Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian Penelitian
dilakukan
pada
perusahaan
manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara konsisten pada tahun 2006 hingga 2010.
Berdasarkan
metode
purposive
sampling,
maka jumlah sampel yang dapat digunakan dalam penelitian
ini
adalah
sebanyak
39
sampel.
Sedangkan periode pengamatan adalah dari tahun 2006 hingga 2010, sehingga pooled data untuk 5 periode
sebesar
195
sampel
(39x5).
Adapun
gambaran mengenai sampel penelitian terlihat pada tabel 4.1.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 4.1 Deskripsi Objek Penelitian Jenis Industri Jumlah Food and beverages 6 Paper and allied product 1 Chamical 5 Adhesive 1 Plastics and glass products 1 Cement 2 Metal and allied products 3 Stone, clay, glass and 1 concrete products Cables 3 Electronic and office 1 equipment
46
Persentase 15,38% 2,56% 12,82% 2,56% 2,56% 5,13% 7,69% 2,56% 7,69% 2,56%
47
Tabel 4.1 Lanjutan No Jenis Industri Jumlah Automotive and allied 11 5 products Pharmaceuticals 12 2 Consumer goods 13 2 Telecommunication 14 2 Whole sale and retail trade 15 3 Tobacco manufacturers 16 1 Jumlah 39 Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
Persentase 12,82% 5,13% 5,13% 5,13% 7,69% 2,56% 100%
Berdasarkan pengklasifikasian pada tabel 4.1, sampel berasal dari 16 jenis industri yang bergerak dibidang
manufaktur.
Jumlah
sampel
terbesar
berada pada industri food and beverager yang berjumlah 6 perusahaan (15,38%). Disusul dengan industri
chamical
serta
automotive
and
allied
products yang masing masing berjumlah 5 sampel (12,38%). Sedangkan jumlah sampel terkecil berasal dari 6 jenis industri yaitu paper and allied product; adhesive; plastics and glass products; stone, clay, glass and concrete products; electronic and office equipment, dan tobacco manufacturers yang masingmasing berjumlah 1 perusahaan (2,56%).
4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Statistik Deskriptif Analisis
deskriptif
digunakan
untuk
memberikan gambaran atas variabel-variabel yang
48
digunakan
dalam
penelitian,
yaitu
likuiditas,
leverage, dewan komisaris independen, manajemen laba,
ukuran
perusahaan,
ETR
dan
CETR.
Pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah mean, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maximum. Ringkasan statistik deskriptif dari variabel-variabel penelitian tersebut disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Deskripsi Variabel Penelitian Tahun 2006-2010 Variabel Min Max Mean Std. Deviasi Likuiditas 0,20 4,79 1,72 0,79 Leverage 0,08 0,96 0,54 0,20 Dekom Independen 0,29 0,70 0,41 0,10 Manajemen Laba -0,57 0,66 -0,03 0,14 Ukuran Perusahaan 10,56 18,54 14,30 1,72 ETR 0,030 0,813 0,312 0,089 CETR 0,016 0,989 0,298 0,150 Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
Likuiditas yang dihitung dengan rasio lancar memiliki
nilai
menunjukkan menutup
rata-rata bahwa
setiap
Rp.
sebesar
rata-rata 1,00
1,72
sampel kewajiban
yang mampu lancar
perusahaan dengan Rp. 1,72 aset lancar yang dimilikinya. Nilai likuiditas tertinggi sebesar 4,79 dimiliki oleh PT. Lion Mesh Prima Tbk. pada tahun 2008 yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut dapat menutup setiap Rp. 1,00 kewajiban lancar dengan Rp. 4,79 aset lancar. Akan tetapi PT.
49
Excelcomindo Pratama Tbk. pada tahun 2006 hanya dapat menutup Rp. 1,00 kewajiban lancar dengan Rp. 0,20 aset lancar yang dimilikinya. Nilai standar deviasi sebesar 0,79 menunjukkan bahwa sampel memiliki sebaran likuiditas yang hampir sama antar masing-masing sampel. Leverage yang dihitung dengan rasio total utang, mengindikasikan bahwa rata-rata sampel memiliki Rp. 0,54 utang untuk setiap Rp. 1,00 aset yang dimiliki perusahaan. Nilai maksimum leverage dimiliki oleh PT. Tri Polyta Indonesia Tbk. pada tahun 2006, dimana perusahaan tersebut memiliki Rp. 0,96 utang untuk setiap Rp. 1,00 aset. Nilai rasio utang minimum sebesar 0,08 dimiliki oleh PT. Mandom Indonesia Tbk. pada tahun 2007. Sehingga perusahaan tersebut hanya memiliki Rp. 0,08 utang untuk setiap Rp. 1,00 aset yang dimilikinya. Untuk nilai standar deviasi sebesar 0,20 menunjukkan bahwa
leverage
sampel
memiliki
sebaran
yang
hampir sama antar masing-masing sampel. Komisaris independen diukur berdasarkan jumlah komisaris independen dibagi dengan total dewan komisaris. Nilai rata-rata dewan komisaris independen perusahaan sampel sebesar 0,41 yang menunjukkan
bahwa
rata-rata
porsi
dewan
50
komisaris independen sebesar 41%. PT. Tri Polyta Indonesia Tbk dan PT. Multi Bintang Indonesia Tbk. selama
periode
2005
hingga
2010
memiliki
persentase dewan komisaris independen sebesar 29% yang menjadi nilai minimum dewan
komisaris
independen.
perusahaan
yang
independen
sebesar
Namun
memiliki 70%
dari variabel
dewan yakni
terdapat komisaris
PT.
Arwana
Citramulia Tbk. pada tahun 2010. Nilai standar deviasi sebesar 0,10 menunjukkan bahwa rasio dewan
komisaris
independen
sampel
memiliki
sebaran yang hampir sama pada tiap sampel. Dapat disimpulkan
bahwa
mayoritas
sampel
memiliki
komisaris independen lebih besar atau sama dengan 30%, yang berarti mayoritas sampel sudah memiliki komisaris independen diatas batas minimal dari peraturan
yang
sekurangkurangnya
telah 30%
ditetapkan dari
jumlah
yaitu seluruh
anggota komisaris. Manajemen laba diukur dengan menggunakan nilai discretionary accruals (DA). Nilai rata-rata DA adalah -0,03 yang menunjukkan bahwa rata-rata sampel secara umum dengan
melakukan
melakukan manajemen laba kebijakan
akrual
yang
menurunkan laba sebesar 3% dari total aset t-1.
51
Nilai minimum DA sebesar -0,57 yang dimiliki oleh PT. Indospring Tbk. pada tahun 2009 menunjukkan bahwa
perusahaan
tersebut
menurunkan
laba
sebesar 57% dari total aset tahun 2008. Sedangkan nilai
maksimum
yakni
0,66
dimiliki
oleh
PT
Ekadharma International Tbk. pada tahun 2008 yang mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut melakukan manajemen laba dengan meningkatkan laba sebesar 66% dari total aset tahun 2007. Ukuran
perusahaan
dihitung
berdasarkan
nilai natural algoritma dari total aset perusahaan. Ukuran perusahaan terbesar adalah 18,54 yang dimiliki oleh PT. Astra International Tbk. pada tahun 2010 dengan total aset Rp. 112.857 milyar. Nilai terendah adalah 10,56 yang dimiliki oleh PT. Akbar Indo Makmur Stimec Tbk. pada tahun 2007 dengan total aset Rp. 38,5 milyar. Sedangkan perusahaan memiliki rata-rata total aset senilai Rp. 6.827,5 milyar. Nilai standar deviasi ukuran perusahaan sebesar 1,72 yang lebih kecil dari nilai rata-rata ukuran
perusahaan
yang
sebesar
14,30
menunjukkan bahwa setiap sampel memiliki ukuran perusahaan yang hampir sama. Agresivitas
pajak
perusahaan
dihitung
dengan menggunakan dua cara, yaitu effective tax
52
rate (ETR) dan cash effective tax rate (CETR). Nilai rata-rata effective tax rate (ETR) adalah 0,312, hal ini menandakan
bahwa
beban
rata-rata
pajak
perusahaan sampel adalah 31,2% dari laba sebelum pajak. Nilai minimum sebesar 0,03 yang dimiliki oleh PT Fajar Surya Wisesa Tbk. pada tahun 2008, menunjukkan
bahwa
beban
pajak
perusahaan
hanyalah 3 % dari laba sebelum pajak. Nilai maksimal ETR sebesar 0,813 yang dimiliki oleh PT Akbar Indo Makmur Stimec Tbk. pada tahun 2006, menunjukkan
bahwa
beban
pajak
perusahan
tersebut adalah 81,3% dari laba sebelum pajak. Nilai standar deviasi sebesar 0,089 yang lebih kecil dari nilai rata-rata menunjukkan bahwa sampel memiliki sebaran effective tax rate yang hampir sama antar masing-masing sampel. Berdasarkan diperoleh
nilai
nilai
rata-rata
cash
effective
CETR
tax
sebesar
rate 0,298
menunjukkan bahwa besarnya pembayaran pajak adalah 29,8% dari laba sebelum pajak. PT SMART Tbk. pada tahun 2007 memiliki nilai cash effective tax
rate
paling
rendah
yaitu
sebesar
0,016,
menunjukkan bahwa besarnya pembayaran pajak perusahaan tersebut hanya 1,6% dari laba sebelum pajak. Nilai maksimum cash effective tax rate
53
sebesar 0,989 dimiliki oleh PT. Sorini Tbk. tahun
2010,
pembayaran
menunjukkan
pajak
bahwa
perusahaan
pada
besarnya
tersebut
adalah
98,9% dari laba sebelum pajak. Sedangkan nilai standar deviasi adalah 0,150 yang menunjukkan bahwa sampel memiliki sebaran cash effective tax rate yang hampir sama antar masing-masing sampel. Tarif variabel
pajak
dummy,
diukur yaitu
dengan 1
jika
menggunakan dalam
waktu
pengamatan sampel telah menerapkan tarif pajak tetap sesuai dengan Undang-undang No. 36 Tahun 2008 dan 0 jika dalam waktu pengamatan sampel menggunakan tarif pajak progresif sesuai Undangundang No. 17 Tahun 2000. Tarif pajak progresif yang diatur dalam 2008
mulai
Undang-undang No. 36 Tahun
diberlakukan
tahun
2009
guna
menggantikan Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Tabel
4.3
mendiskripsikan
jumlah
periode
pengamatan pada sampel yang menggunakan tarif pajak progresif maupun tetap. Jumlah pengamatan sampel yang telah menerapkan tarif pajak tetap adalah 78 pengamatan atau 60%. Sedangkan 117 sampel atau 40% berada pada periode pengamatan sebelum tahun 2009 sehingga masih menerapkan tarif pajak progresif.
54
Tabel 4.3 Deskripsi Variabel Tarif Pajak Tahun 2006-2010 Keterangan Jumlah Persentase Menggunakan tarif pajak 78 40% progresif Menggunakan tarif pajak tetap 117 60% Jumlah 195 100% Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
Saham publik diukur dengan menggunakan variabel dummy, yaitu 1 jika lebih dari 40% saham perusahaan dimiliki oleh publik dan 0 jika saham perusahaan yang dimiliki publik kurang dari 40%. Tabel 4.4 memberikan gambaran bahwa jumlah sampel yang 40% dari saham dimiliki oleh publik berjumlah 110 sampel atau 56,41%. Sedangkan 85 sampel atau 43,59%, minimal 40% atau lebih sahamnya dimiliki oleh publik. Persentase saham publik terendah terdapat pada Intraco Penta Tbk. pada tahun 2008 yaitu sebesar 9,56%. Sedangkan persentase saham publik tertinggi dimiliki oleh PT. Metrodata Electronics Tbk pada tahun 2007 dengan jumlah saham publik sebesar 85,36%. Tabel 4.4 Deskripsi Variabel Kepemilikan Saham Tahun 2006-2010 Keterangan Jumlah Persentase Jumlah saham publik kurang dari 110 56,41% 40% Jumlah saham publik lebih dari 85 43,59% 40% Jumlah 195 100% Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
55
4.2.2 Uji Asumsi Klasik Uji
normalitas
dimaksudkan
untuk
mengetahui apakah data penelitian terdistribusi secara
normal.
Penilaian
menggunakan
normalitas
perbandingan
dengan skewness
(kemencengan) dan kurtosis (keruncingan). Standar sebuah data dikatakan memiliki distribusi normal adalah jika hasil skewness adalah 0 dan kurtosis adalah 3 (Gujarati, 2006). Jika suatu observasi memiliki nilai kurtosis lebih besar dari +3 atau lebih kecil dari -3 berarti observasi tersebut mempunyai nilai yang ekstrim (outliers) atau tidak berdistribusi normal.
Hasil
uji
normalitas
pada
variabel
independen dan dependen disajikan pada tabel 4.5.
Variabel
Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas Min Max Mean Skew
Kurt
Hasil
Likuiditas
0,20
4,79
1,723
0,90
0,74
Normal
Leverage
0,08
0,96
0,542
-0,34
-0,26
Normal
Dekom
0,29
0,70
0,409
1,51
4,66
Manajemen Laba
-0,58
0,66
-0,03
0,16
0,60
Tidak normal Normal
ETR
0,029
0,813
0,312
1,52
4,24
Tidak normal
CETR
0,016
0,989
0,298
1,41
5,72
Tidak normal
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
56
Pada
tabel
4.5
terlihat
bahwa
beberapa
variabel memiliki kurtosis diatas +3, yaitu dekom (dewan komisaris independen) dengan nilai kurtosis sebesar 4,656, ETR dengan nilai kurtosis sebesar 4,239 dan CETR dengan nilai kurtosis sebesar 5,719. Sedangkan
variabel
manajemen
laba
likuiditas,
memiliki
nilai
leverage kurtosis
dan secara
berturut-turut adalah 0,740, -0,264 dan 0,604. Nilai kurtosis
pada
variabel-variabel
tersebut
berada
diantara +3 dan -3, sehingga dapat disimpulkan variabel likuiditas, leverage dan manajemen laba memiliki
distribusi
data
yang
normal.
Untuk
mendapatkan hasil pengujian yang lebih baik dan valid maka dilakukan tranformasi variabel penelitian yang tidak berdistribusi normal kedalam bentuk akar kuadrat (sqrt). Hasil uji normalitas setelah dilakukan transformasi dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Setelah Transformasi Variabel Min Max Mean Skew Kurt
Hasil
Likuiditas
0,20
4,79
1,723
0,90
0,74
Normal
Leverage
0,08
0,96
0,542
-0,34
-0,26
Normal
sqrtDekom
-1,70
-0,37
-0,95
0,15
-0,43
Normal
Manajemen Laba sqrtETR sqrtCETR
-0,58
0,66
-0,03
0,16
0,60
Normal
0,17 0,03
0,90 0,99
0,55 0,51
0,10 0,03
0,57 0,48
Normal Normal
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
57
Berdasarkan tabel 4.6 terlihat bahwa setelah dilakukannya transformasi variabel dewan komisaris independen, ETR dan CETR kedalam bentuk akar kuadrat
(sqrt),
nilai
kurtosis
pada
variabel
sqrtDekom, sqrtETR dan sqrtCETR secara berturutturut adalah -0,433, 0,572 dan 0,483. Nilai kurtosis pada variabel-variabel tersebut berada pada kisaran nilai
±3
sehingga
dapat
dinyatakan
bahwa
sqrtDekom, sqrtETR dan sqrtCETR berdistribusi normal. Uji
Multikolonieritas
dilakukan
dengan
matriks korelasi dengan melihat besarnya nilai VIF (Variance Inflation Factor) dan nilai tolerance. Suatu model regresi yang bebas dari multikolinearitas memiliki nilai VIF yang tidak melebihi dari 10 dan nilai tolerance tidak ada yang kurang dari 0,10. Hasil uji multikolonieritas dalam penelitian ini dapat dilihat
pada
tabel
4.7.
Berdasarkan
hasil
uji
multikolinearitas, nilai VIF pada variabel-variabel penelitian berada pada kisaran angka 1,028 hingga 1,146. Sedangkan nilai tolerance terendah adalah 0,873 dan tertinggi 0,976. Berdasarkan nilai VIF dan tolerance
dapat
disimpulkan
terdapatnya multikoloniearitas.
bahwa
tidak
58
Variabel Likuiditas Leverage sqrtDekom Manajemen Laba Size Tarif Saham
Tabel 4.7 Hasil Uji Multikolinearitas Tolerance VIF Kesimpulan Tanpa 0,973 1,028 multikoloniearitas Tanpa 0,900 1,112 multikoloniearitas Tanpa 0,873 1,146 multikoloniearitas Tanpa 0,942 1,062 multikoloniearitas Tanpa 0,961 1,041 multikoloniearitas Tanpa 0,931 1,075 multikoloniearitas Tanpa 0,873 1,145 multikoloniearitas
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear yang digunakan
terdapat
korelasi
antara
kesalahan
pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Untuk mendeteksi ada tidaknya
autokorelasi,
digunakan
uji
Durbin-
Watson. Sebuah data dikatakan tidak memiliki masalah
autokorelasi
jika
nilai
Durbin-Watson
berada diantara nilai du (upper bound) dan 4-du. Berdasarkan tabel dengan nilai n = 195 dan k = 4 didapat angka dl (lower) = 1,724 dan du (upper) = 1,808. Hasil uji Durbin Watson dengan sqrtETR dan sqrtCETR sebagai variabel dependen terlihat pada tabel 4.8.
59
Dependen Variabel sqrtETR
Tabel 4.8 Hasil Uji Autokorelasi Durbinlower upper Watson bound bound 1,876 1,724 1,808
sqrtCETR
1,937
1,724
1,808
Kesimpulan Tanpa autokorelasi Tanpa autokorelasi
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
Berdasarkan tabel 4.8, diketahui nilai Durbin Watson
dengan
menggunakan
sqrtETR
sebagai
variabel dependen sebesar 1,876. Oleh karena nilai Durbin
Watson
hitung
dengan
menggunakan
sqrtETR sebagai variabel dependen adalah 1,876 yang berada diantara nilai du dan 4–du, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi positif maupun negatif. Sedangkan nilai Durbin Watson dengan menggunakan sqrtCETR sebagai variabel
dependen
adalah
1,937
yang
berada
diantara nilai du dan 4–du, maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi antar residual dimana CETR sebagai variabel dependen. Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance
dari
residual
satu
pengamatan
ke
pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap. Untuk menguji heteroskedastisitas dalam
60
penelitian ini dengan menggunakan Uji Glejser. Dari hasil pengujian sebagaimana pada tabel 4.9, hasil masing-masing variabel indpenden dengan tingkat signifikansi tidak ada yang lebih kecil dari 0,05, sehingga varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang
lain
tetap,
maka
disebut
homoskedastisitas atau bebas heteroskedastisitas dalam penelitian ini. Tabel 4.9 Hasil Uji Glejser abresid : abresid : sqrtETR sqrtCETR t Sig. t Sig. 0,544 0,587 0,013 0,590 0,896 0,104 0,484 0,064 -0,723 0,470 -0,843 0,400
Variabel
Likuiditas Leverage sqrtDekom Manajemen 0,802 0,424 0,073 Laba Size -1,505 0,134 -1,977 Tarif 0,735 0,463 -0,365 Saham -0,573 0,568 1,537 Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
0,242 0,059 0,716 0,126
4.3 Pemilihan Model Regresi Panel Data Dalam alternatif
regresi
model
panel
yang
data
dapat
terdapat
digunakan,
tiga yaitu
Ordinary Least Square (OLS), Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effects Model (REM). Oleh karena itu, diperlukan pengujian untuk memilih model regresi panel data mana yang paling tepat digunakan untuk menguji hipotesis. Untuk menguji metode
61
regresi panel data yang cocok, dilakukan restricted F test dan hausman test. Restricted F test digunakan untuk menguji model mana yang cocok digunakan antara Ordinary Least Square (OLS) atau Fixed Effect Model (FEM). Nilai F hitung tersebut dibandingkan dengan tabel F pada tingkat signifikansi 5%. Jika nilai F tabel lebih besar daripada F hitung maka model yang dipilih adalah OLS, sedangkan jika nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel maka model yang akan dipilih adalah FEM. Ringkasan perhitungan restricted F test dapat dilihat pada tabel 4.10. Tabel 4.10 Ringkasan Uji Restricted F Test sqrtETR sqrtCETR R2UR 0,492091 0,481244 R2R 0,174595 0,171821 m 38 38 n 195 195 k 7 7 F hitung 3,09262 2,95096 F tabel 1,46905 1,46905 Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
Pada tabel 4.10, diperoleh data nilai F hitung dengan
menggunakan
sqrtETR
sebagai
variabel
dependen adalah 3,093 yang lebih besar dari nilai F tabel
(1,469).
Sedangkan
untuk
medel
yang
menggunakan sqrtCETR sebagai variabel dependen diperoleh nilai F hitung adalah 2,951 yang lebih besar dari nilai F tabel (1,469). Karena nilai F hitung
62
dengan menggunakan variabel sqrtETR maupun sqrtCETR sebagai variabel dependen sama-sama memiliki nilai F hitung lebih besar dari F tabel maka persamaan OLS tidak sesuai atau valit untuk digunakan. Hal ini menunjukkan FEM merupakan model yang lebih baik untuk digunakan dalam penelitian ini. Langkah berikutnya adalah menguji antara model FEM dan REM menggunakan Hausman test. Jika hasil Hausman test signifikan pada α = 5% maka metode yang digunakan dalam pengolahan panel data adalah FEM, jika tidak signifikan akan digunakan model REM. Hasil pengujian Hausman test dapat dilihat pada tabel 4.11. Tabel 4.11 Ringkasan Hasil Hausman Test Hausman p-value Kesimpulan Test 11,86 0,106 Menggunakan REM Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012
Dari hasil pengujian Hausman test pada tabel 4.11 diperoleh hasil Hausman test adalah 11,86 dengan nilai
p-value
(0,106)
yang
lebih
besar
dari
probabilitas α =5%. Oleh karena itu, model REM lebih sesuai digunakan dibandingkan OLS. Hasil ini sesuai dengan pengujian praktis, dimana jika data panel mempunyai jumlah individu lebih besar dari jumlah waktu maka REM yang digunakan. Dalam
63
model ini, jumlah individu sebanyak 39 perusahaan dan jumlah waktu pengamatan sebanyak 5 tahun, sehingga REM lebih tepat digunakan. Berdasarkan hasil pengujian data panel yang terdiri dari restricted F test dan Hausman test, maka dapat disimpulkan bahwa model yang tepat digunakan adalah Random Effect Model.
4.4 Pengujian Hipotesis Hasil
regresi
variabel
likuiditas,
leverage,
proporsi komisaris independen dan manajemen laba sebagai
variabel
perusahaan,
tarif
independen pajak
dan
serta
ukuran
komposisi
saham
sebagai variabel kontrol terhadap agresivitas pajak perusahaan
yang
diukur
dengan
menggunakan
effective tax rate (ETR) dan cash effective tax rate (CETR) terlihat pada tabel 4.12.
Variabel Likuiditas Leverage sqrtDekom ManLaba Size
Tabel 4.12 Ringkasan Hasil Regresi Panel Data I Panel data Koef t pKoef t value -0,003 -0,380 0,704 -0,004 -0,330 0,145 3,494 0,000* 0,182 2,874 -0,064 -2,163 0,031* -0,083 -2,828 0,015 2,323 0,017* 0,180 2,576 -0,009 -2,408 0,017* -0,026 -3,412
II pvalue 0,742 0,004* 0,008* 0,010* 0,001*
64
Tabel 4.12 Lanjutan Panel Data I Variabel
Koef
Panel data II
t
pKoef value Tarif -0,031 -1,796 0,074 -0,033 Saham -0,006 -0,410 0,682 -0,005 Sumber: Data sekunder yang diolah, 2012 Keterangan : *) signifikan pada α = 5%
t -1,762 -0,196
pvalue 0,078 0,844
Koefisien regresi likuiditas terhadap effective tax rate (ETR)
sebesar -0,003 menyatakan bahwa
setiap kenaikan likuiditas 1% akan menurunkan effective
tax
rate
sebesar
0,003%.
Sedangkan
koefisien regresi likuditas terhadap cash effective tax rate (CETR) sebesar -0,004 menyatakan bahwa setiap kenaikan likuiditas 1% akan menurunkan cash effective tax rate sebesar 0,004%. Nilai p-value dari likuiditas terhadap effective tax rate (0,704) serta p-value likuiditas terhadap cash effective tax rate (0,742) berada diatas signifikan α = 5%, menunjukkan bahwa likuiditas perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Oleh karena itu, hipotesis 1 yang menyebutkan bahwa likuiditas berpengaruh negatif dan
signifikan
perusahaan
terhadap
ditolak
karena
berdasarkan data penelitian.
agresivitas tidak
pajak
didukung
65
Koefisien regresi leverage terhadap effective tax rate (ETR) sebesar 0,145 menyatakan bahwa setiap kenaikan leverage 1% akan meningkatkan effective
tax
rate
sebesar
0,145%.
Sedangkan
koefisien regresi leverage terhadap cash effective tax rate (CETR) sebesar 0,182 menyatakan bahwa setiap kenaikan leverage 1% akan meningkatkan cash effective tax rate sebesar 0,182%. Nilai p-value dari leverage terhadap effective tax rate (0,000) dan nilai p-value dari leverage terhadap cash effective tax rate (0,004) yang samasama
berada
dibawah
signifikan
memberikan bukti bahwa leverage
α
=
5%,
berpengaruh
signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis 2 yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan dapat diterima. Koefisien
regresi
komisaris
terhadap effective tax rate (ETR)
independen
sebesar -0,064
menyatakan bahwa setiap bertambahnya proporsi komisaris independen sebesar 1% akan menurunkan effective
tax
rate
sebesar
0,064%.
Sedangkan
koefisien regresi komisaris independen terhadap cash
effective
tax
rate
(CETR)
sebesar
-0,083
66
menyatakan bahwa setiap bertambahnya proporsi komisaris
independen
sebanyak
1%
akan
menurunkan cash effective tax rate sebesar 0,083%. Nilai
dari
p-value
proporsi
komisaris
independen terhadap effective tax rate (0,033) serta nilai p-value dari proporsi komisaris independen terhadap cash effective tax rate (0,008) sama-sama berada
dibawah
tingkat
signifikan
α
=
5%
menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Oleh karena itu, hipotesis 3 yang menyatakan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh agresivitas
negatif pajak
dan
signifikan
perusahaan
terhadap
diterima
karena
didukung data penelitian. Koefisien regresi manajemen laba terhadap effective tax rate (ETR)
sebesar 0,015 menyatakan
bahwa setiap meningkatnya manajemen laba yang dilakukan
manajemen
sebesar
1%
akan
meningkatkan nilai effective tax rate sebesar 0,015%. Sedangkan
koefisien
regresi
manajemen
laba
terhadap cash effective tax rate (CETR) sebesar 0,180 menyatakan bahwa setiap meningkatnya manajemen laba yang dilakukan manajemen sebanyak 1% akan
67
meningkatkan
cash
effective
tax
rate
sebesar
0,183%. Nilai p-value dari manajemen laba terhadap effective tax rate (0,017) serta nilai p-value dari manajemen laba terhadap cash effective tax rate (0,010) yang keduanya berada dibawah tingkat signifikan
α
=
5%,
dapat
disimpulkan
bahwa
manajemen laba berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Oleh karena itu, hipotesis 4 yang menyatakan bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan diterima. Koefisien regresi variabel ukuran perusahaan (size) terhadap effective tax rate (ETR)
sebesar -
0,009 menyatakan bahwa setiap kenaikan ukuran perusahaan 1% akan menurunkan effective tax rate sebesar
0,009%.
Sedangkan
koefisien
regresi
variabel ukuran perusahaan terhadap cash effective tax rate (CETR) sebesar -0,026 menyatakan bahwa setiap
kenaikan
ukuran
perusahaan
1%
akan
menurunkan cash effective tax rate sebesar 0,026%. Nilai p-value dari ukuran perusahaan terhadap effective tax rate (0,017) serta nilai p-value dari ukuran perusahaan terhadap cash effective tax rate (0,001) yang sama-sama berada dibawah tingkat
68
signifikan α = 5%, memberikan bukti bahwa ukuran perusahaan
berpengaruh
signifikan
terhadap
agresivitas pajak perusahaan. Akibatnya, semakin besar ukuran perusahaan maka tingkat agresivitas pajak perusahaan akan semakin menurun. Koefisien regresi variabel tarif pajak terhadap effective tax rate (ETR) sebesar -0,031 memberikan gambaran
bahwa
perusahaan
yang
telah
menggunakan tarif tetap (included group) memiliki nilai effective tax rate 0,031% lebih rendah daripada perusahaan ketika menerapkan tarif pajak progresif (excluded group). Sedangkan berdasarkan koefisien regresi variabel tarif pajak terhadap cash effective tax rate (CETR) sebesar -0,033 membuktikan bahwa perusahaan yang telah menggunakan tarif tetap (included group) memiliki nilai cash effective tax rate 0,033% lebih rendah daripada perusahaan ketika menerapkan tarif pajak progresif (excluded group). Nilai p-value tarif pajak terhadap effective tax rate (0,074) serta nilai p-value variabel tarif pajak terhadap cash effective tax rate (0,078) yang berada diatas signifikan α = 5%, memberikan bukti bahwa tarif pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Sehingga dapat dikatakan agresivitas pajak perusahaan tidak
69
dipengaruhi
oleh
tarif
pajak
perusahaan
(tarif
progresif maupun tetap). Koefisien regresi variabel saham terhadap effective tax rate (ETR) sebesar -0,006 menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki saham publik lebih dari 40% (included group), memiliki nilai effective tax rate 0,006% lebih rendah daripada perusahaan
yang
persentase
saham
publiknya
kurang dari 40% (excluded group). Sedangkan nilai koefisien cash effective tax rate (CETR) sebesar 0,196 menggambarkan bahwa perusahaan yang memiliki saham publik lebih dari 40% (included group), memiliki nilai CETR 0,196% lebih rendah daripada
perusahaan
yang
persentase
saham
publiknya kurang dari 40% (excluded group). Nilai
p-value
komposisi
saham
terhadap
effective tax rate (0,682) serta nilai p-value dari komposisi saham terhadap cash effective tax rate (0,844) yang berada diatas signifikan α = 5% menunjukkan
bahwa
komposisi
saham
tidak
berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Sehingga dapat dikatakan agresivitas pajak perusahaan tidak dipengaruhi oleh komposisi saham publik.
70
4.5 Pembahasan Pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Walaupun
menunjukkan
arah
negatif,
hasil
penelitian ini tidak dapat memberi bukti adanya pengaruh yang kuat antara likuiditas perusahaan terhadap
tingkat
agresivitas
pajak
perusahaan.
Tidak signifikannya hubungan antara likuditas dan agresivitas
pajak
perusahaan
dapat
disebabkan
karena tingkat likuiditas perusahaan manufaktur relatif sama. Hal ini dapat dibuktikan pada analisa deskriptif dimana rata-rata rasio lancar perusahaan sampel adalah 1,72, serta nilai standar deviasi sebesar 0,79. Nilai standar deviasi yang lebih rendah dari nilai rata-rata mengindikasikan bahwa tingkat likuiditas perusahaan manufaktur hampir sama. Berdasarkan uji One Way Anova terhadap likuiditas pada lima tahun, diperoleh data bahwa Levene Test hitung adalah
0,275 dengan nilai
probabilitas (0,806) yang lebih besar dari signifikan α = 5%, sehingga varian likuditas pada lima tahun pengamatan relatif sama. Berdasarkan uji ANOVA diperoleh F hitung adalah 0,404 dengan probabilitas (0,806) yang lebih besar dari signifikan α = 5%,
71
sehingga
rata-rata
likuditas
pada
lima
tahun
pengamatan adalah relatif sama. Variasi likuiditas yang relatif sama dapat disebabkan menjaga
karena
tingkat
manufaktur.
adanya
likuiditas
Bagi
kesepakatan diantara
perusahaan
untuk
perusahaan manufaktur,
memperhatikan likuiditas adalah sangat penting. Likuiditas
yang
terlalu
tinggi
menggambarkan
tingginya uang tunai yang menganggur sehingga dianggap kurang produktif. Jika likuiditas terlalu rendah maka akan mengurangi tingkat kepercayaan kreditur
terhadap
perusahaan-perusahaan
manufaktur
yang
berakibat
akan
menurunnya
pinjaman modal oleh para kreditur. Oleh karena itu, ada
kemungkinan
perusahaan-perusahaan
manufaktur untuk saling menjaga tingkat likuditas pada tingkatan tertentu. Penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bradley (1994) dan Siahaan (2005) yang menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas kemungkinan tidak akan
mematuhi
peraturan
perpajakan
dan
cenderung melakukan penghindaran pajak. Pengujian
hipotesis
kedua
menunjukkan
bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan
72
terhadap agresivitas pajak perusahaan. Hasil ini mengindikasikan pengamatan, utang
bahwa
perusahaan
untuk
selama sampel
meminimalkan
periode
memanfaatkan beban
pajak
perusahaan bahkan cenderung mengarah agresif terhadap pajak perusahaan. Keputusan perusahaan melakukan utang didasarkan pada keinginan untuk mengurangi
beban
pajak
perusahaan.
Analisis
deskriptif variabel leverage menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan sampel memiliki utang sebesar Rp. 0,54 dari Rp. 1 aset yang dimilikinya. Pengaruh leverage terhadap agresivitas pajak perusahaan, dapat dijelaskan bahwa perusahaan yang memiliki hutang tinggi akan mendapatkan insentif pajak berupa potongan atas bunga pinjaman tersebut. Hal ini dimungkinkan karena di Indonesia berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 36 tahun 2008 menyebutkan bahwa bunga utang adalah beban yang dapat dikurangkan untuk tujuan perhitungan
pajak
(tax
deductible).
Sehingga
perusahaan yang memiliki beban pajak tinggi dapat melakukan
penghematan
pajak
dengan
cara
menambah utang perusahaan. Dengan menambah utang guna memperoleh insentif pajak yang besar
73
maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut agresif terhadap pajak. Hasil penelitian ini, mendukung penelitian Ozkan (2001) dan Choi (2003), dimana perusahaan yang memiliki beban pajak tinggi lebih banyak untuk mengajukan utang guna mendapatkan keuntungan dari
pengurangan
bunga
atas
utang
tersebut
sehingga pajak yang dibayar akan menjadi lebih kecil. Pengujian hipotesis ketiga diperoleh hasil bahwa
proporsi
berpengaruh
dewan
negatif
komisaris
dan
independen
signifikan
terhadap
agresivitas pajak perusahaan. Hal ini memberikan bukti
bahwa
selama
kecenderungan
periode
semakin
besar
pengamatan, rasio
ada
komisaris
independen maka prilaku agresif terhadap pajak perusahaan
yang
dilakukan
manajemen
akan
berkurang. Berdasarkan analisa deskriptif variabel dewan komisaris menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan sampel hanya memiliki proporsi dewan komisaris independen sebesar 33% (mode) dan rata-ratanya sebesar 41% (mean), namun para komisaris
independen
memaksimalkan
pengawasan
tersebut terhadap
berhasil kinerja
manajemen dan memastikan perusahaan mematuhi
74
hukum dan perundangan yang berlaku termasuk didalamnya adalah ketaatan terhadap pajak. Pengaruh terhadap
proporsi
agresivitas
komisaris
pajak
independen
perusahaan
dapat
dijelaskan bahwa semakin banyak jumlah komisaris independen
maka
semakin
besar
pengaruhnya
untuk melakukan pengawasan kinerja manajemen. Pengawasan ini dapat mengurangi masalah agensi yang timbul, seperti sikap oportunistik manajemen terhadap bonus. Manajemen berkepentingan untuk mengurangi bonus
beban
yang
pajak
guna
diterima
memaksimalkan
manajemen.
Dengan
pengawasan yang semakin besar, manajemen akan berhati-hati
dalam
mengambil
keputusan
dan
tranparan dalam menjalankan perusahaan sehingga meminimalkan terjadinya
tax avoidance. Secara
proaktif, dewan komisaris independen juga dapat mendorong manajemen untuk mematuhi peraturan perundangan perpajakan yang berlaku sehingga meminimalkan dengan
adanya
semakin
tax
banyaknya
evasion. jumlah
Sehingga komisaris
independen maka prilaku agresif terhadap pajak yang dilakukan manajemen dapat berkurang. Hasil penelitian ini, mendukung pendapat Fama dan Jensen (1983) dalam Wulandari (2005)
75
kehadiran
komisaris
mendorong
yang
dilakukannya
profesional
terhadap
Pengawasan
yang
independen
pengawasan
kinerja
optimal
akan
independen para
oleh
secara
manajemen.
para
mengurangi
dapat
komisaris
kecurangan-
kecurangan pajak yang dilakukan oleh perusahaan (Rego, 2003). Pengujian hipotesis keempat diperoleh bukti bahwa manajemen laba berpengaruh positif dan signifikan terhadap agresivitas pajak perusahaan. Analisa statistik deskriptif variabel manajemen laba menggambarkan bahwa selama periode pengamatan, perusahaan sampel terindikasi menurunkan laba perusahaan (income decreasing) dengan rata-rata sebesar 3% dari total aset taun t-1.
Hal ini
memberikan
periode
bukti
bahwa
selama
pengamatan, ada kecenderungan bahwa perusahaan melakukan
income
decreasing
sebagai
upaya
penghindaran pajak, dimana semakin besar income decreasing tersebut
yang juga
dilakukan terindikasi
maka
perusahaan
berperilaku
agresif
terhadap pajak perusahaan. Pengaruh manajemen laba berupa
income
decreasing terhadap agresivitas pajak perusahaan, dapat dijelaskan bahwa laba menjadi patokan untuk
76
mengukur besarnya beban pajak perusahaan. Oleh karena
itu,
manajemen
akan
melaporkan
laba
disesuaikan dengan tujuannya yaitu menggunakan pilihan akuntansi yang mengurangi laba atau income decreasing sebagai bentuk penghindaran pajak. Bila perusahaan
semakin
besar
melakukan
income
decreasing maka semakin kecil pajak yang harus dibayarkan
perusahaan.
perusahaan
yang
Oleh
semakin
karena
agresif
itu,
melakukan
manajemen laba berupa income decreasing maka perusahaan tersebut juga semakin agresif terhadap pajak. Hasil penelitian ini, sesuai dengan pendapat Scott (2000) yang menyatakan bahwa salah satu alasan perusahaan melakukan manajemen laba adalah mendapatkan pembayaran pajak yang paling minimal. Penelitian ini juga mendukung pendapat Watts dan Zimmerman (1986) dalam Wulandari (2005) serta penelitian Badertscher dkk. (2009) dimana praktek manajemen laba dilakukan oleh perusahaan
sebagai
alat
untuk
melakukan
penghindaran regulasi pemerintah (political cost hypotesis). Salah satu regulasi pemerintah yang berkaitan langsung dengan laba perusahaan adalah pajak
penghasilan
badan.