakan pencemar dari lumpur merah dari pabrik aluminium oksida dan penyulingan pasir-pasir mineral (Tarigan, 2003)
1.7.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Transpor Sedimen Proses perpindahan sedimen merupakan proses yang sangat kompleks yang dipengaruhi banyak faktor (Asdak, 2002). Besarnya sedimen yang terangkut aliran air ditentukan oleh interaksi dari berbagai faktor berikut a. Besarnya sedimen yang masuk ke dalam sungai Besarnya sedimen yang masuk ke dalam sungai dipengaruji oleh faktor iklim, topografi, kondisi geologi, kondisi aliran permukaan, bentuk DAS, kerapatan aliran, vegetasi dan cara mengolah pertanian di daerah tangkapan air asal sedimen (Asdak, 2002) b. Karakteristik saluran dan kondisi aliran permukaan Sifat-sifat aliran permukaan yang mempengaruhi besarnya sedimen yang terangkut dalam air, yaitu jumlah, laju kecepatan an gejolak aliran permukaan c. Karakteristik fisik sedimen
18
Karakteristik fisik sedimen yang menentukan besar sedimen yang terangkut adalh jumlah dan ukuran butir sedimen (Asdak, 2002)
1.7.6. Muara Sungai Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan laut. Permasalahan di muara sungai dapat ditinjau di bagian mulut sungai (river mouth) dan estuari. Mulut sungai adalah bagian paling hilir dari muara sungai yang langsung bertemu dengan laut. Sedangkan estuari adalah bagian dari sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Muara
sungai
berfungsi sebagai pengeluaran/aliran debit sungai, terutama pada waktu banjir, ke laut. Selain itu muara sungai juga harus melewatkan debityang ditimbulkan oleh pasang surut, yang bisa lebihbesar dari debit sungai. sehingga muara sungai harus cukup lebar dan dalam. (Anasiru, 2006). Muara
sungai
dapat
dibedakan
dalam
tiga
kelompok, yang
tergantung pada faktor dominan yang mempengaruhinya. Ketiga faktor dominan
tersebut adalah gelombang, debit sungai dan pasang surut (Nur
Yuwono, 1994, dalam Pangestu, 2013) a. Muara yang didominasi gelombang laut. Gelombang
besar
yang
terjadi
pada
pantai berpasir
dapat
menimbulkan angkutan (transpor) sedimen, baik dalam arah tegak lurus maupun sejajar atau sepanjang pantai. Angkutan sedimen tersebut dapat bergerak masuk ke muara sungai dan karena di daerah tersebut kondisi gelombang sudah mengendap. Semakin
besar
tenang
gelombang
maka semakin
sedimen
akan
besar angkutan
sedimen dan semakin banyak sedimen yang mengendap di muara. b. Muara yang didominasi debit sungai Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup besar yang bermuara di laut dengan gelombang relatif kecil Pada waktu air surut sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di laut. Selama periode sekitar titik balik di mana kecepatan aliran kecil, sebagian suspensi mengendap. Pada saat dimana air mulai pasang, kecepatan aliran bertambah besar dan sebagian suspensi dari laut
19
masuk kembali ke sungai bertemu dengan sedimen yang berasal dari hulu. Selama periode dari titik balik ke air pasangmaupun air surut kecepatan
aliran
bertambah sampai
mencapai
maksimum
dan
kemudian berkurang lagi. Dengan demikian dalam satu siklus pasang surut jumlah sedimen yang mengendap lebih banyak daripada yang tererosi, sehingga terjadi pengendapan di depan mulut sungai. c. Muara yang didominasi pasang surut Apabila tinggi pasang surut cukup besar, volume air
pasang
yang
masuk ke sungai sangat besar. Air tersebut akan berakumulasi dengan air dari hulu sungai. Pada waktu air surut, volume air yang sangat besar tersebut mengalir keluar dalam periode waktu tertentu yang tergantung pada tipe pasang surut. Dengan demikian kecepatan arus selama
air
surut
tersebut
besar,
yang
cukup potensial untuk
membentuk muara sungai. Muara sungai tipe ini berbentuk corong atau lonceng.
Gambar 1.4. Bentuk delta dan muara di Pulau Jawa (Ongkosongo, 2007)
20
1.7.7. Uji statistik T test Statistik parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif rata-rata dua sampel dengan data berbentuk interval atau rasio adalah menggunakan t-test (Sugiyono,2007). Uji t-test dapat digunakan pada data yang berkorelasi dan data yang independen. Data berkorelasi berarti sampel-sampel yang akan dibandingkan tersebut
saling berhubungan
sedangkan data yang independen berarti sampel-sampel yang akan diuji tidak saling memengaruhi. Persamaan uji t-test untuk hipotesis komparatif dua sampel yang berkorelasi : −
= +
−2
√
√ ............(1)
Keterangan :
=
rata-rata sampel 1 dan sampel 2
simpangan baku sampel 1 dan sampel 2
=
= varians sampel 1 dan sampel 2
r
= korelasi antar dua sampel
Rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen ada dua macam. Perbedaan dua rumus ini dilihat dari sampel dan varians yang akan diuji. Persamaan uji t-test untuk komparatif dua sampel yang independen tipe separated varians dan polled varians : −
+ ................(2)
=
− (
−
)
+( +
− −2
)
1 1 ( + ) ........(3)
Penentuan tipe uji statistik t-test untuk komparatif dua sampel yang berindependen menggunakan syarat jumlah sampel (n) dan homogenitas varians. Persamaan untuk menguji homogenitas varians dengan uji F :
21
=
............(4)
Petunjuk untuk memilih rumus t-test : a. bila n1 = n2 dan varians homogen maka rumus (2) dan rumus (3) keduanya dapat digunakan b. bila n1≠ n2 dan varians homogen maka rumus yang digunakan adalah rumus (3) yaitu polled varians, dengan derajat kebebasan (dk) = n1 + n2 -2 c.
bila n1 = n2 dan varians tidak homogen maka rumus (2) dan rumus (3) dapat digunakan dengan dk = n1 -1 atau dk = n2 -1
d. bilai n1≠ n2 dan varians tidak homogen maka rumus yang digunakan adalah rumus (2) yaitu separated varians 1.7.8. Regresi Linier Sederhana Analisis
regresi
merupakan
analisis
yang
digunakan
memprediksikan seberapa jauh perubahan nilai variable dependen, bila
untuk nilai
variabel independen diubah-ubah (Sugiyono, 2007). Salah satu jenis analisis regresi adalah regresi linear sederhana. Hubungan antar variabel dapat berupa hubungan linier maupun non linier. Regresi sederhana, adalah bentuk regresi dengan model yang bertujuan untuk mempelajari hubungan antara dua variabel, yakni variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat). Jika ditulis dalam bentuk persamaan, model regresi sederhana adalah y = a + bx ........(5) dimana, y adalah variabel tak bebas (terikat), x adalah variabel bebas, a adalah penduga bagi intercept (α), b adalah penduga bagi koefisien regresi (β). Atau dengan kata lain α dan β adalah parameter yang nilainya tidak diketahui sehingga diduga melalui statistik sampel. (Sambas dan Maman, 2012)
22
1.8.
Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian mengenai sedimen tersuspensi telah dilakukan sebelumnya, baik dengan cara pengembanagn algoritma ataupun dengan menggunakan algoritma yang telah ada atau dikembangkan sebelumnya. Beberapa penelitian yang mengembangkan algoritma dengan metode bio optical model adalah Dekker, Budhiman dan Doxaran. Dekker dan Peters pada tahun 2002 dengan penelitiannya yang berjudul Analytical Algoritms for Lake Water TSM estimation for retrospective analyses of TM and SPOT senosr data, yang dilakukan di Pesisir Banjarmasin, Indonesia, mencoba mengembangkan algoritma yang tepat dengan pendekatan bio optical model. Bio optical model merupakan metode yang menghubungkan antara sub surface-irradiance R(0-) dengan inherent optical properties (IOP). IOP sendiri merupakan nilai konsentrasi parameter didasarkan pada prinsip cahaya yang mengalami serapan (absorbted)
dan
cahaya
yang
dipantulkan
kembali
ke
permukaan
(backscattered) perairan tersebut. Dengan menggunakan band 2 dan 3 pada Landsat TM dan band 1 dan 2 pada SPOT, maka didapatkan algoritma untuk estimasi konsentrasi TSM, dimana melalui analisis regresi antara irradiance reflectan dan TSM dilapangan didapatkan hasil R2 = 0,99. Doxaran (2002) dengan penelitiannya yang berjudul A reflectance band ratio used to estimate suspended matter concentrations in sediment-dominated coastal waters, dan berlokasi di Estuari Gironde (Prancis). Dalam penenlitian ini, Doxaran mengembangkan algoritma untuk konsentrasi TSM melalui pendekaan bio optocal model. Citra yang digunakan adalah SPOT HRV dan Landsat ETM+. Data optical berupa seperti upwelling dan downwelling radian yang
diukur
dari
lapangan
menggunakan
alat
Spectron
SE-590
Spectroradiameter, dan dari data tersebut dapat dihitung nilai remote sensing reflectan. Melalui analisis regresi antara TSM dan nilai remote sensing reflectance didapatkan suatu algoritma dengan nialai R2=0,97. Pantulan inframerah dekat (850 nm) mempunyai korelasi lemah dengan nilai TSM, sedangkan perbandingan pantulan inframerah dekat (859 nm) dengan hijau (550 nm) mempunyai korelasi yang kuat dengan nilai TSM
23
Beberapa penelitian mengenai estimasi konsentrasi TSM menggunakan algoritma yang sudah dikembangkan diantaranya, Wiwin Ambarwulan, Widiatmaka (2002) yang berjudul “Penggunaan Citra SPOT·HRV Melalui Pendekatan Statistik Untuk Pemetaan Bahan Tersuspensi Di Teluk Banten”. Ambarwulan dan Widiatmaka melakukan pendugaan terhadap bahan tersuspensi di Teluk Banten melalui pendekatan statistik, yaitu dengan adanya korelasi antara TSM yang diukur in situ di lapang dengan reflektan pada citra satelit. Kelebihan utama dari pendekatan statistik ini adalah mudah dilakukan, dan tidak memerlukan pengetahuan yang mendalam mengenai sifat-sifat optik inheren (inherent optical properties). Citra yang digunakan adalah SPOT-HRV tahun 1990, 1996, dan 1997. Dengan menggunakan data sedimen in situ dari peneliti sebelumnya, yaitu Wigyowinoto dan Niaz di tahun yang sama dengan tahun pereolehan citra, maka dapat dilakukan analisis regresi linier antara nilai reflectan citra dengan hasil lapangan. Dengan koreksi citra sampai tahap koreksi atmosferik. Dari ketiga citra yang digunakan, hasil regresi terbaik ada pada band 2 SPOT-HRV dengan nilai R2 yang paling mendekati 1. Penelitian
lainnya
yang
menggunakan
algoritma
yang
telah
dikembangkan adalah Bambang Semedi, Arif Zainul Fuad dan Syarif Budhiman (2013) yang mengadakan penelitian di perairan timur Sidoarjo akibat material lumpur lapindo yang terbawa ke laut, menerapkan algoritma Budhiman yang dikembangkan pada tahun 2004. Data yang digunakan adalah Landsat 7 ETM+, Landsat 8 dan SPOT 4 secara multitemporal dai tahun 2007 sampai 2011, serta data sekunder seperti curah hujan, pasang surut dan arus. Citra yang dikoreksi sampai tahap atmosferik, yaitu dengan mencari nilai reflektan dari suatu perairan di laut dalam (deep water). Data in-situ lapangan yang akan diambil dilakukan validasi terlebih dahulu dengan berpedomana pada klasifikasi unsupervised, memilih data yang tidak terpengaruh awan dan didapatkan letak pengambilan sample untuk validasi. Hasilnya adalah berupa peta sebaran TSM serta grafik hubungan dengan data curah hujan dan pasang surut.
24
Penelitian selanjutnya yang dilakukan di luar Indonesia adalah penelitian yang dilakukan oleh Vilmaliz Rodríguez-Guzmán and Fernando Gilbes-Santaella (2009) untuk monitoring dan estimasi muatan sedimen tersuspensi dengan menggunakan citra Modis 250 m, melalui validasi dan pengembangan algoritma di Teluk Mayaguez, Puerti Rico. Penelitian ini menggunakan pendekatan empiris antara nilai reflectan band 1 pada Modis dan data insitu reflectan yang diukur dengan spectroradiometer. Hasilnya didapatkan persamaan yang signifikan antara TSS dan nilai reflectan pada 645 nm dengan R2=0,73. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Wiweka dan Arizona (2010) mengenai analisis sedimentasi di muara Kali Porong menggunakan citra Aster dan Landsat. Estimasi TSM melalui algoritma yang sudah dikembangkan, yaitu algoritma Lemigas (1997) yang didasarkan pada Digital Number (DN) dan algoritma Jing Li (2008) yang didasarkan pada nilai reflektan. Hasil penelitian ini adalah algoritma Lemigas mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.605 terhadap data lapangan, untuk algoritma Jing Li mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.827 terhadap data lapangan. Klasifikai sedimen di muara Kali Porong pada penenlitian ini berkisar antara 50-200 mg/l Berikut ini disajikan tabel mengenai penelitian mengenai estimasi muatan sedimen tersuspensi yang sudah ada sebelumnya.
25
Nama A. G.Dekker , R. J. Vos & S.W.M.Peters
Tahun 2002
Judul Data Analytical Landsat TM algorithms of dan SPOT water TSM estimation retrospective analyses and SPOT sensor data
Tujuan mengembangkan algoritma yang tepat dengan pendekatan bio optical model untuk estimasi TSM di Pesisir Banjarmasin, Indonesia dan memetakan sebarannya.
D.Doxaran, J.M.Froidefond, dan P.Castaing
2002
A reflectance band ratio used to estimate suspended matter concentrations in sedimentdominated coastal waters
Landsat ETM+ dan SPOT HRV
mengembangkan algoritma untuk konsentrasi TSM melalui pendekaan bio optocal model di Estuari Gironde (Prancis) dan memetakan sebarannya
Wiwin Ambarwulan, dan Widiatmaka
2002
Penggunaan Citra SPOT·HRV Melalui Pendekatan Statistik Untuk Pemetaan Bahan Tersuspensi Oi Teluk Banten
SPOT HRV
Memanfaatkan citra SPOT HRV untuk penndugaan konsentrasi TSM di Teluk Banten menggunakan pendekatan statistik
Metode Menggunakan bio optical model, yaitu melalui hubungan antara sub surface-irradiance R(0-) dengan inherent optical properties (IOP), dengan menggunakan band 2 dan 3 pada Landsat TM dan band 1 dan 2 pada SPOT Citra yang digunakan adalah SPOT HRV dan Landsat ETM+. Data optical seperti upwelling dan downwelling radian yang diukur dari lapangan menggunakan alat Spectron SE-590 Spectroradiameter, dan dari data tersebut dapat dihitung nilai remote sensing reflectan. Lalu dilakukan analisis antara nilai tersebut dengan TSM insitu. Melalui pendekatan statistik, yaitu dengan adanya korelasi antara TSM yang diukur in situ di lapang dengan reflektan pada citra satelit. Dengan menggunakan data sedimen in situ dari peneliti sebelumnya, yaitu wigyowinoto dan Niaz di tahun yang sama dengan tahun pereolehan citra.
Hasil Algoritma untuk Estimasi TSM pada SPOT dan Landsat TM 5 dengan fungsi eksponensial serta Peta sebaran sedimen dari algoritma tersebut dimana hasinya adalah antara 4-75 mg/l.
Pantulan inframerah dekat (850 nm) mempunyai korelasi lemah dengan nilai TSM, sedangkan perbandingan pantulan inframerah dekat (859 nm) dengan hijau (550 nm) mempunyai korelasi yang kuat dengan nilai TSM
hasil regresi terbaik ada pada band 2 SPOT-HRV dengan nilai R2 yang paling mendekati 1. Dan peta sebaran TSM dari algoritma sebeblumnya
26
Nama Bambang Semedi, Arif Zainul Fuad dan Syarif Budhiman
Tahun 2013
Judul Analisa sedimen tersuspensi (total Suspended Matter) di perairan timur Sidoarjo menggunakan citra satelit Landsat dan SPOT
Data Landsat 7 ETM+ Landsat 8 SPOT 4
Vilmaliz RodríguezGuzmán and Fernando Gilbes-Santaella
2009
Using MODIS 250 m Imagery to Estimate Total Suspended Sediment in a Tropical Open Bay Analisa Sedimentasi di Muara kali Porong Akibat pembuangan lumpur lapindo menggunakan data citra satelit aster dan spot
Modis
Arizona, 2010 Maulidiyan pahlevi, dan Wiweka
Aster SPOT
Tujuan Memetakan TSM dengan algoritma Budhiman (2004) dan menghubungkan pola TSM dengan curah hujan dan arus dengan memanfaatkan Landsat 7 ETM+, Landsat 8 dan SPOT 4 secara multitemporal dai tahun 2007 sampai 2011 Monitoring dan estimasi muatan sedimen tersuspensi menggunakan citra Modis di lingkungan pesisir tropis
Metode Citra yang dikoreksi sampai tahap atmosferik, yaitu dengan mencari nilai reflektan dari suatu perairan di laut dalam (deep water) lalu dimasukka algoritma Budhiman, dan dilakukana analisis regresi linier antara hasil pengolahan citra dengan data insitu.
Hasil peta sebaran TSM serta grafik hubungan dengan data curah hujan dan pasang surut.
Menggunakan pendekatan empiris antara nilai reflectan band 1 pada Modis dan data insitu reflectan yang diukur dengan spectroradiometer
Mengetahui sebaran sedimentasi tersuspensi di Muara Kali Porong melalui algoritma yang sudah dikembangkan
Algoritma Jing Li dan Lemigas, lalu dilakukan uji validasi dengan hasil lapangan
Persamaan yang signifikan antara TSS dan nilai reflectan pada panjang gelombang 645 nm dengan R2=0,73. Serta peta sebaran TSM dengan berbagai algoritma yang sudah dihasilkan tersebut algoritma Lemigas mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.605 terhadap data lapangan, untuk algoritma Jing Li mempunyai nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.827 terhadap data lapangan. Klasifikai sedimen di muara Kali Porong pada penenlitian ini berkisar antara 50-200 mg/l
Tabel 1.3. beberapa penelitian tentang sedimen suspensi (Pengolahan data,2015) 27
1.9.Kerangka Pemikiran
Banjir yang sering terjadi bahkan semakin besar tiap tahunnya di Kecamatan Juwana salah satu penyebabnya adalah pendangkalan di muara sungai Juwana akibat dari endapan sedimen. Material padatan tersuspensi (TSS) atau sedimen yang melayang di perairan lama kelamaan akan menjadi endapan, karena material inilah yang merupakan pembentuk awal endapan sedimen. Material dari padatan tersuspensi yang ada di muara sungai Juwana berasal dari aliran sungai yang melewati di DAS Juwana baik dari hulu ke hilir. Sungai Juwana bertemu dengan Sungai Serang/ Lusi yang berasal dari Waduk Kedung Ombo. Wilayah sekitar waduk ini mempunyai formasi geologi berupa batu gamping dari formasi Bulu. Sungai Juwana juga mempunyai anak sungai seperti Sungai Glonggong yang berhulu di Todanan Blora, Sungai Jodag berhulu di Pucakwangi, dimana keduanya mempunyai jenis tanah lempung dengan formasi batuan lempung dan sedimit batu pasir. Anak sungai lainnya adalah Sungai Wates di Sukolilo dengan formasi geologi berupa batu gamping dan mempunyai jenis tanah , dan Sungai Lodan, dari sebelah barat mengalir sungai sungai kecil yang berasal dari Waduk Seloromo di Gembong yang berada di lereng Muria,wilayah ini merupakan formasi batuan tuff muria dengan jenis tanah andosol. Hulu dari sungai Juwana sendiri berada di Kecamatan Undakan Kudus dengan jenis tanah aluvial. Batuan dan tanah pada wilayah-wilayah tersebut akan mempengaruhi material sedimen yang dibawah oleh aliran sungai yang kemudian diendapkan di muara. Setiap material padatan tersuspensi yang berada di perairan mempunyai kepekaan atau pantulan spektral yang berbeda-beda pada band-band di citra multispektral. Ekstraksi data
pengindraan
jauh
terutama
penggunaan
citra
multipsektral dapat digunakan untuk analisis fenomena muara sungai tersebut. Adanya data multispektral, seperti contohnya citra SPOT 4, maka dengan menggunakan suatu algoritma yang telah dikembangkan sebelumnya yang memanfaatkan
band-band
yang
dimilki
oleh
citra
tersebut
untuk
mengkonversinya ke dalam bentuk konsentrasi muatan sedimen. Band-band yang dimanfaatkan terutama band yang peka terhadap obyek air. Namun, penggunaan suatu algoritma harus diuji
melalui survei lapangan dengan 28
mengambil sample yang mewakili tiap konsentrasi sedimen, dan mengolah sample tersebut di laboratorium. Selain penggunaan persamaan yang telah dikembngkan sebelumnya, model baru juga dapat dibangun dengan analisis antara transformasi perbandingan band dan data insitu. Maka, diperoleh peta sebaran sedimentasi tersuspensi di sekitar muara sungai Juwana, Pati. Berikut ini diagram (gambar 1.5) dari kerangka pemikiran penelitian ini.
29
Endapan sedimen yang terus berkembang
Padatan tersuspensi (TSS) sebagai material awal pembentuk sedimen
Kebutuhan informasi akan sebaran sedimen tersuspensi
Data TSS Lapangan
Material padatan tersuspensi yang dapat dideteksi dengan citra multispektral
Citra SPOT 4 dengan 4 band (biru, merah, inframerah dekat, dan inframerah tengah)
Pre processing citra
Pemakaian persamaan yang telah dikembangkan (Jing Li dan Budhiman)
Band tunggal dan Rasio band
Model muatan sedimen
Perbandingan persamaan dan data lapangan
Persamaan sesuai
Persamaan tidak sesuai
Peta distribusi muatan sedimen tersuspensi (TSS)
Analisis Pola Sebaran TSS
Gambar 1.5. Kerangka Pemikiran
30