5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jamur Patogen Tanaman Secara kolektif, jamur menyebabkan penyakit tanaman lebih banyak dari kelompok hama tanaman lainnya, yaitu lebih dari 8.000 spesies terbukti menyebabkan penyakit. Peran penting jamur dalam kehidupan manusia sebagai penyebab penyakit pada tanaman dan manusia, bahan baku produk industri dan farmakologi, dan dekomposer. Dampak negatif jamur terhadap kesehatan tanaman, persediaan makanan, dan gizi manusia sangat besar. Serangan jamur patogen tanaman dapat mengakibatkan penurunan hasil panen secara global. Sebagai contoh pada abad pertengahan tanaman gandum yang merupakan bahan makanan utama, hancur ketika bulir terinfeksi spora jamur Tilletia spp. sehingga menyebabkan terjadinya penurunan produksi gandum dunia. Pada umumnya serangan patogen terhadap tanaman dapat dicegah dengan sanitasi yang ketat. Selain itu pencegahan jamur patogen dapat dilakukan dengan menggunakan agen pengendali hayati (Ellis et al., 2008). Patogen menyesuaikan diri dalam kolonisasi sejumlah tanaman inang saja. Secara umum tanaman mencoba untuk melawan proses invasi patogen dan memiliki seluruh mekanisme pertahanan untuk
mencegah patogen tersebut.
Setiap patogen memiliki cara khas sendiri untuk mengatasi respon pertahanan tanaman tersebut, untuk masuk ke inangnya dan menggunakannya untuk kelangsungan hidupnya. Patogen telah mengembangkan penentu patogenitas disesuaikan dengan inang yang akan dimasukinyaa dan mekanisme untuk menghindari serta menekan respon pertahanan (Mes, 1999). Karima & Nadia (2012), menyebutkan bahwa jamur patogen Fusarium sp. dan Rhizoctonia solani menyebabkan penyakit tanaman diantaranya adalah penyakit pada tomat dan famili Solanaceae lainnya. Tanaman dari famili Solanaceae seperti tomat, kentang, lada dan terung dapat terinfeksi oleh layu Fusarium pada berbagai usia. Organisme penyebab
6
layu tanaman biasanya memasuki tanaman melalui akar muda dan berkembang sampai ke jaringan pengangkut dari akar tersebut hingga ke batang. Ketika jaringan pengangkut tersumbat dan rusak, pasokan air ke daun terhambat. Gejala layu biasanya muncul pertama kali pada bagian pucuk tanaman atau pada daun terendah. Proses akan terus berlangsung sampai tanaman betul betul layu dan akhirnya mati. Gejala layu Fusarium pada kentang dan tomat biasanya dimulai dengan kerdilnya batang tanaman pada bagian terluar pucuk, selanjutnya daun bagian terbawah akan layu, menguning dan mengakibatkan seluruh tanaman mati, biasanya sebelum tumbuhan tumbuh dewasa. Semua Fusarium penyebab layu biasanya memilki inang yang spesifik dan merupakan organisme yang bertahan pada cuaca panas. Fusarium yang menyerang tanaman Solanaceae antara lain F. oxysporum f. sp. lycopersici (menyerang tomat), F. oxysporum f. sp. melongenae (menyerang terung) and F. oxysporum var. vasinfectum (menyerang lada) (Miller et al., 1986). Penyakit Rhizoctonia pada kentang disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani (Kühn) yang dapat ditemukan pada seluruh bagian bawah tanaman pada berbagai waktu dan musim. Rhizoctonia solani menyebabkan berbagai macam penyakit pada tanaman. Gejala yang ditimbulkan oleh Rhizoctonia adalah rusaknya umbi pada kentang dengan munculnya bercak kecoklatan sampai hitam pada saat pertumbuhan kentang. Suhu tanah adalah faktor kritis untuk proses inisiasi Rhizoctonia dalam kentang, dengan demikian kekuatan serang suatu penyakit berkorelasi positif dengan suhu. Rentang suhu untuk pertumbuhan R. solani adalah 41o sampai 77o F, jadi tanaman sangat rentan terhadap infeksi ketika suhu kritis tersebut. Suhu dingin, kelembapan tanah yang tinggi dan keasaman tanah diduga sebagai pendukung perkembangan penyakit Rhizoctonia pada kentang. (Wharthon et al., 2007). Perpaduan antara sifatnya sebagai saprob dan sifat patogeniknya yang tidak hanya terbatas pada inang tertentu, menjadikan Rhizoctonia
solani sebagai
patogen
yang
memiliki pengaruh
terhadap
perekonomian, serta sulit dikendalikan di lapangan. Jamur R. solani cocok pada kondisi panas dan lembap (Achmad et al., 1999). Jamur ini juga menyebabkan busuk benih (seed rot) dan busuk bibit (seedling blight) pada tanaman jagung (Muis, 2007).
7
2.2 Pengendalian Hayati Penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan dan terus-menerus dalam aktivitas pertanian modern telah menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi tanah dan lingkungan. Penggunaan pestisida juga dapat menimbulkan resistensi hama dan penyakit tumbuhan terhadap bahan beracun tersebut. Permasalahan yang timbul pada bidang pertanian tersebut dan kesadaran akan lingkungan yang sehat, telah mendorong penggalian berbagai potensi alam yang ramah lingkungan. Perkembangan bioteknologi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, diantaranya penggunaan mikroorganisme, terutama bakteri dan jamur, yang sangat potensial sebagai pengendali hayati (biocontrol) (Artati, 2008). Pestisida juga menyebabkan timbulnya strain hama dan penyakit tumbuhan yang resisten terhadap bahan beracun ini, sehingga setiap kali usaha pengendalian terhadap organisme pengganggu ini menemui kegagalannya dan setiap kali pula harus dihasilkan bahan kimia baru yang memerlukan biaya penelitian yang sangat mahal baik secara ekonomi maupun biaya pencemaran terhadap lingkungan yang tidak dapat dihitung secara pasti. Masalah-masalah yang yang muncul akibat aktivitas pertanian modern telah mendorong para peneliti untuk menggali berbagai potensi alam terutama terhadap mikroba dan serangga berguna bagi meningkatkan hasil pertanian (Prihantoko, 2006). Pengendalian hayati terapan dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu: (1) introduksi, adalah usaha mendatangkan dan melepaskan musuh alami ke alam (2) augmentasi, yaitu usaha mempertinggi daya guna musuh alami yang telah ada misalnya dengan melakukan pembiakan secara massal dan menyebarkan kembali ke alam. Augmentasi dibagi menjadi dua yaitu inokulasi dan inundasi. Inokulasi adalah pelepasan musuh alami dalam jumlah terbatas untuk meningkatkan populasi, sedangkan inundasi adalah pelepasan musuh alami dalam jumlah besar (Lesmana, 2006). Dua jenis mikroba golongan bakteri yang paling banyak dikembangkan sebagai pestidida hayati adalah Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. Keunikan dari kedua bakteri tersebut adalah bersifat saprofitik (mampu bertahan dan berkembang biak pada sisa-sisa limbah organik), menghasilkan antibiotik yang dapat membunuh mikroba patogen tumbuhan (Giyanto et al., 2009).
8
Interaksi patogenik dapat terjadi antar mikroorganisme, seperti parasitisme antara satu jamur dengan jamur lainnya (mikoparasitisme) maupun produksi antibiotik oleh organisme yang menghambat atau membunuh mikroorganisme lainnya. Interaksi patogenik lainnya melibatkan mikroorganisme dan akar tanaman yang mengakibatkan penyakit tanaman. Penyakit tanaman yang bersumber dari tanah dapat disebabkan oleh nematoda, kutu, bakteri, virus, dan jamur. Beberapa jamur menyebabkan kerusakan lebih parah pada tanaman pertanian dan interaksinya dengan patogen tanaman lainnya umumnya mempunyai efek sinergis pada penyakit tanaman (Artati, 2008). Saat ini banyak usaha yang dilakukan oleh para peneliti untuk menggunakan agen pengendali hayati seperti bakteri dan jamur, karena penggunaan bahan kimia dapat merusak lingkungan dan membahayakan organisme lain termasuk kesehatan manusia (Herrera et al., 1999).
2.3 Bakteri Kitinolitik Mikroorganisme pendegradasi kitin dalam memperoleh nutrisi sebagai sumber karbon dan nitrogen menggunakan enzim kitinase untuk memecah senyawa kitin. Organisme yang dapat mendegradasi kitin tersebar luas di alam, termasuk organisme yang tidak memiliki kitin seperti sebagian bakteri, virus, tumbuhan tingkat tinggi dan hewan yang memiliki peran penting dalam fisiologi dan ekologi (Dewi, 2008). Kitinase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis polimer kitin menjadi monomer N-asetilglukosamin atau kitin oligosakarida. Degradasi kitin oleh prokariot dan eukariot terjadi dalam dua tahap yang prosesnya melibatkan hidrolisis ikatan β-1,4 glikosida yang menghubungkan sub unit GlcNAc. Pertama endokitinase mengikat tetramer dan polimer GlcNAc untuk menghasilkan disakarida kitobiose. Kitobiose menghidrolisis kitobiose menjadi monomer Nasetilglukosamin pada tahap kedua. Enzim pendegradasi kitin umumnya oleh beberapa organisme diinduksi oleh kitosan, kitobiose dan glukosamin (Connel et al., 1998). Jamur umumnya memiliki dinding sel yang mengandung senyawa kitin. Kehadiran mikroorganisme kitinolitik di tanah terutama pada rhizoplane dan
9
filoplane tanaman dapat melindungi tanaman dari infeksi jamur. Kitin yang terdapat pada dinding sel jamur patogen dapat didegradasi atau dihidrolisis oleh mikroorganisme kitinolitik sehingga mengurangi terjadinya infeksi penyakit (Yurnaliza et al., 2010). Kitin merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur dan dapat dihidrolisis oleh kitinase. Untuk melihat potensinya dapat dilakukan pengujian terhadap kemampuan isolat bakteri menghasilkan kitinase secara in vitro. Isolat bakteri yang menghasilkan kitinase dengan indeks kitinolitik paling besar merupakan isolat yang paling berpotensi sebagai agen pengendali hayati terhadap jamur patogen. Polimer kitin sangat mirip dengan selulosa, kecuali adanya residu gugus asetamido yang terikat pada C-2 monomernya (Lesmana, 2006). Kitin merupakan biopolimer yang terdiri dari (1 - 4) N - asetil - D Glukosamin (N – asetil – 2 – amino – 2 – deoksi - D - Glukopiranosa) dengan kuantitas/persediaan yang sangat berlimpah, dan merupakan biopolimer terbesar nomor dua di alam setelah selulosa Berbagai mikroorganisme penghasil enzim kitin telah berhasil diisolasi dari beberapa daerah di Indonesia. Beberapa mikroorganisme tersebut diambil dari sampel air dan tanah. Pada umumnya, mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim kitinase, merupakan jenis jamur (eukariot) dan bakteri (prokariot) (Hendarsyah, 2006). Sihombing (2010) menyatakan bahwa kitinase merupakan sekelompok enzim yang umumnya dihasilkan oleh bakteri, disamping kitinase dalam sistem kitinolitik mikroorganisme terdapat protein yang memiliki kemampuan antifungal. Protein tersebut adalah protein pengikat kitin yang dihasilkan selama proses perombakan kitin. Hasil uji antagonis bakteri kitinolitik terhadap hifa Fusarium menunjukkan terjadinya abnormalitas. Hifa abnormal ditandai dengan, antara lain menggulung, melilit, keriting, dan lisis. Hal ini mungkin dikarenakan kemampuan enzim yang dimiliki oleh bakteri kitin sebagai agen biokontrol yang dapat menghidrolisis dinding sel jamur dan adanya kompetisi untuk memperoleh nutrisi.
2.4 Nepenthes (Kantung Semar) Nepenthaceae merupakan famili palaeotropik dari tumbuhan jenis liana, semak dan herba dan mempunyai genus tunggal yaitu Nepenthes. Saat ini terdapat sekitar
10
83 spesies famili di wilayah Malesia, dan 24 spesies diantaranya merupakan spesies endemik di pulau Kalimantan. Tanaman ini memiliki dua jenis kantung, yaitu kantung atas (upper pitcher) dan kantung bawah (lower pitcher). Kantung jenis upper pitcher memiliki tendril (tangkai kantung yang menghubungkan kantung dengan daun) yang menjuntai melewati bagian belakang kantung. Sedangkan kantung jenis lower pitcher, memiliki tendril yang menjuntai di depan kantung. Kantung pada Nepenthes spp. berfungsi sebagai perangkap bagi mangsa berupa avertebrata, sedikit sekali vertebrata yang dapat terperangkap kedalamnya. Mangsa kemungkinan besarnya tertarik mendatangi kantung oleh kombinasi warna kantung dan adanya nektar yang disekresikan oleh kelanjar yang terletak di bagian bawah tudung kantung (Yogiara, 2004). Higashi et al. (1993) menyebutkan beberapa spesies kantung semar yaitu Nepenthes bicalcarata, Nepenthes ampullaria dan Nepenthes rafflesiana. Sulistyaningsih (2008) menyatakan selain dikenal sebagai tanaman hias yang unik, cairan dalam kantung muda yang masih menutup juga digunakan sebagai obat tradisional. Klasifikasi lengkap Nepenthes spp. berdasarkan sistem klasifikasi tumbuhan berbunga yang adalah sebagai berikut: Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae Ordo
: Nepenthales
Family
: Nepenthaceae
Genus
: Nepenthes
Jenis
: Nepenthes spp. Tumbuhan pemakan serangga hidup di daerah gersang dengan kelembapan
tinggi dan tanah yang asam atau air, dan memiliki organ khusus untuk menangkap serangga. Enzim pencernaan telah didemonstrasikan dalam beberapa spesies dari tanaman ini Kantung semar tidak hanya berisi serangga yang terperangkap dan serangga mati, tetapi juga dihuni oleh mikroorganisme. Bisa jadi merupakan lingkungan yang cocok untuk beberapa jenis mikroorganisme. Sesuai dengan karakteristik yang unik ini, cairan kantung semar menjadi objek yang cocok dalam pembelajaran keanekaragaman mikroba (Amagase et al., 1972).
11
Yogiara et al. (2006) mengumpulkan sampel cair dari beberapa tanaman kantung semar yang diambil dari berbagai lokasi dan ditemukan 18-39 kelompok bakteri yang hidup di dalam kantungnya. Profil komunitas bakteri berbeda antara spesimen satu dengan yang lainnya. Sebelumnya belum ada publikasi yang jelas yang menyatakan bahwa perkembangan komunitas dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (habitat) atau cairan. Jumlah dari populasi mikroba di dalam cairan belum diketahui secara pasti. Yogiara et al. (2006) menyimpulkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme bisa jadi bukan dipengaruhi oleh lingkungan dimana kantung semar tumbuh tetapi lebih dapat dipengaruhi oleh substansi kimia yang dihasilkan dalam cairan dan secara simultan berkembang seiring terbukanya kantung. Yogiara (2004), menyatakan jumlah total bakteri dan jumlah ragam isolat bakteri yang relatif tinggi menggambarkan bahwa cairan kantung semar merupakan suatu reservoir bagi kehidupan bakteri. Nutrisi yang diperlukan bakteri untuk hidup dipenuhi dari eksudat tanaman yang disekresikan ke dalam cairan. Higashi et al. (1993) menyebutkan bahwa adanya perubahan pH, ion amonium dan keragaman dalam populasi bakteri berpengaruh terhadap proses penguraian dalam kantong. Eksresi sebuah proton (ion H+) dari ion NH4+ akan menyebabkan pH cairan menurun sampai pH optimum dari protease, lalu proses pencernaan makanan dalam kantung akan berlangsung. Shin et al. (2007) melaporkan aktivitas anti jamur oleh plumbagin yang dipurifikasi dari daun Nepenthes ventricosa telah diujikan terhadap delapan jamur patogen pada tanaman. Plumbugin dapat menghambat semua pathogen pada tanaman uji yaitu Oomycota (Phytophthora capsici), Zygomycota (Rhizopus stolonifer) var.stolonifer) dan Deuteromycota (Aspergillus alternata, Aspergillus niger, Bacilus oryzae, Rhizoctonia solani, Rhizopus stolonifer var. stolonifer dan Scklerotinia sclerotiorum dan R. solani yang paling sensitif. Amagase et al. (1972) melaporkan ekstrak enzim dari kantung semar dapat mendegradasi media dengan campuran tepung semut kering Hasil ini menyimpulkan bahwa mekanisme pencernaan merupakan kerjasama antara protease dan beberapa enzim lain seperi enzim kitinolitik atau kitinase [EC 3.2.1.14].