BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat berakibat pada
tingginya tingkat pemenuhan kebutuhan terhadap lahan. Kecenderungan manusia untuk memanfaatkan lahan tanpa memperhatikan faktor daya dukung lahan dapat memunculkan berbagai bentuk bahaya. Pemanfaatan lahan di lereng-lereng perbukitan terutama lereng berbentuk cembung mengganggu kestabilan lereng dan memicu terjadinya bencana longsor. Longsor adalah gerakan massa tanah dan batuan menuruni atau keluar dari lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut (Sharpe, 1938, dalam Kardono, 2008). Longsor merupakan bencana geologi yang cukup sering terjadi di Indonesia, terutama selama musim hujan di kawasan perbukitan dan pegunungan. Bencana ini tidak hanya menghancurkan lingkungan hidup serta sarana dan prasarana, tetapi juga menimbulkan korban jiwa. Menurut catatan BNPB selama 2008, telah terjadi 112 kejadian bencana longsor dan dampak yang ditimbulkan juga tergolong besar (BNPB, 2009). Menurut Zaruba dan Mencl (1982) dalam Goenadi (2003) longsor secara alami meliputi morfologi permukaan bumi, litologi, struktur geologi, proses geomorfologi, dan akumulasi aliran sungai. Selain faktor alami, proses longsor juga dipicu oleh aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng untuk jalan, pemotongan lereng, dan penambangan. Di Indonesia, salah satu provinsi yang sering terjadi longsor yaitu Jawa Tengah (Kardono, dkk, 2008). Secara umum, daerah rawan longsor memiliki ciri bentuklahan telah mengalami proses geomorfologi tahap lanjut. Dominasi kondisi relief yang kasar (bergelombang hingga bergunung) terutama daerah bagian hulu dan tengah daerah aliran sungai.
1
Salah satu wilayah yang menarik untuk dijadikan objek kajian longsor di wilayah Jawa Tengah ialah DAS Kodil. Secara administratif, DAS Kodil mencakup tiga wilayah kabupaten yaitu Purworejo, Magelang, dan Wonosobo. Secara makro, DAS Kodil memiliki morfologi bergelombang hingga perbukitan sehingga proses-proses penurunan permukaan akibat proses longsor lahan berjalan intensif (Sartohadi, 2008). Kejadian longsor cukup signifikan di DAS Kodil terjadi pada tanggal 16 Januari 2012 dengan jenis longsorlahan (Aditya, 2012). Longsor tersebut terjadi di Desa Kalijambe, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Longsor yang terjadi mengakibatkan kerugian berupa rusaknya enam rumah serta memutus akses antara Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Banyaknya intensitas kejadian longsor yang terjadi di DAS Kodil menjadi alasan yang kuat akan perlunya penelitian terkait longsor, terutama pola distribusi spasial longsor. Pola spasial distribusi titik longsor akan bermanfaat sebagai data dasar untuk menentukan faktor pengontrol utama terjadinya longsor di DAS Kodil. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian yang berjudul: “ANALISIS
POLA
SPASIAL
DISTRIBUSI
LONGSOR
UNTUK
PENENTUAN FAKTOR PENGONTROL UTAMA LONGSORAN LAHAN DI DAS KODIL PROVINSI JAWA TENGAH”.
1.2.
Perumusan Masalah Penelitian tentang pola spasial distribusi longsor dan hubungannya
dengan longsor secara alami maupun akibat aktivitas manusia digunakan untuk mengetahui faktor pengontrol utama terjadinya longsor. Penelitian yang mengkaji tema tersebut belum pernah ada di daerah penelitian. Pemahaman tentang faktor pengontrol utama sebagai data dasar untuk membuat arahan pengelolaan lahan pada daerah rawan longsor. DAS Kodil memiliki potensi kejadian longsor. Kejadian longsor merupakan fenomena spasial yang dapat dinilai dengan menggunakan model statistik spasial berupa pola distribusi spasial metode analisis tetangga terdekat (Bintarto dan Hadisumarno, 1979). Jenis pola spasial distribusi longsor dapat
2
digunakan untuk menganalisis faktor pengontrol utama terjadi longsor dari longsor secara alami maupun faktor aktivitas manusia. Pengolahan data secara spasial menggunakan analisis statistik spasial belum banyak dilakukan. Analisis statistik spasial dapat membantu dalam memberikan informasi yang tidak dapat terlihat jelas pada peta, contohnya adalah pola spasial distribusi titik longsor. Metode yang digunakan yaitu analisis tetangga terdekat. DAS Kodil memiliki tipe dan pola penggunaan lahan yang memotong lereng sehingga berdampak terjadinya gerakan massa tanah salah satunya longsor. Penggunaan lahan memiliki asosiasi dengan jejaring jalan sebagai akses dalam pemenuhan kebutuhan terhadap lahan. Jejaring jalan sebagai hasil dari aktivitas manusia akan memberikan dampak negatif jika dalam pembuatannya tidak memperhatikan kondisi relief di lingkungan sekitarnya. Penggunaan lahan dan jejaring jalan sebagai parameter longsor memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan potensi longsor di DAS Kodil. Morfologi lereng yang bergelombang hingga bergunung, tekstur tanah berupa lempung hingga lempung berdebu, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya mendorong terjadinya longsor yang berulang. Maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, antara lain: 1.
Bagaimana pola spasial distribusi titik longsor (slide dan slump) dan pola spasial longsor secara umum di DAS Kodil?
2.
Bagaimana hubungan pola spasial distribusi titik longsor (slide dan slump) dengan parameter longsor di DAS Kodil?
1.3. 1.
Tujuan Penelitian Menganalisis pola spasial distribusi longsor (slide dan slump) dan parameter longsor dinamis-statis di DAS Kodil, Provinsi Jawa Tengah,
2.
Mempelajari parameter longsor serta hubungannya dengan pola spasial distribusi longsor (slide dan slump) di DAS Kodil, Provinsi Jawa Tengah.
3
1.4. 1.
Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang pola spasial longsor (slide dan slump) di daerah yang sering mengalami kejadian longsor.
2.
Menerapkan metode stastistik spasial sebagai pemecahan penelitian geomorfologi terapan.
3.
Menjadi sumber tertulis dan pembanding bagi penelitian-penelitian berikutnya.
1.5.
Hasil yang Diharapkan
1.
Pola spasial distribusi longsor dan parameter longsor.
2.
Hubungan pola spasial distribusi longsor dan parameter longsor.
3.
Faktor pengontrol utama longsoran lahan yang terjadi di DAS Kodil.
1.6.
Tinjauan Pustaka
1.6.1.
Bentuklahan Permukaan lahan banyak memilki keanekaragaman dalam: kesan
topografi, batuan/struktur, dan proes yang terdapat pada bentuklahan tersebut. Keanekaragaman ini memberikan sifat dan watak yang bervariasi pula. Oleh karena itu, dalam kajian geomorfologi perlu dilakukan pengelompokan agar sifat dan watak setiap kelompok dapat dibedakan secara jelas/nyata. Kelompok tersebut dinamakan bentuklahan (Verstappen, 1977 dalam Marfai, 2003). Bentuklahan merupakan kenampakan medan yang terbentuk oleh proses-proses alam yang mempunyai komposisi dan serangkaian karakteristik fisik dan visual dalam julat waktu tertentu dimanapun bentuklahan itu dijumpai (Zuidam, 1983). Bentuklahan merupakan konfigurasi nyata permukaan bumi yang terbentuk dari proses geomorfologi, litologi penyusun, ruang, dan tempat tertentu. Bentuklahan sangat terkait dengan proses geomorfologi dan struktur geologinya (Thornburry, 1969). Jadi dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek penyusun bentuklahan adalah morfologi, proses, morfokronologi, dan morfostruktur. Morfologi merupakan aspek utama penciri bentuklahan. Morfologi suatu daerah akan berpengaruh terhadap kedudukan material (tanah dan batuan) karena
4
kedudukan massa tanah dan batuan akan mengikuti topografi permukaan. Proses geomorfologi merupakan proses yang mengakibtatakan perubahan bentuklahan dalam waktu pendek serta proses terjadinya bentuklahan mencakup pula morfogenesis. Struktur batuan berkaitan dengan susunan, kemiringan, dan jenis batuan penyusun di bawah permukaan bentuklahan. Hal ini akan berpengaruh terhadap arah dan kecepatan meterial permukaan, kedudukan, dan tipe gerakan massa yang akan ditimbulkan.
1.6.2.
Pemetaan Bentuklahan Survei dan pemetaan geomorfologi merupakan salah satu terapan
geomorfologi
(Verstappen,
1977).
Survei
dan
pemetaan
geomorfologi
mendeskripsikan secara genetis bentuklahan dan proses-proses yang terjadi di masa lalu maupun masa sekarang dan hubungannya dengan bentuklahan dalam susunan keruangan (Zuidam, 1983). Pemetaan bentuklahan dimaksudkan agar pembangunan dan pengembangan suatu wilayah dapat berjalan efisien dan sesuai dengan syarat-syarat kelestarian lingkungan (Dibyosaputro, 2001). Dengan demikian, pemetaan bentuklahan merupakan salah satu hasil dari pemetaan geomorfologi dan terapannya.
1.6.3.
Longsor Longsor adalah gerakan massa tanah dan batuan menuruni permukaan
lereng yang miring (Zaruba, 1982). Gerakan massa tanah dan batuan ini akan cepat terjadi jika di daerah bertopografi bergelombang hingga berbukit tidak memiliki penutup lahan berupa tanaman keras. Tanaman keras mampu menyerap curah hujan sehingga mencegah terjadinya limpasan permukaan (overland flow) yang melebihi daya infiltrasi tanah di daerah bertopografi bergelombang hingga berbukit. Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Sedangkan menurut
5
Dwiyanto (2002), tanah longsor adalah suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan (debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun lereng yang dibentuk dengan cara penggalian atau penimbunan. Banyak faktor pendorong terjadinya longsor seperti gaya gravitasi, tahap perkembangan lembah, pola dan struktur lereng, struktur litologi penyusun, tanah, dan aktivitas manusia yang mempengaruhi penutup dan penggunaan lahan (Zhang, 2009). Namun tidak semua faktor tersebut secara langsung mempengaruhi terjadinya longsor di beberapa daerah. Faktor dominan dapat dilihat dari jenis longsor di daerah penelitian.
1.6.4.
Parameter Longsor Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada
kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut. Faktor penyebab longsor dapat disimpulkan sebagai gambaran dari lingkungan fisik di daerah penelitian. Tabel 1.1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Longsor
No 1 Faktor Pemicu Dinamis
2
Faktor Pemicu Statis
a. b. c. a. b. c. d.
Parameter Kemiringan lereng Curah hujan Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) Jenis Batuan dan Struktur Geologi Kedalaman Solum Tanah Permeabilitas Tanah Tekstur Tanah
Sumber: Goenadi, 2003
Lingkungan fisik merupakan dimensi lingkungan yang dapat dilihat secara kasat mata tanpa menggunakan alat apapun dan dapat dengan mudah dalam mengidentifikasi fenomena alam yang terjadi (Purwadhi, 2008). Lingkungan fisik terkait dengan kondisi lingkungan yang nyata seperti bentuklahan, kemiringan sudut
lereng, akumulasi
aliran sungai
(flow
6
accumulation), penggunaan lahan, dan jejaring jalan. Lingkungan fisik mampu mengidentifikasi fenomena alam yang terjadi seperti kejadian longsor. Sudut lereng merupakan faktor penting yang mempengaruhi kejadian longsor (Arifianti, 2009). Sudut lereng dapat diukur melalui analisis peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 dan dilakukan pengecekan lapangan (Sartohadi, 2012). Semakin curam sudut lereng suatu area, semakin besar pula kemungkinan terjadi longsor. Tapi tidak selalu lereng atau lahan miring berpotensi untuk longsor. Menurut Lindgren, 1985, penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan (permukiman, perkotaan, pesawahan). Semua jenis penggunaan atas lahan oleh manusia, mencakup penggunaan untuk pertanian hingga lapangan olahraga, rumah mukim, hingga rumah makan, rumah sakit hingga kuburan. Aktivitas manusia bersifat dinamis dalam memanfaatkan suatu lahan. Dengan kata lain, pemanfaatan lahan tidak akan berubah dalam jangka pendek kecuali jika terjadi bencana atau ada suatu kepentingan tertentu. Maka, kedinamisan aktivitas manusia dalam penggunaan lahan mampu menyebabkan terjadi beberapa proses eksternal geomorfologi yaitu longsor. Sebagai contoh, penggunaan lahan sawah. Sawah memberi kesempatan air hujan meresap ke dalam profil tanah yang lebih besar sehingga rawan longsor lahan daripada lahan tegalan dan kebun campuran (Priyono, 2012). Akumulasi aliran sungai (accumulation flow direction) merupakan kumpulan dua atau lebih aliran yang membentuk hubungan antar sungai utama dengan sungai yang merupakan orde kecil dengan segala proses geomorfologi yang menyertainya (Seyhan, 1990). Penentuan orde sungai menggunakan metode Strahler, 1957. Orde sungai akan meningkat ketika orde yang sama bertemu. Maka, pertemuan dua orde pertama akan menghasilkan orde kedua dan pertemuan dua orde kedua akan menghasilkan orde ketiga. Penggabungan dua aliran sungai yang berbeda orde tidak akan menghasilkan orde baru yang lebih tinggi. Contohnya, pertemun orde satu dan orde dua tidak akan menghasilkan orde tiga tapi akan mempertahankan orde yang paling tinggi. Metode Strahler ialah metode yang sering digunakan dalam penentuan orde sungai pada jaringan
7
sungai. Karena metode ini hanya meningkatkan orde pada pertemuan orde yang sama, metode Strahler tidak menjumlahkan semua orde dan menjadi kurang tepat jika menambahkan atau menghilangkan orde sungai.
Gb. 1.1. Penamaan orde sungai metode Strahler, 1957
Jejaring jalan ialah kumpulan jalan yang sengaja dibuat oleh manusia sebagai akses dalam pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier (Ullman, 1989). Akumulasi aliran sungai dan jalan sebagai bagian dari lingkungan fisik yang dapat mengidentifikasi kejadian dan tipe longsor baik longsor yang pernah terjadi ataupun longsor aktual.
1.6.5.
Analisis Pola Spasial Distribusi Pola terkait dengan susunan keruangan obyek. Sedangkan keruangan
ialah salah satu pendekatan disiplin ilmu geografi. Pola biasanya terkait juga dengan adanya pengulangan bentuk umum suatu atau sekelompok obyek dalam ruang. Analisis keruangan adalah analisis lokasi yang menitikberatkan pada 3 unsur geografi yaitu jarak (distance), kaitan (interaction), dan gerakan (movement) (Bintarto: 1979). David Ebdon (1985) mengatakan bahwa adanya pola pada distribusi spasial fenomena pada permukaan bumi merupakan pendorong pokok bagi banyak pekerjaan ahli geografi. Para ahli geografi membahas mengenai pola kejadian longsor, pola penggunaan lahan, dan pola drainase. Dalam setiap kasus, pola menekankan adanya keteraturan spasial, yang kemudian hal tersebut dilihat sebagai tanda dari bekerjanya sebuah proses yang teratur.
8
Pengenalan dan pengukuran pola merupakan hal yang sangat penting bagi para ahli geografi, meskipun teknik untuk hal tersebut masih belum berkembang dengan baik. Salah satu teknik yang telah digunakan secara luas adalah nearest-neighbour analysis. Analisis tetangga terdekat (nearest-neighboor analysis) adalah teknik yang dikembangkan oleh ahli lingkungan hidup yaitu Clark dan Evans (1954), yang dirancang secara khusus untuk pengukuran pola, dalam artian susunan dari distribusi satu kumpulan titik dalam 2 atau 3 dimensi. Inti dari teknik ini cukup jelas. Teknik ini melibatkan perhitungan rata-rata dari jarak antara semua titik dengan tetangga terdekat mereka. Penentuan pola spasial distribusi longsor berdasarkan jarak antar titik kejadian longsor, jumlah titik kejadian longsor, dan luas daerah penelitian. Pola spasial distribusi longsor dicari dengan menggunakan rumus empiris tetangga terdekat (nearest neighborhood). Prinsip rumus empiris tetangga terdekat ialah perhitungan rata-rata dari jarak antara semua titik dengan tetangga terdekatnya. Perhitungan jarak rata-rata akan menghasilkan indeks tetangga terdekat.
Gb. 1.2. Nearest-neighbour analysis (Ebdon, 1985)
Fungsi mengamati dan menganalisis pola suatu susunan keruangan obyek untuk menilai suatu pola per distribusi gejala atau obyek pada suatu area (Sumaatmadja, 1988). Obyek yang dimaksud berupa obyek atau fenomena geografi baik fenomena fisik ataupun non fisik. Kejadian longsor dapat diketahui pola spasialnya jika memiliki jumlah kejadian longsor dalam suatu area dan terjadi variasi jarak kedekatan antar titik longsor satu dengan lainnya.
9
Pola spasial distribusi data garis terdiri atas 3 jenis yaitu mengelompok, acak, dan dispersi (Clark dan Evans, 1954). Pola spasial distribusi mengelompok apabila rerata jarak semua titik lebih dekat daripada jarak antar titik. Kedekatan antar titik mengindikasikan bahwa terdapat persamaan proses, maksud terjadinya fenomena, dan rekonstruksi kejadian fenomena yang berkaitan dengan lingkungan alami maupun non alami. Pola spasial distribusi acak apabila rerata jarak semua titik lebih besar daripada jarak antar titik kejadian. Jauhnya jarak antar titik mengindikasikan bahwa tidak terdapat ketarkaitan baik dalam proses maupun karakteristik alami dan non alami antar titik. Pola spasial distribusi dispersi (tersebar merata) merupakan pola spasial yang memiliki rerata jarak semua titik sama dengan jarak antar titiknya. Ketiga pola spasial distribusi data titik mampu mengindikasikan dan merekonstruksi proses yang akan ataupun telah terjadi di suatu batasan daerah.
1.7. Penelitian Sebelumnya Sofian (2007) pernah melakukan penelitian tentang sebaran gua-gua arkeologis di Kecamatan Paliyan Kabupaten Gunung Kidul. Sebaran titik lokasi gua dihitung jarak antar gua dan kepadatan gua di daerah penelitian. Hasil penghitungan kedua variabel merupakan komponen dari indeks tetangga terdekat. Indeks tetangga terdekat ialah indikator pola distribusi spasial dengan menggunakan metode analisis tetangga terdekat. Pola distribusi spasial dengan menggunakan metode analisis tetangga terdekat diperoleh dengan 2 cara yaitu penghitungan rumus empiris manual dan pengolahan melalui perangkat lunak ArcGIS. Hasil kedua penghitungan mendekati dan bersesuaian. Perolehan pola distribusi spasial melalui perangkat lunak ArcGIS berfungsi untuk menguatkan hasil penghitungan manual menggunakan rumus empiris. Kemudian, pola spasial distribusi gua dikaitkan dengan faktor lingkungan fisik yaitu keberadaan sumberdaya air, iklim mikro gua, kondisi material dalam gua. Kaitan antara pola spasial distribusi gua dengan faktor lingkungan fisik menghasilkan kelayakan gua sebagai tempat tinggal pada waktu purbakala.
10
Metode analisis tetangga terdekat juga digunakan oleh Nityasari (2009). Nityasari menggunakan metode tetangga terdekat untuk mengetahui pola spasial distribusi industri menengah dan besar di Kabupaten Sleman. Pola spasial distribusi industri dikaitkan dengan
terjadinya industri.
terjadinya industri
diantaranya jarak industri dengan wilayah pemasaran, jenis, dan harga bahan baku. Pola spasial distribusi industri berfungsi untuk menentukan industri mana yang memberikan keuntungan lebih besar. Untuk memperoleh tujuan penelitiannya, pola spasial hanya sebagai indikator awal dalam penelitian ini. Hadmoko (2008) dalam penelitiannya yang berjudul GIS application for comprehensive spatial landslides analysis in Kayangan Catchment, Menoreh Mountains, Java, Indonesia, menentukan pola spasial distribusi longsor berdasarkan kepadatan longsor pada parameter pemetaan. Parameter pemetaan yang digunakan ialah kemiringan lereng, geologi, geomorfologi, jaringan drainase, penggunaan lahan, dan jaringan jalan. Pola spasial distribusi longsor didapat dari penghitungan kepadatan longsor yang terbanyak berdasarkan tiap parameter pemetaan. Metode yang digunakan merupakan aplikasi dari Sistem Informasi Geografi (SIG) yaitu overlay dan buffer. Metode overlay digunakan untuk parameter pemetaan yang berbentuk data area seperti kemiringan lereng, geologi, geomorfologi, dan penggunaan lahan. Sedangkan metode buffer digunakan untuk data bukan area dalam hal ini jaringan jalan dan drainase. Hasil penelitian pola spasial longsor ialah faktor lingkungan fisik dan faktor aktivitas manusia sangat mempengaruhi besarnya kepadatan longsor yang terjadi di DAS Kayangan.
1.8. Kerangka Pemikiran Longsor merupakan bencana rutin yang terjadi di DAS Kodil tiap tahun sehingga menjadikan daerah ini daerah rawan longsor. longsor terbagi menjadi 2 yaitu alami dan akitivitas manusia. Penyebab longsor secara alami ialah bentuklahan, lereng, dan akumulasi aliran sungai yang sudah tentu menyebabkan terjadinya proses geomorfologi. Adanya aktivitas manusia yang sangat nyata terjadi di DAS Kodil seperti penggunaan lahan dan aksesibilitas yaitu jejaring
11
jalan menyebabkan proses geomorfologi mengalami percepatan sehingga longsor lahan terjadi. Semakin banyak aktivitas manusia di dalam proses geomorfologi menimbulkan peningkatan intensitas longsor sehingga kerugian yang disebabkan oleh longsor pun bertambah. Adanya longsor alami yang menjadi longsor lahan percepatan aktivitas manusia dapat dievaluasi perbandingan keduanya. Dengan demikian, faktor pengontrol utama longsor dapat ditentukan.
Faktor Alami
Bentuklahan
Lereng
Faktor Aktivitas Manusia
Akumulasi Aliran
Penggunaan Lahan
Jejaring Jalan
Proses Geomorfologi Dinamika Proses Geomorfologi
Longsorlahan Alami
Peningkatan Intensitas Longsor
Evaluasi Perbandingan
Faktor Pengontrol Utama Gb. 1.3. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.9. Batasan Istilah Akumulasi aliran sungai, kumpulan dua atau lebih aliran yang membentuk hubungan antar sungai utama dengan cabang sungai dengan segala proses geomorfologi yang menyertainya berdasarkan data DEM (Mark, 1983; Seyhan, 1990).
12
Bentuklahan, konfigurasi nyata permukaan bumi yang terbentuk dari torehan bidang tertentu, litologi tertentu, proses tertentu, dan asosiasi keruangan tertentu pada waktu dan ruang tertentu pula (Sartohadi, 2012). Bidang gelincir, bagian dari lereng yang terbentuk karena berpindahnya material mengikuti gravitasi sehingga menjadi batas antara massa yang bergerak dan yang diam (Bowles, 1989 dalam Zakaria, 2001). Daerah Aliran Sungai (DAS), suatu area di permukaan bumi yang dibatasi oleh pemisah topografi dan terdapat system pengalihan yang terdiri atas sistem sungai utama (main stream) dan beberapa anak sungai (Seyhan, 1990). DEM (Digital Elevation Model), data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri atas himpunan titik-titik koordinat hasil sampling dari permukaan bumi sehingga mampu menyajikan informasi elevasi medan (Mark, 1983). Jejaring jalan, kumpulan jalan yang sengaja dibuat oleh manusia membentuk hubungan antar jalan utama dan setapak sebagai akses dalam pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier (Ullman, 1989). Longsorlahan, perpindahan material pembentuk lereng dapat berupa batuan asli, tanah pelapukan, bahan timbunan, dan atau kombinasi dari ketiga material bergerak mengikuti gravitasi sehingga keluar dari lereng asalnya karena faktor alami dan buatan (Varnes, 1978; Zaruba, 1982; Suripin, 2002). Luncuran, perpindahan material dengan gerak translasional dan bidang gelincir yang cenderung rata sehingga susunan materialnya sedikit mengalami perubahan dan hampir mirip dengan material asalnya (Varnes, 1978 dalam Hansen, 1984). Nendatan, perpindahan material dengan gerak rotasional sehingga susunan materialnya banyak berubah (Varnes, 1978 dalam Hansen, 1984). Orde sungai, tingkat percabangan sungai atau posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai dalam satu DAS (Soewarno, 1991 dalam Ramdan, 2004). Pemetaan bentuklahan, serangkaian proses survei, identifikasi, dan klasifikasi bentuklahan dengan karakteristik yang berbeda-beda berfungsi
13
sebagai simbolisasi pembeda faktor fisik pada tiap konfigurasi nyata permukaan bumi (Zuidam, 1983). Penggunaan lahan, segala aktivitas manusia pada bidang lahan baik sesuai peruntukan maupun tidak sesuai peruntukan (Lindgren, 1985). Pola spasial, sebuah kejadian dengan berbagai sisi baik dalam sisi waktu maupun luasan (Clark dan Evans,1954). Pola spasial longsor, susunan persebaran kejadian longsor dalam kaitannya dengan lingkungan antara kejadian longsor yang satu dengan kejadian longsor yang lain (Zaruba, 1982). Raster, data digital dengan sifat pengamatan berupa sel reguler-grid berukuran piksel (picture element) yang dapat ditentukan ukuran gridnya sesuai keakuratan data yang diinginkan (Purwanto, 2007). Sudut kemiringan lereng, nilai pembanding kelurusan suatu bidang yang tidak datar (Soil Survey Staff, 2003). Vektor, data digital dengan unit pengamatan berupa titik dan\atau variabel garis atau ukuran poligon dan memiliki keakuratan geometris yang tinggi (Purwanto, 2007).
14